Dalam penelitian ini suhu udara tidak berhubungan dengan kejadian chikungunya mungkin disebabkan karena faktor lain, misalnya perilaku yaitu
kebiasaan menguras dan menutup tempat penampungan air rumah. Tempat penampungan air rumah yang tidak biasa dikuras dan tidak biasa ditutup, akan
menjadi tempat peluang nyamuk untuk berkembang biak mulai dari telur hingga menjadi nyamuk dewasa.
5.3 HUBUNGAN
ANTARA KELEMBABAN
UDARA DENGAN
KEJADIAN CHIKUNGUNYA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GUNUNGPATI KOTA SEMARANG
Setelah dilakukan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Gunungpati Kota Semarang dan berdasarkan hasil analisis bivariat antara kelembaban udara dengan
kejadian chikungunya, didapatkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna dengan p value = 0,479.
Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Wartubi 2007, yang menyatakan ada hubungan antara kelembaban udara dengan kejadian chikungunya di
Puskesmas Jatibarang Kabupaten Indramayu dengan nilai p value = 0,033; OR = 3,2.
Berdasarkan hasil pengukuran, keadaan kelembaban udara di wilayah kerja Puskesmas Gunungpati Kota Semarang berkisar antara 64 - 72.
Kelembaban udara rumah antara kelompok kasus dan kelompok kontrol rata-rata sama yaitu berkisar 68
. Jadi kelembaban udara rata-rata di wilayah kerja Puskesmas Gunungpati Kota Semarang tergolong tidak memenuhi syarat untuk
kesehatan, baik dari kelompok kasus maupun kelompok kontrol karena pada
kelembaban tersebut sangat cocok untuk kehidupan nyamuk Aedes sp. Kelembaban optimum untuk pertumbuhan nyamuk yaitu antara 65 - 90 Tuhu
Pinardi, 2006. Dalam penelitian ini kelembaban udara tidak berhubungan dengan
kejadian chikungunya mungkin disebabkan karena faktor lain, misalnya perilaku yaitu kebiasaan menguras dan menutup tempat penampungan air rumah. Tempat
penampungan air rumah yang tidak biasa dikuras dan tidak biasa ditutup, akan menjadi tempat peluang nyamuk untuk berkembang biak mulai dari telur hingga
menjadi nyamuk dewasa.
5.4 HUBUNGAN ANTARA PENCAHAYAAN DENGAN KEJADIAN
CHIKUNGUNYA DI
WILAYAH KERJA
PUSKESMAS GUNUNGPATI KOTA SEMARANG
Setelah dilakukan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Gunungpati Kota Semarang dan berdasarkan hasil analisis bivariat antara pencahayaan dengan
kejadian chikungunya, didapatkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna dengan p value = 0,093.
Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Wartubi 2007, yang menyatakan ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian chikungunya di Puskesmas
Jatibarang Kabupaten Indramayu dengan nilai p value = 0,016; OR = 3,8. Berdasarkan hasil pengukuran, intensitas pencahayaan rumah di wilayah
kerja Puskesmas Gunungpati Kota Semarang berkisar antara 36 - 65 lux. Intensitas pencahayaan rumah antara kelompok kasus dan kelompok kontrol rata-
rata sama yaitu berkisar 42 lux. Jadi rata-rata intensitas pencahayaan rumah di
wilayah kerja Puskesmas Gunungpati Kota Semarang tergolong tidak memenuhi syarat untuk kesehatan baik dari kelompok kasus maupun kelompok kontrol
karena pada intensitas cahaya tersebut sangat mendukung pertumbuhan nyamuk Aedes sp
. Pencahayaan optimum untuk pertumbuhan nyamuk yaitu 60 lux Budiyono, 2006.
Dalam penelitian ini pencahayaan tidak berhubungan dengan kejadian chikungunya mungkin disebabkan karena faktor lain, misalnya perilaku yaitu
kebiasaan menguras dan menutup tempat penampungan air rumah. Tempat penampungan air rumah yang tidak biasa dikuras dan tidak biasa ditutup, akan
menjadi tempat peluang nyamuk untuk berkembang biak mulai dari telur hingga menjadi nyamuk dewasa.
5.5 HUBUNGAN ANTARA KEBERADAAN TANAMAN DENGAN