73
BAB V PEMBAHASAN
5.1 HUBUNGAN ANTARA KEADAAN TEMPAT PENAMPUNGAN AIR
DENGAN KEJADIAN CHIKUNGUNYA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GUNUNGPATI KOTA SEMARANG
Setelah dilakukan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Gunungpati Kota Semarang dan berdasarkan hasil analisis bivariat antara keadaan tempat
penampungan air dengan kejadian chikungunya, didapatkan hasil ada hubungan yang bermakna dengan p value = 0,037; OR = 2,676 95 CI = 1,049–6,827,
menunjukkan bahwa sampel yang mempunyai tempat penampungan air berjentik mempunyai risiko 2,676 kali lebih besar menderita chikungunya daripada sampel
yang tempat penampungan airnya tidak berjentik. Hal ini sesuai dengan penelitian Eka Arsanti 2007, yang menyatakan ada
hubungan antara keberadaan jentik pada tempat penampungan air dengan kejadian suspect
demam chikungunya di Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang. Pada kelompok yang tempat penampungan airnya berjentik
mempunyai risiko 7,850 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang tempat penampungan airnya tidak berjentik.
Berdasarkan hasil observasi banyak ditemukannya jentik nyamuk pada tempat penampungan air. Hal tersebut karena tempat penampungan air yang
digunakan sebagian besar ukurannya seperti bak mandi yang terbuat dari semen, terbuka dengan pencahayaan gelap. Tempat penampungan air yang tidak ada
tutupnya dan terlindung dari sinar matahari, merupakan tempat yang disukai
nyamuk betina untuk meletakkan telurnya. Tempat penampungan air yang tidak biasa dikuras akan memberikan peluang nyamuk penular chikungunya untuk
berkembang biak. Menguras TPA atau bak mandi sekurang-kurangnya sekali seminggu dapat mengurangi jentik nyamuk pada TPA Soedarmo, 2005.
5.2 HUBUNGAN ANTARA SUHU UDARA DENGAN KEJADIAN
CHIKUNGUNYA DI
WILAYAH KERJA
PUSKESMAS GUNUNGPATI KOTA SEMARANG
Setelah dilakukan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Gunungpati Kota Semarang dan berdasarkan hasil analisis bivariat antara suhu udara dengan
kejadian chikungunya, didapatkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna dengan p value = 0,622.
Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Wartubi 2007, yang menyatakan ada hubungan antara suhu udara dengan kejadian chikungunya di Puskesmas
Jatibarang Kabupaten Indramayu dengan nilai p value = 0,008; OR = 4,6. Berdasarkan hasil pengukuran, keadaan suhu udara di wilayah kerja
Puskesmas Gunungpati Kota Semarang berkisar antara 20
°C
- 32
°C
. Suhu udara rumah antara kelompok kasus dan kelompok kontrol rata-rata sama yaitu berkisar
25,5
°C
. Jadi suhu udara rata-rata di wilayah kerja Puskesmas Gunungpati Kota Semarang tergolong tidak memenuhi syarat untuk kesehatan baik dari kelompok
kasus maupun kelompok kontrol karena pada suhu tersebut merupakan suhu optimum pertumbuhan nyamuk Aedes sp. Suhu optimum pertumbuhan nyamuk
yaitu antara 25
°C
-27
°C
Suroso, 2003.
Dalam penelitian ini suhu udara tidak berhubungan dengan kejadian chikungunya mungkin disebabkan karena faktor lain, misalnya perilaku yaitu
kebiasaan menguras dan menutup tempat penampungan air rumah. Tempat penampungan air rumah yang tidak biasa dikuras dan tidak biasa ditutup, akan
menjadi tempat peluang nyamuk untuk berkembang biak mulai dari telur hingga menjadi nyamuk dewasa.
5.3 HUBUNGAN