Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
450 di tiga lokasi, dapat digunakan oleh paguyuban PKL di lokasi
lain ketika mereka mengalami nasib yang serupa.
D. Modal Sosial memperkuat Daya Tawar
Pedagang kaki lima PKL merupakan segmen masyarakat yang berada pada lapisan menengah bawah. Mereka tidak
memiliki sumber daya kekuasaan seperti halnya kelompok lapisan atas atau elit. Pendidikan mereka rata-rata rendah.
Jikalau ada yang tamat Sekolah Menengah Atas SMA ke atas, jumlahnya tidak banyak. Berbeda dengan lapisan elit, baik elit
politik maupun ekonomi, rata-rata berpendidikan lebih tinggi, minimal sarjana. Keterampilan yang dimiliki para PKL juga
tidak memadai, baik keterampilan yang menunjang usaha, seperti manajemen, keuangan, dan pemasaran maupun
keterampilan hidup lainnya. Akses terhadap sumber daya politik dan ekonomi yang dimiliki PKL juga relatif terbatas,
bahkan boleh dikata tidak ada. Kapital yang dipunyai PKL pun tidak sebanding dengan modal yang dimiliki elit ekonomi dan
politik.
Bagi PKL, lahan untuk beraktivitas ekonomi merupakan persoalan rumit, tetapi bagi elit ekonomi atau pengusaha besar
bukan menjadi persoalan yang berarti, karena dengan uang yang dimiliki serta koneksi dengan para pejabat daerah, mereka
bisa menyewa atau membeli lahan tanpa ada hambatan. Jaringan sosial yang dimiliki para elit ekonomi dan politik
cukup luas dan bisa digunakan untuk memperkokoh status dan kedudukan mereka, sementara PKL hanya memiliki jaringan
sosial terbatas, yakni dengan para PKL lainnya. Itulah sebabnya, dalam relasi kuasa antara PKL yang mewakili
golongan menengah bawah dan elit ekonomi dan politik yang merupakan representasi golongan atas, tidak seimbang. PKL
berada pada posisi
subordinat, yakni sebagai pihak yang
451
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
dikuasai, sedangkan elit ekonomi dan politik berada posisi superordinat, yaitu sebagai pihak yang menguasai.
Adanya kepentingan yang lebih besar dalam bingkai pembangunan ekonomi yang berbasis ideologi neoliberal,
menjadikan banyak pemerintah daerah kabupaten dan kota lebih mengutamakan pembangunan yang menguntungkan
pihak investor Morrell 2008. Tidak heran kiranya jika hotel- hotel berbintang berdiri menjulang langit di tengah kota dan
bahkan ada pula yang berada di dekat pusat pemerintahan.
Demikian pula, banyak gedung mall berdiri di tengah hingga pinggiran kota. Perumahan mewah dan perumahan
dengan harga cukup tinggi banyak dibangun tidak hanya yang berdekatan dengan pusat kota, tetapi juga di pinggiran kota
hingga memasuki wilayah pedesaan. Alfamart dan Indomart, toko kecil serba swalayan banyak dijumpai di kampung-
kampung. Tidak sedikit toko Alfamart berdiri berhadapan atau berdampingan dengan toko Indomart dalam jarak yang sangat
dekat, di tengah-tengah toko atau warung warga masyarakat setempat. Izin-izin untuk mendirikan bangunan serba modern
tersebut tampaknya mudah diperoleh pengusaha besar.
Sementara itu, pelaku ekonomi sektor informal, khususnya pedagang kaki lima PKL, tidak mudah mencari rezeki di kota.
Pendidikan mereka rendah. Keterampilan yang dibutuhkan oleh sektor formal, tidak mereka punyai. Lahan tidak punya.
Akses terhadap fasilitas kota juga tidak ada. Mereka tergolong orang yang tidak berdaya. Mereka yang paling terpinggirkan
dalam level ekonomi ini cenderung relatif tidak berdaya ketika dihadapkan pada beberapa pengaruh utama yang memengaruhi
kehidupan mereka Giddens 2003. Pengaruh itu misalnya kemauan politik pemerintah yang berpihak kepada investor.
Itulah sebabnya, wajar kiranya jika mereka rentan ditertibkan dan digusur oleh aparat represif kota. Ini menunjukkan
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
452 perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah terhadap
golongan masyarakat bawah atau pinggiran. Kota Semarang dalam waktu ke depan hendak dibangun
sebagai kota metropolitan yang sejajar dengan perkembangan kota metropolitan lainnya di Indonesia. Hal ini merupakan
ungkapan dari visi SETARA atau Semarang Kota Sejahtera dari walikota Semarang, Soemarmo HS. Visi SETARA walikota
Soemarmo HS dengan sapta programnya, yang meliputi penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, rob dan banjir,
pelayanan publik, tata ruang dan infrastruktur, kesetaraan dan keadilan gender, pendidikan serta kesehatan, mengarahkan
program fisik pemerintah kota Semarang yang memengaruhi keberadaan pedagang kaki lima PKL, khususnya mereka yang
melakukan aktivitas ekonomi di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono.
Program besar Pemkot, yang didukung oleh anggaran APBD provinsi Jawa Tengah dan APBN pemerintah pusat, yaitu
berupa pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, membuat Pemkot lebih
banyak memusatkan perhatian pada proyek-proyek besar penataan fisik kota Semarang sebagai upaya mewujudkan
Semarang sebagai Kota Perdagangan dan Jasa yang Berbudaya menuju Masyarakat Sejahtera. Pembangunan waduk Jatibarang
dan normalisasi sungai Kaligarang dan banjir Kanal Barat yang telah diprogramkan sejak lama oleh Pemkot, untuk
mengendalikan
banjir di
kota Semarang,
membawa konsekuensi kepada relokasi PKL yang selama ini melakukan
aktivitas ekonomi di tepi sungai tersebut. Upaya menata kota Semarang tidak hanya melulu pada
program pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, sebagai upaya untuk
mengendalikan banjir dan rob di Kota Semarang, tetapi juga penataan fisik ruang Kota Semarang secara keseluruhan yang
453
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
didasarkan pada RTRW Kota Semarang Tahun 2011-2031. Penataan fisik, seperti penataan infrastruktur jalan-jalan
protokol, pembuatan taman-taman kota, dan penciptaan ruang terbuka hijau, semua itu dimaksudkan untuk meraih perhatian
investor agar bersedia menanamkan sahamnya untuk pengembangan kota Semarang sebagai kota perdagangan dan
jasa.
Tujuan besar Pemerintah kota Semarang, yakni menjadikan kota Semarang sebagai Kota Perdagangan dan Jasa,
membutuhkan dana besar untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Hanya para pemodal investor yang mampu
memenuhi keinginan Pemkot Semarang, bukan pedagang kaki lima PKL. Tidak heran jika, kebijakan Pemkot Semarang lebih
berpihak kepada investor ketimbang PKL, demi tujuan menjadikan kota Semarang sebagai pusat Perdagangan dan Jasa.
Dalam beberapa hal, sikap Pemkot tersebut tidak semuanya salah. Alasannya adalah, pembangunan membutuhkan biaya
yang tidak kecil.
Keberpihakan Pemkot Semarang kepada investor, salah satunya tampak dari izin yang diberikan kepada investor untuk
membuka usaha perhotelan dan apartemen di kota Semarang. Dalam 15 tahun terakhir, berdiri banyak hotel di kota
Semarang, beberapa di antaranya berada di pusat kota. Hotel yang sudah berdiri lama adalah hotel Graha Santika, hotel
Santika, hotel Plaza, hotel Grand Candi, hotel Grasia, hotel Muria, hotel Jelita, hotel Patimura, dan hotel Patrajasa.
Sementara itu, hotel baru yang telah berdiri, yaitu hotel Ibis, hotel Novotel, hotel Gumaya, hotel Dafam, hotel Olimpic,
hotel Pandanaran, hotel Horison, hotel Ciputra, hotel Siliwangi, hotel Amaris, hotel Quest, hotel Belle View, hotel
Wizz, dan beberapa hotel kecil lainnya.
Pada akhir tahun 2011, Pemkot memberikan izin kepada pemodal besar untuk mendirikan apartemen Mutiara Garden
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
454 dan Star di dekat pusat kota. Demikian pula, Pemkot Semarang
mengizinkan berdirinya mall dan pasar modern, seperti Matahari Mall, Citraland Mall, Java Super Mall, E-Plaza,
Pasaraya Sri Ratu, Pusat Grosir Makro, ACE Mall , dan “ritel”
lainnya, seperti Alfamart dan Indomart yang menyebar hampir di semua kecamatan yang ada di kota Semarang.
Kebutuhan akan investasi dan obsesi menjadikan Semarang sebagai Kota Perdagangan dan Jasa juga melatarbelakangi
Pemkot Semarang memberi izin kepada pengusaha untuk membuka usaha kuliner, seperti MacDonald, Kentucky Fred
Chicken KFC, rumah makan Cianjur, rumah makan Nglaras Roso, rumah makan Lombok Ijo, rumah makan Tan Goei,
rumah makan Borobudur, rumah makan Padang Nusantara, rumah makan Sederhana, rumah makan Mak Engking, Festifal
Makanan Manggala, Pujasera GAPURA, Kedai Beringin, dan rumah makan besar lainnya.
Dunia hiburan pun berkembang pesat seiring dengan upaya Pemkot dalam menggenjot investasi. Pusat-pusat karaoke
berdiri dan menjadi tempat melepas penat bagi warga Kota Semarang pada malam hari. Vina House, Star Quin, Family Fun
Karaoke, Happy Puppy, dan tempat-tempat hiburan lainnya, menjanjikan kegembiraan bagi warga kota yang ingin melepas
lelah setelah seharian bekerja di kantor. Perkembangan hotel, rumah makan, pusat perbelanjaan, dan tempat-tempat hiburan,
menjadikan kota Semarang seakan tak pernah tidur, karena sepanjang hari hingga malam selalu hidup dan beraktivitas.
Semua itu karena didasarkan pada upaya pemrintah kota Semarang untuk menarik investor agar menanamkan sahamnya
di kota Semarang guna mengakselerasi terwujudnya visi Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa.
Dalam rangka mewujudkan cita-cita Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa, para investor diuntungkan oleh Pemkot
karena karena kebijakan pro-investasi Pemkot; sedangkan
455
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
kelompok masyarakat marginal, seperti pedagang kaki lima PKL, menjadi korban dari kebijakan pembangunan yang pro-
neoliberal.
Kebijakan Pemkot Semarang terhadap eksistensi kelompok masyarakat kecil tidak semuanya merugikan mereka. Sebagai
upaya mempercantik wilayah Simpang Lima dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, Pemkot membuat
shelter-shelter yang diperuntukkan bagi para pedagang kaki lima. Fasilitas tersebut hanya diberikan kepada para pedagang
yang telah lama berjualan di tepi bundaran Simpang Lima, seperti pedagang nasi dan minuman. Pedagang lain tentu tidak
bisa menempati shelter di Simpang Lima, karena selain tempatnya terbatas, juga hanya diberikan kepada pedagang nasi
dan minuman yang lama menjalankan aktivitas ekonomi di sekitar bundaran Simpang Lima.
Demikian juga, shelter-shelter yang dibangun di sekitar Taman KB atau jalan Menteri Soepeno, hanya diperuntukkan
bagi para pedagang makanan dan minuman yang telah lama berdagang di jalan Menteri Soepeno, termasuk pedagang jagung
bakar dan pedagang nasi dan minuman, pindahan dari jalan Pahlawan yang memang harus bersih dari pedagang, demi
menciptakan citra bersih, rapi, dan indah kota Semarang. Fasilitas yang diterima para pedagang di bundaran Simpang
Lima dan jalan Menteri Soepeno tidak gratis, tanpa adanya usaha dan negosiasi. Mereka mendapatkan fasilitas dan
diperbolehkan berdagang berkat dukungan dan bantuan dari PPKLS dan organisasi mereka yang hingga kini masih aktif.
Perlakuan Pemkot terhadap PKL Simpang Lima dan Menteri Soepeno tidak sama terhadap PKL liar yang
beraktivitas di tepi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat. Para Pedagang Kaki Lima PKL yang berada di sekitar
bundaran Simpang Lima, di jalan Pahlawan, dan di jalan Menteri Soepeno bernasib baik, karena masih bisa berdagang,
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
456 bahkan mendapatkan fasilitas yang memadai dari Pemkot, tidak
demikian halnya bagi PKL liar yang menempati lokasi di tepi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat.
Pedagang Kaki Lima PKL liar yang berdagang di pinggir jalan dekat tepian sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat ini
dipandang sebagai komunitas yang mengganggu pelaksanaan program-program pembangunan dan peraihan Adipura. Jika
PKL yang beraktivitas ekonomi di pinggir jalan dekat tepian sungai tersebut tidak ditertibkan dan digusur, maka akan
mengganggu pelaksanaan proyek normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat.
Di Sampangan dan Basudewo, sebagian PKL mendirikan bangunan semi permanen, seperti rumah-rumah kios yang
berlantaikan keramik atau plester dan dindingnya juga tembok beton, sehingga menyulitkan kendaraan dan alat-alat proyek
masuk untuk mengeruk tanah endapan yang ada di sungai. Mereka sudah diperingatkan Pemkot, tetapi PKL tidak
menggubrisnya, sehingga untuk memudahkan pengerjaan proyek normalisasi sungai, Pemkot melakukan penertiban dan
penggusuran, termasuk meratakan bangunan dan lapak-lapak PKL yang ada di Sampangan dan Basudewo.
Tidak seperti halnya PKL Sampangan dan PKL Basudewo yang memberikan perlawanan disertai kekerasan ketika
ditertibkan, Pemkot Semarang lebih mudah melakukan penertiban terhadap PKL Kokrosono karena di Kokrosono tidak
ada lagi bangunan permanen dan semi permanen yang digunakan PKL untuk menjalankan aktivitas ekonomi. Namun
demikian, PKL Kokrosono tetap nekat berdagang, meskipun berkali-kali mereka diperingatkan dan ditertibkan Pemkot.
Akibat dari penggusuran terhadap PKL Sampangan dan PKL Basudewo, maka PKL Sampangan menepi dan mengalah
berdagang di sebelah selatan proyek atau tepatnya di sebelah selatan kantor PSDA dan Proyek Normalisasi Sungai Kaligarang
457
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
dan Banjir Kanal Barat. Itu pun atas negosiasi yang dilakukan oleh PPKLS. Pihak PSDA percaya kepada para pedagang dan
membiarkan pedagang berjualan di sekitar proyek, karena sudah ada kesepakatan ketika nanti lahan sudah dirapikan PKL
bersedia pindah ke tempat lain. Kepercayaan
trust inilah yang menjadikan PKL Sampangan masih dapat berjualan di lokasi
dekat kantor PSDA. PKL Basudewo yang sudah tidak memiliki alat-alat produksi di Basudewo, karena lokasi mereka sudah rata
dengan tanah, akhirnya pindah ke tempat lain. Sebagian pindah ke gedung PKL Kokrosono yang telah disediakan Pemkot, dan
sebagian lagi pindah kemana tidak diketahui lagi nasibnya.
Tidak seperti PKL Sampangan dan PKL Basudewo, PKL Kokrosono liar masih tetap menjalankan aktivitasnya,
meskipun lokasinya digunakan untuk keluar masuk kendaraan dan alat-alat berat proyek normalisasi sungai. Komunikasi yang
baik antara pedagang dengan pihak proyek membuat mereka masih diizinkan berdagang di tengah pengerjaan bangunan
talut dan perapian jalan di sisi kiri dan kanan sungai Banjir Kanal Barat. Para PKL pun menyadari, ketika proyek
normalisasi sungai selesai, mereka juga akan pindah ke tempat lain atau berdagang di gedung PKL Kokrosono.
Interaksi yang masih berlangsung dengan baik di antara para pedagang, maupun komunikasi yang mereka bangun
dengan pihak proyek, merupakan modal sosial yang menjadi daya tawar sekaligus memberikan kekuatan kepada pedagang
kaki lima untuk bertahan di lokasi guna menjalankan aktivitas ekonomi yang bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan
ekonomi PKL dan keluarganya.
E. Rangkuman