PKL Terpinggirkan, Modal Sosial Tidak Hilang

445 PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG

C. PKL Terpinggirkan, Modal Sosial Tidak Hilang

Daya tahan, sikap resisten, dan ketidakpatuhan PKL terhadap kebijakan yang diambil oleh Pemkot Semarang, sebagaimana ditunjukkan PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono adalah karena adanya modal sosial yang mereka miliki, terutama kohesi sosial dan jaringan sosial yang mereka miliki. Proyek pembangunan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat yang dikerjakan dengan dibantu aparat Satpol PP untuk membersihkan lokasi dari para pedagang, menyebabkan para pedagang pergi secara perlahan, pindah ke tempat yang telah disediakan, atau berpindah ke tempat lain yang tidak diketahui, membuat PKL tidak berdaya dan seperti halnya relasi kuasa antara negara dan rakyat, yang memposisikan rakyat pada pihak yang lemah dan tak berdaya, maka PKL sebagai representasi rakyat tak berdaya menghadapi kekuatan negara tersebut. Negara dengan aparatur represifnya, seperti halnya pemerintah kota Semarang dengan Satuan Tugas Polisi Pamong Praja Satpol PP atas nama Peraturan Daerah memiliki legitimasi untuk menata, mengatur, menertibkan, bahkan menggusur pedagang kaki lima PKL. Bagi PKL yang tidak patuh terhadap Peraturan Daerah, Pemkot dapat mengusirnya ke luar dari tempat PKL berdagang, seperti yang selama ini dilakukan Pemkot Semarang terhadap PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, serta beberapa PKL lainnya yang menempati ruang publik. Pedagang Kaki Lima PKL di Semarang memiliki organisasi yang cukup mapan, yaitu Persatuan Pedagang Kaki Lima Semarang PPKLS. Organisasi ini eksis karena didukung oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hukum, yaitu Lembaga Bantuan Hukum LBH kota Semarang. Sinergi kedua lembaga ini mampu memberikan bantuan, Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang 446 pendampingan, dan fasilitasi kepada para PKL yang bermasalah dengan Pemkot Semarang. Selain organisasi supra karena dua lembaga ini cakupannya meliputi seluruh kota Semarang, di kalangan masing-masing PKL juga memiliki organisasi. PKL Sampangan sudah sejak lama mempunyai organisasi atau paguyuban PKL, hanya aktivitasnya telah berhenti sejak terjadinya penggusuran. Memang ada ketua baru, yaitu Satrio yang menggantikan ketua lama, tetapi karena ketua baru tersebut kurang peka terhadap kebutuhan anggota PKL, maka anggota PKL pun tidak aktif dan tidak peduli terhadap eksistensi organisasi. Arisan yang selama ini dilakukan secara rutin tiap bulan, tidak lagi dilakukan, meskipun beberapa anggota menginginkan diadakannya arisan. Di Sampangan, organisasi PKL ada, namun seperti tidak ada organisasi, karena sejak penggusuran, para anggota tetap berdagang di sekitar lokasi proyek, tetapi tidak ada tindakan bersama kolektif yang berkaitan dengan masa depan mereka. Mereka menggantungkan nasibnya kepada PPKLS yang diketuai Rini. Perlindungan dan pendampingan yang dilakukan oleh PPKLS menyebabkan mereka masih mampu bertahan di tengah pembangunan dan penataan sungai oleh proyek. PKL Basudewo sudah lama memiliki paguyuban PKL, tetapi juga tidak eksis. Baru setelah PKL dikoordinasi pak Achmad, mereka memiliki organisasi yang cukup mapan, yaitu Persatuan Pedagang Lestari Makmur PPLM. Paguyuban PKL Basudewo ini telah didaftarkan pada Kantor Kesatuan Kebangsaan dan Perlindungan Masyarakat Kesbanglinmas Kota Semarang. Mereka memiliki AD-ART organisasi dan aktivitas paguyuban ini selama dalam masa-masa penertiban dan penggusuran cukup aktif mengadakan pertemuan dengan para anggotanya. Sampai mereka pindah ke Kokrosono, hingga kini mereka masih melakukan pertemuan dengan anggota 447 PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG meskipun junlahnya tidak sebanyak ketika mereka masih berada di Basudewo. Kehidupan sosial dalam arti interaksi sosial yang telah berlangsung lama di Basudewo tidak lagi terjadi, karena anggota PKL telah bercerai berai. Pertemuan intensif yang dahulu ada guna membahas nasib PKL, tidak ada lagi. Iuran untuk rapat dan mengadakan aksi bersama, juga tidak ada. Perjuangan mempertahankan lokasi berdagang tidak tampak lagi, karena anggota PKL telah terpecah pandangannya mengenai perlunya bertahan di lokasi atau bersedia pindah ke lokasi baru. Sebagian PKL sudah pindah ke lokasi baru, karena takut akan intimidasi dari pihak pemerintah, sebagian lagi pindah tetapi tidak diketahui kemana mereka pindah, sebagian kecil bertahan di lokasi, dan akhirnya karena lokasi PKL sudah tidak dapat lagi digunakan untuk berdagang, maka anggota PKL yang tersisa bersedia pindah ke Kokrosono. Namun demikian, di tempatnya yang baru, pak Achmad selaku ketua PKL Basudewo sekarang bernama PPLM masih menjalankan aktivitas organisasi meskipun tidak seaktif dahulu. PKL Kokrosono yang letaknya berada di tepi sungai Banjir Kanal Barat, sesungguhnya juga telah menjadi anggota organisasi dari paguyuban PKL yang dilegalisasi oleh pemerintah kota. Mereka sejatinya sudah diberi tempat berupa kios di sebelah utara rel kereta api, tetapi kios tersebut tidak dimanfaatkan untuk berdagang. Ada beberapa PKL yang bersedia pindah dan menjalankan aktivitas ekonomi di gedung PKL Kokrosono tersebut, tetapi sebagian besar PKL kembali berjualan di tepi jalan dekat sungai Banjir Kanal Barat. Kios di gedung PKL diterima, tetapi hanya digunakan untuk menempatkan dan menyimpan barang dagangan. Konon menurut pedagang yang bersedia diwawancarai, kios tersebut sempit dan sepi dari pembeli. Meskipun sebagian PKL memiliki kartu anggota paguyuban PKL, tetapi karena mereka Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang 448 membandel tetap beraktivitas di pinggir jalan dekat tepian sungai Banjir Kanal Barat, maka mereka tidak mendapatkan fasilitas dari Pemkot. Bahkan mereka juga tidak ditarik retribusi. Mereka tergolong ke dalam PKL liar. Selain PKL Kokrosono, di mata Pemkot, PKL Sampangan dan PKL Basudewo juga termasuk dalam kategori PKL liar. Pemkot Semarang menyadari bahwa PKL memiliki modal organisasi yang cukup kuat, sehingga dalam melakukan penertiban, banyak cara atau strategi yang ditempuh Pemkot. Cara yang mereka lakukan bermacam-macam, mulai dari cara persuasif hingga cara kekerasan telah mereka lakukan. Cara persuasif, misalnya dengan membujuk PKL agar pindah dari tempatnya telah dilakukan. Camat dan Kepala Kelurahan melakukan berbagai pendekatan, termasuk memberi surat peringatan kepada PKL, namun tidak diindahkan oleh PKL. Cara-cara kekerasan akhirnya ditempuh Pemkot, mulai dari menakut-nakuti, memberikan ancaman, memecah belah PKL, hingga merobohkan secara paksa bangunan dan lapak yang digunakan PKL untuk berdagang. Pembangunan waduk Jatibarang yang berskala nasional dan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat yang dibiayai oleh Pemerintah pusat, Provinsi, Kota dan dibantu oleh JICA Jepang, dengan alat-alat berat, seperti begu dan buldoser telah meratakan tanah di kanan kiri sungai. Perataan tanah dan penggalian lumpur di dalam sungai yang dilakukan pihak proyek, tidak dapat dicegah oleh PKL, karena memang apa yang dilakukan oleh pelaksana proyek sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga para pedagang yang jumlahnya tinggal sedikit menyingkir dari lokasi. Hanya beberapa PKL yang masih bertahan di lokasi. Cara yang terakhir inilah yang membuat nyali sebagian besar PKL runtuh dan banyak di antara mereka yang pindah ke tempat lain. 449 PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG Modal sosial yang telah dibangun para PKL, seperti organisasi atau paguyuban internal yang telah digunakan untuk sarana perlawanan terhadap pemerintah kota Semarang tidak runtuh, meskipun sebagian besar PKL telah pindah. Organisasi ini masih ada, baik di Sampangan maupun di Basudewo yang sekarang sudah pindah ke Kokrosono. Mega proyek pembangunan waduk dan normalisasi sungai secara fisik telah memporakporandakan lokasi para pedagang, tetapi mega proyek tersebut tidak mampu menghancurkan modal sosial yang dimiliki oleh PKL. Apalagi modal sosial pengorbanan sacrifice of social capital yang telah melekat pada komunitas PKL Basudewo yang diketuai oleh Achmad, menjadi identitas dari PKL Basudewo yang kini pindah ke Kokrosono. PKL Sampangan nyatanya masih bertahan dan bisa beraktivitas di dekat proyek normalisasi sungai. PKL Basudewo, yang sekarang telah pindah ke gedung PKL Kokrosono masih menjalankan aktivitas ekonomi di tempatnya yang baru. Interaksi antar pedagang juga masih terjalin hingga kini. Hampir tiap malam, mereka bertemu di gedung H tempat mereka beraktivitas ekonomi. PKL Kokrosono liar masih menjalankan aktivitas ekonomi, meskipun di tengah-tengah keterbatasan lahan yang kini sudah diratakan oleh mesin-mesin proyek. Interaksi yang masih berlangsung antar anggota paguyuban PKL. Norma reprositas masih nampak. Hal ini terlihat, ketika ada pedagang yang sakit atau keluarganya meninggal dunia, mereka beramai-ramai menengok dan menjenguknya. Masih berlangsungnya interaksi antara penjual dan pembeli di tiga lokasi PKL yang didasarkan atas trust di antara mereka, menandakan bahwa modal sosial PKL tidak hilang. Modal sosial ini merupakan stok, yang dapat diinvestasikan kembali sepanjang masih ada struktur sosial dan anggota struktur yang berinteraksi secara intensif. Bukan tidak mungkin, modal sosial yang menjadi penguat daya tahan PKL Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang 450 di tiga lokasi, dapat digunakan oleh paguyuban PKL di lokasi lain ketika mereka mengalami nasib yang serupa.

D. Modal Sosial memperkuat Daya Tawar

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang

0 1 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB I

0 1 42

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB II

0 0 106

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB IV

0 2 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB V

0 0 62

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB VI

0 2 54

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB VII

0 1 48

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB IX

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB XI

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang

0 0 4