Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
426
A. Dari Kekerasan Simbolik hingga Kekerasan Langsung
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia APKASI,
Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia APEKSI, dan Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia ADEKSI, telah
menyepakati sepuluh prinsip tata pemerintahan yang baik Fahmal 2006:66-67. Sepuluh prinsip itu adalah sebagai
berikut.
Pertama, partisipasi, dalam arti bahwa setiap warga didorong untuk menggunakan hak dalam menyampaikan
pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Kedua, penegakan hukum, yaitu menegakkan hukum secara adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi
HAM, dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Ketiga, transparansi, yakni menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui
pelayanan penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
Keempat, kesetaraan, yakni memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan. Kelima, daya tangkap, yakni meningkatkan kepekaan para
penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat tanpa kecuali.
Keenam, wawasan ke depan, yaitu membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan
warga masyarakat dalam seluruh proses pembangunan,
427
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
sehingga warga masyarakat memiliki dan ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan daerahnya.
Ketujuh, akuntabilitas, yaitu meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam bidang yang menyangkut
kepentingan masyarakat luas. Kedelapan, pengawasan, yaitu meningkatkan upaya
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan
masyarakat luas.
Kesembilan, efisiensi dan efektivitas, yaitu menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan
menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.
Kesepuluh, profesionalisme,
yaitu meningkatkan
kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat, dan
biaya yang terjangkau.
Pemerintah daerah sudah seharusnya melakukan fungsinya dengan baik berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang
baik. Beberapa pemerintah daerah ada yang telah dapat menjalankan fungsinya dengan baik, khususnya dalam
mewujudkan kesejahteraan dan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Kabupaten Sragen, kabupaten Jembrana, kabupaten
Bantul, kota Yogyakarta, dan kota Surakarta merupakan sekian dari kota dan kabupaten di Indonesia yang berhasil
memberikan pelayanan prima kepada masyarakat sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah yang sadar akan dirinya sebagai agen masyarakat memang dapat menjalankan fungsinya dengan baik,
tetapi tidak banyak pemerintah kota dan kabupaten yang memiliki kinerja seperti itu. Apalagi jika walikota atau bupati
yang terpilih terlibat
money politic dan bersekongkol dengan
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
428 pihak
pengusaha, sehingga
dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan lebih berpihak kepada kelas atas seperti birokrat
daerah dan pengusaha, sementara keberpihakannya kepada rakyat kecil tidaklah begitu besar atau bahkan dalam beberapa
kebijakan yang diambil bisa saja pemerintah daerah yang dikelola pemimpin seperti itu lebih banyak memusuhi rakyat
kecil yang sumbangan ekonominya tidak signifikan bagi daerah. Itulah sebabnya, cukup banyak kepala daerah yang
bertindak halus dan penuh rasa cinta kepada pihak-pihak yang memuluskan jalannya menuju pemimpin nomor satu di daerah
dan bertindak kasar penuh rasa benci kepada rakyat kecil yang dipandang mengotori, membuat tidak indah dan asri, serta
merusak citra daerah, seperti halnya pedagang kaki lima PKL liar.
Pemerintah dapat saja memiliki kebijakan yang berbeda dalam mengelola kehidupan masyarakat dan menyelenggarakan
pembangunan. Apa yang dilakukan atau tidak dilakukan pemerintah tersebut bisa berdampak positif maupun negatif
bagi warga atau kelompok masyarakat. Ada kelompok masyarakat yang diuntungkan oleh kebijakan pemerintah,
tetapi ada juga kelompok masyarakat lainnya yang dirugikan atau setidaknya merasa dirugikan karena kebijakan yang telah
ditempuh oleh pemerintah.
Secara teoretik
sudah banyak
konsep mengenai
pemerintahan yang baik berikut azas-azas dan prinsip- prinsipnya. Semua azas dan prinsip tersebut dijadikan sebagai
acuan bagi pemerintah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan kesejahteraannya. Dalam
realitasnya, pemerintah kota Semarang terutama pada masa kepemimpinan Soekawi Soetarip tidak mampu menghasilkan
kebijakan yang memberikan perlindungan dan keamanan sosial serta peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat
kelas bawah, seperti pengemis, gelandangan, anak-anak jalanan,
429
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
dan para pedagang kecil, termasuk PKL liar atau yang tidak terorganisasi.
Prinsip-prinsip transparansi, kesetaraan, daya tangkap, wawasan
ke depan,
efisiensi dan
efektivitas, serta
profesionalisme yang seharusnya dijadikan sebagai pedoman bagi pemerintah kota untuk memberikan pelayanan sebaik-
baiknya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi dalam kenyataannya tidak digunakan.
Banyak upaya dan program yang telah ditetapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik yang dipayungi
Perda maupun yang dinaungi Peraturan Walikota dan kebijakan-kebijakan lainnya, tetapi dalam realitasnya ada juga
lapisan masyarakat yang tidak dapat menikmati hasil-hasil pembangunan, seperti kelompok marginal di jalanan pengemis,
gelandangan, anak jalanan, dan PKL. Pengemis, gelandangan, dan anak jalanan dalam perspektif pemerintah kota,
digolongkan dalam kelompok penyandang tuna sosial, sedangkan PKL meskipun tidak termasuk penyandang tuna
sosial, tetapi mereka tergolong kelompok marginal atau terpinggirkan, karena dianggap kelompok masyarakat yang sulit
diatur dan sulit dikendalikan.
Pemerintah merupakan representasi negara, yang memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Dalam relasi
negara-rakyat, Pemkot Semarang termasuk dalam posisi negara yang memiliki sumber daya kekuasaan, sedangkan PKL berada
dalam status rakyat yang tidak memiliki sumber daya kekuasaan. Dalam relasi ini, Pemkot representasi dari negara
dalam posisi dominan dan superordinat, sementara PKL representasi rakyat sebagai pihak yang terdominasi dan
subordinat. Dalam hal ini, apa pun yang dilakukan Pemkot harus dipatuhi dan diikuti PKL, termasuk ketika mereka harus
dipindahkan karena telah menempati ruang publik.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
430 Pihak dominan dengan segala kekuasaan yang dimiliki
acapkali menggunakan kekerasan meskipun kadang mereka tidak menyadari atau pun telah disadarinya dengan tujuan
untuk menaklukkan pihak yang didominasi atau terdominasi. Dominannya kekerasan sebagai cara untuk menyelenggarakan
kehidupan bernegara dan bermasyarakat sudah dirasakan sejak pemerintahan Orde Baru Gultom 2003. Kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan senantiasa bersifat koersi, dibarengi tindak kekerasan dan pemaksaan.
Dalam kaitannya dengan PKL, Pemkot Semarang telah melakukan apa yang disebut dengan kekerasan simbolik.
Menurut Bourdieu, kekerasan simbolis adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna kebudayaan terhadap kelompok
atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu
yang sah
Jenkins 2004:157.
Legitimasinya meneguhkan relasi kekuasaan yang menyebabkan pemaksaan
tersebut berhasil. Selama hal tersebut diterima sebagai sesuatu yang sah,
kebudayaan memperkuat dirinya melalui relasi kekuasaan dan memberinya kontribusi kepada reproduksi sistematis mereka.
Hal ini diraih melalui proses salah mengenali misrecognition,
yaitu proses di mana relasi kekuasaan tidak dipersepsikan secara objektif, namun dalam bentuk yang menjadikan mereka absah
di mata pemeluknya.
Dalam memaksakan kekerasan simbolik ini, pihak dominan menggunakan instrumen pengetahuan, sebagai wujud dari
terbentuknya relasi dominasi, sehingga membuat relasi itu tampak alamiah natural di mata pihak yang terdominasi
Bourdieu 2010:50. Kekerasan simbolik ini dilembagakan melalui perantaraan kesepakatan yang tidak bisa diberikan oleh
pihak terdominasi kepada si dominan ketika skema-skema yang digunakan oleh pihak terdominasi untuk memahami dan
menilai diri atau yang digunakan untuk menilai pihak
431
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
dominan. Kekerasan negara dalam bentuk simbolik ini menciptakan kebutuhan akan perlunya peraturan perundangan
dan lembaga peradilan sebagai instrumen pembenar tindakan negara Gultom 2003.
Kekerasan simbolis yang dilakukan Pemkot Semarang tersembunyi dalam penggunaan kata-kata di dalam Perda
nomor 11 tahun 2000. Sebagaimana disampaikan Bourdieu, kata-kata dapat digunakan sebagai 1 alat melakukan kekerasan
dan paksaan, 2 alat intimidasi dan penyelewengan, 3 tanda dan keadaban, sikap merendahkan diri dan jijik Thompson
2003.
Dalam Perda tersebut terdapat kata-kata atau kalimat yang menandakan Pemkot melakukan kekerasan dan paksaan
terhadap pedagang kaki lima. Judul dari Perda tersebut sudah menunjukkan tanda kekerasan simbolis, yaitu Peraturan
Daerah kota Semarang tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Kata “pengaturan” dan “pembinaan”
menunjukkan relasi kuasa yang timpang, di mana Pemkot berada pada posisi dominan dan sangat berkuasa melakukan apa
saja terhadap PKL. Pedagang pun dibuat seakan-akan apa yang dilakukan Pemkot terhadapnya memang absah dilakukan,
termasuk membongkar tempat usaha, menyita barang dagangan atau peralatan, dan mencabut izin tempat usaha, sebagaimana
diatur dalam pasal 13 Perda ini.
Kalimat yang mencerminkan kekerasan dan paksaan terhadap PKL tidak hanya dapat dicermati dalam pasal 13,
tetapi hampir semua pasal, kecuali pasal 6 yang mengatur tentang hak PKL, mencerminkan kekerasan simbolik tersebut.
Kekerasan simbolik tersebut tampak pula dalam stigma negatif yang dilontarkan pihak Pemkot dengan menggunakan
media massa lokal ketika mereka melakukan penertiban dan penggusuran terhadap PKL Basudewo. Harian Suara Merdeka
yang terbit tanggal 29 Mei 2010 dalam
headline-nya menulis
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
432 judul besar “PKL Basudewo Langgar Peraturan”. Penulisan
headline ini jelas atas permintaan Pemkot Semarang menanggapi demonstrasi PKL Basudewo yang menolak
penggusuran dan relokasi. Pihak Pemkot menganggap PKL Basudewo telah melanggar ketentuan SK Walikota Nomor
511.3162001 tentang Penetapan Lahan atau Lokasi PKL di Kota Semarang, karena menempati lahan yang tidak ditunjuk
dan ditetapkan berdasarkan SK Walikota tersebut.
Stigma negatif juga ditunjukkan terhadap PKL Kokrosono, sebagaimana ditulis Harian Semarang tanggal 10 Juni 2010.
“PKL liar Kokrosono segera ditertibkan”, inilah bunyi headline dari Harian Semarang, yang memberi penilaian negatif
sekaligus memaksakan ideologi Pemkot bahwa PKL Kokrosono memang liar dan harus menerima penertiban. Stigma negatif
yang diberikan Pemkot terhadap PKL Basudewo dan Kokrosono memberikan bukti bahwa permainan kata-kata yang
disampaikan Pemkot memberikan suatu legitimasi kepada Pemkot bahwa Pemkot memang berhak mengendalikan,
mengatur, dan menertibkan PKL yang mereka pandang liar, sulit diatur, dan melanggar peraturan.
Kekerasan simbolis yang dilakukan Pemkot berlanjut dengan kekerasan langsung atau yang berkaitan dengan fisik
terhadap PKL yang dinilai bandel dan membangkang. Kekerasan langsung mengacu pada tindakan yang menyerang
fisik atau psikologis seseorang secara langsung Salmi 2003:31. Termasuk dalam aktivitas kekerasan langsung adalah
pemusnahan etnis
genocide, pembunuhan massal, penculikan, penyiksaan, perkosaan, dan pengusiran secara paksa.
Penertiban dan penggusuran merupakan bagian dari kekerasan langsung berupa pengusiran secara paksa.
Penertiban dan penggusuran terhadap sejumlah PKL di kota Semarang, sebagai representasi dari kekerasan langsung
merupakan bukti bahwa kekerasan simbolis tidak cukup untuk
433
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
memberi sanksi kepada PKL yang bandel. Beberapa aktivitas penertiban dan penggusuran yang dilakukan Pemkot Semarang,
sebagai wujud kekerasan langsung, tidak hanya dilakukan pada tahun 2009 dan 2010, tetapi berlanjut terus hingga tahun 2011,
meskipun di sisi lain Pemkot menyediakan ratusan shelter untuk tempat berdagang bagi PKL, sebagaimana yang dialami
para PKL yang melakukan aktivitas ekonomi di bundaran Simpang Lima dan di jalan Menteri Soepeno.
Pemkot Semarang tidak hanya menertibkan dan menggusur PKL di tiga lokasi yang diteliti, tetapi juga menertibkan dan
menggusur PKL lainnya yang ada di Kota Semarang. Petugas Satpol PP pada hari Kamis tanggal 21 Oktrober 2010 melakukan
penertiban dan pembongkaran lapak terhadap pedagang kaki lima yang berdagang di jalan Anton Sujarwo Srondol Semarang
Wawasan, Sabtu Wage, 23 Oktober 2010, Halaman 13.
Pada tanggal 10 April 2011 petugas Satpol PP Kota Semarang membongkar lapak-lapak PKL yang berada di atas
saluran di Perumnas Tlogosari Semarang Semarang Metro, Senin, 11 April 2011, Halaman C. Seluruh pedagang kaki lima
PKL “tiban” di sepanjang kawasan Simpang Lima hingga bundaran Taman Soepeno ditertibkan dan sejak 23 Juli 2011
dipindahkan ke Stadion Diponegoro Semarang Metro, Jumat, 22 Juli 2011, Halaman A.
Demikian pula, untuk menertibkan PKL yang berdagang di ruang publik, Satpol PP kota Semarang melakukan razia PKL di
sejumlah tempat di kota Semarang, seperti di daerah Kampung Kali, Taman KB, Jalan dr. Kariadi, di depan Kantor DPD Golkar
Jateng, dan Jalan Tamrin Semarang Metro, Kamis, 17 November 2011, Halaman C.
Aktivitas penertiban dan penggusuran terhadap PKL beberapa di antaranya dapat dipahami, karena ada PKL yang
menempati wilayah atau daerah larangan yang dapat menyebabkan banjir, seperti halnya pembongkaran lapak di
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
434 Tlogosari, karena menempati saluran sungai. Namun terlepas
dari semua itu, aktivitas penertiban yang disertai dengan tindakan fisik, yakni dengan membongkar paksa bangunan,
lapak, dan terkadang barang dagangan PKL, merupakan representasi dari kekerasan fisik yang dilakukan oleh Pemkot
Semarang. Kekerasan fisik ini, meskipun kadang tidak disadari oleh petugas Satpol PP, dilakukan Pemkot sebagai kelanjutan
dari kekerasan simbolik, yakni untuk menegakkan Perda nomor 11 hahun 2000.
Kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah atau negara, seperti yang diperlihatkan Pemkot Semarang terhadap
pedagang kaki lima PKL, yang oleh mereka dianggap melanggar Perda, merupakan cara yang efektif untuk membuat
rakyat, dalam hal ini PKL mematuhi peraturan atau kebijakan Pemkot. Kekerasan yang dilakukan Pemkot tersebut, menurut
Douglas dan Waksler menggambarkan perilaku, baik yang bersifat terbuka, menyerang atau bertahan yang disertai dengan
penggunaan kekuatan terhadap orang lain Pitaloka 2004:10.
Kekerasan negara dapat memengaruhi individu-individu yang ada dalam kekuasaannya untuk melakukan kekerasan
serupa. Individu-individu
tersebut akan
kehilangan kemampuan berpikir dan menilai secara kritis. Eichmann
melihat ada perasaan tidak bersalah pada diri pelaku kekerasan atau kejahatan Pitaloka 2004:17. Bagi petugas Satpol PP yang
menjalankan tugas Pemkot, apa yang mereka lakukan, dalam bahasa Eichmann, tidak lebih dari sekadar tanggung jawab
terhadap tugas dan sikap patuh serta loyal kepada penguasa, bukan sebuah kejahatan meskipun mereka tahu tindakannya
menimbulkan banyak korban.
Kekerasan atau kejahatan seperti itu, merupakan wujud dari banalitas kejahatan Pitaloka 2004. Kekerasan yang
dilakukan pedagang kaki lima PKL dengan cara beradu mulut, menghalang-halangi petugas, mendorong petugas, menyandera
435
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
kendaraan petugas, sebagaimana diperlihatkan PKL Sampangan dan Basudewo, tidak muncul dengan sendirinya, tetapi
merupakan akibat atau produk dari kekerasan yang dilakukan negara, dalam hal ini adalah pemerintah kota Semarang melalui
aparatnya, yaitu petugas Satpol PP.
B. Dampak Proyek Jatibarang dan Normalisasi Sungai Banjir