Pertumbuhan Anak Domba dari Induk yang dicekok Jamu Veteriner Selama Periode Kebuntingan.

(1)

Dicekok Jamu Veteriner Selama Periode Kebuntingan. Dibimbing oleh WASMEN

MANALU dan ANDRIYANTO

Sembilan ekor domba betina dengan bobot badan berkisar antara 17-25 kg digunakan untuk mengetahui pengaruh pencekokan jamu veteriner pada induk domba selama periode kebuntingan terhadap pertumbuhan anaknya. Induk domba dialokasikan sesuai rancangan acak kelompok ke dalam 3 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor domba. Kelompok pertama adalah kelompok kontrol, tanpa perlakuan. Kelompok kedua diberi jamu veteriner dosis 15 mL/ekor. Sementara itu, kelompok ketiga diberi jamu veteriner dosis 30 mL/ekor. Sinkronisasi siklus estrus dilakukan dengan penyuntikan PGF2 alpha dosis 7,5 mg/ekor sebanyak 2 kali dengan interval waktu 11 hari. Perkawinan induk domba dilakukan sekitar 24-36 jam setelah penyuntikan. Variabel yang diamati adalah bobot lahir dan pertambahan bobot badan anak domba. Hasil pengamatan menunjukan bahwa perlakuan pencekokan jamu veteriner pada induk domba selama periode kebuntingan mampu meningkatkan bobot lahir, rasio anak per induk, dan pertambahan bobot badan hingga mencapai masa sapih.


(2)

Treated with Jamu Veteriner during Pregnancy. Superviced by WASMEN

MANALU and ANDRIYANTO

Nine ewes (body weight ranging from 17 to 25 kg) were used to study the effect of jamu veteriner administration during pregnancy on the lamb growth. The experimental ewes were assigned into a randomized design with 3 treatments with 3 ewes per treatment. The first group was control, without jamu veteriner. The second group was treated with 15 mL/ewes of jamu veteriner. Meanwhile, the third group was treated with 30 mL/ewes of jamu veteriner. Estrous cycle of does were synchronized by injection of PGF2α at dosage of 7,5 mg/ewes twice with 11 days interval. The estrous-experimental ewes were mated naturally at 24 to 36 hour after the second injection of PGF2α. Parameters measured were lambs birth weight and preweaning growth. The result showed that administration of jamu veteriner during pregnancy increased lambs birth weight, lamb ratio per ewes, and preweaning growth.

Keywords: ewes, jamu veteriner, body weight, lambs.


(3)

KEBUNTINGAN

LEO SEPALENI SOINBALA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Gambaran pertumbuhan anak domba dari induk yang dicekok jamu veteriner selama periode kebuntingan adalah benar-benar hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya-karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2012

Leo Sepaleni Soinbala NIM B04080013


(5)

Dicekok Jamu Veteriner Selama Periode Kebuntingan. Dibimbing oleh WASMEN

MANALU dan ANDRIYANTO

Sembilan ekor domba betina dengan bobot badan berkisar antara 17-25 kg digunakan untuk mengetahui pengaruh pencekokan jamu veteriner pada induk domba selama periode kebuntingan terhadap pertumbuhan anaknya. Induk domba dialokasikan sesuai rancangan acak kelompok ke dalam 3 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor domba. Kelompok pertama adalah kelompok kontrol, tanpa perlakuan. Kelompok kedua diberi jamu veteriner dosis 15 mL/ekor. Sementara itu, kelompok ketiga diberi jamu veteriner dosis 30 mL/ekor. Sinkronisasi siklus estrus dilakukan dengan penyuntikan PGF2 alpha dosis 7,5 mg/ekor sebanyak 2 kali dengan interval waktu 11 hari. Perkawinan induk domba dilakukan sekitar 24-36 jam setelah penyuntikan. Variabel yang diamati adalah bobot lahir dan pertambahan bobot badan anak domba. Hasil pengamatan menunjukan bahwa perlakuan pencekokan jamu veteriner pada induk domba selama periode kebuntingan mampu meningkatkan bobot lahir, rasio anak per induk, dan pertambahan bobot badan hingga mencapai masa sapih.


(6)

Treated with Jamu Veteriner during Pregnancy. Superviced by WASMEN

MANALU and ANDRIYANTO

Nine ewes (body weight ranging from 17 to 25 kg) were used to study the effect of jamu veteriner administration during pregnancy on the lamb growth. The experimental ewes were assigned into a randomized design with 3 treatments with 3 ewes per treatment. The first group was control, without jamu veteriner. The second group was treated with 15 mL/ewes of jamu veteriner. Meanwhile, the third group was treated with 30 mL/ewes of jamu veteriner. Estrous cycle of does were synchronized by injection of PGF2α at dosage of 7,5 mg/ewes twice with 11 days interval. The estrous-experimental ewes were mated naturally at 24 to 36 hour after the second injection of PGF2α. Parameters measured were lambs birth weight and preweaning growth. The result showed that administration of jamu veteriner during pregnancy increased lambs birth weight, lamb ratio per ewes, and preweaning growth.

Keywords: ewes, jamu veteriner, body weight, lambs.


(7)

BA dan Hagar Bulan. Penulis merupakan anak ke- 5 dari 6 orang bersaudara. Penulis melaksanakan pendidikan sekolah dasar di SD Inpers Oenasi di kota Soe, Nusa Tenggara Timur pada tahun 1996. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan sekolah di SMP N 1 Soe hingga tahun 2005. Tahun 2005 penulis melanjutkan sekolah di SMA N 1 Soe hingga lulus tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk (USMI) IPB. Penulis memilih Program Studi Kedokteran Hewan sebagai pilihan pertama. Selama perkuliahan di Fakultas Kedokteran Hewan penulis mengikuti organisasi Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia. Selain itu, penulis juga tercatat sebagai anggota Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB dan Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Keluarga Mahasiswa NTT (Gamanusratim).


(8)

hikmat dan pengertianNya sehingga skripsi ini dapat selesai dan dipergunakan sebagai salah satu prasyarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini:

1. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu dan Drh. Andryanto M.Si, selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan, saran, kritik, dan arahan selama berlangsungnya penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih juga kepada Bu Sri, Bu Ida, Bu Anti, Pak Bondan dan Pak Edi atas bantuannya.

2. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. H. Akhmad Arif Amin selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan bimbingan dan nasihat selama penulis berada di FKH.

3. Terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua (Th. Soinbala dan H Bulan), semua saudara (Ester, Maria, Deici, Santi, Maya, Jefry, Yanto, Rizet, Dethan, dan Christian), keluarga To’o Abe Tuulima, keluarga Bu’ Yafet Wohangara, serta keluarga Bapak Obaja Soinbala yang senantiasa mendoakan dan memberikan dukungan.

4. Terima kasih kepada teman-teman sepenelitian (Yudi, Miftah, Mitha, Nila, Vivin, Jasmine, dan Rika) atas bantuan dan kerjasamanya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Geng balak Enam (Arif, Matho, Meichris, Olavio, Gregor, Mathias, Andrew, Priskilla, Jefri), teman-teman Omda Gamanusratim, semua teman Avenzoar 45 yang selalu memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, dan pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini sehingga masih membutuhkan saran dan kritik dari berbagai pihak. Akhir kata,


(9)

Bogor, Juli 2012


(10)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(11)

LEO SEPALENI SOINBALA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

Nama :

NRP :

Leo Sepaleni Soinbala B04080013

Disetujui,

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu drh. Andriyanto, M.Si NIP. 19571220 198312 1 001 NIP. 19820104 2006040 1 006

Mengetahui,

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet NIP. 19630810 198803 1 004


(13)

Halaman

DAFTAR GAMBAR ……….. DAFTAR LAMPIRAN ……….. I. PENDAHULUAN ………... 1.1. Latar Belakang ……….. 1.2. Tujuan Penelitian ……….. 1.3. Manfaat Penelitian ……….... II. TINJAUAN PUSTAKA ……… 2.1. Domba ……….. 2.2. Jamu Veteriner ……….. 2.2.1. Lempuyang ………. 2.2.2. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) ………... 2.2.3. Kayu Manis (Cinnamomum burmannii) ………. 2.2.4. Jahe (Zingiber officinale R.) ………... 2.2.5. Merica (Piper nigrum L.) ……… III. BAHAN DAN METODELOGI ……… 3.1. Waktu dan Tempat ……… 3.2. Alat dan Bahan ……….. 3.3. Kandang, Pakan, dan Minum ……… 3.4. Rancangan Percobaan ………... 3.5. Tahap Perlakuan ……… 3.6. Pengukuran Bobot Badan Anak Domba……… 3.7. Metode Analisis Data ……… IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……….... V. PENUTUP ……….. 5.1. Kesimpulan ………....

5.2. Saran ………...

xi xii 1 1 2 2 3 3 5 5 6 8 9 10 12 12 12 12 12 13 13 13 14 20 20 20


(14)

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)………..

2. Senyawa kimia Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)………. 3. Tanaman Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)……… 4. Jahe (Zingiber officinale)………... 5. Merica (Piper nigrum L.) ……….. 6. Rataan bobot lahir dan bobot badan anak pada bulan ke-1 sampai ke-3pada kelompok domba kontrol ( ) , pemberian formula jamu veteriner Dosis 15 mL (■), dan pemberian formula jamu veteriner Dosis 30 mL (▲).………...

6 7 8 9 10


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Analisis bulan ke-0 ………..

Lampiran 2. Analisis bulan ke-1 ……….. Lampiran 3. Analisis bulan ke-2 ………... Lampiran 4. Analisis bulan ke-3 ………... Lampiran 5. Analisis rasio anak per induk pada awal kelahiran ……….. Lampiran 6. Analisis rasio anak yang disapih per induk ………. Lampiran 7. Data Rataan Bobot Badan Anak Domba ………. Lampiran 8. Data Rataan Bobot Badan Induk Domba Sebelum Partus...

25

27

29

31

33 35

37


(17)

BAB

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia adalah sebesar 1,49% per tahun (BPS 2010). Pertumbuhan penduduk yang cepat menyebabkan terjadinya peningkatan komsumsi protein hewani. Salah satu sumber protein hewani dengan jumlah permintaan yang tinggi ialah daging domba. Penyebab tingginya permintaan daging domba adalah harga daging domba relatif lebih terjangkau oleh masyarakat. Selain itu, secara fisik daging domba memiliki sebaran lemak (marbling) yang merata, sehingga lebih disukai masyarakat (Munier 2008). Tingginya tingkat permintaan daging domba tersebut, ternyata tidak disertai peningkatan populasi ternak domba. Akibatnya, permintaan daging domba tidak tercukupi. Solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pengembangan sistem peternakan ke arah peningkatan produktivitas ternak. Ternak diharapkan mudah dalam pemeliharaannya dan dapat bereproduksi dengan cepat (Adriani et al. 2004).

Peningkatan produktivitas ternak dapat dicapai melalui pemberian obat-obatan tradisional. Pengetahuan mengenai penggunaan obat-obatan tradisional ini didapatkan berdasarkan pengalaman dan ketrampilan yang diturunkan secara turun-temurun antar generasi (Sari 2006). Obat-obatan tradisional yang digunakan untuk hewan dikenal dengan nama jamu hewan. Penggunaanya lebih banyak diterapkan oleh peternak skala kecil karena bahan obat-obatan pabrik yang mahal sehingga sering tidak terjangkau (Zainuddin 2006).

Beberapa tanaman yang sering digunakan oleh peternak untuk memacu produktivitas ternak, antara lain: lempuyang (zingiber), sambiloto (Andrographis panniculata), kayu manis (cinnamomum burmannii), jahe (Zingiber officinale), dan merica (Piper nigrum). Khasiat tanaman-tanaman tersebut banyak dan beragam. Lempuyang dipercaya berkhasiat sebagai penambah nafsu makan, obat asma, cacingan, anemia, sembelit, malaria, dan TBC (Hariana 2007; Sari 2006). Sambiloto


(18)

dipercaya dapat meningkatkan nafsu makan, mengobati demam, disentri, dan sebagai imunomodulator (Setyawati 2009). Kayu manis dipercaya dapat mengobati asam urat (gout arthritis), keropos tulang, hernia, dan muntah-muntah (Hariana 2007). Jahe dipercaya dapat meningkatkan nafsu makan, mengobati rematik, luka, pilek, encok, dan pegal linu (Muhlisah 1999; Widiarti 2010). Sementara itu, merica dipercaya sebagai obat demam, rematik, impotensi, sakit lambung, hernia, frigiditas, muntah, panas dalam, perut kembung, asam urat, sakit perut, dan sakit kepala (Hariana 2007).

Kombinasi dari tanaman-tanaman tersebut diatas akan menghasilkan ramuan jamu veteriner yang dapat digunakan memacu produktivitas ternak. Harapannya, pemberian sediaan yang berasal dari kekayaan budaya lokal bangsa Indonesia ini, dapat memacu pertumbuhan fetus yang diukur dari pertambahan bobot anak domba.

1.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pertumbuhan anak domba dari induk yang dicekok jamu veteriner selama periode kebuntingan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan informasi ilmiah mengenai penggunaan jamu veteriner sebagai pemacu produktivitas ternak.

1.3. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi alternatif bagi peternak untuk menggunakan bahan obat-obatan tradisional dalam meningkatkan pertumbuhan domba, sehingga pada masa yang akan datang dapat bermanfaat dalam meningkatkan produksi daging domba lokal. Harapannya produktivitas ternak yang meningkat akan memberikan sumbangsih berarti bagi pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat.


(19)

BAB

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Domba

Domba merupakan salah satu hewan ternak yang banyak dikembangkan oleh masyarakat. Pemeliharaannya relatif mudah dan tidak membutuhkan banyak tenaga, sehingga ternak domba diusahakan sebagai sambilan. Domba juga memiliki daya adaptasi yang baik terhadap bermacam-macam hijauan pakan dan berbagai kondisi lingkungan (Mulyono 2003). Daging domba tidak berbau dan sebaran lemaknya (Marbling) merata membuat daging ini disukai oleh masyarakat (Munier 2008).

Perkembangan bangsa domba di dunia, awalnya berasal dari empat spesies domba liar. Spesies-spesies tersebut, ialah: domba moufflon (Ovis musimon) di Eropa dan Asia Barat, domba Urial (Ovis orientalis; Ovis vignei) di Afganistan hingga Asia Barat, domba Argali (Ovis ammon) di Asia Tengah, dan domba bighorn (Ovis canadensis) di Asia Utara dan Amerika Utara. Domba yang ada di Indonesia diperkirakan berasal dari Asia Barat dan India (Williamson dan Payne 1993). Jenis domba yang diternakan di Indonesia, kemudian dikenal dengan istilah domba lokal. Pada awalnya, jenis domba di Indonesia adalah domba Javanese-Thin-Tailed yang terdapat di Jawa Barat dan East-Java-Fat-Tailed yang terdapat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Selanjutnya, kedua tipe domba lokal tersebut menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Proses persilangan dan adaptasi terhadap lingkungan kemudian memunculkan jenis domba baru, yaitu domba priangan atau domba garut dan domba kisar. Domba garut merupakan hasil persilangan domba lokal dengan domba Merino dan Kaapstad (Duldjaman et al. 2006). Sedangkan domba kisar diduga merupakan hasil proses adaptasi domba ekor gemuk terhadap lingkungan di Maluku (Salamena 2006).

Domba ekor tipis atau Javanese-Thin-Tailed merupakan domba asli Indonesia dengan populasi terbesar berada di pulau Jawa. Populasi yang terpusat di Jawa membuat domba ini dikenal juga dengan nama domba jawa atau domba kacang. Nama domba ekor tipis mengacu pada ciri fisik ekor domba, yaitu kecil dan tipis. Ciri


(20)

lain dari domba ekor tipis adalah rambut domba yang umunya berwarna putih, kadang-kadang diselingi warna lain, seperti belang hitam atau cokelat. Domba betina umumnya tidak bertanduk, sedangkan domba jantan bertanduk kecil dan bentuknya melingkar. Bobot badan domba jantan dewasa berkisar 30 sampai dengan 40 kg, sedangkan bobot domba betina berkisar 15 sampai dengan 20 kg. Selain domba ekor tipis, domba lainnya yang banyak diternakan di Indonesia adalah domba ekor gemuk atau East-Java-Fat-Tailed. Sama seperti domba ekor tipis, ciri fisik utama dari domba ekor gemuk terletak pada ekornya. Ekor domba ini berbentuk panjang, lebar, tebal, besar, dan makin mengecil pada bagian ujung. Bentuk tersebut dikarenakan adanya timbunan lemak, yang berfungsi sebagai cadangan energi domba. Ciri lainnya adalah warna rambut domba yang umumnya putih dan tidak mempunyai tanduk, baik itu domba jantan maupun domba betina. Bobot badan domba jantan berkisar antara 50-70 kg, sedangkan domba betina berkisar antara 25-40 kg.

Persilangan domba lokal dengan domba luar menghasilkan jenis domba lain, yaitu domba priangan. Domba ini berasal dari Kabupaten Garut, Jawa Barat sehingga dikenal juga dengan nama domba garut. Ciri fisik domba garut lebih besar dibandingkan domba ekor tipis dan domba ekor gemuk. Bobot badan domba jantan dewasa dapat mencapai 60-80 kg, sedangkan domba betina berkisar 30-40 kg. Ciri lainnya adalah daun telinga yang relatif kecil dan tanduk berukuran besar, yang hanya tumbuh pada domba jantan. Jenis domba luar yang dikembangkan di Indonesia, antara lain: domba merino, domba suffolk, dan domba dorset. Domba merino merupakan penghasil wol, dengan obot badan jantan dewasa berkisar antara 64-79 kg dan domba betina antara 45-75 kg. Domba suffolk merupakan domba pedaging, dengan bobot badan jantan mencapai 135-200 kg dan betina 100-150 kg. Sayangnya, bobot badan domba ini jika dikembangkan di Indonesia hanya dapat mencapai 60-80 kg. Berbeda dengan domba merino dan domba suffolk, domba dorset dapat dimanfaatkan sebagai penghasil wol maupun penghasil daging. Bobot badan domba jantan mencapai 100-125 kg dan domba betina 70-90 kg (Mulyono 2003).


(21)

2.2. Jamu Veteriner

Indonesia merupakan negara yang kaya akan bermacam-macam tanaman obat tradisional. Penggunaan obat-obatan tradisional untuk menyembuhkan penyakit ataupun sebagai suplemen telah dilakukan sejak lama. Pengalaman empiris masyarakat tentang khasiat obat-obatan tradisional kemudian diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini membuat penggunaan obat-obatan ini tetap bertahan hingga sekarang. Beberapa tumbuhan yang diketahui mempunyai khasiat sebagai sumber obat-obatan tradisional antara lain: lempuyang (zingiber), sambiloto (Andrographis paniculata), kayu manis (Cinnamomum burmannii), jahe (Zingiber officinale), dan merica (Piper nigrum). Kombinasi dari tumbuhan-tumbuhan ini akan menghasilkan ramuan jamu veteriner yang dapat digunakan sebagai suplemen pada ternak.

2.2.1. Lempuyang

Klasifikasi tanaman lempuyang ialah lempuyang berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, sub kelas Commelinidae, ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, genus Zingiber, dan terdiri dari 3 spesies, yaitu: Zingiber aromaticum Val., Zingiber americans, dan Zingiber zerumbet Smith. Tanaman ini merupakan tumbuhan tahunan yang tumbuh liar pada tempat dengan ketinggian 0-1.200 m dpl. Tanaman yang dapat mencapai ketinggian 1,75 m ini, terdiri atas rimpang, batang, daun, dan bunga. Rimpang lempuyang berukuran besar dan berwarna kuning pucat. Batangnya merupakan batang semu yang terdiri atas helaian daun yang berbentuk bulat memanjang dengan ujung meruncing. Sementara itu, bunga lempuyang muncul dari umbi batang dan berbonggol di bagian atas (Muhlisah 1999).

Lempuyang terdiri dari tiga spesies yang sulit dibedakan satu dengan yang lainnya. Pertama, Lempuyang emprit (Zingiber amaricans). Ciri spesies ini adalah berasa pahit, pedas, dan baunnya tidak tajam. Lempunyang emprit mengandung minyak atsiri, diantaranya limonen dan zerumbon. Khasiat utamanya adalah sebagai penambah nafsu makan, mengatasi alergi, cacingan, disentri, darah kotor, influenza,


(22)

kolera, nyeri lambung, rematik, dan migren. Kedua, lempuyang gajah (Zingiber zerumbet). Cirinya adalah rasa pedas, tajam, dan bersifat hangat. Kandungan zat dan khasiat lempuyang gajah sama dengan lempuyang emprit (Zingiber amaricans). Perbedaan keduanya adalah lempuyang gajah (Zingiber zerumbet) memiliki bentuk yang relatif lebih besar. Ketiga, lempuyang wangi (Zingiber aromaticum). Sifat dari Lempuyang wangi adalah berasa pahit, pedas, dan aromatik. Kandungan zat kimiawinya sama dengan dua spesies lainnya. Perbedaan dengan spesies lempuyang lainnya adalah lempuyang wangi berwarna putih dan berbau wangi. Khasiat lempuyang wangi, antara lain sebagai analgesik, penambah nafsu makan, mengobati asma, cacingan, anemia, sembelit, TBC, maupun malaria (Hariana 2007; Sari 2006).

2.2.2. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

Klasifikasi tanaman sambiloto ialah sambiloto berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Asteridae, ordo Scrophulariales, famili Acanthaceae, genus Andrographis, dan spesies Andrographis paniculata Nees. Tanaman ini Sering ditemukan tumbuh pada dataran rendah dengan ketinggian 100 m dpl. Tingginya berkisar antara 40-90 cm, berdaun tunggal dengan panjang antara 2-8 cm dan lebar 1-3 cm. Buah sambiloto berbentuk lonjong, panjangnya sekitar 1,5 cm dan lebarnya sekitar 0,5 cm. Ciri lain dari sambiloto adalah rasanya yang pahit (Muhlisah 1999). Tanaman sambiloto disajikan pada gambar 1.

Gambar 1. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) (Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?plant=96)


(23)

Sambiloto terbukti memiliki banyak khasiat, antara lain sebagai anti inflamasi, analgesik, antipiretik, antidiabetes, dan antispermatogenik. Selain itu, sambiloto juga dapat berguna untuk menurunkan tekanan darah, menurunkan kontraksi usus, meningkatkan nafsu makan, mencegah kerusakan hati dan jantung, serta sebagai imunomodulator. Penggunaan sambiloto sering diterapkan pada penderita demam, disentri, radang paru-paru, dan penyakit-penyakit lainnya (Setyawati 2009).

Khasiat yang beragam disebabkan oleh kandungan senyawa-senyawa kimia dalam sambiloto. Zat aktif utama yang berkhasiat obat adalah andrografolid yang kadarnya berkisar antara 2,5-4,6% dari berat kering. Kehadiran andrografolid merupakan faktor utama yang menyebabkan rasa sambiloto menjadi pahit. Senyawa lain yang terkandung dalam sambiloto adalah neo-andrografolid, panikulin, damar, asam kersik dan mineral. Mineral utama yang terkandung adalah kalium dengan kadar yang cukup tinggi, kalsium, dan natrium (Setyawati 2009). Senyawa kimia yang terkandung dalam sambiloto disajikan pada gambar 2.

Gambar 2. Senyawa kimia Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) (Sumber: Tipakorn 2002)


(24)

2.2.3. Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)

Kayu manis diklasifikasi berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Magnoliidae, ordo Laurales, famili Lauraceae, genus Cinnamomum, dan spesies Cinnamomum burmannii. Tanaman kayu manis dapat tumbuh hingga ketinggian 2000 m dpl dan tingginya mencapai 15 m. Secara morfologi, batang kayu manis berwarna hijau kecoklatan. Sementara itu, daun kayu manis yang muda berwarna merah dan daun yang tua berwarna hijau. Mahkota bunga berwarna kuning dan buahnya berwarna hijau saat muda, lalu menjadi hitam saat tua (Syukur dan Hernani 2002). Tanaman kayu manis disajikan pada gambar 3.

Gambar 3. Tanaman Kayu Manis (Cinnamomum burmannii) (Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?plant=329)

Bagian kayu manis yang sering digunakan sebagai bahan obat-obatan adalah bagian kulit batang. Bahan obat ini berbau aromatik, berasa pedas dan manis, berbau wangi, dan bersifat hangat. Sifat-sifat tersebut ditimbulkan oleh zat-zat kimia yang terkandung dalamnya. Kayu manis mengandung minyak atsiri hingga mencapai 4% dengan muatan sinamilaldehida, eganol, tarpen, seskuiterpen, dan furfural. Selain itu, terdapat juga kandungan zat penyamak 2%, pati 4%, kalsium oksalat 4%, dan lender 4%. Kandungan tersebut membuat kulit batang kayu manis dapat digunakan untuk karminatifa, penghangat lambung, dan jika dikombinasikan dengan astringensia efektif untuk mengobati diare (Kartasapoetra 2004). Meskipun demikian, ternyata tidak hanya kulit pada bagian batang yang dapat digunakan sebagai bahan


(25)

obat-obatan. Menurut Hariana (2007) daun dan akar kayu manis juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan. Beberapa penyakit lainnya yang dapat diobati dengan bagian-bagian tersebut, antara lain asam urat (gout arthiritis), keropos tulang, hernia, dan muntah-muntah.

2.2.4. Jahe (Zingiber officinale R.)

Jahe diklasifikasi berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, sub kelas Commelinidae, ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, genus Zingiber, spesies Zingiber officinale. Tanaman ini merupakan tanaman herba tegak yang dapat berumur tahunan. Tanaman yang dapat mencapai tinggi 0,4-1 m ini terdiri dari akar, batang, daun, dan bunga. Akar jahe berbentuk rimpang dengan bau yang harum dan berasa pedas. Batang jahe berupa batang semu yang tersusun dari helaian daun yang berbentuk langsing membulat dengan ujung melancip. Sementara itu, bagian Bunga berbentuk kerucut kecil dengan bagian ujung yang melancip (Muhlisah 1999). Tanaman jahe disajikan pada gambar 4.

Gambar 4. Jahe (Zingiber officinale)

(Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?plant=1306)

Jahe berbau aromatik dan berasa pedas. Hal tersebut ditimbulkan oleh zat-zat yang terkandung di dalam jahe. Kandungan zat kimia jahe terdiri atas minyak atsiri 0,5-5,6%, pati 20-60%, damar, asam-asam organik, oleoresin, dan gingerin. Kandungan penyusun minyak atsiri adalah gingerol, zingibetol, zingiberin, borneol, kamfen, sineol dan falandren (Kartasapoetra 2004). Kandungan zat-zat yang tersebut membuat jahe dapat digunakan untuk mengobati rematik, luka, eksim, dan saraf


(26)

muka yang sakit (Muhlisah 1999). Selain itu, jahe juga dapat digunakan untuk mengobati batuk pilek, encok, dan pegal linu (Widiarti 2010).

2.2.5. Merica (Piper nigrum L.)

Merica diklasifikasi berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Magnoliidae, ordo Piperales, famili Piperaceae, genus Piper, dan spesies Piper nigrum. Tanaman yang dikenal juga dengan nama lada ini merupakan komoditas perkebunan yang telah lama dibudidayakan di Indonesia. Daerah pertumbuhannya terutama di wilayah Sumatera, Jawa, dan Ujung pandang. Merica telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai bahan obat-obatan. Bagian dari merica yang utamanya digunakan adalah buah yang telah masak dan kering. Bentuknya bulat telur dengan ujung meruncing, permukaannya keriput, dan berwarna cokelat sampai cokelat kehitaman (Kartasapoetra 2004). Tanaman merica disajikan pada gambar 5.

Gambar 5. Merica (Piper nigrum L.)

(Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?plant=1011)

Merica mengandung zat berkhasiat yang menimbulkan rasa pedas, aromatik, dan berbau khas. Zat-zat tersebut antara lain: alkaloid, protein, mineral, saponin, flavonoid, minyak atsiri, kavisin, resin, amilum, dihidrokarveol, kanyo-filene oksida, kriptone, tran pinocarrol, minyak lada, kamfena, boron, calamine, carvacrol chavicine, bisabolene, camphene, β-caryophyllene, terpenes, dan sesquiterpenes. Hal


(27)

ini membuat merica digunakan sebagai obat demam, masuk angin, rematik, impotensi, sakit lambung, hernia, frigiditas, muntah, panas dalam, perut kembung, asam urat, sakit perut, dan sakit kepala (Hariana 2007).


(28)

BAB

BAHAN DAN METODELOGI

3.1. Waktu dan tempat

Kegiatan penelitian ini berlangsung selama 9 bulan dari bulan Mei 2011 hingga bulan Januari 2012. Pelaksanaan penelitian berlangsung di kandang peternakan milik Mitra Maju yang beralamat di Jl. Manungal Baru No.1, desa Tegalwaru, kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.

3.2. Alat dan bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan USG, timbangan, tambang, selotip, dan marker. Sementara itu, bahan-bahan yang digunakan adalah domba betina berjumlah 9 ekor, jamu veteriner, hormon PGF2 alpha (dinoprost dan tromethamin), vitamin B kompleks, anthelmintik, antibiotik dan selang penanda.

3.3. Kandang, Pakan, dan Minum

Kandang yang digunakan ialah kandang model panggung. Ketinggian kandang kira-kira 50 cm. Desain ini dimaksudkan agar kebersihan kandang relatif lebih terjaga, menekan pertumbuhan mikroorganisme, dan mengurangi paparan gas amoniak. Selanjutnya, pakan diberikan 3 kali dalam sehari, yaitu hijauan pada pagi dan siang hari, serta singkong pada siang hari. Air minum diberikan sacara ad libitum.

3.4. Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan 9 ekor domba betina yang tidak bunting dengan bobot badan berkisar antara 17-25 kg. Domba-domba tersebut diaklimatisasi selama 2 minggu dan diberikan anthelmintik, vitamin B kompleks, dan antibiotik. Hal ini dilakukan untuk menghindari infeksi domba oleh parasit dan bakteri. Selanjutnya, domba dikelompokan dalam 3 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 3 ekor domba. Kelompok pertama bertindak sebagai kontrol (tanpa perlakuan). Kelompok kedua diberi formula jamu veteriner dosis 15 mL/ekor, dan kelompok ketiga formula jamu veteriner 30 mL/ekor.


(29)

3.5. Tahap Perlakuan

Tahap awal perlakuan pada domba adalah sinkronisasi berahi induk domba. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan anak domba dengan umur lahir yang seragam. Agen sinkronisasi yang digunakan adalah PGF2 alpha konsentrasi 5 mg/mL sebanyak 7,5 mg/ekor. Penyuntikan dilakukan sebanyak dua kali dengan interval waktu 11 hari.

Perkawinan induk domba dilakukan sekitar 24-36 jam setelah penyuntikan. Domba yang telah menunjukan gejala estrus, berupa vulva yang terlihat merah, bengkak, dan berlendir. Perkawinan dilakukan dengan perbandingan 2:1. Setiap dua ekor domba betina dikawinkan dengan satu ekor penjantan. Perkawinan dibiarkan terjadi secara alami dalam waktu 48 jam. Setelah dikawinkan, induk domba dipisahkan dari pejantan dan dipelihara dalam kandang secara kelompok sesuai dengan perlakuan. Diagnosis kebuntingan menggunakan peralatan USG dilakukan 40 hari pasca perkawinan. Selanjutnya, pencekokan formula jamu veteriner dilakukan sekali setiap minggu hingga mencapai masa partus.

3.6. Pengukuran Bobot Badan Anak Domba

Domba dipelihara berkelompok sesuai perlakuan selama 5 bulan masa kebuntingan. Menjelang partus, pengamatan induk domba difokuskan pada tanda-tanda kelahiran. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kecelakaan pada anak domba yang akan dilahirkan. Setelah semua domba yang bunting partus, pengukuran bobot badan dilakukan pada kisaran waktu tidak lebih dari 24 jam. Bobot yang didapatkan tersebut merupakan bobot lahir anak domba. Selanjutnya, pengukuran bobot kembali dilakukan setiap bulan hingga anak domba berusia 3 bulan.

3.7. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (Anova) dan dilanjutkan dengan uji Duncan.


(30)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah anak, rataan bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, dan jumlah anak sekelahiran pada kelompok domba kontrol dan perlakuan dengan pemberian jamu veteriner disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah anak, rataan bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, dan jumlah anak sekelahiran pada kelompok domba kontrol dan perlakuan dengan pemberian jamu veteriner.

Parameter Kontrol Dosis 15 Dosis 30

Jumlah anak (ekor) 5 7 6 Rataan bobot lahir 3,11±0,52a 3,78±0,68a 4,10±0,69a (kg)

Total bobot lahir 15,53 26,55 24,55 Per induk (kg)

Rasio anak per 1,67±0,58a 2,33±0,58a 2,00±0,00a Induk

Tingkat kematian 40,00 14,29 0,00 Prasapih (%)

Rataan bobot 11,49±0,47a 13,52±0,49b 13,61±0,75b badan sapih (kg)

Total bobot 34,47 81,14 81,63 badan sapih (kg)

Rasio anak 1,00±1,00 2,00±0,00 2,00±0,00 yang disapih

per induk


(31)

Jumlah anak domba dari yang tertinggi sampai terendah adalah 7, 6, dan 5 masing-masing untuk kelompok dosis 15 mL/ekor, dosis 30 mL/ekor, dan kontrol. Perlakuan pemberian jamu veteriner pada induk setelah 1 bulan kebuntingan tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada peningkatan bobot lahir anak domba dan rasio anak per induk (p>0.05). Meskipun demikian, dengan mengabaikan jumlah anak per kelahiran, pemberian jamu veteriner mampu meningkatkan bobot lahir anak domba sebesar 21,07% (3,11 vs 3,94) dibanding kontrol. Rasio anak per induk pada kelompok yang diberi jamu veteriner juga mengalami peningkatan sebesar 22.92% (1.67 vs 2.16) dibanding kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa anak dari induk dengan pemberian jamu veteriner memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibanding kelompok kontrol. Perkembangan fetus periode prenatal menjadi penentu pertambahan bobot lahir dan pertumbuhan anakan pada periode berikutnya (Adriani et al. 2004).

Peningkatan ini diduga dipengaruhi oleh kandungan kimia yang terdapat dalam bahan-bahan penyusun jamu veteriner, yaitu lempuyang dan kayu manis. Lempuyang diketahui mempunyai khasiat sebagai penambah nafsu makan. Hal ini diduga disebabkan oleh senyawa zerumben, koriofler, kanfersionil. Selain itu, Lempuyang juga diketahui memilki daya antimikroba (Hariana 2007; Sari 2006). Menurut Purwanti et al. (2003) kandungan minyak atsiri yang terdapat dalam lempuyang mengandung senyawa α-caryophyllene yang memiliki aktivitas antimikroba yang sangat kuat. Akibatnya, nafsu makan induk meningkat dan aktivitas mikroorganisme patogen dapat terhambat sehingga berdampak positif bagi kesehatan induk dan fetus. Sementara itu, kayu manis diketahui mempunyai aktivitas dalam memperbaiki sistem peredaran darah dan sebagai antiinflamasi (Wang et al. 2009). Kandungan minyak atsiri kayu manis juga diketahui berkhasiat sebagai penghangat lambung dan efektif untuk antidiare (Kartasapoetra 2004). Efek tersebut diduga berperan penting dalam efisiensi pencernaan induk domba sehingga dapat meningkatkan bobot lahir anak domba.


(32)

Selanjutnya, rataan bobot badan anak (kg) pada awal kelahiran sampai bulan ke-3 pada kelompok domba kontrol dan perlakuan dengan pemberian jamu veteriner disajikan pada Gambar 6.

0 2 4 6 8 10 12 14 16

0 1 2 3

R ataan B o b o t A n ak (K g )

Bulan Pertumbuhan Anak Domba

Gambar 6. Rataan bobot lahir dan bobot badan anak pada bulan ke-1 sampai ke-3 pada kelompok domba kontrol ( ) , pemberian jamu veteriner dosis 15 mL/ekor (■), dan pemberian formula jamu veteriner dosis 30 mL/ekor (▲).

Perlakuan pemberian jamu veteriner pada induk domba terbukti dapat meningkatkan pertambahan bobot badan anak bulan ke-1 sampai bulan ke-3. Pada perlakuan pemberian dosis jamu veteriner 15 mL/ekor terjadi peningkatan bobot badan anak domba bulan ke-1 sampai bulan ke-3 sebesar 23,43% dibandingkan kontrol. Sementara itu, pada perlakuan dosis jamu veteriner 30 mL/ekor terjadi peningkatan bobot badan anak domba bulan ke-1 sampai ke-3 sebesar 12,65% dibandingkan kontrol. Peningkatan ini diduga dipengaruhi oleh asupan susu yang baik dari induk domba. Anak domba sepenuhnya bergantung pada susu induk hingga 7-8 minggu setelah lahir (Devendra & Burn 1994). Produksi susu induk selama laktasi dipengaruhi oleh ketersediaan glukosa dan asetat terutama sebagai sumber energi. Kadar glukosa hanya tinggi saat 1 jam setelah makan dan selanjutnya


(33)

menurun pada minggu ketiga sampai minggu keempat setelah laktasi. Efek ini terjadi lebih tajam pada induk dengan jumlah anak yang banyak (Mege et al.2007; De Blasio et al. 2007). Asupan pakan yang baik menentukan level glukosa dalam darah. Kandungan zerumben yang terdapat dalam jahe (Rapuru 2008) dan Lempuyang (Zingiber) diketahui mampu meningkatkan nafsu makan (Hariana 2007; Sari 2006). Akibat meningkatnya asupan pakan, terjadi peningkatan level glukosa. Sejalan dengan hal tersebut, jamu veteriner juga diduga dapat memperbaiki metabolisme glukosa. kandungan methylhydroxychalcone yang terdapat dalam kayu manis yang diduga menjadi penyebabnya. Hasil penelitian Taylor et al. (2001) berhasil membuktikan bahwa derivate methylhydroxychalcone mempunyai efek kerja yang menyerupai insulin dalam meningkatkan pengambilan glukosa. Hal ini menyebabkan induk domba perlakuan pemberian jamu veteriner yang memiliki rasio anak yang tinggi kemungkinan tetap memiliki produksi susu yang lebih baik dibandingkan kontrol.

Pertambahan bobot badan anak domba dari induk yang diberi jamu veteriner dosis 15 mL/ekor lebih tinggi dibandingkan anak domba dari induk yang diberi jamu veteriner dosis 30 mL/ekor. Peningkatan kadar sambiloto dalam jamu veteriner dosis 30 mL/ekor diduga menjadi penyebab pertambahan bobot badan dosis 30 mL/ekor lebih rendah dari dosis 15 mL/ekor. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ridwan (2006) yang menunjukan bahwa pemberian ekstrak sambiloto dosis rendah lebih baik dalam meningkatkan pertambahan bobot badan dan nilai konversi pakan dibandingkan dosis sedang dan tinggi. Selain itu, konsumsi sambiloto dalam jumlah yang besar juga dapat menyebabkan efek embriotoksik yang berakibat pada hambatan pertumbuhan, malformasi, hingga kematian intrauterin (Setyawati 2009).

Perlakuan pemberian jamu veteriner terbukti menurunkan tingkat kematian

prasapih. Tingkat kematian prasapih dari yang tertinggi ke terendah adalah 40%, 14.29%, dan 0%, masing-masing untuk kelompok kontrol, dosis 15 mL/ekor, dan

dosis 30 mL/ekor. Rasio anak yang disapih per induk juga mengalami peningkatan. Rasio anak yang disapih per induk pada kelompok dosis 15 mL/ekor dan dosis 30 mL/ekor dua kali lebih tinggi dibandingkan kontrol. Sutama et al. (1993) menyatakan


(34)

bahwa tingkat mortalitas berbanding lurus dengan jumlah anak per kelahiran. Tingkat mortalitas meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah anak per kelahiran. Meskipun demikian, jamu veteriner terbukti dapat menekan tingkat mortalitas sekalipun pada jumlah anak per kelahiran yang tinggi. Rasio anak pada kontrol, perlakuan dosis 15 mL/ekor, dan 30 mL/ekor masing-masing adalah 1,67, 2,33, dan 2,00. Hal ini mengindikasikan bahwa jamu veteriner berperan dalam meningkatkan kesehatan induk dan anak. Perpaduan zat-zat yang terdapat dalam jamu veteriner diduga merupakan penyebabnya. Minyak atsiri Lempuyang diketahui mengandung senyawa α-caryophyllene. Senyawa ini memiliki aktivitas antimikroba yang sangat kuat (Purwanti et al. 2003). Selain itu, Jahe diketahui memiliki potensi sebagai antikanker dan antiinflamasi. Khasiat ini ditimbulkan oleh kurkuminoid yang terkandung dalam jahe (Suhirman et al. 2006). Senyawa-senyawa berkhasiat tersebut diduga berperan dalam meningkatkan kesehatan fetus selama periode prenatal, postnatal, dan periode pertumbuhan.

Rataan bobot sapih anak domba pada kelompok kontrol, pemberian jamu veteriner dosis 15 mL/ekor, dan 30 mL/ekor berturut-turut ialah 11,49 kg, 13,52 kg, dan 13.61 kg. Secara statistik rataan bobot sapih kelompok anak domba dengan pemberian jamu veteriner berbeda nyata dibandingkan kontrol (p<0,05). Sejalan dengan data tersebut, total bobot sapih anak domba pada kelompok domba dengan pemberian jamu veteriner juga mengalami peningkatan. Total bobot sapih anak domba dengan pemberian jamu veteriner dosis 15 mL/ekor lebih tinggi 57,52 % dibandingkan kontrol. Sementara itu, pada kelompok jamu veteriner 30 mL/ekor total bobot sapih lebih tinggi 47,16 %. Hal ini diduga merupakan pengaruh dari sambiloto yang tetap bertahan hingga masa sapih. Sambiloto diketahui mempunyai daya antibakteri untuk mencegah diare. Tipakorn (2002) berhasil membuktikan daya antidiare dari zat aktif utama sambiloto, yaitu andrografolidolid. Efek lain dari androgrofolid adalah menekan nilai konversi pakan sehingga dapat meningkatkan bobot badan (Ridwan 2006). Hal ini sejalan dengan Rasyaf (1999) yang menyatakan bahwa nilai konversi pakan yang rendah mengindikasikan efisiensi pakan yang semakin baik. Efisiensi pakan yang baik akan semakin meningkatkan bobot badan


(35)

anak domba. Selain itu, peningkatan bobot sapih juga diduga akibat efek dari merica dalam jamu veteriner. Merica mengandung Piperine (1-piperoylpiperidine) yang diduga dapat meningkatkan metabolisme dan laju absorbsi nutrisi anak domba (Szallasi 2005).


(36)

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Pemberian jamu veteriner pada induk domba selama periode kebuntingan cenderung meningkatkan bobot lahir anak domba. Selain itu, pemberian jamu veteriner juga terbukti dapat meningkatkan rasio anak per induk dan pertambahan bobot badan anak domba hingga mencapai masa sapih.

5.2. Saran

Penelitian lanjutan perlu dilakukan, terutama untuk mengetahui senyawa aktif dalam jamu veteriner yang mempengaruhi pertambahan bobot badan anak domba.


(37)

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Adriani, Sudono A, Sutardi T, Sutama IK, Manalu W. 2004. Pengaruh Superovulasi dan Suplementasi Mineral Seng dalam Ransum pada Induk Kambing

Terhadap Pertumbuhan Anaknya. J. Indon.Trop.Anim.Agric. 29: 177-183. Adriani, Rosadi B, Depison. 2008. Jumlah dan Kualitas Embrio Sapi Brahman Cross

Setelah Pemberian Hormon FSH dan PMSG. Animal Production 11: 96-102. Adriani, Sutama IK, Sudono A, Sutardi T, Manalu W. 2004. Pengaruh Superovulasi

Sebelum Perkawinan dan Suplementasi Seng Terhadap Produksi Susu Kambing Peranakan Etawah. Animal Production 6: 86-94

Adriani, Sudono A, Sutardi T, Manalu W, Sutama IK. 2007. Pertumbuhan Prenatal dalam Kandungan Kambing Melalui Superovulasi. Journal of Biosciences 14: 44-48.

Anonim. 2012. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) [terhubung berkala].

http://www.plantamor.com/index.php?plant=96 [11 Juli 2012].

Anonim. 2012. Kayu Manis (Cinnamomum burmannii) [terhubung berkala]. http://www.plantamor.com/index.php?plant=329 [11 Juli 2012].

Anonim. 2012. Jahe (Zingiber officinale) [terhubung berkala]. http://www.plantamor.

com/index.php?plant=1306 [11 Juli 2012].

Anonim. 2012. Merica (Piper nigrum L.) [terhubung berkala]. http://www.plantamor. com/index.php?plant=1011 [11 Juli 2012].

AR Setyawan et al. 2008. Selisih Proporsi Daging, Lemak, dan Tulang Domba Ekor Tipis yang Diberi Pakan untuk Hidup Pokok dan Produksi. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, 11-12 Nopember 2008. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm 395-399.

[BPS]. 2010. Statistics Indonesia [terhubung berkala]. http://www.bps.go.id/ [8 Oktober 2011]

De Blasio, M Dodic, A J Jefferies, K M Moritz, E M Wintour, J A Owens. 2007. Maternal Exposure to Dexamethasone or Cortisol in Early Pregnancy


(38)

Differentially Alters Insulin Secretion and Glukosa Homeostasis in Adult Male Sheep Offspring. J. Physiol. Endocrinol and Metob. 293(1). 75-82. Devendra C, Burn M. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Bandung: Penerbit

ITB.

Duldjaman M, Wiradaryaa T R, Muttaqinb M I H. 2006. Daya Pintal dan Kekuatan Benang Bulu Domba Priangan dan Peranakan Merino. Media Peternakan 29: 187-192.

Guyton AC, Hall JE. 1997. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Karamia M, Alimona A R, Gohb Y M. 2011. Effect of vitamin E, Andrographis

paniculata and turmeric as dietary antioxidant supplementation on lipid and color stability of goat meat. Small Ruminant Research 97: 67–71.

Kartasapoetra G. 2004. Budidaya Tanaman Berkhasiat Obat. Jakarta: Rineka Cipta Hariana A. 2007. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya seri 2. Jakarta: Penebar Swadaya Manalu W, Sumaryadi MW, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000. Effect of

Superovulation Prior to Mating on Milk Production Performance During Lactation in Ewes. Journal of Dairy Science 83: 477-483.

Mege RA, Manalu W, Kusumorini N, Nasution SH. 200 . Konsentrasi Hormon Tiroid dan Metabolit Darah Induk Babi Disuperovulasi Sebelum Perkawinan. Animal Production 11: 88-95

Mege RA, Nasution SH, Kusumorini N, Manalu W. 2007. Pertumbuhan dan Perkembangan Uterus dan Plasenta Babi dengan Superovulasi. Journal of Biosciences 14:1-6.

Muhlisah F. 1999. Taman Obat Keluarga. Jakarta: Penebar Swadaya.

Mulyono S. 2003. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Jakarta: Penebar Swadaya.

Munier FF. 2008. Pertambahan Bobot Hidup Harian Anak Domba Ekor Gemuk (DEG) yang Diberikan Pakan Tambahan Leguminosa. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, 11-12 Nopember 2008. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm 456-462.


(39)

paniculata Ness) yang Diekstraksi dengan Air dan Dievaporasi dan Gambaran Differensial Leukosit pada Ayam yang Diinfeksi Eimeria tenella [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Purwanti, Suranto, Setyaningsih R. 2003. Potensi Penghambatan Minyak Atsiri dan Ekstrak Kasar Rimpang Lempuyang (Zingiber spp.) terhadap Pertumbuhan Fusarium oxysporum Schlecht f.sp. cubense. Biofarmasi 1 (2): 58-64. Rasyaf M. 1999. Beternak Ayam Pedaging. Jakarta: Penebar Swadaya.

Rapuru S K. 2008. Chemical Composition and Anti-proliferative Activity of Several Medicinal Plants [Thesis]. Greensboro: The Faculty of The Graduate School at The University of North Carolina at Greensboro.

Ridwan A. 2006. Pengaruh Pemberian Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dengan Pelarut Air Terhadap Pertambahan Bobot Badan dan

Konversi Pakan Ayam Pedaging yang Diinfeksi Eimeria tenella [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Salamena J F. 2006. Karakterisasi fenotipik domba Kisar di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Propinsi Maluku sebagai langkah awal konservasi dan

pengembangannya [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sari L. 2006. Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan Manfaat dan Keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian 1: 01-07.

Setyawati I. 2009. Morfologi Fetus Mencit (Mus musculus L.) Setelah Pemberian Ekstrak Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Jurnal BiologiXIII (2) :41-44.

Suhirman S, Hernani, Syukur C. 2006. Uji Toksisitas Ekstrak Lempuyang Gajah (Zingiber zerumbet) terhadap Larva Udang (Artemia salina Leach.). Bul. Littro XVII (1): 30-38.

Sutama I K I G, Putu, M W Tomaszewska. 1993. Peningkatan Produktivitas Ternak Ruminansia Kecil Melalui Sifat Reproduksi yang Lebih Efisien. Dalam: Reproduksi Kambing dan Domba di Indonesia. Surakarta: Universitas Negeri Sebelas Maret Press.


(40)

Syukur C, Hernani. 2002. Budi Daya Tanaman Obat Komersial. Jakarta: Penebar Swadaya.

Taylor K J, Anderson R A, Graves D J. 2001. A Hydroxychalcone Derived from Cinnamon Functions as a Mimetic for Insulin in 3T3-L1 Adipocytes. Journal of the American College of Nutrition 20 (4): 327–336.

Tipakorn N. 2002. Effects of Andrographis paniculata (Burm. F.) Nees on Performance, Mortality and Coccidiosis in Broiler Chickens [disertasi]. Göttingen: Faculty of Agricultural Sciences, Georg-August-University. Wang Rui, Wang Ruijiang, Bao Yang. 2009. Extraction of Essential Oils from Five

Cinnamon Leaves and Identification of Their Volatile Compound

Compositions. Innovative Food Science and Emerging Technologies 10: 289–

292.

Widiarti T. 2010. Mengenal Tanaman dan Khasiatnya. Surabaya: Arkola. Williamson G, Payne WJA. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.

Darmadja SD, penerjemah; Djagra IB, editor. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to Animal Husbandry in The Tropics, Third Edition.

Zainuddin D. 2006. Tanaman Obat Meningkatkan Efisiensi Pakan dan Kesehatan Ternak Unggas. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing. Bogor: Balai Penelitian Ternak. Hlm 202-209.

Szallasi A. 2005. Piperine: Researches Discover New Flavor in an Ancient Spice.


(41)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis bulan ke-0

Oneway

Descriptives

Bobot

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

Kontrol 5 3.1060 .51471 .23019 2.4669 3.7451 2.31 3.57

D1 7 3.7929 .67510 .25516 3.1685 4.4172 2.89 4.67

D2 6 4.0917 .68924 .28138 3.3683 4.8150 3.22 5.27

Total 18 3.7017 .72414 .17068 3.3416 4.0618 2.31 5.27

Test of Homogeneity of Variances

Bobot

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.441 2 15 .652

ANOVA

Bobot

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 2.745 2 1.372 3.337 .063

Within Groups 6.170 15 .411


(42)

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Dependent Variable:Bobot

(I) Perlakuan

(J)

Perlakuan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

LSD Kontrol D1 -.68686 .37552 .087 -1.4873 .1136

D2 -.98567* .38834 .023 -1.8134 -.1579

D1 Kontrol .68686 .37552 .087 -.1136 1.4873

D2 -.29881 .35680 .415 -1.0593 .4617

D2 Kontrol .98567* .38834 .023 .1579 1.8134

D1 .29881 .35680 .415 -.4617 1.0593

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets Bobot

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Duncana Kontrol 5 3.1060

D1 7 3.7929 3.7929

D2 6 4.0917

Sig. .086 .437

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(43)

Lampiran 2. Analisis bulan ke-1

Oneway

Descriptives

Bobot

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

Kontrol 4 5.7275 .53275 .26638 4.8798 6.5752 5.22 6.36

D15 7 5.9971 .70545 .26663 5.3447 6.6496 5.21 7.22

D30 6 7.0167 .75067 .30646 6.2289 7.8044 6.23 8.21

Total 17 6.2935 .85473 .20730 5.8541 6.7330 5.21 8.21

Test of Homogeneity of Variances

Bobot

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.324 2 14 .728

ANOVA

Bobot

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 5.034 2 2.517 5.295 .019

Within Groups 6.655 14 .475


(44)

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Dependent Variable:Bobot

(I) Perlakuan

(J)

Perlakuan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

LSD Kontrol D15 -.26964 .43214 .543 -1.1965 .6572

D30 -1.28917* .44504 .012 -2.2437 -.3346

D15 Kontrol .26964 .43214 .543 -.6572 1.1965

D30 -1.01952* .38358 .019 -1.8422 -.1968

D30 Kontrol 1.28917* .44504 .012 .3346 2.2437

D15 1.01952* .38358 .019 .1968 1.8422

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets Bobot

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Duncana Kontrol 4 5.7275

D15 7 5.9971

D30 6 7.0167

Sig. .532 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(45)

Lampiran 3. Analisis bulan ke-2

Oneway

Descriptives

Bobot

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

Kontrol 3 8.0367 .75195 .43414 6.1687 9.9046 7.21 8.68

D15 6 8.4983 .74938 .30593 7.7119 9.2848 7.21 9.22

D30 6 9.3817 .58301 .23801 8.7698 9.9935 8.57 10.23

Total 15 8.7593 .84251 .21753 8.2928 9.2259 7.21 10.23

Test of Homogeneity of Variances

Bobot

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.092 2 12 .913

ANOVA

Bobot

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 4.299 2 2.150 4.575 .033

Within Groups 5.638 12 .470


(46)

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Dependent Variable:Bobot

(I) Perlakuan

(J)

Perlakuan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

LSD Kontrol D15 -.46167 .48469 .360 -1.5177 .5944

D30 -1.34500* .48469 .017 -2.4011 -.2889

D15 Kontrol .46167 .48469 .360 -.5944 1.5177

D30 -.88333* .39575 .045 -1.7456 -.0211

D30 Kontrol 1.34500* .48469 .017 .2889 2.4011

D15 .88333* .39575 .045 .0211 1.7456

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets Bobot

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Duncana Kontrol 3 8.0367

D15 6 8.4983 8.4983

D30 6 9.3817

Sig. .332 .077

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(47)

Lampiran 4. Analisis bulan ke-3 Oneway

Descriptives

Bobot

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

Kontrol 3 11.4900 .46776 .27006 10.3280 12.6520 11.21 12.03

D1 6 13.5233 .49472 .20197 13.0042 14.0425 13.22 14.50

D2 6 13.6050 .75081 .30652 12.8171 14.3929 12.57 14.28

Total 15 13.1493 1.02905 .26570 12.5795 13.7192 11.21 14.50

Test of Homogeneity of Variances

Bobot

Levene Statistic df1 df2 Sig.

1.865 2 12 .197

ANOVA

Bobot

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 10.345 2 5.173 13.856 .001

Within Groups 4.480 12 .373


(48)

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Dependent Variable:Bobot

(I) Perlakuan

(J)

Perlakuan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

LSD Kontrol D1 -2.03333* .43204 .001 -2.9747 -1.0920

D2 -2.11500* .43204 .000 -3.0563 -1.1737

D1 Kontrol 2.03333* .43204 .001 1.0920 2.9747

D2 -.08167 .35276 .821 -.8503 .6869

D2 Kontrol 2.11500* .43204 .000 1.1737 3.0563

D1 .08167 .35276 .821 -.6869 .8503

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets Bobot

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Duncana Kontrol 3 11.4900

D1 6 13.5233

D2 6 13.6050

Sig. 1.000 .844

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(49)

Lampiran 5. Analisis rasio anak per induk awal kelahiran

Oneway

Descriptives

Bobot

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

Kontrol 3 11.4900 .46776 .27006 10.3280 12.6520 11.21 12.03

D1 6 13.5233 .49472 .20197 13.0042 14.0425 13.22 14.50

D2 6 13.6050 .75081 .30652 12.8171 14.3929 12.57 14.28

Total 15 13.1493 1.02905 .26570 12.5795 13.7192 11.21 14.50

Test of Homogeneity of Variances

Bobot

Levene Statistic df1 df2 Sig.

1.865 2 12 .197

ANOVA

Bobot

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 10.345 2 5.173 13.856 .001

Within Groups 4.480 12 .373


(50)

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Dependent Variable:Bobot

(I) Perlakuan

(J)

Perlakuan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

LSD Kontrol D1 -2.03333* .43204 .001 -2.9747 -1.0920

D2 -2.11500* .43204 .000 -3.0563 -1.1737

D1 Kontrol 2.03333* .43204 .001 1.0920 2.9747

D2 -.08167 .35276 .821 -.8503 .6869

D2 Kontrol 2.11500* .43204 .000 1.1737 3.0563

D1 .08167 .35276 .821 -.6869 .8503

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets Bobot

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Duncana Kontrol 3 11.4900

D1 6 13.5233

D2 6 13.6050

Sig. 1.000 .844

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(51)

Lampiran 6. Analisis rasio anak yang disapih per induk

Oneway

Descriptives

Anak

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

Kontrol 3 1.6667 .57735 .33333 .2324 3.1009 1.00 2.00

D1 3 2.3333 .57735 .33333 .8991 3.7676 2.00 3.00

D2 3 2.0000 .00000 .00000 2.0000 2.0000 2.00 2.00

Total 9 2.0000 .50000 .16667 1.6157 2.3843 1.00 3.00

Test of Homogeneity of Variances

Anak

Levene Statistic df1 df2 Sig.

8.000 2 6 .020

ANOVA

Anak

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .667 2 .333 1.500 .296

Within Groups 1.333 6 .222


(52)

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Dependent Variable:Anak

(I) Perlakuan

(J)

Perlakuan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

LSD Kontrol D1 -.66667 .38490 .134 -1.6085 .2752

D2 -.33333 .38490 .420 -1.2752 .6085

D1 Kontrol .66667 .38490 .134 -.2752 1.6085

D2 .33333 .38490 .420 -.6085 1.2752

D2 Kontrol .33333 .38490 .420 -.6085 1.2752

D1 -.33333 .38490 .420 -1.2752 .6085

Homogeneous Subsets Anak

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1

Duncana Kontrol 3 1.6667

D2 3 2.0000

D1 3 2.3333

Sig. .145

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(53)

Lampiran 7. Data Rataan Bobot Badan Anak Domba

Kelompok Perlakuan

Rataan Bobot Badan

Bulan ke-0 Bulan ke-1 Bulan ke-2 Bulan ke-3

Kontrol 3,11±0,52 5,73±2,60 8,04±4,43 11,49±6,30

Dosis 15 mL/ekor

3,78±0,68 5,99±0,70 8,50±3,28 13,52±5,13

Dosis 30 mL/ekor

4,10±0,69 7,02±0,75 9,38±0,58 13,61±0,75

Lampiran 8. Data Rataan Bobot Badan Induk Domba Sebelum Partus

Kelompok Perlakuan

Rataan Bobot Badan

Bulan ke-3 Bulan ke-4 Bulan ke-5

Kontrol 19,90±2,98 19,93±3,99 19,40±1,65

Dosis 15 mL/ekor 25,13±3,87 25,67±3,75 28,43±3,78

Dosis 30 mL/ekor 22,70±1,58 22,23±1,09 25,78±0,87


(54)

BAB

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia adalah sebesar 1,49% per tahun (BPS 2010). Pertumbuhan penduduk yang cepat menyebabkan terjadinya peningkatan komsumsi protein hewani. Salah satu sumber protein hewani dengan jumlah permintaan yang tinggi ialah daging domba. Penyebab tingginya permintaan daging domba adalah harga daging domba relatif lebih terjangkau oleh masyarakat. Selain itu, secara fisik daging domba memiliki sebaran lemak (marbling) yang merata, sehingga lebih disukai masyarakat (Munier 2008). Tingginya tingkat permintaan daging domba tersebut, ternyata tidak disertai peningkatan populasi ternak domba. Akibatnya, permintaan daging domba tidak tercukupi. Solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pengembangan sistem peternakan ke arah peningkatan produktivitas ternak. Ternak diharapkan mudah dalam pemeliharaannya dan dapat bereproduksi dengan cepat (Adriani et al. 2004).

Peningkatan produktivitas ternak dapat dicapai melalui pemberian obat-obatan tradisional. Pengetahuan mengenai penggunaan obat-obatan tradisional ini didapatkan berdasarkan pengalaman dan ketrampilan yang diturunkan secara turun-temurun antar generasi (Sari 2006). Obat-obatan tradisional yang digunakan untuk hewan dikenal dengan nama jamu hewan. Penggunaanya lebih banyak diterapkan oleh peternak skala kecil karena bahan obat-obatan pabrik yang mahal sehingga sering tidak terjangkau (Zainuddin 2006).

Beberapa tanaman yang sering digunakan oleh peternak untuk memacu produktivitas ternak, antara lain: lempuyang (zingiber), sambiloto (Andrographis panniculata), kayu manis (cinnamomum burmannii), jahe (Zingiber officinale), dan merica (Piper nigrum). Khasiat tanaman-tanaman tersebut banyak dan beragam. Lempuyang dipercaya berkhasiat sebagai penambah nafsu makan, obat asma, cacingan, anemia, sembelit, malaria, dan TBC (Hariana 2007; Sari 2006). Sambiloto


(55)

dipercaya dapat meningkatkan nafsu makan, mengobati demam, disentri, dan sebagai imunomodulator (Setyawati 2009). Kayu manis dipercaya dapat mengobati asam urat (gout arthritis), keropos tulang, hernia, dan muntah-muntah (Hariana 2007). Jahe dipercaya dapat meningkatkan nafsu makan, mengobati rematik, luka, pilek, encok, dan pegal linu (Muhlisah 1999; Widiarti 2010). Sementara itu, merica dipercaya sebagai obat demam, rematik, impotensi, sakit lambung, hernia, frigiditas, muntah, panas dalam, perut kembung, asam urat, sakit perut, dan sakit kepala (Hariana 2007).

Kombinasi dari tanaman-tanaman tersebut diatas akan menghasilkan ramuan jamu veteriner yang dapat digunakan memacu produktivitas ternak. Harapannya, pemberian sediaan yang berasal dari kekayaan budaya lokal bangsa Indonesia ini, dapat memacu pertumbuhan fetus yang diukur dari pertambahan bobot anak domba.

1.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pertumbuhan anak domba dari induk yang dicekok jamu veteriner selama periode kebuntingan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan informasi ilmiah mengenai penggunaan jamu veteriner sebagai pemacu produktivitas ternak.

1.3. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi alternatif bagi peternak untuk menggunakan bahan obat-obatan tradisional dalam meningkatkan pertumbuhan domba, sehingga pada masa yang akan datang dapat bermanfaat dalam meningkatkan produksi daging domba lokal. Harapannya produktivitas ternak yang meningkat akan memberikan sumbangsih berarti bagi pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat.


(56)

BAB

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Domba

Domba merupakan salah satu hewan ternak yang banyak dikembangkan oleh masyarakat. Pemeliharaannya relatif mudah dan tidak membutuhkan banyak tenaga, sehingga ternak domba diusahakan sebagai sambilan. Domba juga memiliki daya adaptasi yang baik terhadap bermacam-macam hijauan pakan dan berbagai kondisi lingkungan (Mulyono 2003). Daging domba tidak berbau dan sebaran lemaknya (Marbling) merata membuat daging ini disukai oleh masyarakat (Munier 2008).

Perkembangan bangsa domba di dunia, awalnya berasal dari empat spesies domba liar. Spesies-spesies tersebut, ialah: domba moufflon (Ovis musimon) di Eropa dan Asia Barat, domba Urial (Ovis orientalis; Ovis vignei) di Afganistan hingga Asia Barat, domba Argali (Ovis ammon) di Asia Tengah, dan domba bighorn (Ovis canadensis) di Asia Utara dan Amerika Utara. Domba yang ada di Indonesia diperkirakan berasal dari Asia Barat dan India (Williamson dan Payne 1993). Jenis domba yang diternakan di Indonesia, kemudian dikenal dengan istilah domba lokal. Pada awalnya, jenis domba di Indonesia adalah domba Javanese-Thin-Tailed yang terdapat di Jawa Barat dan East-Java-Fat-Tailed yang terdapat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Selanjutnya, kedua tipe domba lokal tersebut menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Proses persilangan dan adaptasi terhadap lingkungan kemudian memunculkan jenis domba baru, yaitu domba priangan atau domba garut dan domba kisar. Domba garut merupakan hasil persilangan domba lokal dengan domba Merino dan Kaapstad (Duldjaman et al. 2006). Sedangkan domba kisar diduga merupakan hasil proses adaptasi domba ekor gemuk terhadap lingkungan di Maluku (Salamena 2006).

Domba ekor tipis atau Javanese-Thin-Tailed merupakan domba asli Indonesia dengan populasi terbesar berada di pulau Jawa. Populasi yang terpusat di Jawa membuat domba ini dikenal juga dengan nama domba jawa atau domba kacang. Nama domba ekor tipis mengacu pada ciri fisik ekor domba, yaitu kecil dan tipis. Ciri


(57)

lain dari domba ekor tipis adalah rambut domba yang umunya berwarna putih, kadang-kadang diselingi warna lain, seperti belang hitam atau cokelat. Domba betina umumnya tidak bertanduk, sedangkan domba jantan bertanduk kecil dan bentuknya melingkar. Bobot badan domba jantan dewasa berkisar 30 sampai dengan 40 kg, sedangkan bobot domba betina berkisar 15 sampai dengan 20 kg. Selain domba ekor tipis, domba lainnya yang banyak diternakan di Indonesia adalah domba ekor gemuk atau East-Java-Fat-Tailed. Sama seperti domba ekor tipis, ciri fisik utama dari domba ekor gemuk terletak pada ekornya. Ekor domba ini berbentuk panjang, lebar, tebal, besar, dan makin mengecil pada bagian ujung. Bentuk tersebut dikarenakan adanya timbunan lemak, yang berfungsi sebagai cadangan energi domba. Ciri lainnya adalah warna rambut domba yang umumnya putih dan tidak mempunyai tanduk, baik itu domba jantan maupun domba betina. Bobot badan domba jantan berkisar antara 50-70 kg, sedangkan domba betina berkisar antara 25-40 kg.

Persilangan domba lokal dengan domba luar menghasilkan jenis domba lain, yaitu domba priangan. Domba ini berasal dari Kabupaten Garut, Jawa Barat sehingga dikenal juga dengan nama domba garut. Ciri fisik domba garut lebih besar dibandingkan domba ekor tipis dan domba ekor gemuk. Bobot badan domba jantan dewasa dapat mencapai 60-80 kg, sedangkan domba betina berkisar 30-40 kg. Ciri lainnya adalah daun telinga yang relatif kecil dan tanduk berukuran besar, yang hanya tumbuh pada domba jantan. Jenis domba luar yang dikembangkan di Indonesia, antara lain: domba merino, domba suffolk, dan domba dorset. Domba merino merupakan penghasil wol, dengan obot badan jantan dewasa berkisar antara 64-79 kg dan domba betina antara 45-75 kg. Domba suffolk merupakan domba pedaging, dengan bobot badan jantan mencapai 135-200 kg dan betina 100-150 kg. Sayangnya, bobot badan domba ini jika dikembangkan di Indonesia hanya dapat mencapai 60-80 kg. Berbeda dengan domba merino dan domba suffolk, domba dorset dapat dimanfaatkan sebagai penghasil wol maupun penghasil daging. Bobot badan domba jantan mencapai 100-125 kg dan domba betina 70-90 kg (Mulyono 2003).


(58)

2.2. Jamu Veteriner

Indonesia merupakan negara yang kaya akan bermacam-macam tanaman obat tradisional. Penggunaan obat-obatan tradisional untuk menyembuhkan penyakit ataupun sebagai suplemen telah dilakukan sejak lama. Pengalaman empiris masyarakat tentang khasiat obat-obatan tradisional kemudian diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini membuat penggunaan obat-obatan ini tetap bertahan hingga sekarang. Beberapa tumbuhan yang diketahui mempunyai khasiat sebagai sumber obat-obatan tradisional antara lain: lempuyang (zingiber), sambiloto (Andrographis paniculata), kayu manis (Cinnamomum burmannii), jahe (Zingiber officinale), dan merica (Piper nigrum). Kombinasi dari tumbuhan-tumbuhan ini akan menghasilkan ramuan jamu veteriner yang dapat digunakan sebagai suplemen pada ternak.

2.2.1. Lempuyang

Klasifikasi tanaman lempuyang ialah lempuyang berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, sub kelas Commelinidae, ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, genus Zingiber, dan terdiri dari 3 spesies, yaitu: Zingiber aromaticum Val., Zingiber americans, dan Zingiber zerumbet Smith. Tanaman ini merupakan tumbuhan tahunan yang tumbuh liar pada tempat dengan ketinggian 0-1.200 m dpl. Tanaman yang dapat mencapai ketinggian 1,75 m ini, terdiri atas rimpang, batang, daun, dan bunga. Rimpang lempuyang berukuran besar dan berwarna kuning pucat. Batangnya merupakan batang semu yang terdiri atas helaian daun yang berbentuk bulat memanjang dengan ujung meruncing. Sementara itu, bunga lempuyang muncul dari umbi batang dan berbonggol di bagian atas (Muhlisah 1999).

Lempuyang terdiri dari tiga spesies yang sulit dibedakan satu dengan yang lainnya. Pertama, Lempuyang emprit (Zingiber amaricans). Ciri spesies ini adalah berasa pahit, pedas, dan baunnya tidak tajam. Lempunyang emprit mengandung minyak atsiri, diantaranya limonen dan zerumbon. Khasiat utamanya adalah sebagai penambah nafsu makan, mengatasi alergi, cacingan, disentri, darah kotor, influenza,


(59)

kolera, nyeri lambung, rematik, dan migren. Kedua, lempuyang gajah (Zingiber zerumbet). Cirinya adalah rasa pedas, tajam, dan bersifat hangat. Kandungan zat dan khasiat lempuyang gajah sama dengan lempuyang emprit (Zingiber amaricans). Perbedaan keduanya adalah lempuyang gajah (Zingiber zerumbet) memiliki bentuk yang relatif lebih besar. Ketiga, lempuyang wangi (Zingiber aromaticum). Sifat dari Lempuyang wangi adalah berasa pahit, pedas, dan aromatik. Kandungan zat kimiawinya sama dengan dua spesies lainnya. Perbedaan dengan spesies lempuyang lainnya adalah lempuyang wangi berwarna putih dan berbau wangi. Khasiat lempuyang wangi, antara lain sebagai analgesik, penambah nafsu makan, mengobati asma, cacingan, anemia, sembelit, TBC, maupun malaria (Hariana 2007; Sari 2006).

2.2.2. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

Klasifikasi tanaman sambiloto ialah sambiloto berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Asteridae, ordo Scrophulariales, famili Acanthaceae, genus Andrographis, dan spesies Andrographis paniculata Nees. Tanaman ini Sering ditemukan tumbuh pada dataran rendah dengan ketinggian 100 m dpl. Tingginya berkisar antara 40-90 cm, berdaun tunggal dengan panjang antara 2-8 cm dan lebar 1-3 cm. Buah sambiloto berbentuk lonjong, panjangnya sekitar 1,5 cm dan lebarnya sekitar 0,5 cm. Ciri lain dari sambiloto adalah rasanya yang pahit (Muhlisah 1999). Tanaman sambiloto disajikan pada gambar 1.

Gambar 1. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) (Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?plant=96)


(60)

Sambiloto terbukti memiliki banyak khasiat, antara lain sebagai anti inflamasi, analgesik, antipiretik, antidiabetes, dan antispermatogenik. Selain itu, sambiloto juga dapat berguna untuk menurunkan tekanan darah, menurunkan kontraksi usus, meningkatkan nafsu makan, mencegah kerusakan hati dan jantung, serta sebagai imunomodulator. Penggunaan sambiloto sering diterapkan pada penderita demam, disentri, radang paru-paru, dan penyakit-penyakit lainnya (Setyawati 2009).

Khasiat yang beragam disebabkan oleh kandungan senyawa-senyawa kimia dalam sambiloto. Zat aktif utama yang berkhasiat obat adalah andrografolid yang kadarnya berkisar antara 2,5-4,6% dari berat kering. Kehadiran andrografolid merupakan faktor utama yang menyebabkan rasa sambiloto menjadi pahit. Senyawa lain yang terkandung dalam sambiloto adalah neo-andrografolid, panikulin, damar, asam kersik dan mineral. Mineral utama yang terkandung adalah kalium dengan kadar yang cukup tinggi, kalsium, dan natrium (Setyawati 2009). Senyawa kimia yang terkandung dalam sambiloto disajikan pada gambar 2.

Gambar 2. Senyawa kimia Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) (Sumber: Tipakorn 2002)


(61)

2.2.3. Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)

Kayu manis diklasifikasi berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Magnoliidae, ordo Laurales, famili Lauraceae, genus Cinnamomum, dan spesies Cinnamomum burmannii. Tanaman kayu manis dapat tumbuh hingga ketinggian 2000 m dpl dan tingginya mencapai 15 m. Secara morfologi, batang kayu manis berwarna hijau kecoklatan. Sementara itu, daun kayu manis yang muda berwarna merah dan daun yang tua berwarna hijau. Mahkota bunga berwarna kuning dan buahnya berwarna hijau saat muda, lalu menjadi hitam saat tua (Syukur dan Hernani 2002). Tanaman kayu manis disajikan pada gambar 3.

Gambar 3. Tanaman Kayu Manis (Cinnamomum burmannii) (Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?plant=329)

Bagian kayu manis yang sering digunakan sebagai bahan obat-obatan adalah bagian kulit batang. Bahan obat ini berbau aromatik, berasa pedas dan manis, berbau wangi, dan bersifat hangat. Sifat-sifat tersebut ditimbulkan oleh zat-zat kimia yang terkandung dalamnya. Kayu manis mengandung minyak atsiri hingga mencapai 4% dengan muatan sinamilaldehida, eganol, tarpen, seskuiterpen, dan furfural. Selain itu, terdapat juga kandungan zat penyamak 2%, pati 4%, kalsium oksalat 4%, dan lender 4%. Kandungan tersebut membuat kulit batang kayu manis dapat digunakan untuk karminatifa, penghangat lambung, dan jika dikombinasikan dengan astringensia efektif untuk mengobati diare (Kartasapoetra 2004). Meskipun demikian, ternyata tidak hanya kulit pada bagian batang yang dapat digunakan sebagai bahan


(62)

obat-obatan. Menurut Hariana (2007) daun dan akar kayu manis juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan. Beberapa penyakit lainnya yang dapat diobati dengan bagian-bagian tersebut, antara lain asam urat (gout arthiritis), keropos tulang, hernia, dan muntah-muntah.

2.2.4. Jahe (Zingiber officinale R.)

Jahe diklasifikasi berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, sub kelas Commelinidae, ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, genus Zingiber, spesies Zingiber officinale. Tanaman ini merupakan tanaman herba tegak yang dapat berumur tahunan. Tanaman yang dapat mencapai tinggi 0,4-1 m ini terdiri dari akar, batang, daun, dan bunga. Akar jahe berbentuk rimpang dengan bau yang harum dan berasa pedas. Batang jahe berupa batang semu yang tersusun dari helaian daun yang berbentuk langsing membulat dengan ujung melancip. Sementara itu, bagian Bunga berbentuk kerucut kecil dengan bagian ujung yang melancip (Muhlisah 1999). Tanaman jahe disajikan pada gambar 4.

Gambar 4. Jahe (Zingiber officinale)

(Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?plant=1306)

Jahe berbau aromatik dan berasa pedas. Hal tersebut ditimbulkan oleh zat-zat yang terkandung di dalam jahe. Kandungan zat kimia jahe terdiri atas minyak atsiri 0,5-5,6%, pati 20-60%, damar, asam-asam organik, oleoresin, dan gingerin. Kandungan penyusun minyak atsiri adalah gingerol, zingibetol, zingiberin, borneol, kamfen, sineol dan falandren (Kartasapoetra 2004). Kandungan zat-zat yang tersebut membuat jahe dapat digunakan untuk mengobati rematik, luka, eksim, dan saraf


(63)

muka yang sakit (Muhlisah 1999). Selain itu, jahe juga dapat digunakan untuk mengobati batuk pilek, encok, dan pegal linu (Widiarti 2010).

2.2.5. Merica (Piper nigrum L.)

Merica diklasifikasi berasal dari super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Magnoliidae, ordo Piperales, famili Piperaceae, genus Piper, dan spesies Piper nigrum. Tanaman yang dikenal juga dengan nama lada ini merupakan komoditas perkebunan yang telah lama dibudidayakan di Indonesia. Daerah pertumbuhannya terutama di wilayah Sumatera, Jawa, dan Ujung pandang. Merica telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai bahan obat-obatan. Bagian dari merica yang utamanya digunakan adalah buah yang telah masak dan kering. Bentuknya bulat telur dengan ujung meruncing, permukaannya keriput, dan berwarna cokelat sampai cokelat kehitaman (Kartasapoetra 2004). Tanaman merica disajikan pada gambar 5.

Gambar 5. Merica (Piper nigrum L.)

(Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?plant=1011)

Merica mengandung zat berkhasiat yang menimbulkan rasa pedas, aromatik, dan berbau khas. Zat-zat tersebut antara lain: alkaloid, protein, mineral, saponin, flavonoid, minyak atsiri, kavisin, resin, amilum, dihidrokarveol, kanyo-filene oksida, kriptone, tran pinocarrol, minyak lada, kamfena, boron, calamine, carvacrol chavicine, bisabolene, camphene, β-caryophyllene, terpenes, dan sesquiterpenes. Hal


(64)

ini membuat merica digunakan sebagai obat demam, masuk angin, rematik, impotensi, sakit lambung, hernia, frigiditas, muntah, panas dalam, perut kembung, asam urat, sakit perut, dan sakit kepala (Hariana 2007).


(65)

BAB

BAHAN DAN METODELOGI

3.1. Waktu dan tempat

Kegiatan penelitian ini berlangsung selama 9 bulan dari bulan Mei 2011 hingga bulan Januari 2012. Pelaksanaan penelitian berlangsung di kandang peternakan milik Mitra Maju yang beralamat di Jl. Manungal Baru No.1, desa Tegalwaru, kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.

3.2. Alat dan bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan USG, timbangan, tambang, selotip, dan marker. Sementara itu, bahan-bahan yang digunakan adalah domba betina berjumlah 9 ekor, jamu veteriner, hormon PGF2 alpha (dinoprost dan tromethamin), vitamin B kompleks, anthelmintik, antibiotik dan selang penanda.

3.3. Kandang, Pakan, dan Minum

Kandang yang digunakan ialah kandang model panggung. Ketinggian kandang kira-kira 50 cm. Desain ini dimaksudkan agar kebersihan kandang relatif lebih terjaga, menekan pertumbuhan mikroorganisme, dan mengurangi paparan gas amoniak. Selanjutnya, pakan diberikan 3 kali dalam sehari, yaitu hijauan pada pagi dan siang hari, serta singkong pada siang hari. Air minum diberikan sacara ad libitum.

3.4. Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan 9 ekor domba betina yang tidak bunting dengan bobot badan berkisar antara 17-25 kg. Domba-domba tersebut diaklimatisasi selama 2 minggu dan diberikan anthelmintik, vitamin B kompleks, dan antibiotik. Hal ini dilakukan untuk menghindari infeksi domba oleh parasit dan bakteri. Selanjutnya, domba dikelompokan dalam 3 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 3 ekor domba. Kelompok pertama bertindak sebagai kontrol (tanpa perlakuan). Kelompok kedua diberi formula jamu veteriner dosis 15 mL/ekor, dan kelompok ketiga formula jamu veteriner 30 mL/ekor.


(1)

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Dependent Variable:Bobot

(I) Perlakuan

(J)

Perlakuan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound LSD Kontrol D1 -2.03333* .43204 .001 -2.9747 -1.0920 D2 -2.11500* .43204 .000 -3.0563 -1.1737 D1 Kontrol 2.03333* .43204 .001 1.0920 2.9747 D2 -.08167 .35276 .821 -.8503 .6869 D2 Kontrol 2.11500* .43204 .000 1.1737 3.0563 D1 .08167 .35276 .821 -.6869 .8503 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets

Bobot

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Duncana Kontrol 3 11.4900

D1 6 13.5233

D2 6 13.6050

Sig. 1.000 .844

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.500.


(2)

Bobot

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

Kontrol 3 11.4900 .46776 .27006 10.3280 12.6520 11.21 12.03 D1 6 13.5233 .49472 .20197 13.0042 14.0425 13.22 14.50 D2 6 13.6050 .75081 .30652 12.8171 14.3929 12.57 14.28 Total 15 13.1493 1.02905 .26570 12.5795 13.7192 11.21 14.50

Test of Homogeneity of Variances

Bobot

Levene Statistic df1 df2 Sig. 1.865 2 12 .197

ANOVA

Bobot

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 10.345 2 5.173 13.856 .001 Within Groups 4.480 12 .373


(3)

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Dependent Variable:Bobot

(I) Perlakuan

(J)

Perlakuan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound LSD Kontrol D1 -2.03333* .43204 .001 -2.9747 -1.0920 D2 -2.11500* .43204 .000 -3.0563 -1.1737 D1 Kontrol 2.03333* .43204 .001 1.0920 2.9747 D2 -.08167 .35276 .821 -.8503 .6869 D2 Kontrol 2.11500* .43204 .000 1.1737 3.0563 D1 .08167 .35276 .821 -.6869 .8503 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets

Bobot

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Duncana Kontrol 3 11.4900

D1 6 13.5233

D2 6 13.6050

Sig. 1.000 .844

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.500.


(4)

Anak

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

Kontrol 3 1.6667 .57735 .33333 .2324 3.1009 1.00 2.00 D1 3 2.3333 .57735 .33333 .8991 3.7676 2.00 3.00 D2 3 2.0000 .00000 .00000 2.0000 2.0000 2.00 2.00 Total 9 2.0000 .50000 .16667 1.6157 2.3843 1.00 3.00

Test of Homogeneity of Variances

Anak

Levene Statistic df1 df2 Sig. 8.000 2 6 .020

ANOVA

Anak

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups .667 2 .333 1.500 .296 Within Groups 1.333 6 .222


(5)

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Dependent Variable:Anak

(I) Perlakuan

(J)

Perlakuan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound LSD Kontrol D1 -.66667 .38490 .134 -1.6085 .2752 D2 -.33333 .38490 .420 -1.2752 .6085 D1 Kontrol .66667 .38490 .134 -.2752 1.6085 D2 .33333 .38490 .420 -.6085 1.2752 D2 Kontrol .33333 .38490 .420 -.6085 1.2752 D1 -.33333 .38490 .420 -1.2752 .6085

Homogeneous Subsets

Anak

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1

Duncana Kontrol 3 1.6667

D2 3 2.0000

D1 3 2.3333

Sig. .145

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.


(6)

Bulan ke-0

Bulan ke-1

Bulan ke-2

Bulan ke-3

Kontrol

3,11±0,52

5,73±2,60

8,04±4,43

11,49±6,30

Dosis 15

mL/ekor

3,78±0,68

5,99±0,70

8,50±3,28

13,52±5,13

Dosis 30

mL/ekor

4,10±0,69

7,02±0,75

9,38±0,58

13,61±0,75

Lampiran 8. Data Rataan Bobot Badan Induk Domba Sebelum Partus

Kelompok

Perlakuan

Rataan Bobot Badan

Bulan ke-3

Bulan ke-4

Bulan ke-5

Kontrol

19,90±2,98

19,93±3,99

19,40±1,65

Dosis 15 mL/ekor

25,13±3,87

25,67±3,75

28,43±3,78

Dosis 30 mL/ekor

22,70±1,58

22,23±1,09

25,78±0,87