minimal telah berumur tiga hari atau kira-kira hari keempat siklus berahinya. Oleh karena itu,
injeksi PGF2α dapat dilakukan pada hari ke 5-16 dari siklus berahinya Donald dan Leslie 1980. Namun, jika penyerentakan berahi dilakukan pada
sekelompok hewan maka teknik manajemen yang dilakukan ialah dengan injeksi PGF2α sebanyak dua kali. Injeksi PGF2α yang kedua berjarak 8 atau 9 hari dari
injeksi yang pertama Hunter 1995. Menurut Donald dan Leslie 1980, injeksi PGF2α juga dapat dilakukan dengan rentang waktu antara 10-12 hari setelah
injeksi yang pertama.
Regresi korpus luteum atau luteolisis akan cepat terjadi setelah dilakukan injeksi PGF2α. Hewan akan menjadi berahi maksimal dalam 72 jam setelah
injeksi P GF2α dilakukan. Rentang waktu terjadinya berahi biasanya dalam kisaran
antara 29-48 jam setelah injeksi PGF2α Hunter 1995. Hormon PGF2α yang
mempunyai sifat luteolisis menyebabkan regresi korpus luteum dengan cara mempengaruhi kerja LH terhadap korpus luteum dan meningkatkan jumlah
sekresi oksitosin oleh ovarium. Setelah itu, ovarium akan kembali ke siklus berikutnya dengan perkembangan folikelnya yang baru James 2003.
2.3. Superovulasi pada Domba
Superovulasi merupakan suatu teknik untuk merangsang pembentukan folikel dalam ovarium melebihi kemampuan alamiahnya. Melalui superovulasi,
jumlah folikel yang tumbuh dan matang lebih cepat akan meningkat. Teknik superovulasi dilakukan dengan menggunakan hormon gonadotropin. Beberapa
faktor yang mempengaruhi keberhasilan superovulasi di antaranya jumlah pemberian dosis, preparat hormon yang digunakan, preparat tambahan yang
digunakan, dan prosedur pelaksanaan. Aplikasi teknik superovulasi yang dilakukan pada domba memberikan hasil yang sangat bervariasi Gordon 2005.
Salah satu faktor lain yang mempengaruhi respons superovulasi ialah kondisi awal ovarium. Kondisi awal ovarium yang berbeda akan memberikan
respons yang berbeda terhadap jumlah populasi folikel yang akan berkembang selama perlakuan superovulasi. Pada kondisi awal dengan ovarium yang telah
memiliki beberapa folikel yang telah berkembang sebelumnya, memberikan respons superovulasi yang lebih baik Lopez et a.l 2005. Respons superovulasi
juga dapat ditingkatkan dengan mengubah teknik superovulasi itu sendiri. Penggunaan metode berupa stimulasi superovulasi yang berulang akan
memberikan hasil yang lebih baik Cueto et al. 2010. Jenis gonadotropin yang sering dipakai dalam penerapan teknik
superovulasi ialah FSH dan PMSG. Pemakaian FSH dalam teknik superovulasi mempunyai respons yang sangat baik namun waktu paruh biologinya singkat,
yaitu kurang lebih 2 sampai dengan 5 jam sehingga penyuntikan perlu dilakukan berulang kali Hafez 2000. Hormon FSH dapat diperoleh dari ekstraksi pituitari
ataupun dari sintetis secara buatan. Salah satu contoh gondadotropin sintetis ialah analog human hFSH. Hormon analog tersebut memiliki potensi yang mirip
dengan FSH ketika diaplikasikan pada domba Lemke 2008. Hormon PMSG merupakan hormon yang dihasilkan oleh plasenta yang mempunyai aktivitas
mirip dengan FSH dan LH. Hormon PMSG mencapai kadar tertinggi dalam darah antara hari ke-60 sampai dengan 90 dari masa kebuntingan dan diperkirakan
hormon ini merangsang pembentukan korpus luteum tambahan atau folikel berlutein yang diperlukan untuk mempertahankan kebuntingan Hunter 1995.
Beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh PMSG di antaranya merangsang pertumbuhan folikel, menunjang produksi estrogen, merangsang ovulasi, dan
luteinisasi. Pemberian PMSG dalam dosis tunggal secara intramuskular sudah cukup
untuk merangsang timbulnya ovulasi. Penggunaan PMSG menimbulkan respons yang sangat bervariasi, yaitu dari tidak memberi respons hingga respons yang
berlebihan. Pemberian PMSG yang tidak disertai dengan pemberian hormon lain harus diberikan pada awal fase luteal, yaitu hari ke-16 siklus estrus untuk domba
Hunter 1995. Gonadotropin eksogen berupa PMSG yang diaplikasikan dalam teknik
superovulasi akan memberikan aktivitas biologi yang menyerupai FSH dan LH. Hormon PMSG akan berperan dalam merangsang pertumbuhan dan
perkembangan folikel ovarium, pematangan folikel tersebut, dan pembentukan hormon estrogen. Pembentukan estrogen tersebut akan meningkatkan konsentrasi
estrogen di dalam darah. Kadar estrogen yang tinggi di dalam darah digunakan untuk pertumbuhan, perkembangan, dan pematangan folikel. Selain itu, tingginya
kadar estrogen dalam darah akan memberikan sinyal untuk menghentikan sekresi hormon gonadotropin oleh hipotalamus dan hipofise anterior. Kadar estrogen
yang berada di atas ambang akan menekan pelepasan FSH oleh hipotalamus dan selanjutnya meningkatkan sekresi LH untuk merangsang proses ovulasi. Pada saat
terjadi ovulasi, sel-sel granulosa akan memproduksi inhibin yang berfungsi untuk mengahambat produksi FSH Hernawan 2003.
Pada kasus superovulasi, produksi hormon estrogen hanya dirangsang oleh hormon gonadotropin eksogen. Pemberian LH eksogen tidak diperlukan untuk
menginduksi terjadinya ovulasi karena lonjakan pelepasan LH endogen akan terjadi secara otomatis akibat superovulasi. Ovulasi merupakan pelepasan sel telur
dari folikel yang telah matang. Ovulasi dapat terjadi jika ada sekresi LH secara mendadak dan dalam waktu yang cepat oleh hipofise anterior Frandson et al.
2009. Pada beberapa spesies hewan tetap diperlukan adanya injeksi LH eksogen setelah pemberian PMSG. Injeksi LH eksogen diperlukan untuk menginduksi
ovulasi dari beberapa folikel yang telah berkembang sebelumnya Donald dan Leslie 1980.
Induksi ovulasi dapat dilakukan dengan melakukan injeksi tunggal LH dalam bentuk hCG atau fraksi hipofise yang kaya akan aktivitas LH. Pemberian
preparat hormon tersebut dilakukan dengan injeksi intravena atau intramuskular. Waktu pemberian injeksi hormon dilakukan menjelang munculnya berahi, yaitu
ketika terdapat folikel yang matang. Injeksi LH atau hCG harus dilakukan sebelum terjadi perbanyakan sekresi gonadotropin endogen. Jika injeksi LH atau
hCG dilakukan terlalu cepat, yaitu ketika folikel belum matang, maka akan muncul efek lain pada hewan. Efek tersebut di antaranya hewan tidak berahi,
terjadi ovulasi oosit primer, atau bahkan tidak terjadi ovulasi meskipun luteinisasi folikel dapat dimulai Hunter 1995.
Prosedur superovulasi pada domba biasanya dilakukan dengan injeksi PMSG. Injeksi dilakukan pada akhir fase luteal siklus berahi, yaitu sekitar hari ke-
12 atau 13. Injeksi PMSG juga dapat dilakukan setelah injeksi progesteron yang digunakan untuk sinkronisasi estrus. Prosedur tersebut bertujuan agar ukuran
populasi folikel yang matang lebih homogen sebelum dimulainya perangsangan dengan gonadotropin eksogenous. Pemberian PMSG juga dapat dilakukan pada
fase luteal yaitu beberapa saat menjelang injeksi tunggal preparat luteolisis Hunter 1995. Menurut James 2003 induksi superovulasi menggunakan injeksi
PMSG juga dapat mulai diberikan pada pertengahan siklus estrus. Pemberian induksi superovulasi ditujukan untuk meningkatkan jumlah folikel yang matang
yang akan tumbuh menjadi folikel dominan dan untuk mengurangi jumlah folikel yang mengalami regresi.
Masing-masing folikel yang mencapai tahap folikel dominan akan melepaskan satu sel telur. Pada kondisi konsepsi, lokasi pelepasan sel telur tadi
akan berkembang menjadi korpus luteum. Korpus luteum akan menghasilkan progesteron yang berfungsi menjaga kebuntingan. Konsentrasi progesteron yang
ada di dalam darah dapat digunakan untuk mengetahui jumlah embrio yang sedang berkembang. Semakin tinggi kadar progesteron dalam darah, maka jumlah
embrio yang sedang berkembang semakin banyak. Namun, kadar progesteron di dalam darah tidak dapat menjadi ukuran untuk menentukan jumlah korpus luteum
yang terbentuk Amiridis et al. 2002.
2.4. Permasalahan Superovulasi