Poligami menurut perspektif pelaku: Studi pada masyarakat Kec. Pabuaran Kab.Subang

(1)

POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF PELAKU

(STUDI PADA MASYARAKAT KEC PABUARAN KAB. SUBANG)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh

EKA SRI HILAYATI 104044101395

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh :

EKA SRI HILAYATI 104044101395

Di bawah Bimbingan Pembimbing :

Drs.H.A. Basiq Djalil, S.H. M.A. NIP : 150 169 102

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF PELAKU (STUDI PADA MASYARAKAT KEC. PABUARAN KAB. SUBANG) TELAH DIUJIKAN DALAM Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HIdayatullah Jakarta pada 24 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah.

Jakarta, 10 Maret 2009

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM

NIP. 150 210 442

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA ( )

NIP. 150 169 102

2. Sekretaris : Kamarusdiana, S. Ag., MH ( )

NIP. 150 285 972

3. Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA ( )

NIP. 150 169 102

4. Penguji I : Afwan Faizin, MA ( )

NIP. 150 326 896

5. Penguji II : Dr. Euis Nurlaelawati, M. Ag ( )


(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 10 Februari 2008


(5)

KATA PENGANTAR

ÉΟŠÏ

m

§

9

$

#

É

«

Ç⎯≈

u

Η÷

q

§

9

$

#

!

$

#

Οó

¡

Î

0

Alhamdulillah, Tidak ada kata yang pantas untuk diucapkan mengawali karya tulis ini

selain puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan kekuatan dan

kemudahan. Solawat serta salam tak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW

sehingga penulis mampu menyelesaikan karya tulis yang berjudul:

“POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF PELAKU (STUDI PADA MASYARAKAT KEC. PABUARAN KAB. SUBANG)”.

Selama penulis menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

banyak pengalaman baik suka maupun duka yang penulis alami dan juga banyak pelajaran yang

dapat penulis ambil. Dalam kesempatan ini, penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada

mereka yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam proses penulisan karya

tulis ini, antara lain:

1. Prof. Dr. H. Amin Suma, MA., SH., MM., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku Ketua Jurusan Peradilan Agama

3. Kamarusdiana, S.Ag., MH., selaku Sekretaris Jurusan Peradilan Agama

4. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku Pembimbing skripsi yang telah banyak

memberikan banyak masukan kepada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini.

5. Seluruh Dosen Pengampu Mata Kuliah Jurusan Peradilan Agama yang tidak bisa

disebutkan satu persatu


(6)

informasinya kepada penulis.

8. Thoyyib Sihabudin, selaku Ketua RT. 15 yang telah banyak memberikan data dan

informasinya dan juga telah berkenan menjadi salah seorang responden penulis.

9. Muhammad Irfannuddin, selaku Ketua KUA Pabuaran yang telah banyak memberikan

data dan informasinya kepada penulis.

10. Orang tua tercinta, Ibunda Hj. Maryati dan Ayahanda H. Abdul Mujib yang sejak awal

proses perkuliahan sampai detik ini, senantiasa memberikan motifasi dan dukungan tak

terhingga kepada penulis, baik materil maupun moril. Tanpa dukungan keduanya, penulis

tidak akan bisa menjadi seperti saat ini (semoga Yang Maha Kuasa membalas jasa

keduanya).

11. Kanda Tresna Agustian Suryana, BA., Ananda M. Adzkiya Ikhwan el-Shoffa dan

Muhammad Ziyad Mubarok yang telah banyak mengingatkan dan memberikan motivasi

serta inspirasi kepada penulis untuk menyelesaikan karya tulis ini.

12. Teman-teman tersayang (Ani, Ee, Lya, Tya, Nana, Uci, Dinar, Utet, Aris, Iful, Afidz,

Mulya, dan teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu) yang telah

memberikan motivasi kepada penulis muntuk menyelesaikan karya tulis ini.

13. Zainal Abidin, Ibu-ibu Majlis Ta’lim Raudhotul ‘Irfan, dan semua informan serta

responden yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, dikarenakan untuk menjaga

kerahasiaan segala data dan informasi yang telah diberikan kepada penulis.


(7)

14. Safrina Ariani, S. Ag., penulis mengucapkan banyak terima kasih atas masukan dan

bahan-bahan yang telah diberikan kepada penulis.

15. Dr. Ismail Muhammad, terima kasih atas dukungan dan pinjaman buku-bukunya.

16. Farihin el-Firdaus, yang telah banyak memberikan masukan dan dukungan moril dalam

proses penyelesaian karya tulis ini. Terima kasih juga karena telah meluangkan waktu

untuk berdiskusi dengan penulis.

17. Forum Mahasiswa Basement (FORMABES), tempat penulis berdiskusi sekaligus sebagai

tempat melepaskan kepenatan. Kepada Kamelia, Laila Rifa’atul Mahmudah, Mutia

Rahmadany, SHI., Siti Niayah, SHI., Trisna Laila Yunita, SHI., Yusi Alawiyah, SHI.,

Hiton Bazawi, Jabal Arfa Shiddiq, Viqi, Onay, dan teman-teman Formabes lainnya yang

tidak bisa disebutkan satu persatu namanya di sini, penulis mengucapkan terima kasih

banyak atas persahabatannya yang indah dan menyenangkan selama ini.

Terakhir, semoga segala dorongan, dukungan, dan bantuan mereka baik moril maupun

materil mendapat imbalan di sisi-Nya. Mudah-mudahan karya tulis ini bermanfaat. Amiiin...

Jakarta, Shafar 1430 H Februari 2009 M

Penulis


(8)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA UJIAN... iii

PEDOMAN TRANSLITRASI... iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 8

C. Tujuan dan Manfaat penelitian... 9

D. Metode Penelitian... 10

E. Review Studi Terdahulu... 12

F. Sistematika Penulisan... 15

BAB II SEJARAH DAN HUKUM POLIGAMI A. Pengertian Poligami... 18

B. Sejarah Singkat Poligami... 19

C. Poligami Dalam Hukum Islam... 24


(9)

BAB III POLIGAMI DALAM BERBAGAI TEORI

A. Poligami Menurut Teori Gender... 28

B. Poligami Menurut Teori Keadilan... 31

C. Poligami Menurut Teori Hak-Hak anak dan Istri... 38

BAB IV FENOMENA PERNIKAHAN POLIGAMI DI

KECAMATAN PABUARAN KABUPATEN SUBANG

A. Gambaran Umum Masyarakat Kecamatan Pabuaran

Kabupaten Subang... 48

B. Deskripsi Pengalaman Pasangan Pernikahan Poligami.... 55

C. Respon Masyarakat Terhadap Pernikahan Poligami... 62

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 65

B. Saran... 67

DAFTAR PUSTAKA


(10)

Maraknya poligami saat ini sesungguhnya merupakan akumulasi yang didapat

minimal dari tiga faktor: Pertama, lumpuhnya sistem hukum kita, khususnya

Undang-undang Perkawinan. Kedua, masih kentalnya budaya patriarki; dan ketiga, kuatnya

interpretasi agama yang bias jender. Realitas sosiologis di masyarakat menjelaskan

bahwa poligami selalu dikaitkan dengan ajaran Islam. Untuk ini, Apakah betul Islam

mengajarkan poligami? Apakah benar Rasul mempraktekkan poligami? Dan

bagaimana seharusnya membaca teks-teks agama tentang poligami?

Di Indonesia, persoalan poligami bukanlah fenomena yang baru. Ini dapat

dilihat bagaimana pernikahan semacam ini dilakukan oleh banyak kalangan dari

waktu ke waktu meskipun seringkali menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak

dengan alasan merugikan kaum perempuan.

Pada pertengahan tahun 2007, masalah poligami kembali mengemuka,

karena salah seorang tokoh agama yang sangat diidolakan masyarakat Indonesia,

melakukan poligami. Alasan yang dikemukakan tokoh tersebut adalah agar tidak

terjerumus dalam perbuatan zina dan mengikuti sunnah Rasul Saw. Masalah ini

menyentak semua orang, dari rakyat jelata, sampai kepada Presiden Republik

indonesia. Banyak dialog yang dilakukan disana sini.


(11)

2

Namun penulis melihat, praktik poligami bukan monopoli tokoh tersohor saja,

poligami justru kerap dilakukan segala kalangan. Namun, yang penting perilaku

mereka ternyata acapkali melanggar hukum. Hal itu bisa disimak dari data Kantor

Urusan Agama (KUA) maupun Kantor Catatan Sipil ( KCS ) Subang berdasarkan

laporan tahun 2004, modus pelaku poligami cukup beragam, namun hampir

seluruhnya tak mengindahkan Peraturan yang ada.

Modus Pelaku Poligami

Jenis Modus Jumlah

Menikah di bawah tangan 12

Pemalsuan Identitas di KUA -

Nikah tanpa izin istri pertama 3

Memaksa mendapatkan izin 1

Tidak diketahui modus 2

18

Sumber: KUA Subang

Syarat berpoligami tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan khusus buat Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus juga

mempertimbangkan PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian

bagi PNS.

Yang dibutuhkan sekarang adalah usaha untuk mencerdaskan perempuan dan


(12)

dimunculkan dalam wacana poligami adalah perempuan harus bahkan wajib

menerima/ mengizinkan bila suami minta izin untuk beristri lagi, dengan alasan

menjalankan syari'at Islam, tunduk kepada perintah Allah dan lain-lain.1

Disini perempuan sangat dirugikan. Mereka seringkali tidak diberi

kesempatan untuk berpendapat, menyatakan apa yang mereka rasakan. Padahal pada

pasal 11 Deklarasi PBB Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan

menyebutkan, “kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan

perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau

penderitaan perempuan baik secara fisik, seksual atau psikologis. Termasuk ancaman

dan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik di

depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.”

Merujuk pada definisi tersebut, Dewita Hayu Shinta, seorang aktivis APIK

Jakarta, secara tegas menyatakan Poligami adalah bentuk kekerasan yang cukup

beragam, dari yang tidak ketara sampai yang vulgar. Bagi Dewi “Kalau istri terpaksa

memberi izin kepada suami untuk menikah lagi, itu saja sudah dinamakan kekerasan

terhadap perempuan.”2

Penulis melihat bahwa tidak selamanya poligami itu dipandang negatif. Ada

pula dampak positifnya seperti yang terjadi pada masyarakat Subang, yaitu bahwa

1

Seperti "Poligami Itu Indah", "Poligami Itu Sunnah", "Indahnya Poligami", Poligami Membawa Berkah", "Membangun Rumah di Surga dengan Poligami", "Beribu Hikmah Dalam Poligami", "Kalau Nabi Saja Berpoligami, Mengapa Kita Tidak", "Poligami Itu Cara Allah Membebaskan Perempuan Dari Keterpurukkan", "Satu-satunya cara laki-laki menghindar dari zina, ya poligami","Laki-laki yang tidak berpoligami itu hanya tiga kemungkinan; selingkuh, impoten atau bukan laki-laki" dan sejumlah slogan lainnya.

2


(13)

4

istri kedua akan dapat menjadi kawan yang saling terbuka dalam meniti hidup.

Seolah-olah itu memang menjadi syariat Islam.

Dalam Islam, perdebatan ulama seputar permasalahan pernikahan poligami

telah ada sejak lama. Di antara mereka ada yang membolehkan dan ada juga yang

melarang. Hal ini terkait erat pada penafsiran ayat al-Quran yang berkenaan dengan

syarat adil dan batasan istri yang mau dinikahi. Kalau kita mengkaji penafsiran

ulama-ulama modern, yang sudah mulai memperhatikan aspek kepentingan

perempuan, dan menghindarkan diri dari penafsiran bias jender, kita dapati penafsiran

yang lebih moderat dan memperhatikan perempuan. Pada masa Islam datang, kaum

lelaki telah memiliki sepuluh istri, lebih sedikit, ataupun lebih banyak dari itu, tanpa

pembatasan dan persyaratan. Islam kemudian memberikan batasan yang tidak boleh

dilanggar, yaitu empat. Dan juga ada syaratnya, yaitu harus bisa berbuat adil, bila

tidak bisa, maka monogami adalah mutlak dan tidak boleh melampauinya.3

Jika kita menoleh ke sejarah perkawinan Nabi SAW, akan kita jumpai bahwa

Nabi berpoligami pada masa itu, hanya sepuluh tahun di akhir usianya. Sementara

dua puluh lima tahun sebelum itu Nabi menjalani kehidupan monogami bersama

Khadijah binti Khuwailid sampai Khadijah wafat dan Nabi saat itu telah berumur 50

tahun. Tiga tahun setelah itu barulah Nabi menjalani poligami.4 Wanita yang dinikahi

Rasul adalah semuanya janda, kecuali ’Aisyah r.a, dan semuanya untuk tujuan

3

Sayyid Qutb,. Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Ainur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2001), Jilid 2, hal. 599.

4

Siti Habiba (30 Agustus 2005), Poligami Dalam Perspektif Al-Qur'an & Sunnah, diakses tgl. 30-5-06, http://www.selayar.com/islam/islam001.html.


(14)

menyukseskan dakwah, atau membantu dan menyelamatkan wanita yang kehilangan

suami. Mereka umumnya bukanlah wanita-wanita yang dikenal memiliki daya tarik

memikat.5 Satu hal yang menarik, Nabi menolak ketika putri kesayangannya Fatimah

az- Zahra akan dimadu oleh suaminya Ali bin Abi Thalib. 6 Dalam sebuah hadist

yang diriwayatkan dari Miswar bin Makhramah ia berkata: Saya mendengar

Rasulullah saw bersabda ketika ia berada di atas mimbar:

"Sesungguhnya Bani Hasyim bin al Mighirah minta izin untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Saya tidak mengizinkan, kemudian saya tidak mengizinkan, kemudian saya tidak mengizinkan, kecuali jika putra Abi Thalib menceraikan putriku dan menikahi putri mereka. Karena sesungguhnya dia (Fatimah) adalah bagian dari diriku, mencemaskanku apa yang mencemaskannya dan menyakitiku apa yang menyakitinya."(HR. Bukhari).

Dari hadist di atas, kita dapat menafsirkan bahwa sebenarnya Rasul Saw. lebih

menyukai monogami. Hal ini dapat kita lihat dari sikap Beliau yang tidak

mengizinkan anaknya dimadu. Namun, dalam perjalanan menyampaikan Risalah dari

Allah Swt., mengharuskan Nabi melakukan sesuatu yang dituntut oleh syiar

risalahnya, salah satunya adalah melakukan poligami.7

Terlepas dari kontroversi tersebut, poligami tetap terjadi di masyarakat.

Apakah ini merupakan imbas dari dari perubahan sosial yang begitu cepat sehingga

menyebabkan terjadinya pergeseran nilai kemudian mempengaruhi setiap tindakan

individu atau mungkin juga dikarenakan kontrol sosial yang ada di masyarakat

5

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Vol. 2, Cet. I, hal. 322.

6

Siti Habiba, Loc. Cit. 7

Karam Hilmi Farhat Ahmad, Dr., Hikmah Pernikahan Rasulullah, terj. Farhan Munirul Abidin, (Malang: Al-Qayyim, 2004), Cet.1, hal.4.


(15)

6

melemah?

Kontrol sosial senantiasa diperlukan dalam sebuah masyarakat untuk

mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam

masyarakat. Kontrol soaial memiliki arti luas yang begitu luas, bukan hanya

pengawasan masyarakat terhadap pemerintah, tetapi juga kontrol sosial individu

terhadap individu lainnya. Semuanya itu merupakan proses pengendalian soaial yang

dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari, walau seringkali manusia tidak

menyadarinya.8 Banyak faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan

menyimpang atau deviation. Salah satunya karena melemajnya kontrol sosial atau

karena adanya pergeseran nilai yang kemudian menyebabkan perubahan cara

pandang seseorang terhadap norma-norma yang ada di masyarakat. Dalam hal ini,

orang yang berpoligami memiliki cara pandang atau pola fikir yang berbeda dengan

masyarakat pada umumnya tentang norma agama atau norma lainnya yang berkaitan

dengan masalah poligami tersebut. Ada beberapa faktor yang dimungkinkan

mempengaruhi pola fikir atau cara pandang seseorang, di antaranya faktor

pendidikan, sosial budaya dan ekonomi.9

Untuk mengetahui lebih jelas tentang permasalahan ini, paling tidak ada satu

hal yang cenderung luput dari perhatian kita, yakni mengajak bicara secara terbuka

para pelaku poligami (suami,istri pertama/ke dua/ke tiga atau seterusnya dan

anak-anak pasangan poligami) dalam hal ini. Selama ini mereka cenderung diabaikan

8

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), cet. Ke-4. 9


(16)

sehingga suara-suara dan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh mereka tidak

mengemuka, dan sebagai konsekuensinya adalah para pelaku poligami cenderung

hanya dihakimi, dicaca dan di hujat. Hal tersebut dikarenakan selama ini pendekatan

yang sering kali digunakan terhadap persoalan poligami lebih banyak bersifat

normatif. Ada beberapa alasan, mengapa isu pernikahan poligami mendapat sorotan

tajam terutama dari aspek normatif. Pertama, di dalam masyarakat yang masih kuat

memegang tradisi dan doktrin keagamaan, pernikahan poligami seringkali dianggap

sebagai perilaku mengikuti sunnah Rasul yang menyimpang. Kedua, pernikahan

poligami dipandang akan banyak menimbulkan konflik dan dampak negatif bagi

masa depan anak dan istri. Ketiga, pernikahan poligami yang terselubung cenderung

berkorelasi dengan tingginya kasus perceraian yang kemudian dinilai sebagai akibat

ketidakmampuan suami berlaku adil.

Dengan latar belakang yang telah penulis gambarkan, penulis mencoba untuk

mengungkapkan batasan tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul

“PERNIKAHAN POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF PELAKU (STUDI PADA

MASYARAKAT KEC. PABUARAN KAB. SUBANG)”

Adapun yang menjadikan alasan penulis memilih judul ini, adalah:

1. Karena ingin menyerap informasi dari mereka yang melakukan pernikahan

poligami, sehingga isu ini menjadi sangat penting.

2. Karena tidak selamanya poligami membawa dampak negatif terhadap


(17)

8

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini yang dijadikan

sebagai informan, terbatas pada para pelaku poligami yang ada di Kec. Pabuaran Kab.

Subang.

2. Perumusan Masalah

Agar penelitian ini tidak menyimpang, maka penelitian ini terfokus pada:

pertama, bagaimana poligami ini dimaknai oleh para pelakunya, apa motif dan faktor

yang mempengaruhinya, misalkan faktor sosial, ekonomi, pendidikan dan lain-lain.

Kedua, dalam konteks masyarakat di Kec. Pabuaran Kab. Subang, pelaku poligami

akan dilihat bagaimana realitas yang mereka jalani dalam kehidupan rumah

tangganya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penelitian ini dapat dirumuskan ke

dalam bentuk beberapa pertanyaan :

1. Bagaimana persepsi para pelaku pernikahan poligami tentang poligami itu

sendiri?

2. Apakah motif yang mendukung terjadinya poligami pada masyarakat

muslim Kec. Pabuaran, Kab. Subang?

3. Apakah faktor pendidikan, sosial budaya, dan ekonomi turut

mempengaruhi persepsi para pelaku poligami dalam bertindak?

4. Bagaimana aspek empiris pasangan poligami dikaitkan dengan anggapan


(18)

perselisihan di dalam rumah tangga?

5. Bagaimana pasangan pernikahan poligami menjalani kehidupan rumah

tangganya, yakni dalam hal pendidikan anak dan hubungan dengan

keluarga (orang tua pasangannya)?

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dengan menganalisa latar belakang dan perumusan masalah tersebut maka

penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengetahui bagaimana persepsi para pelaku pernikahan poligami tentang

poligami itu sendiri.

b. Mengetahui motif apa saja yang mempengaruhi persepsi para pelaku

poligami.

c. Mengetahui apakah faktor pendidikan, sosial budaya, dan ekonomi

mempengaruhi persepsi para pelaku poligami.

d. Mengetahui bagaimana aspek empiris pasangan poligami dikaitkan

dengan anggapan orang pada umumnya bahwa poligami rawan konflik,

pertentangan, dan perselisihan di dalam rumah tangga.

e. Mengekplorasi bagaimana pasangan pernikahan poligami menjalani

kehidupan rumah tangganya, yakni dalam hal mendidik anak dan


(19)

10

2. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Dapat memberikan informasi dan gambaran yang komprehensif serta

sistematis seputar pernikahan poligami dan segala bentuk

permasalahannya terutama yang berkaitan dengan para pelakunya.

2. Menambah literatur kajian tentang wacana tersebut dalam menyikapi

pernikahan poligami

D. Metode Penulisan 1. Metode Penelitian

Sebagai sebuah karya ilmiah, jenis penelitian ini merupakan penelitian

deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan data dan informasi di lapangan

berdasarkan fakta yang diperoleh di lapangan secara mendalam10. Sementara

Soerjono Soekanto mendefinisikan penelitian deskriptif ini dimaksudkan untuk

memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala

lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar

dapat membantu didalam memperkuat teori-teori. Untuk memperoleh data yang

akurat, peneliti mengadakan penelitian sebagai suatu metode kualitatif yang

bertujuan menyajikan pandangan objek yang diteliti. Bahan dan data penelitian ini

diperoleh dari penelitian lapangan (Field research) yang dimaksudkan untuk

memperoleh data, dimana peneliti terjun langsung ke lapangan. Oleh karena itu, data

10

Suharsimi arikunto, Managemen Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), Cet. Ke-2, h.309.


(20)

lapangan merupakan data primer, yaitu data utama yang akan diteliti (Beberapa istri

yang mendapatkan suaminya melakukan praktek poligami) di Kecamatan Pabuaran,

Kab. Subang. Sedangkan data Sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen atau

tulisan-tulisan yang berkaitan dengan pokok bahasan karya tulis ini, yang juga

didapatkan dari penelitian kepustakaan (Library Research) yang berkaitan dengan

poligami.

Dalam rangka memperoleh data yang diperlukan serta informasi yang

dibutuhkan sebagai bahan dalam rencana skripsi ini, maka teknik pengumpulan data

dalam penelitian lapangan ini adalah sebagai berikut :

1. Teknik wawancara mendalam yakni suatu bentuk komunikasi verbal untuk

memperoleh informasi data yang valid dan akurat dari pihak-pihak yang dijadikan

sebagai informasi.

2. Teknik Dokumentasi. Teknik ini penulis gunakan untuk melengkapi data

yang dilakukan dengan cara melihat dokumen-dokumen yang terdapat di Kantor

Urusan Agama yang dijadikan objek penelitian.

2. Teknik Penentuan Responden

Penentuan responden dalam penelitian ini menggunakan cara Snow-Ball

System, yakni dengan cara menentukan terlebih dahulu seseorang atau beberapa

responden, apakah secara kebetulan, lewat kenalan, atau cara lainnya. Kemudian

meminta sejumlah responden lainnya yang mereka kenal, yang dapat menjadi

responden peneliti berikutnya. Melalui responden-responden tersebut juga bisa


(21)

12

menjadi jenuh, artinya peneliti tidak menemukan aspek baru dalam fenomena yang

diteliti.11 Jumlah responden dalam penelitian kualitatif bersifat fleksibel, sangat

tergantung pada kebutuhan peneliti itu sendiri. Dalam melakukan penelitian,

metode pembahasan yang digunakan peneliti adalah metode deskriptif-kualitatif

sebagai upaya eksplorasi dan klarifikasi mengenai efek poligami terhadap

psikologis wanita dan anak-anak. Sedang pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Dalam hal ini, peneliti ingin membahas

pandangan pribadi orang. Karena masing-masing orang berbeda. Perbedaan

pandangan ini sangat jelas. Bagaimanapun juga, kadang-kadang pandangan orang

agak mirip. Untuk mengetahui selisih perbedaan pandangan yang sedikit ini, alasan

informan dan penjelasan secara rinci perlu digali. Penulis ingin memahami dan

menggambarkan pandangan informan yang rumit itu secara mendalam, bukan secara

garis besar saja. Oleh karena itu, pendekatan kualitatif dianggap paling cocok untuk

penelitian ini. Adapun skripsi ini ditulis dengan berpedoman pada buku pedoman

penulisan skripsi yang dikeluarkan di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

E. Review Studi Terdahulu

Dari sekian banyak literatur skripsi Fakultas Syariah dan Hukum yang ada di

Perpustakaan dan berbagai wacana yang berkaitan dengan poligami. Penulis

mengambil beberapa skripsi dan wacana tersebut untuk dijadikan sebagai bahan

11

Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), Cet. Ke-15, h. 187.


(22)

perbandingan. Diantaranya adalah:

Penulis yang bernama Erlia Mukti, SJAS 2006, dengan judul skripsi

“Pengaruh Poligami Terhadap Kesejahteraan Keluarga (Studi Kasus Di Depok)”.

Skripsi ini lebih menekankan kepada hak atas anak dan pengaruh poligami terhadap

kesejahteraan keluarga. Menurut skripsi ini kesejahteraan keluarga tidak hanya diukur

dengan banyaknya materi, namun juga diukur dengan immateri yaitu, perasaan kasih

sayang dan rasa cinta yang mengalir dalam anggota keluarga. Pada umumnya keluaga

poligami mengalami kekurangan kesejahteraan, khususnnya kesejahteraan dalam hal

materi, yaitu 50% pelaku poligami berpenghasilan kurang dari 500.000 perbulan

padahal kebutuhan saat ini semakin mahal sehingga tak jarang isteri harus memenuhi

kebutuhan keluarganya sendiri. Jangankah untuk biaya pendidikan, urusan dapur pun

sangat sulit untuk dipenuhi.

Sedangkan Penulis yang bernama Ely Faizatun Na’imah, menulis wacana

“Poligami Dan Perempuan”. Penulis menguraikansalah satu faktor yang dianggap

menyuburkan terjadinya praktik poligami adalah teks-teks keagamaan. Pertama, bagi

para pelaku yang taat beragama dalam artian memahami dan menjalankan agama

secara ketat, biasanya mereka melakukan hal itu karena alasan mengikuti Sunnah

Rasulullah SAW. Kedua, Surat an-Nisa ayat 3, sering sekali dijadikan sebagai teks

legitimasi bagi pelaku polgami.12

Sedangkan Desertasi yang dibuat oleh Nina Nurmila, PhD untuk meraih

12

Ely Faizatun Na’imah, Poligami Dan Perempuan, diakses tgl.3-8-07, http://www.lingkarpeduliperempuan.blogspot.com/html.


(23)

14

gelar Doktornya tentang “Poligami Dalam Perspektif Sosial, Ekonomi Dan

Budaya”. Menurut penelitian penulis, dari pihak perempuan, poligami banyak

dilatarbelakangi oleh kebutuhan ekonomi untuk dapat keluar dari kemiskinan. Selain

mengatasi kemiskinan, perempuan yang mau dimadu, biasanya menganggap poligami

juga dapat meningkatkan status sosial yang lebih tinggi melalui status sosial

suaminya. Penyebab lainnya adalah faktor ketertarikan fisik dan mengakhiri masa

lajang. Penulis mengungkapkan, di lain pihak mayoritas kaum adam berpoligami

karena berawal dari selingkuh dan adanya asumsi bahwa poligami merupakan fitrah

laki-laki sehingga mendorongnya untuk mencari pelepasan hasrat seksual pada lebih

dari satu pasangan. Selain itu, ketidaksetaraan relasi jender antara suami dan istri

serta kampanye poligami juga dapat turut menjadi penyebab atau pendorong praktik

poligami. Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia juga bisa menjadi

faktor pendorong untuk berpoligami pada laki-laki yang merasa mampu memenuhi

kriteria yang disayaratkan untuk berpoligami.13

Berbeda dengan skripsi-skripsi terdahulu dan wacana yang ada, skripsi yang

penulis buat ini membahas tentang bagaimana para pelaku poligami membahas dan

menjelaskan perilaku poligami mereka yang sangat jarang tersentuh, sehingga sering

kali poligami itu dianggap sebagai suatu penyimpangan dan mengundang kontroversi

dari berbagai kalangan serta mencari tahu bagaiman poligami itu dilakukan dengan

menggunakan beberapa teori yaitu, Teori Gender, Teori Keadilan dan Teori Hak-Hak

13

Nina Nurmila, Poligami Dalam Perspektif Sosial,Ekonomi Dan Budaya, diakses tgl. 29-8-07, http://www.gatra.com/artikel.html.


(24)

Anak dan Isteri dengan menggunakan metode snow ball system.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan, penulis mengklasifikasikan skripsi ini ke

dalam lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab Pertama Pendahuluan yang memaparkan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab Kedua Pembahasan Poligami dan Hukum yang meliputi: Pengertian Poligami, Sejarah singkat poligami dan Poligami dalam hukum islam.

Bab Ketiga Mengkaji tentang eksistensi poligami dalam berbagai teori yang meliputi: teori gender, teori keadilan dan teori tentang hak-hak anak dan isteri.

Bab Keempat Mengkaji secara mendalam tentang fenomena pernikahan poligami di Kec. Pabuaran, meliputi: Gambaran Umum Kec. Pabuaran Kab. Subang,

Deskripsi tentang pengalaman pasangan pernikahan poligami serta respon masyarakat

terhadap pernikahan poligami.

Bab Kelima adalah bagian penutup yang mencakup kesimpulan pembahasan dan permasalahan yang menjadi fokus kajian. Selain kesimpulan, peneliti juga

menyampaikan saran-saran yang diperlukan, dan mengakhiri proposal ini dengan


(25)

BAB II

SEJARAH DAN HUKUM POLIGAMI

Poligami tetap merupakan fenomena yang banyak menyedot perhatian publik.

Pada titik tertentu, sikap publik terhadap fenomena tersebut tereduksi ke dalam dua

sikap: menolak dan mendukung. Namun demikian, hampir luput dari perhatian adalah

poligami tidak melulu dilihat dari persoalan sosio-kultural-historis yang melatarinya.

Pada akhirnya, ada usaha pereduksian bahwa poligami semata merupakan monopoli

agama, dalam hal ini Islam. Padahal sejatinya, institusi pernikahan lebih dahulu ada

ketimbang agama. Dengan kata lain poligami merupakan masalah kultural. Dengan

demikian, poligami harus ditempatkan terlebih dahulu ke dalam ranah sosio-kultural

sebelum menyikapinya dari berbagai perspektif, terutama normatif agama. Sebelum

melangkah lebih jauh, di awal BAB II ini, penulis ingin menyoal fenomena poligami

dalam dunia Islam. Fakta menunjukkan poligami banyak berlangsung dalam dunia

Islam, pada saat sama alasan berpoligami dikuatkan dengan landasan normatif Islam.

Karenanya, menyoal poligami dengan menitikberatkan dalam Islam,

mempertimbangkan bahwa mayoritas pelaku poligami di Indonesia adalah pemeluk

Islam, lebih memungkinkan ”mempopulerkan tujuan tulisan”, yaitu memerlihatkan

bahwa poligami bukanlah hal anjuran keberagamaan dan wajib. Bahkan pada titik

tertentu membawa kemudaratan, dalam perspektif hukum Islam, setiap tindakan yang

membawa pada kemudaratan pasti berstatus haram.1

1

Islam dan Poligami http://www.kompas.com/kompascetak/0409/21/swara/1275820.htm, diakses 3-5-06.


(26)

Ada kecenderungan untuk mengarahkan persoalan poligami sebatas

monopoli Islam. Karenanya, poligami lebih fenomenal dalam keberislaman. Patut

disesalkan ketika konteks sosio-kultural-historisnya tak tersentuh samasekali dalam

perdebatannya. Al-Quran, sebagai sumber normatif selain Sunnah, pada dasarnya

merupakan cermin budaya Arab Jahiliyah atau memotret kebudayaan zamannya.

Karenanya al-Quran bisa dianggap sebagai sebuah respon realitas sosial kala itu.

Hanya saja, ia bertujuan untuk menjadi sebagai rujukan pemercayanya sepanjang

zaman, maka dalam pemotretannya terjadi filterisasi.2 Untuk menemukan landasan

universalistik setiap permasalahan. Poligami merupakan hal lumrah dalam

masyarakat Arab ketika Islam kali pertama bersinggungan dengan tatanan

masyarakatnya kala itu. Islam berusaha untuk mengakomadasi hal tersebut dengan

cara pembatasan jumlah istri. Awalnya tidak terhingga, menjadi empat. Tidak boleh

dilupakan bahwa akomodatif tersebut merupakan upaya untuk menyikapi tendensi

hasrat manusia dalam urusan nikah atau ”percintaan”. Karenanya, selain memberikan

batasan, Islam juga memberikan pengetatan dalam pelaksanaannya, yaitu bertumpu

dalam konsep adil dan kemaslahatan.3

Pelaku poligami menganggap bahwa poligami merupakan sunnah. Hal

tersebut bisa dipertanyakan ulang. Masalahnya, sunnah dimaksud hanya mengikuti

Nabi tanpa mengetahui tujuan atau substansi tindakan tersebut.

2

Dedi Junaedi, Drs., Bimbingan Perkawinan: Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Quran dan As-Sunnah,(Jakarta: Akademika Pressindo, 2001), Cet.1, hal. 6.

3

John L. Esposito, Islam Warna Warni, Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus, (Paramadina, 1991).


(27)

17

Kala itu, poligami dilakukan Nabi lebih sebagai sikap preventif agar para

janda tersebut tidak mengalami kesulitan lebih hebat pasca kematian suaminya. Juga

sering dilupakan pelaku poligami, bahwa Nabi menolak ketika putrinya hendak

dimadu oleh ’Ali ibn Abu Thalib4. Nabi mengeluarkan opsi kepada ’Ali, tidak

memoligami Fatimah binti Muhammad atau menceraikannya.5

Pada tempat lain, al-Quran mengafirmasi poligami ketika kemampuan untuk

berlaku adil dimiliki oleh pelakunya. Tanpa ada kemampuan untuk berlaku adil, maka

dilarang berpoligami. Dengan kata lain al-Quran secara implisit, pada batasan tertentu

menolak poligami. Di titik ini, yang diabaikan begitu saja oleh pelakunya. Sebagai

sebuah respon atas semangat zamannya, akomodatif Islam terhadap poligami

merupakan upaya dinamisasi. Karenanya, konteks masyarakat Arab kala itu harus

dijadikan pijakan untuk mengkonklusikan sikap Islam terhadap poligami. Pertama,

wanita di waktu itu diperlakukan tidak seimbang. Kedua, corak patrialkalistik

mendominasi kehidupan sosial masyarakat Arab. Pada titik tertentu, wanita dianggap

sebagai simbol kemewahan atau kebesaran. Semakin banyak memiliki istri semakin

berkuasa atau terpandang.6

Ketika janda tua memiliki banyak anak berada dalam kehidupan

bermasyarakat patrialkalistik, tentu akan sangat sulit untuk memerjuangkan atau

memertahankan roda kehidupan ekonominya. Alasan tersebut harus dilihat mengapa

4

H.R Bukhori, Muslim dan Ibnu Majah dalam Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

5

Faqihuddin Abdul Kadir, Benarkah Poligami Sunnah, dalam http://www.kompas.com/kesehatan/news/0305/13/061353.htmdiakses 3-6-06.


(28)

Nabi memilih berpoligami. Karena pada kesempatan lain, Nabi menolak maksud

menantunya, ’Ali, untuk berpoligami. Pada sisi lain, upaya Nabi berpoligami bisa

diterjemahkan sebagai contoh tindakan. Dengan kata lain poligami Nabi merupakan

meaningfull action. Dengan begitu diharapkan bahwa tendensi berpoligami

mengalami perubahan tujuan. Semula lebih sebagai simbol kekuasaan, menjadi usaha

untuk meringankan beban wanita dalam menjalani hidupnya.7

A. Pengertian Poligami

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly atau polus yang berarti

banyak dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Kalau kedua

kata tersebut digabungkan menjadi poligami, maka artinya adalah perkawinan yang

banyak atau dengan ungkapan lain adalah perkawinan antara seorang dengan dua

orang atau lebih namun cenderung diartikan perkawinan satu orang suami dengan dua

istri atau lebih.8 Menurut Prof. DR. Hj. Khuzaimah Tahido Yanggo dalam situs

Muslimat NU, Poligami ialah mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang

sama. Berpoligami atau menjalankan (melakukan) poligami sama dengan poligini

yaitu mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama.

Poligami lawannya adalah poliandri, yaitu perkawinan antara seorang

perempuan dengan beberapa orang laki-laki. Sebenarnya istilah poligami itu

mengandung pengertian poligini dan poliandri. Tetapi karena poligami lebih banyak

6 Ibid., 7

Ibid., 8

Ahmad Maulana, dkk., Kamus Ilmiah Populer Lengkap, (Yogyakarta: Absolut, 2004), Cet. Ke-2, hal. 407.


(29)

19

dikenal terutama di Indonesia dan negara-negara yang memakai hukum Islam, maka

poligami dipahami sebagai poligini saja.9

Begitu pula Sayuti Thalib, ia mengemukakan bahwa arti dari kata poligami

adalah sama dengan poligini, yaitu seorang suami beristri lebih dari seorang wanita

dalam jangka waktu yang sama.10 Dan pengertian inilah yang secara umum berlaku

dimasyarakat. Sedangkan pengertian poligami (ta’addud al-jauzat) dalam Islam

adalah perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai

empat orang istri, tidak boleh lebih darinya.11

B. Sejarah Singkat Poligami

Poligami bukanlah tradisi yang ada dalam agama Islam saja, tetapi telah

berlaku meluas pada bangsa-bangsa sebelum Islam datang. Di antara bangsa-bangsa

itu seperi Ibrani, Arab Jahiliyah, dan Slavia.12

Para ahli sejarah dan ahli sosial menyebutkan bahwa poligami, dalam segala

bentuknya, telah ada dalam berbagai fase sejarah. Pada awalnya diketahui bahwa

poligami bertujuan untuk memperbudak wanita. Orang-orang yang kuat dan kaya

raya mengambil beberapa perempuan untuk kenikmatan dan melayani mereka.

Terutama bagi raja dan pemimpin, mereka juga memperbudak perempuan dan

begitulah seterusnya. Terdapat pula percampuran antara free sex dan

9

Prof. DR. Khuzaimah Tahido Yanggo, Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam dalam http://www.muslimat-nu.or.id/buku/poligami.htm diakses tanggal 16-12-2007.

10

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1981), h. 169. 11

Arij Abdurrahman As-Sanan, Memahami Keadilan Dalam Poligami, terj. Ahmad Sahal Hasan, Lc., (Jakarta: Global Media, 2003), Cet. I, hal. 25.

12

Dedi Junaedi, Drs., Bimbingan Perkawinan: Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah,(Jakarta: Akademika Pressindo, 2001), Cet. I, hal. 237.


(30)

senang dengan para tawanan.13

Poligami juga sudah dikenal sejak lama oleh orang-orang Mesir, Perancis,

Asyuriyun, Babilonia dan India, sebagaimana diketahui oleh orang-orang Rusia dan

Jerman, telah dilakukan oleh sebagian raja-raja Yunani, sebagaimana yang telah

diberitakan oleh agama Yahudi, dan kitab mereka tidak melarang adanya poligami.14

Bahkan agama Yahudi memperbolehkan poligami tanpa batas. Dan ada keterangan

dalam Taurat, bahwa Nabi Sulaiman As. mempunyai tujuh ratus orang istri yang

merdeka dan tiga ratus orang istri yang berasal dari budak.15 Dan meskipun dalam

Taurat tidak melarang adanya poligami dan tidak menghalangi para suami untuk

menikah dengan berapa saja banyaknya istri, namun pendeta-pendeta Yahudi

membenci adanya poligami, lalu berusaha mempersempit poligami dengan

membatasi istri hanya empat saja, dan menetapkan harus ada faktor-faktor pendorong

yang sah menurut agama, untuk bolehnya suami menikah dengan istri baru.16

Sepanjang zaman pertengahan, Yahudi hidup berkelompok dan terbiasa

dengan poligami, sampai akhirnya pada abad ke-11 M gereja melarang poligami,

untuk menekan kehidupan masyarakat pada waktu itu. Ketetapan tersebut

dipublikasikan oleh Dewan Gereja di kota Warmes, Jerman. Pada mulanya, ketetapan

ini hanya berlaku bagi orang-orang yahudi di Jerman dan Utara Perancis. Kemudian

13

Karam Hilmi Farhat Ahmad, Dr., Hikmah Pernikahan Rasulullah, terj. Farhan Munirul Abidin, (Malang: Al-Qayyim, 2004), Cet. I, hal 4.

14

Hilmi Farhat Ahmad, Op. Cit., hal. 6. 15

Musthafa As-siba’i, Wanita Diantara Hukum Islam dan Perundang-undangan, (Jakarta: Bulan Binatang, 1977), Cet. 1, h. 100.

16

Abdul Nasir Taufiq al-Atthar, Poligami Ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), Cet. 1, h.80.


(31)

21

menyebar ke seluruh umat Yahudi di Eropa.17

Undang-undang perdata Yahudi telah memutuskan untuk melarang poligami,

dan mengharuskan untuk bersumpah setia ketika mengadakan akad nikah. Apabila

suami ingin menikah dengan perempuan lain, maka harus menceraikan istri

pertamanya dan memberikan semua hak-haknya. Kecuali, bila istrinya

membolehkannya menikah lagi, suami dengan lapang dapat berkeluarga dengan dua

istri dan berbuat adil antara keduanya.18 Mereka juga dibolehkan berpoligami apabila

istrinya sakit, mandul, berkhianat dan sebagainya.

Nabi Isa as. datang untuk menyempurnakan syariat yang telah dibawa oleh

Nabi Musa as. dalam kitab Injil tidak terdapat nash yang melarang umatnya

berpoligami. Dalam agama Kristen tidak ada nash yang mengharamkan pengikutnya

untuk berpoligami, apabila mereka ingin melakukannya, maka hal tersebut

diperbolehkan.

Adapun ketetapan yang diterbitkan oleh Dewan Gereja dan jemaat Gereja

untuk melarang berpoligami adalah ketetapan hukum yang dibuat oleh manusia,

bukan agama. Ketetapan Pihak Gereja tentang pelarangan poligami muncul pada abad

pertengahan. Namun, pihak Gereja memberikan keringanan kepada para pembesar

untuk berpoligami.19 Paus Paulus melarang para uskup dan rahib untuk berpoligami,

namun sebagian dari mereka terdapa sekte yang menentang larangan ini.

17

Ibid., dengan merujuk kepada Taufiq Hasan Farj, Ahkam al-Ahwal as-Syahsiyah Lighairi al-Muslimin min al-Mishriyyin.

18

Ibid., dengan merujuk kepada Qanun al-Ahwal al-Syahsiyah li Thaifat al-Yahudiyah, hal, 101.


(32)

Raja Irlandia, Daisarmith, memiliki dua istri, begitu juga halnya dengan raja

Perancis yang menikahi dua istri. Raja Frederik II memiliki dua istri berdasarkan

kesepakatan dari Gereja. Gereja dalam hal ini membolehkan poligami, sedangkan di

sisi lain melarangnya.20

Najuziyah, salah seorang penganut Kristen yang menyetujui poligami

mengatakan: “Larangan poligami tidaklah masuk akal bagi umat Isa as, selama

mereka berpegang kepada agama Isa as , bahkan tidak mengapa bila mereka teap

menjadikan Taurat sebagai Kitab suci orang-orang Nashrani menjadi dasar agama

mereka, memperbolehkan poligami, apalagi Isa as telah menetapkan ketentuan ini

dengan mengatakan: ‘Saya datang bukan untuk mengurangi Namus ataupun para

Nabi sebelumnya, tetapi saya datang untuk menyempurnakan ajaran mereka’.”21

Selanjutnya secara resmi mereka memberitahukan untuk memperbolehkan poligami

bagi orang-orang Kristen Afrika tanpa ada batasan-batasan tertentu.22 Martin Luther

dan Kristen Protestan menganggap poligami sebagai sistem dan undang-undang yang

tidak terpisah dari ketetapan hukum yang dibawa oleh Al-Masih. Pendeta tersebut

mengatakan: “Sesungguhnya Tuhan memberikan izin bagi setiap pengikut Perjanjian

Lama dalam segala ihwal, pengikut Al-Masih berhak untuk melakukannya kapanpun

dia yakin situasinya mendukung. Bagaimanapun juga, poligami lebih baik daripada

harus bercerai.” Mazhab ini banyak terdapat di Jerman dan beberapa negara

19

Ibid., hal. 10; dengan merujuk Muhammad Abu Zahroh. 20

Ibid. 21

Ibid., dengan merujuk kepada Injil Mata al-Ishlah al-Khamis, Paragraf 17. 22


(33)

23

tetangganya.

Sekte Anababetist dan Mormoun memperbolehkan dan mengajak kepada

poligami. Mereka berpendapat bahwa istri pertama lebih utama dari istri-istri yang

lain, dan dialah yang berhak menyandang gelar suaminya. Sampai kemudian keluar

larangan dari gereja untuk beristri lebih dari satu, dan suruhan untuk menceraikan

istri kedua, kecuali bila istri pertama mandul. Gereja saat ini, di bawah kepausan

Roma, mengharamkan poligami. Kebijakan ini juga diikuti oleh aliran Ortodoks –

Ortodoks Roma dan Orman Ortodoks – yang tidak membolehkan seorang suami

untuk menikah lagi selama istri pertamanya masih hidup.

Di jazirah arab sendiri, jauh sebelum Islam, masyarakatnyatelah

mempraktekkan poligami malahan poligami yang tak terbatas. Sejumlah riwayat

menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan istri,

bahkan tidak sedikit kepala suku yang mempunyai ratusan istri.23

Karena itu tidaklah benar apabila dikatakan bahwa Islamlah yang mula-mula

membawa sistem poligami. Islam hanya melestarikan tradisi poligami yang telah ada

dengan memberikan aturan penyempurnaan dan pembatasan.24 Akan tetapi

sebagaimana yang dikutip oleh Musdah Mulia, bahwa dalam sejarah manusia,

perkembangan poligami mengikuti pola pandang masyarakat terhadap kaum

perempuan. Ketika masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan hina,

poligami menjadi subur, sebaliknya pada masyarakat yang memandang kedudukan

wa al-Nashara wa Awsathu Afriqiy, hal. 92. 23


(34)

perempuan terhormat, poligamipun berkurang.25

C. Poligami dalam Hukum Islam

Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian khusus dari Allah Swt. Sehingga tidak mengherankan kalau kemudian kita dapati masalah ini di awal surat an-nisa', yaitu pada ayat ke 3 :  

βÎ)uρ ÷Λä⎢øÅz ωr& (#θäÜ¡Å ø)è? ’Îû 4‘uΚ≈tGu‹ø9$# (#θßsÅ3Ρ$$ùs $tΒ z>$sÛ Νä3s9 z⎯ÏiΒ Ï™!$|¡ÏiΨ9$# 4©o_÷WtΒ y]≈n=èOuρ yì≈t/â‘uρ ( ÷βÎ*sùóΟçFøÅzωr&(#θä9ω÷ès?¸οy‰Ïn≡uθsù ÷ρr&$tΒôMs3n=tΒöΝä3ãΨ≈yϑ÷ƒr&4y7Ï9≡sŒ#’oΤ÷Šr&ωr&(#θä9θãès?∩⊂∪

Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Q.S. An-nisa: 3)26

Ayat ini merupakan ayat yang membicarakan masalah poligami. Ayat ini

diturunkan kepada Nabi saw. pada tahun ke delapan Hijriah, dengan tujuan untuk

membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat orang saja Akan tetapi, sebagian

mufassir dan ahli fiqih telah mengabaikan redaksi umum ayat dan mengabaikan

keterkaitan erat yang ada di antara poligami dengan para janda yang memiliki

anak-anak yatim.27

Inti utama perbedaan penafsiran ayat poligami di kalangan para mufassir

adalah pandangan tentang keabsolutan institusi poligami. Ayat tentang poligami turun

24

Dedi Junaedi, Loc. Cit. 25

Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), Cet. 1, h.3.

26

AlQuran al-karim dan terjemahnya, (Bandung: Al- Ma’rif, 1982). 27

Syahrur, Muhammad, Metodologi Islam Kontemporer, (Terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin), (Yogyakarta: Elsaq, 2004), Cet. 2, hal. 425.


(35)

25

setelah perang Uhud, dimana banyak sahabat wafat di medan perang. Sejumlah besar

para wanita dan anak-anak ditinggalkan tanpa tempat perlindungan. Untuk mengatasi

masalah tersebut, Allah swt mewahyukan ayat yang mengizinkan lelaki berpoligami.

Namun, meskipun poligami diizinkan, Allah swt membataskan jumlah isteri hanya

kepada empat orang saja.28

Ayat ini memungkinkan lelaki Muslim mengawini janda atau anak yatim jika

dia yakin itu merupakan cara melindungi kepentingan anak-anak yatim tersebut dan

juga untuk melindungi hartanya dengan penuh keadilan.29

Sayyid Qutb menggambarkan bahwa pada masa jahiliyah banyak

kebiasaan-kebiasaan buruk yang telah berlangsung saat datangnya Islam di tanah Arab. di

antaranya adalah hak-hak anak yatim dirampas khususnya anak-anak yatim

perempuan di dalam kangkangan keluarga, para wali dan penanggung jawab.

Hartanya yang baik, ditukar dengan yang buruk, dihambur-hamburkan dengan rakus,

karena khawatir bila anak-anak yatim itu telah besar akan mengambilnya. Anak-anak

yatim yang kaya ditahan untuk dijadikan istri oeh para walinya, karena tamak kepada

harta mereka bukan karena menginginkan mereka. Atau diberikan kepada anak lelaki

para wali, untuk tujuan yang sama, agar harta tidak keluar dan jatuh ke tangan orang

lain.30

28

Sisters in Islam ( 18 Agustus 1990), diakses tgl 17-12-2007, sumber: http://www.sistersinislam.org.my/SIS%20Malay%20web2/letterstoeditors/Malay/18081990.htm.

29

Lily Zakiyah Munir, "Wabah Itu Bernama Poligami", Kompas (Jakarta), 14 Desember 2006, hal. 39.


(36)

Kebiasaan ini juga berlangsung di awal Islam, hingga Al-Qur’an datang

melarang dan menghapuskannya dengan berbagai pengarahan luhur dan

mengembalikan masalah ini kepada hati nurani. Dalam ayat lain (QS. 4: 129)

⎯s9uρ (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ βr& (#θä9ω÷ès? t⎦÷⎫t/ Ï™!$|¡ÏiΨ9$# öθs9uρ öΝçFô¹tym ( Ÿξsù #( θè=ŠÏϑs? ¨≅à2 È≅øŠyϑø9$# $yδρâ‘x‹tGsù

Ïπs)¯=yèßϑø9$$x.4βÎ)uρ(#θßsÎ=óÁè?(#θà)−Gs?uρ χÎ*sù©!$#tβ%x.#Y‘θàxî$VϑŠÏm§‘∩⊇⊄®∪

Artinya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Secara kategoris menyatakan, tidak mungkin seorang lelaki dapat berlaku adil

terhadap istri-istrinya, betapapun dia menginginkannya. Ayat ini dapat disimpulkan,

Islam pada dasarnya agama monogami. Oleh karena itu, Sayyid Qutb menegaskan

bahwa, Islam tidak menumbuhkan poligami, tetapi hanya membatasinya. Tidak

memerintahkan poligami, tetapi hanya memberikan rukhshah dan menentukan syarat

di dalam pelaksanaannya. Islam memberikan rukhshah dalam hal ini untuk

menghadapi berbagai realitas kehidupan ummat manusia dan berbagai darurat fitrah

kemanusiaan. Jika tidak demikian, maka rukhshah yang diberikan, tidak boleh

dilakukan.31

Jika kita menoleh ke sejarah perkawinan Nabi SAW, akan kita jumpai bahwa

Nabi berpoligami pada masa hanya sepuluh tahun di akhir usianya. Sementara dua

30

Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Ainur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2001), Jilid 2, hal. 599.


(37)

27

puluh lima tahun sebelum itu Nabi menjalani kehidupan monogami bersama

Khadijah binti Khuwailid sampai Khadijah wafat dan Nabi saat itu telah berumur 50

tahun. Tiga tahun setelah itu barulah Nabi menjalani poligami.32 Wanita yang

dinikahi Rasul adalah semuanya janda, kecuali ’Aisyah r.a, dan semuanya untuk

tujuan menyukseskan dakwah, atau membantu dan menyelamatkan wanita yang

kehilangan suami. Mereka umumnya bukanlah wanita-wanita yang dikenal memiliki

daya tarik memikat.33

31

Sayyid Qutb, Op. Cit., hal. 650-1. 32

Siti Habiba (30 Agustus 2005), Poligami Dalam Perspektif Al-Qur'an & Sunnah, diakses tgl. 16-12-2007, http://www.selayar.com/islam/islam001.html.

33


(38)

Poligami adalah salah satu isu yang disorot tajam kalangan feminis, tak

terkecuali feminis Islam. Tradisi menikah lebih dari satu ini (perseliran), selalu saja

kontroversial, sehingga menuai subur pro dan kontra. Salah satu alasan yang sering

dilontarkan kelompok feminis untuk menolak poligami adalah praktek buruk pelaku

poligami. Banyak suami yang berpoligami mentelantarkan istri dan anak-anaknya,

menjadi alasan untuk mengharamkan poligami1.

Logika, pengharaman berdasarkan praktek yang keliru jelas berbahaya.

Jangankan yang berpoligami, yang menikah dengan satu istri juga banyak

mentelantarkan istri dan anak-anaknya. Apakah kemudian dengan alasan yang sama

kita kemudian mengharamkan pernikahan sama sekali meskipun dengan satu istri.

Poligami adalah salah satu hukum Allah, berbuat baik dan adil kepada istri adalah

hukum yang lain. Keduanya bukanlah syarat. Maksudnya, tidak boleh mensyaratkan

adil dan berbuat baik kepada istri untuk sebuah pernikahan. Keduanya perkara yang

berbeda.

1

Diungkapkan oleh pendiri Kajian Agama dan Jender Musdah Mulia dalam diskusi Trijaya, mengenai kontroversi poligami, di Plaza Semanggi, Jakarta, Sabtu (9/12/2006. Menurutnya, meski pemerintah membatalkan rencana revisi UU Perkawinan, sebenarnya UU tersebut perlu untuk direvisi dengan mengaitkan pada UU HAM, Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Perlindungan anak.


(39)

29

Namun setelah seseorang menikah suami harus berbuat baik kepada istrinya, menyantuninya, dilarang menyakitinya. Baik istrinya satu atau lebih dari satu. Dalam Islam menyakiti istri (baik satu ataupun lebih), mentelantarkannya, tidak memenuhi kewajiban menafkahinya, adalah tindakan kriminalitas yang diharamkan oleh Allah SWT. Negara lewat pengadilan boleh menjatuhkan hukuman untuk pelaku kriminalitas ini (yang tidak melakukan keadilan),2 tanpa perduli istrinya satu atau lebih. Jadi bukan menikahnya yang salah tapi menyakiti dan mentelantarkan istri yang salah.

Termasuk kita tidak boleh menggeneralisasikan seakan-akan semua praktik poligami membuat perempuan menderita. Pada faktanya, kalau poligami dijalankan dengan ikhlas dan benar sesuai syariah Islam, banyak istri yang tidak masalah. Dan kenapa pula kita hanya melihat kondisi istri yang pertama? Bukankah istri yang kedua juga adalah wanita yang merasa bahagia karena dia dinikahi secara sah?

Masalah poligami dipandang cukup krusial dalam pandangan feminis. Menurut kelompok feminisme ini, betapa tidak, bagaimana sakit hatinya perempuan yang dikhianati cintanya oleh orang yang disayangi. Belum lagi bila suami bersikap tidak adil dan lebih cenderung kepada istri lainnya, menyebabkan perempuan (istri pertamanya) ditelantarkan begitupun anak-anaknya. Alasan ini yang digunakan untuk menolak hukum kebolehan poligami. Kaum feminis mengingkari kebolehan poligami dan mencoba mengharamkannya. Keputusan haram lahir dari fakta yang

2

Keputusan MK no 12/PUU-V/2007 pada bagian Pendirian Mahkamah, MK berpendapat


(40)

perempuan teraniaya.3 Dengan demikian poligami harus dilarang karena ekses yang ditimbulkannya berupa ketidakadilan bagi istri dan anak-anak menjadi terlantar. Selanjutnya ketidakadilan poligami dinilai dari tidak etisnya alasan ketidakmampuan istri untuk bisa memperoleh keturunan yang sering dijadikan alasan mengajukan poligami. Keadaan istri yang mandul harus dibuktikan secara medis bukan hanya klaim suami saja. Kalaupun istri terbukti mandul, bukankah akan sangat menyakitkan hatinya jika kekurangan fisik yang telah diberikan sang Pencipta itu dijadikan dalih agar suami bisa menikah lagi.

Argumen seperti ini, tentu saja tidak berdasar. Fakta yang mereka ajukan boleh jadi memang benar. Ada istri yang ditelantarkan suaminya karena menikah lagi. Namun fakta ini tidak boleh dijadikan alasan untuk melarang poligami. Poligami adalah solusi yang diberikan Sang Pencipta manusia untuk mengatasi masalah. Perkawinan adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam menyalurkan hasrat naluri seksual. Perkawinan juga ditujukan untuk melahirkan keturunan dalam rangka pelestarian jenis manusia. Pada saat ada pasangan suami istri yang belum diberikan keturunan, sementara mereka segera menginginkannya, Allah SWT membolehkan suami menikah kembali dengan perempuan lain yang dapat memberi keturunan. Anak yang dilahirkan oleh istri

mengatur (verplicht te regel) terhadap persoalan yang menyangkut sisi keadilanmasyarakat.

3

Dikatakan oleh Musdah Mulia Musdah dikutip dari survei Pusat Penelitian Kajian Wanita

UI memperlihatkan, kalau poligami cenderung terkait dengan kekerasan rumah tangga, child abuse,


(41)

31

kedua dari suami tadi, juga merupakan ”anak” bagi istri pertamanya.

Dalam hal ini, fakta lain menunjukkan tidak sedikit seorang istri yang mendorong suaminya menikah lagi agar ia mempunyai keturunan dan hal tersebut didukung oleh keputusan konstitusional. 4 Fakta menunjukkan ada banyak keluarga yang melakukan poligami, mereka hidup rukun dan damai, harmonis dan saling membantu. Jadi, masalah yang seringkali muncul sebenarnya bukan karena poligami itu sendiri, melainkan karena pelaku poligami - dalam hal ini seorang suami tidak menjalankan konsekuensi dari tindakan yang ia ambil. Saat ia memutuskan untuk berpoligami, seharusnya ia memahami dan menjalankan konsekuensinya. Ia harus mampu menghidupi lebih dari satu keluarga. Orang-orang yang berada dibawah tanggungjawabnya telah bertambah dan ia harus siap untuk itu. Ketika ia tidak memenuhi konsekuensi dari berpoligami dan berbuat tidak adil seperti menelantarkan istri pertama dan anak-anaknya, yang disalahkan bukan hukum kebolehan poligami, namun pelaku poligami itu sendiri.

B. Poligami Menurut Teori Keadilan

Kata ‘adil’ berasal dari bahasa Arab (Al-‘adl) berarti lurus (al-Istiwa’) dan bengkok (al-i’wijaj) sekaligus.

Adil dalam istilah ulama memiliki dua arti: Pertama berarti istiqamah

(komitmen dengan agama dalam berprilaku), al-Jurjani berkata: al-‘Adlu ialah orang

4

Dalam pasal 4 ayat 2 undang-undang perkawinan dinyatakan bahwa pengadilan hanya akan memberikan izin pada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri.


(42)

kebaikannya lebih dominan dari kesalahannya, dan menjauhi pekerjaan-pekerjaan rendah. Ini definisi adil dalam kesaksian perkara dan periwayatan hadist. Menurut istilah fiqh orang yang adil dalam kesaksian adalah orang yang merdeka, telah baligh, berakal sehat, seorang muslim, pemilik moralitas tang tinggi, kebenarannya lebih banya dari kesalahannya, bukan orang fasiq (pendosa), bukan orang yang dicekal karena kasus tertentu, bukan pelaku bid’ah, bukan pendusta, bukan pelaku dosa besar atau dosa kecil yang menghinakan, dan benar-benar bukan kerabat orang yang ia bela dalam kesaksiannya, seperti ayah atau anak.5

Sedangkan makna Adil yang kedua ialah objektif dan seimbang (inshaaf ) atau lawan dhalim. Inilah makna yang sesuai dengan konteks pembahasan penulisan skripsi ini. Al-‘Adlu: al-Inshaf (objektif, seimbang), yaitu memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya, dan mengambil darinya apa yang bukan haknya. Dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha menyebutkan, al-Adlu ialah pertengahan antara sifat ifraath (berlebihan) dan tafriith (ketidak pedulian/ kekurangan).6

Secara sederhana kemudian dapat dikatakan bahwa adil kepada para istri sebagaimana yang dimaksudkan dalam surat an-Nisa’ 3, yaitu menyamakan para istri dalam hal bermalam (menggilir), dan semua nafkah lahir, baik pangan, sandang dan papan. Keadilan terhadap para istri adalah sebab kestabilan hidup berumah tangga, dan jalan menuju terwujudnya pergaulan dan perlakuan baik yang diperintahkan oleh

5 Arij Abdurrahman As-Sanan,

Op. Cit., hal. 38-9, dengan merujuk pada al-Qamus al-Fiqhi Lugal-Fuqaha; Ibid., hal 39-40.


(43)

33

Allah Swt. dalam surat an-Nisa’ : 19. Oleh sebab itu para ulama telah sepakat bahwa berlaku adil terhadap semua istri adalah kewajiban seorang suami, sekaligus syarat dihalalkannya poligami. Penulis Kiayah at-Thalib secara tegas menyatakan bahwa: seluruh ummat Islam sepakat baha berlaku adil terhadap para istri itu wajib. Barang siapa tidak berlaku adil berarti dia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak boleh menjadi imam, tidak diterima kesaksiannya (dalam perkara pengadilan). Dan siapa yang mengingkari kewajiban berlaku adil, harus diminta bertaubat tiga kali, jika ia tidak mau berarti kafir.7 Di dalam hadist Nabi Saw. kita dapati sabdanya:

  

و

روى

قتادة

عن

النضر

بن

أنس

عن

بشيربن

ن يك

عن

أبي

ريرة

قال

:

قال

رسول

الل

صلى

الل

علي

و

سلم

:

من

كانت

ل

امرأتان

فلم

يعدل

ين ما

جاء

يوم

القيامة

وشق

مائل

 

“Diriwayatkan dari Qatadah, dari Nadhr Ibn Anas, dari Basyir Ibn Nuhaik, Abu Hurairah berkata, Nabi Saw. bersabda: “Barangsiapa yang punya dua istri dan tidak berlaku adil kepada keduanya, maka pada hari Qiamat ia berjalan dengan pinggang yang miring.

Keadilan yang diwajibkan adalah keadilan yang dapat dikontrol suami dan menjadi kesanggupannya, seperti: perlakuan baik, bermalam, dan nafkah lahir. Sedangkan keadilan dalam hal-hal yang berada di luar kontrol suami dan di luar kesanggupannya seperti perasaan cinta, kecenderungan hati, dan hubungan seksual, semua itu bukanlah kewajiban.

Mencari keadilan dan keseimbangan adalah manhaj dan sasaran dari perintah

6 Seperti dikutip oleh Arij Abdurrahman As-Sanan dari

al-Mu’jam al-Wasith dan Mu’jam 7 Seperti dikutip oleh Arij Abdurrahman As-Sanan,


(44)

bernama keluarga. Ia merupakan batu pertama bagi bangunan sosial secara keseluruhan, dan titik tolak menuju kehidupan sosial umum. Di dalam keluarga, generasi tumbuh secara bertahap dengan lembut, luwes dan bisa beradaptasi. Bila tidak tegak di atas keadilan, kasih sayang dan kedamaian, maka tidak akan ada keadilan, kasih sayang dan kedamaian di dalam masyarakat secara keseluruhan.8

Dalam konteks poligami, didalam al-Qur’an sendiri keadilan mutlak menjadi syarat keabsahan poligami sekalipun ada permasalahan penafsiran atas teks disana. Dalam al-Qur’an, ada ayat yang secara eksplisit membolehkan poligami: dua, tiga atau empat orang isteri. Ayat inilah yang selalu menjadi senjata pendukung poligami untuk membenarkannya menurut optik Islam. Namun yang jarang diperhatikan, lanjutan teks Qur’an di atas juga memuat aturan yang ketat masalah keadilan.

(

….¸οy‰Ïn≡uθsù÷#θä9ω÷è?s ωr&ΟçFøÅzβÎ*sù÷

“…kalau kamu kuatir tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang perempuan saja…,” (Qs An-Nisa ; 3)

Terdapat beberapa penafsiran dari penggalan ayat diatas. Al-Qurthubi, mengutip pendapat ad-Dhahhak menafsirkan, keadilan dalam hal kecenderungan (al-mailu), cinta, seks, hubungan baik, dan giliran di antara istri-istri, apakah dua istri, tiga istri ataupun empat istri. Sedangkan Ibnu Katsir menafsirkan, bila kamu  takut mempunyai banyak istri (ta’addud), tidak dapat berbuat adil kepada 

8


(45)

35

mereka (istri‐istri) sebagaimana difirmankan Allah dalam an‐Nisa: 127 

((ΝçFô¹tymtÏθs9uρ™!$|¡ÏiΨ9$#⎦÷⎫t/#θä9ω÷ès?βr&#þθãè‹ÏÜtFó¡n@⎯s9uρ 

Sayyid Qutb menegaskan bahwa, Islam tidak menumbuhkan poligami, tetapi hanya membatasinya. Tidak memerintahkan poligami, tetapi hanya memberikan

rukhshah dan menentukan syarat di dalam pelaksanaannya. Islam memberikan rukhshah dalam hal ini untuk menghadapi berbagai realitas kehidupan ummat manusia dan berbagai darurat fitrah kemanusiaan. Jika tidak demikian, maka

rukhshah yang diberikan, tidak boleh dilakukan.9

Demikian Tuhan menegaskan.Di sini umat Islam perlu bertanya: mana watak perkawinan asli Islam? Potongan pertama “ayat poligami” di Qur’an, seakan menyusun tangga jumlah keutamaan pernikahan. Di mulai dari dua, tiga, lantas empat. Yang paling reflek ditangkap logika biasa: cobalah dua dulu; kalau masih berminat, bisa tiga; jika masih ada kemauan dan kemampuan, boleh nambah menjadi genap empat. Bahkan, sementara umat Islam, ada yang sampai hati menjumlahkan bilangan-bilangan yang disebut Tuhan di al-Quran tersebut. Dua plus tiga, plus empat, sehingga menghasilkan jumlah yang fantastis dan menguntungkan kecenderungan pernikahan seseorang.10

Perbedaaan pemahaman ini tidak lepas dari permasalah hermeneutika (cara tafsir) atas ayat al-Qur’an. Masalahnya adalah, apakah penyebutan dua, tiga, empat,

9Sayyid Qutb, Op. Cit., hal. 650-1.

10


(46)

yang kemudian? Kalau itu dilihat sebagai urutan keutamaan, ya poligami menjadi pilihan. Yang sering terlupakan adalah kelanjutan “ayat poligami” ini. Justru, yang terlupakan inilah sebetulnya ruh ayat itu. Yaitu: masalah keadilan. Keadilan atas siapa? Tentu yang dimadu (perempuan). Dari sudut pandang siapa keadilan itu? Ya, jelas sudut pandang perempuan. Sebab, yang menjadi objek poligami adalah perempuan, yang makan hati dan tahu takaran keadilan poligami adalah perempuan itu sendiri, utamanya yang dimadu. Dan perlu diingat, bahwa Tuhan juga menegaskan, bahwa Engkau tidak akan dapat berlaku adil, walau berusaha keras untuk itu.11

È≅øŠ

y

ϑø9

$

#

Ÿ

¨≅à2

(

#

θè=ŠÏϑ

s

?

ξ

s

ù

(

Νç

F

ô

¹

t

y

m

ö θ

s

9

u

ρ

Ï™

!

$

¡

|

ÏiΨ9

$

#

t

⎦÷⎫

t

/

(

#

θä9Ï

÷

è

s

?

β

r

& #

þθã

è

‹Ï

Ü

t

F

ó

¡

n

@

s

9

u

ρ

∩⊇⊄®∪

$

VϑŠÏ

m

§

#

Y

θà

x

î

 

t

β

%

x

.

©

!

$

#

χÎ

*

s

ù #

θà)−

G

s

?

u

ρ

(

#

θß

s

Î=ó

Á

è

?

βÎ

)

u

ρ

4

π

s

)¯=

è

y

ßϑø9

$

$

x

.

$

δρâ

y

x

t

G

s

ù

Artinya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 4: 129) Ayat ini terbukti, bahwa Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. manusia yang paling dimuliakan Allas Swt – walaupun tidak menyatakan secara langsung rasa cinta kepada salah seorang istrinya, namun tak seorangpun dari sahabat dan istri-istri Nabi Saw. yang tidak mengetahui bahwa Beliau sangat mencintai ‘Aisyah, dan

11


(47)

37

mengutamakannya dengan simpati hati yang khusus, yang tidak didapatkan oleh istri-istri yang lain. Karena hati bukanlah milik manusia, tetapi aia berada di antara jemari Allah Yang Maha Rahman, dibolak-balikkan-Nya sekehendak-Nya.

Sebagaimana dapat kita lihat dalam sabda Nabi :

كان

علي

السلام

يقول

:

الل م

إن

ذ

قسمتي

فيما

أملك

فلا

ﻲ ْﻤﻠﺗ

فيما

تملك

ولا

أملك

(رواﻩأبوداودوالترمذيوالنسائي)

“Ya Allah, inilah bagianku pada apa yang aku tidak memilikinya, maka janganlah Engkau mencelaku pada apa yang Engkau miliki dan tidak aku miliki.” (HR. Abu Daud, At-Turmudzi dan Nasai)12

Setelah dilihat dari segi ayat al-Qur’an yang menerangkan ketidakmampuan untuk berlaku adil diantara istri yang lebih dari satu jumlahnya kita akan mencoba terlepas dari konteks keagamaan yang bersifat sensitif dan cenderung emosional. Mubahnya hukum pilogami harus dengan syarat dapat berbuat adil terhadap para isteri. Jika tidak yakin bahwa dirinya tidak dapat berbuat adil, maka tidak boleh kawin poligami. Namun demikian bila orang tersebut melangsungkan perkawinannya, maka akad nikahnya tetap sah menurut ijma’ (konsensus) ulama meskipun ia tetap dihukumi berdosa. Para ulama sepakat, sebagaimana dikuatkan oleh tafsir dan perbuatan rasulullah SAW, bahwa yang dimaksud dengan adil di sini (ayat pertama) adalah adil dalam pengertian segi materi, seperti rumah, pakaian, makanan, minuman dan segala sesuatu yang berhubungan dengan mu’amalah kepada isteri.13 Sedangan adil yang tidak mungkin

12

Ahmad Mushthafa Almaraghi, Tafsir Al-Maraghi,terj .(Semarang: PT. Karya Putra,1993).

13

Prof. Abdur Rahman Doi, Ph.,D, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rineke Cipta,


(48)

(abstrak) seperti rasa cinta dan kecendrungan hati. Sebab biasanya bila seorang kawin lagi dengan wanita kedua, ia lebih cenderung berpaling dari isteri pertama.

Namun demikian, adil bersifat materi tetap menjadi syarat kelangsungan berpoligami. Oleh karenanya poligami telah lama diterapkan masyarakat dunia, termasuk di Indonesia. Masyarakat sebagai suatu sistem yang dinamis selalu berusaha mencapai kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Parameter baik dan buruk dapat kita analisis dari fenomena yang terjadi pada masyarakat itu sendiri.

C. Poligami Menurut Teori Hak-hak anak dan Istri

1. Hak anak

Hak anak kerap diabaikan dalam kasus poligami, akibatnya proses tumbuh kembang anak rentan karena perilaku poligami. Padahal seharusnya anak menjadi faktor pertimbangan utama untuk melakukan poligami.14

Aktivis hak anak, Rachma Fitriati, dalam diskusi Trijaya, mengenai kontroversi poligami, di Plaza Semanggi, Jakarta, Sabtu (9/12/2006). Mengatakan bahwa "Proses tumbuh kembang anak tidak pernah menjadi perhatian dalam penyusunan UU Perkawinan, harusnya anak menjadi faktor pertimbangan yang kuat dalam proses poligami," Rachma menilai, seharusnya dalam UU Perkawinan dan PP 10 tahun 1983 tentang poligami, memasukkan hak anak sebagai pertimbangan utama. Sementara dalam PP 10 tahun 1983 hanya menyebutkan PNS boleh berpoligami asalkan ada izin atasan dan istri pertama, tanpa menyinggung hak anak.


(49)

39

.

Rachma menilai, sebenarnya masih perlu dilakukan revisi peraturan terkait, untuk memperketat peraturan khususnya tentang hak anak. Sehingga pelaku poligami yang mengakibatkan anak menjadi terlantar bisa ditindak negara. Namun Rachma juga tidak menyangkal, adanya kasus-kasus poligami yang meningkatkan kualitas hak anak. Hal yang sama juga diungkapkan oleh pendiri Kajian Agama dan Jender Musdah Mulia. Menurutnya, meski pemerintah membatalkan rencana revisi UU Perkawinan, sebenarnya UU tersebut perlu untuk direvisi dengan mengaitkan pada UU HAM, Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Perlindungan anak.15

"Hal ini agar poligami tidak merugikan orang-orang yang rentan terhadap kekerasan terutama wanita dan anak-anak," ujar Musdah. Karena dari survei Pusat Penelitian Kajian Wanita UI memperlihatkan, kalau poligami cenderung terkait dengan kekerasan rumah tangga, child abuse, konflik keluarga dan kesehatan.

2. Hak istri

Poligami merupakan syariat Islam yang akan berlaku sepanjang zaman hingga hari akhir. Poligami diperbolehkan dengan syarat sang suami memiliki kemampuan untuk adil di antara para isteri, sebagaimana pada ayat 3 surah annisa’ yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengahwininya), maka kahwinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat

14

Ardian Wibisono, Hak Anak Terabaikan, http//www.detik.com.diakses tanggal 09-12-06.

15


(50)

Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” 16

Berlaku adil dalam bermuamalah dengan isteri-isterinya, yaitu dengan memberikan kepada masing-masing isteri hak-haknya. Adil disini lawan dari zalim, yaitu memberikan kepada seseorang kekurangan hak yang dipunyainya dan mengambil dari yang lain kelebihan hak yang dimilikinya. Jadi adil dapat diartikan persamaan. Berdasarkan hal ini maka adil antara para isteri adalah menyamakan hak yang ada pada para isteri dalam perkara-perkara yang memungkinkan untuk disamakan di dalamnya. “Adil adalah memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan haknya“.17

Apa saja hak seorang isteri di dalam poligami? Di antara hak setiap isteri dalam poligami adalah sebagai berikut:

a) Memiliki rumah sendiri

Setiap isteri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al Ahzab ayat 33:

t

βö

s

%

u

ρ

’Î

û

£⎯ä3Ï

?

θã‹ç

/

Artinya: “Menetaplah kalian (wahai isteri-isteri Nabi) di rumah-rumah kalian.”

Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menyebutkan rumah Nabi Shallallahu

16

HakIstriPoligamidalamhttp://www.perpustakaanislam.com/mod.php?mod=publisher&op=vi ewarticle&artid=113 diakses tanggal 30-05-06.

17 Ibid.,


(51)

41

‘Alaihi wa Sallam dalam bentuk jamak, sehingga dapat dipahami bahwa rumah beliau tidak hanya satu. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menceritakan bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sakit menjelang wafatnya, baginda Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, “Dimana aku besok? Di rumah siapa?’ Baginda Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menginginkan di tempat Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, oleh karena itu isteri-isteri beliau mengizinkan beliau untuk dirawat di mana saja baginda menginginkannya, maka baginda dirawat di rumah Aisyah sampai baginda wafat di sisi Aisyah. Baginda Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat pada hari giliran Aisyah. Allah mencabut ruh baginda dalam keadaan kepala baginda bersandar di dada Aisyah Radhiyallahu ‘Anha. Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan dalam kitab Al Mughni bahwasanya tidak pantas seorang suami mengumpulkan dua orang isteri dalam satu rumah tanpa redha dari keduanya. Hal ini dihawatirkan dapat menjadikan penyebab kecemburuan dan permusuhan di antara keduanya. Tidak boleh mengumpulkan para isteri dalam satu rumah kecuali dengan rido mereka juga. Ini merupakan pendapat dari Imam Qurthubi di dalam tafsirnya dan Imam Nawawi dalam Al Majmu Syarh Muhadzdzab.

b) Menyamakan para isteri dalam masalah giliran

Setiap isteri harus mendapat hak giliran yang sama. Imam Muslim meriwayatkan hadis yang artinya; Anas bin Malik menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki 9 isteri. Kebiasaan baginda Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bila menggilir isteri-isterinya, baginda mengunjungi semua isterinya dan baru berhenti (berakhir) di rumah isteri yang mendapat giliran saat itu.


(52)

isterinya, maka dilakukan undian untuk menentukan siapa yang akan ikut serta dalam perjalanan. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menyatakan bahwa apabila Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hendak bermusafir, baginda mengundi di antara para isterinya, siapa yang akan baginda Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sertakan dalam musafirnya. Baginda Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam biasa menggilir setiap isterinya pada hari dan malamnya, kecuali Saudah bintu Zam’ah karena hak gilirannya telah diberikan kepada Aisyah Radhiyallahu ‘Anha. Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa seorang suami diperbolehkan untuk masuk ke rumah semua isterinya pada hari giliran salah seorang dari mereka, namun suami tidak boleh menggauli isterinya yang bukan pada waktu gilirannya. Seorang isteri yang sedang sakit maupun haid tetap mendapat hak giliran sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menyatakan bahwa jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ingin bermesraan dengan istrinya namun saat itu isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang haid, beliau memerintahkan untuk menutupi bagian sekitar kemaluannya. Syaikh Abdurrahman Nashir As Sa’dy rahimahullah, ulama besar dari Saudi Arabia, pernah ditanya apakah seorang isteri yang haid atau nifas berhak mendapat pembahagian giliran atau tidak. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa pendapat yang benar adalah bagi isteri yang haid berhak mendapat giliran.18

18 Ibid.,


(53)

43

c) Tidak boleh keluar dari rumah isteri yang mendapat giliran menuju rumah isteri yang lain.

Seorang suami tidak boleh keluar untuk menuju rumah isteri yang lain yang bukan gilirannya pada malam hari kecuali keadaan darurat. Larangan ini disimpulkan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di rumah Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, tidak lama setelah baginda berbaring, baginda bangkit dan keluar rumah menuju kuburan Baqi sebagaimana diperintahkan oleh Jibril alaihi wa sallam. Aisyah Radhiyallahu ‘Anha kemudian mengikuti baginda karena menduga bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan pergi ke rumah isteri yang lain. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pulang dan mendapatkan Aisyah Radhiyallahu ‘Anha dalam keadaan termengah-mengah, baginda Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, “Apakah Engkau menyangka Allah dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil kepadamu?” Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menyatakan tidak dibolehkannya masuk rumah istri yang lain di malam hari kecuali darurat, misalnya si isteri sedang sakit. Jika suami menginap di rumah isteri yang bukan gilirannya tersebut, maka dia harus mengganti hak isteri yang gilirannya diambil malam itu. Apabila tidak menginap, maka tidak perlu menggantinya.


(54)

Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu bahwa termasuk sunnah bila seseorang menikah dengan gadis, suami menginap selama tujuh hari, jika menikah dengan janda, ia menginap selama tiga hari. Setelah itu barulah ia menggilir isteri-isteri yang lain.19 Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha mengkhabarkan bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahinya, beliau menginap bersamanya selama tiga hari dan beliau bersabda kepada Ummu Salamah, “Hal ini aku lakukan bukan sebagai penghinaan kepada keluargamu. Bila memang engkau mau, aku akan menginap bersamamu selama tujuh hari, namun aku pun akan menggilir isteri-isteriku yang lain selama tujuh hari.” 20

e) Wajib menyamakan nafkah21

Setiap isteri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri-sendiri, hal ini berkonsekuensi bahwa mereka makan sendiri-sendiri, namun bila isteri-isteri tersebut ingin berkumpul untuk makan bersama dengan keredhaan mereka maka tidak apa-apa. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa bersikap adil dalam nafkah dan pakaian menurut pendapat yang kuat, merupakan suatu kewajiban bagi seorang suami. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu

19

Fatwa-Fatwa tentang Wanita Jilid 2”, Darul Haq, (Jakarta ü As Sa’dani , As Sayyid bin Abdul Aziz, 2004).

20

Ibid., dengan merujuk pada Fatwa Tentang Wanita. 21


(1)

67

B. Saran-saran

Dalam hal ini, penulis hanya ingin memberikan saran, yaitu bahwa:

1. Perlu adanya kajian lebih mendalam terhadap poligami dari segi fiqh di dalam kurikulum pelajaran agama di sekolah-sekolah mengingat di Indonesia wacana poligami menjadi hal yang kontroversial berkepanjangan.

2. Wacana poligami juga hendaknya disosialisasikan dalam kajian-kajian yang diadakan di lapisan masyarakat umum seperti pengajian-pengajian rutin, khutbah jum,at, dan kajian keagamaan lainnya.

3. Para pelaku poligami harus memiliki syarat utama berpoligami yaitu Adil dan Kecukupan Materi

4. Ada baiknya poligami dihindari untuk mengeliminir konflik atau problem-problem yang muncul, terutama bagi mereka yang merasa tidak mampu untuk berbuat adil terhadap isteri-isterinya dengan munculnya berbagai masalah yang dapat mengusik ketenangan batinnya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan As-Sunnah, Jakarta: Akademika Pressindo, cet. 1, 2001.

Al-Quran al-Karim dan terjemahnya, Penerbit PT. Alma'rif - Bandung : 1982.

Abdullah, M. Sufyan Raji, Drs., Lc., Poligami dan Eksistensinya, Bekasi: Pustaka Riyadl, cet. 1, 2004.

Atthar, at-, Abdul Nasir Taufiq, Dr., Poligami Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-undangan, Jakarta: Bulan Bintang, cet. 1, 1976.

Al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammad Ibn Ahmad al-Anshari, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Mesir: Maktabah al-‘Arabiyah, , Jilid 2. 1968M/1387H.

As-Sanan, Arij Abdurrahman, Memahami Keadilan Dalam Poligami, terj. Ahmad Sahal Hasan, Lc., Jakarta: Global Media, cet. I. 2003.

Arikunto, Suharsimi, Managemen Penelitian, Jakarta: PT. Rineka Cipta, cet. Ke-2. 1993.

Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeva, cet.1, 1996.

Departemen Agama RI., Al-‘Aliyy: Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Penerbit Diponegoro, cet. Ke-4. 2005.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1988.

Esposito, John L. "Islam Warna-Warni, Ragam Ekspresi Menuju "Jalan Lurus", Paramadina :1991.

Farida, Poligami Dilema Bagi Perempuan, Jurnal Perempuan, Jakarta: Yayasan Junal Perempuan, No. 22, 2002.


(3)

Farj, Taufiq Hasan., Ahkam Ahwal as-Syahsiyah Lighairi Muslimin min al-Mishriyyin, terj.

Hakim, Rahmat, Drs., Hukum Perkawinan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, cet.1, 2000.

Hasan, M. Ali., Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta : Siraja, 2003.

Habibah, Siti (30 Agustus 2005), Poligami Dalam Perspektif Al-Qur'an & Sunnah, diakses tgl. 16-12-2007, http://www.selayar.com/islam/islam001.html.

Jahrani, aj- Musfir Husain, Dr., Poligami Dari Berbagai Persepsi, Jakarta: Gema Insani press, cet.1, 1996.

Junaedi, Dedi, Drs., Bimbingan Perkawinan: Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, Jakarta: Akademika Pressindo, cet. I, 2001.

Jurnal Perempuan (28-07-2005), Poligami Bukan Identitas Keislaman, diakses tgl. 30-05-06, sumber: http://www.kalyanamitra.or.id/berita_detail.php?brID=453. Khadduri, Majid., Teologi Keadilan Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1999. Karam Hilmi,Farhat Ahmad, Dr., Hikmah Pernikahan Rasulullah, terj. Farhan

Munirul Abidin, Malang: Al-Qayyim, cet. I. , 2004.

Katsir, Ibn, Tafsir Al-Quran al-‘adzim, jld. 2, Bogor al-Wazan,2004.

Mulia, Siti Musdah., Dr., MA., APU., Islam Menggugat Poligami, Gramedia - Jakarta 2004.

Mulia, Siti Musdah., Dr., MA., APU., Pandangan Islam Tentang Perkawinan Poligami, Lembaga Kajian Agama dan Gender, cet. 1, 1999.


(4)

Rosdakarya, Cet. Ke-15, 2001.

Maulana, Ahmad, dkk., Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Yogyakarta: Absolut, Cet. Ke-2, 2004.

Qutb, Sayyid,Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Ainur Rafiq Shaleh Tamhid, Jakarta: Rabbani Press, Jilid 2. 2001.

Rahman, Abdur, Prof., Doi., Ph.D., Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, cet.1, 1992.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, Vol. 2, cet. I. 2000.

Soekanto, Soerjono., Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, cet. Ke-3. 1986.

Siba’i, as- Musthofa, Wanita Diantara Hukum Islam dan Perundang-undangan, Jakarta: Bulan Bintang, cet.1, 1997.

Syahrur, Muhammad, Metodologi Islam Kontemporer, (Terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin), (Yogyakarta: Elsaq, 2004), Cet. 2, hal. 425.

Suara Karya (7 Mei 2005), diakses tanggal: 05-06-06, http://www.menegpp.go.id/menegpp.php?cat=detail&id=artikel&dat=110.

Sisters in Islam ( 18 Agustus 1990), diakses tgl 30-5-06, sumber: http://www.sistersinislam.org.my/SIS%20Malay%20web2/letterstoeditors/Mala y/18081990.htm.

Thalib, sayuti, S. H., Hukum Kekeluargaan Dalam Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1981. Turner, Jonathan H, The Structure of Sociological Theory, California: Wadsworth


(5)

Yanggo, Khuzaimah Tahido, Prof. DR., Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam dalam http://www.muslimat-nu.or.id/buku/poligami.htm diakses tanggal 06-06-06.

Lily Zakiyah Munir, "Wabah Itu Bernama Poligami", Kompas (Jakarta), 14 Desember 2006, hal. 39.

Wawancara

Sekretaris Camat Pabuaran Subang. Sekretaris KUA Pabuaran Subang. Ketua RT. 49 RW. 15 Pabuaran Subang.

Ahmad Zein,“Pelaku Poligami”, Wawancara Pribadi. Aan Winarsih, “Pelaku Poligami”, Wawancara Pribadi. Dadang Hermansyah,”Pelaku Poligami”,Wawancara Pribadi. EP, ”Pelaku Poligami”, Wawancara Pribadi.

Iti Sukasih, “Pelaku Poligami”, Wawancara Pribadi. IM, “Pelaku Poligami”, Wawancara Pribadi.

MM, “Pelaku Poligami”, Wawancara Pribadi.

Oyyib Suherman, “Pelaku Poligami”, Wawancara Pribadi. Sri Muniati, “Pelaku Poligami”, Wawancara Pribadi. Siti Salimah, “Pelaku Poligami”, Wawancara Pribadi. Zainal Abidin,”Pelaku Poligami”, Wawancara Pribadi


(6)