Poligami Menurut Teori Gender

BAB III POLIGAMI DALAM BERBAGAI TEORI

A. Poligami Menurut Teori Gender

Poligami adalah salah satu isu yang disorot tajam kalangan feminis, tak terkecuali feminis Islam. Tradisi menikah lebih dari satu ini perseliran, selalu saja kontroversial, sehingga menuai subur pro dan kontra. Salah satu alasan yang sering dilontarkan kelompok feminis untuk menolak poligami adalah praktek buruk pelaku poligami. Banyak suami yang berpoligami mentelantarkan istri dan anak-anaknya, menjadi alasan untuk mengharamkan poligami 1 . Logika, pengharaman berdasarkan praktek yang keliru jelas berbahaya. Jangankan yang berpoligami, yang menikah dengan satu istri juga banyak mentelantarkan istri dan anak-anaknya. Apakah kemudian dengan alasan yang sama kita kemudian mengharamkan pernikahan sama sekali meskipun dengan satu istri. Poligami adalah salah satu hukum Allah, berbuat baik dan adil kepada istri adalah hukum yang lain. Keduanya bukanlah syarat. Maksudnya, tidak boleh mensyaratkan adil dan berbuat baik kepada istri untuk sebuah pernikahan. Keduanya perkara yang berbeda. 1 Diungkapkan oleh pendiri Kajian Agama dan Jender Musdah Mulia dalam diskusi Trijaya, mengenai kontroversi poligami, di Plaza Semanggi, Jakarta, Sabtu 9122006. Menurutnya, meski pemerintah membatalkan rencana revisi UU Perkawinan, sebenarnya UU tersebut perlu untuk direvisi dengan mengaitkan pada UU HAM, Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Perlindungan anak. 28 29 Namun setelah seseorang menikah suami harus berbuat baik kepada istrinya, menyantuninya, dilarang menyakitinya. Baik istrinya satu atau lebih dari satu. Dalam Islam menyakiti istri baik satu ataupun lebih, mentelantarkannya, tidak memenuhi kewajiban menafkahinya, adalah tindakan kriminalitas yang diharamkan oleh Allah SWT. Negara lewat pengadilan boleh menjatuhkan hukuman untuk pelaku kriminalitas ini yang tidak melakukan keadilan, 2 tanpa perduli istrinya satu atau lebih. Jadi bukan menikahnya yang salah tapi menyakiti dan mentelantarkan istri yang salah. Termasuk kita tidak boleh menggeneralisasikan seakan-akan semua praktik poligami membuat perempuan menderita. Pada faktanya, kalau poligami dijalankan dengan ikhlas dan benar sesuai syariah Islam, banyak istri yang tidak masalah. Dan kenapa pula kita hanya melihat kondisi istri yang pertama? Bukankah istri yang kedua juga adalah wanita yang merasa bahagia karena dia dinikahi secara sah? Masalah poligami dipandang cukup krusial dalam pandangan feminis. Menurut kelompok feminisme ini, betapa tidak, bagaimana sakit hatinya perempuan yang dikhianati cintanya oleh orang yang disayangi. Belum lagi bila suami bersikap tidak adil dan lebih cenderung kepada istri lainnya, menyebabkan perempuan istri pertamanya ditelantarkan begitupun anak-anaknya. Alasan ini yang digunakan untuk menolak hukum kebolehan poligami. Kaum feminis mengingkari kebolehan poligami dan mencoba mengharamkannya. Keputusan haram lahir dari fakta yang 2 Keputusan MK no 12PUU-V2007 pada bagian Pendirian Mahkamah, MK berpendapat negara bukan hanya berwenang mengatur bevoeg te regel tapi justru memiliki kewajiban untuk 30 menunjukkan bahwa pelaku poligami umumnya berlaku tidak adil dan menyebabkan perempuan teraniaya. 3 Dengan demikian poligami harus dilarang karena ekses yang ditimbulkannya berupa ketidakadilan bagi istri dan anak-anak menjadi terlantar. Selanjutnya ketidakadilan poligami dinilai dari tidak etisnya alasan ketidakmampuan istri untuk bisa memperoleh keturunan yang sering dijadikan alasan mengajukan poligami. Keadaan istri yang mandul harus dibuktikan secara medis bukan hanya klaim suami saja. Kalaupun istri terbukti mandul, bukankah akan sangat menyakitkan hatinya jika kekurangan fisik yang telah diberikan sang Pencipta itu dijadikan dalih agar suami bisa menikah lagi. Argumen seperti ini, tentu saja tidak berdasar. Fakta yang mereka ajukan boleh jadi memang benar. Ada istri yang ditelantarkan suaminya karena menikah lagi. Namun fakta ini tidak boleh dijadikan alasan untuk melarang poligami. Poligami adalah solusi yang diberikan Sang Pencipta manusia untuk mengatasi masalah. Perkawinan adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam menyalurkan hasrat naluri seksual. Perkawinan juga ditujukan untuk melahirkan keturunan dalam rangka pelestarian jenis manusia. Pada saat ada pasangan suami istri yang belum diberikan keturunan, sementara mereka segera menginginkannya, Allah SWT membolehkan suami menikah kembali dengan perempuan lain yang dapat memberi keturunan. Anak yang dilahirkan oleh istri mengatur verplicht te regel terhadap persoalan yang menyangkut sisi keadilan masyarakat. 3 Dikatakan oleh Musdah Mulia Musdah dikutip dari survei Pusat Penelitian Kajian Wanita UI memperlihatkan, kalau poligami cenderung terkait dengan kekerasan rumah tangga, child abuse, konflik keluarga dan kesehatan. detik.com 09122006. 31 kedua dari suami tadi, juga merupakan ”anak” bagi istri pertamanya. Dalam hal ini, fakta lain menunjukkan tidak sedikit seorang istri yang mendorong suaminya menikah lagi agar ia mempunyai keturunan dan hal tersebut didukung oleh keputusan konstitusional. 4 Fakta menunjukkan ada banyak keluarga yang melakukan poligami, mereka hidup rukun dan damai, harmonis dan saling membantu. Jadi, masalah yang seringkali muncul sebenarnya bukan karena poligami itu sendiri, melainkan karena pelaku poligami - dalam hal ini seorang suami tidak menjalankan konsekuensi dari tindakan yang ia ambil. Saat ia memutuskan untuk berpoligami, seharusnya ia memahami dan menjalankan konsekuensinya. Ia harus mampu menghidupi lebih dari satu keluarga. Orang-orang yang berada dibawah tanggungjawabnya telah bertambah dan ia harus siap untuk itu. Ketika ia tidak memenuhi konsekuensi dari berpoligami dan berbuat tidak adil seperti menelantarkan istri pertama dan anak-anaknya, yang disalahkan bukan hukum kebolehan poligami, namun pelaku poligami itu sendiri.

B. Poligami Menurut Teori Keadilan