Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Maraknya poligami saat ini sesungguhnya merupakan akumulasi yang didapat minimal dari tiga faktor: Pertama, lumpuhnya sistem hukum kita, khususnya Undang- undang Perkawinan. Kedua, masih kentalnya budaya patriarki; dan ketiga, kuatnya interpretasi agama yang bias jender. Realitas sosiologis di masyarakat menjelaskan bahwa poligami selalu dikaitkan dengan ajaran Islam. Untuk ini, Apakah betul Islam mengajarkan poligami? Apakah benar Rasul mempraktekkan poligami? Dan bagaimana seharusnya membaca teks-teks agama tentang poligami? Di Indonesia, persoalan poligami bukanlah fenomena yang baru. Ini dapat dilihat bagaimana pernikahan semacam ini dilakukan oleh banyak kalangan dari waktu ke waktu meskipun seringkali menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak dengan alasan merugikan kaum perempuan. Pada pertengahan tahun 2007, masalah poligami kembali mengemuka, karena salah seorang tokoh agama yang sangat diidolakan masyarakat Indonesia, melakukan poligami. Alasan yang dikemukakan tokoh tersebut adalah agar tidak terjerumus dalam perbuatan zina dan mengikuti sunnah Rasul Saw. Masalah ini menyentak semua orang, dari rakyat jelata, sampai kepada Presiden Republik indonesia. Banyak dialog yang dilakukan disana sini. 1 Namun penulis melihat, praktik poligami bukan monopoli tokoh tersohor saja, poligami justru kerap dilakukan segala kalangan. Namun, yang penting perilaku mereka ternyata acapkali melanggar hukum. Hal itu bisa disimak dari data Kantor Urusan Agama KUA maupun Kantor Catatan Sipil KCS Subang berdasarkan laporan tahun 2004, modus pelaku poligami cukup beragam, namun hampir seluruhnya tak mengindahkan Peraturan yang ada. Modus Pelaku Poligami Jenis Modus Jumlah Menikah di bawah tangan 12 Pemalsuan Identitas di KUA - Nikah tanpa izin istri pertama 3 Memaksa mendapatkan izin 1 Tidak diketahui modus 2 18 Sumber: KUA Subang Syarat berpoligami tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan khusus buat Pegawai Negeri Sipil PNS harus juga mempertimbangkan PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS. Yang dibutuhkan sekarang adalah usaha untuk mencerdaskan perempuan dan menyadarkan mereka tentang hak mereka. Karena selama ini yang selalu dimunculkan dalam wacana poligami adalah perempuan harus bahkan wajib menerima mengizinkan bila suami minta izin untuk beristri lagi, dengan alasan menjalankan syariat Islam, tunduk kepada perintah Allah dan lain-lain. 1 Disini perempuan sangat dirugikan. Mereka seringkali tidak diberi kesempatan untuk berpendapat, menyatakan apa yang mereka rasakan. Padahal pada pasal 11 Deklarasi PBB Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan menyebutkan, “kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan baik secara fisik, seksual atau psikologis. Termasuk ancaman dan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.” Merujuk pada definisi tersebut, Dewita Hayu Shinta, seorang aktivis APIK Jakarta, secara tegas menyatakan Poligami adalah bentuk kekerasan yang cukup beragam, dari yang tidak ketara sampai yang vulgar. Bagi Dewi “Kalau istri terpaksa memberi izin kepada suami untuk menikah lagi, itu saja sudah dinamakan kekerasan terhadap perempuan.” 2 Penulis melihat bahwa tidak selamanya poligami itu dipandang negatif. Ada pula dampak positifnya seperti yang terjadi pada masyarakat Subang, yaitu bahwa 1 Seperti Poligami Itu Indah, Poligami Itu Sunnah, Indahnya Poligami, Poligami Membawa Berkah, Membangun Rumah di Surga dengan Poligami, Beribu Hikmah Dalam Poligami, Kalau Nabi Saja Berpoligami, Mengapa Kita Tidak, Poligami Itu Cara Allah Membebaskan Perempuan Dari Keterpurukkan, Satu-satunya cara laki-laki menghindar dari zina, ya poligami,Laki-laki yang tidak berpoligami itu hanya tiga kemungkinan; selingkuh, impoten atau bukan laki-laki dan sejumlah slogan lainnya. 2 http;www.hukumonline.comdetail.asp?id=15941cl=fokus diakses tanggal 30-5-2006. istri kedua akan dapat menjadi kawan yang saling terbuka dalam meniti hidup. Seolah-olah itu memang menjadi syariat Islam. Dalam Islam, perdebatan ulama seputar permasalahan pernikahan poligami telah ada sejak lama. Di antara mereka ada yang membolehkan dan ada juga yang melarang. Hal ini terkait erat pada penafsiran ayat al-Quran yang berkenaan dengan syarat adil dan batasan istri yang mau dinikahi. Kalau kita mengkaji penafsiran ulama-ulama modern, yang sudah mulai memperhatikan aspek kepentingan perempuan, dan menghindarkan diri dari penafsiran bias jender, kita dapati penafsiran yang lebih moderat dan memperhatikan perempuan. Pada masa Islam datang, kaum lelaki telah memiliki sepuluh istri, lebih sedikit, ataupun lebih banyak dari itu, tanpa pembatasan dan persyaratan. Islam kemudian memberikan batasan yang tidak boleh dilanggar, yaitu empat. Dan juga ada syaratnya, yaitu harus bisa berbuat adil, bila tidak bisa, maka monogami adalah mutlak dan tidak boleh melampauinya. 3 Jika kita menoleh ke sejarah perkawinan Nabi SAW, akan kita jumpai bahwa Nabi berpoligami pada masa itu, hanya sepuluh tahun di akhir usianya. Sementara dua puluh lima tahun sebelum itu Nabi menjalani kehidupan monogami bersama Khadijah binti Khuwailid sampai Khadijah wafat dan Nabi saat itu telah berumur 50 tahun. Tiga tahun setelah itu barulah Nabi menjalani poligami. 4 Wanita yang dinikahi Rasul adalah semuanya janda, kecuali ’Aisyah r.a, dan semuanya untuk tujuan 3 Sayyid Qutb,. Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Ainur Rafiq Shaleh Tamhid, Jakarta: Rabbani Press, 2001, Jilid 2, hal. 599. 4 Siti Habiba 30 Agustus 2005, Poligami Dalam Perspektif Al-Quran Sunnah, diakses tgl. 30-5-06, http:www.selayar.comislamislam001.html. menyukseskan dakwah, atau membantu dan menyelamatkan wanita yang kehilangan suami. Mereka umumnya bukanlah wanita-wanita yang dikenal memiliki daya tarik memikat. 5 Satu hal yang menarik, Nabi menolak ketika putri kesayangannya Fatimah az- Zahra akan dimadu oleh suaminya Ali bin Abi Thalib. 6 Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan dari Miswar bin Makhramah ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda ketika ia berada di atas mimbar: Sesungguhnya Bani Hasyim bin al Mighirah minta izin untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Saya tidak mengizinkan, kemudian saya tidak mengizinkan, kemudian saya tidak mengizinkan, kecuali jika putra Abi Thalib menceraikan putriku dan menikahi putri mereka. Karena sesungguhnya dia Fatimah adalah bagian dari diriku, mencemaskanku apa yang mencemaskannya dan menyakitiku apa yang menyakitinya.HR. Bukhari. Dari hadist di atas, kita dapat menafsirkan bahwa sebenarnya Rasul Saw. lebih menyukai monogami. Hal ini dapat kita lihat dari sikap Beliau yang tidak mengizinkan anaknya dimadu. Namun, dalam perjalanan menyampaikan Risalah dari Allah Swt., mengharuskan Nabi melakukan sesuatu yang dituntut oleh syiar risalahnya, salah satunya adalah melakukan poligami. 7 Terlepas dari kontroversi tersebut, poligami tetap terjadi di masyarakat. Apakah ini merupakan imbas dari dari perubahan sosial yang begitu cepat sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran nilai kemudian mempengaruhi setiap tindakan individu atau mungkin juga dikarenakan kontrol sosial yang ada di masyarakat 5 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2000, Vol. 2, Cet. I, hal. 322. 6 Siti Habiba, Loc. Cit. 7 Karam Hilmi Farhat Ahmad, Dr., Hikmah Pernikahan Rasulullah, terj. Farhan Munirul Abidin, Malang: Al-Qayyim, 2004, Cet.1, hal.4. melemah? Kontrol sosial senantiasa diperlukan dalam sebuah masyarakat untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Kontrol soaial memiliki arti luas yang begitu luas, bukan hanya pengawasan masyarakat terhadap pemerintah, tetapi juga kontrol sosial individu terhadap individu lainnya. Semuanya itu merupakan proses pengendalian soaial yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari, walau seringkali manusia tidak menyadarinya. 8 Banyak faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan menyimpang atau deviation. Salah satunya karena melemajnya kontrol sosial atau karena adanya pergeseran nilai yang kemudian menyebabkan perubahan cara pandang seseorang terhadap norma-norma yang ada di masyarakat. Dalam hal ini, orang yang berpoligami memiliki cara pandang atau pola fikir yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya tentang norma agama atau norma lainnya yang berkaitan dengan masalah poligami tersebut. Ada beberapa faktor yang dimungkinkan mempengaruhi pola fikir atau cara pandang seseorang, di antaranya faktor pendidikan, sosial budaya dan ekonomi. 9 Untuk mengetahui lebih jelas tentang permasalahan ini, paling tidak ada satu hal yang cenderung luput dari perhatian kita, yakni mengajak bicara secara terbuka para pelaku poligami suami,istri pertamake duake tiga atau seterusnya dan anak- anak pasangan poligami dalam hal ini. Selama ini mereka cenderung diabaikan 8 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 1990, cet. Ke-4. 9 Muhammad Syahrur, MetodologiIslam Kontemporer, Yogyakarta: Elsaq, 2004, cet. Ke-2. sehingga suara-suara dan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh mereka tidak mengemuka, dan sebagai konsekuensinya adalah para pelaku poligami cenderung hanya dihakimi, dicaca dan di hujat. Hal tersebut dikarenakan selama ini pendekatan yang sering kali digunakan terhadap persoalan poligami lebih banyak bersifat normatif. Ada beberapa alasan, mengapa isu pernikahan poligami mendapat sorotan tajam terutama dari aspek normatif. Pertama, di dalam masyarakat yang masih kuat memegang tradisi dan doktrin keagamaan, pernikahan poligami seringkali dianggap sebagai perilaku mengikuti sunnah Rasul yang menyimpang. Kedua, pernikahan poligami dipandang akan banyak menimbulkan konflik dan dampak negatif bagi masa depan anak dan istri. Ketiga, pernikahan poligami yang terselubung cenderung berkorelasi dengan tingginya kasus perceraian yang kemudian dinilai sebagai akibat ketidakmampuan suami berlaku adil. Dengan latar belakang yang telah penulis gambarkan, penulis mencoba untuk mengungkapkan batasan tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul “PERNIKAHAN POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF PELAKU STUDI PADA MASYARAKAT KEC. PABUARAN KAB. SUBANG” Adapun yang menjadikan alasan penulis memilih judul ini, adalah: 1. Karena ingin menyerap informasi dari mereka yang melakukan pernikahan poligami, sehingga isu ini menjadi sangat penting. 2. Karena tidak selamanya poligami membawa dampak negatif terhadap keluarga

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah