BAB IV PENDAPAT HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH
A. Pendapat Para Ulama Secara Umum
Kesaksian terhadap akad nikah adalah perkara wajib dan merupakan syarat keabsahan nikah menurut banyak ulama. Diantara mereka adalah Abu
Hanifah, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Ulama berbeda pendapat mengenai hal ini hanya bila saksi satu-persatu.
Mayoritas ulama Kufah dan selainya berpendapat bahwa nikah tidak sah sebelum dua saksi bersaksi secara bersama-sama pada saat akad nikah
dilangsungkan. Sebagian ulama Madinah yaitu imam Malik bin Anas meriwayatkan
apabila saksi bersaksi satu-persatu, maka hukumnya boleh bila mereka mengumumkan pernikahan itu
146
. Dalam kitab al-Muwaththa’, imam Malik meriwayatkan dari Abu Zubair
al-Maliki, bahwa Umar bin Khaththab pernah mendatangi pernikahan yang tidak disaksikan kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka Umar
berkata : “ini adalah nikah sirri, dan aku tidak membolehkannya”.
146
Syaikh Hasan Ayyub, Panduan Keluarga Muslim, Kairo-Mesir: Daar As-Salam, 2002, Cet. I, h. 216
2 Ibid., h. 216
Imam Ahmad dan Ishak mengatakan diperbolehkan kesaksian satu orang saksi laki-laki dan dua orang perempuan dalam satu pernikahan.
147
Dalam kitab al-Bahr dari Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Abdurrahman bin Mahdi dan Dawud, bahwa ia tidak mensyaratkan saksi dalam pernikahan.
148
Imamiyah berpendapat bahwa kesaksian dalam perkawinan hukumnya adalah istishab, dianjurkan, dan bukan merupakan kewajipan.
149
Jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa saksi sangat penting adanya dalam pernikahan. Apabila tidak dihadiri oleh para saksi, maka hukum pernikahan
menjadi tidak sah walaupun diumumkan oleh khalayak ramai dengan cara lain. Karena saksi merupakan syarat sahnya pernikahan. Bahkan imam Syafi’i
mengatakan bahwa saksi dalam akad nikah merupakan rukun pernikahan.
150
Jika para saksi yang hadir diamanatkan oleh pihak yang mengadakan akad nikah agar merahsiakan dan tidak memberitahukannya kepada khalayak ramai,
maka nikahnya tetap sah.
151
Imam malik dan para sahabatnya mengatakan bahwa saksi dalam akad nikah itu tidak wajib dan cukup diumumkan saja. Mereka beralasan bahwa jual
beli yang di dalamnya disebut soal mempersaksikan ketika berlangsungnya jual
147
Ibid., h. 216
148
Syaikh Hasan Ayub, Fikih Keluarga, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2001. Cet 1, h. 65
149
Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, Beirut: Dar al-Jawad, 1996, cet. I. h. 314
150
Slamet Abidin, Aminuddin, Fikih Munakahat 1 Untuk Fakultas Syari’ah Komponen MKDK, h.99
151
Ibid., h. 99
beli sebagaimana tersebut di dalam al-Quran bukan merupakan sebagian dari syatar-syarat yang wajib dipenuhi.
152
Mempersaksikan ini dilakukan setelah ijab qabul untuk menghindari perselisihan antara kedua mempelai. Jika waktu ijab
qabul tidak dihadiri oleh pihak saksi, tetapi sebelum mereka bercampur kemudian mempersaksikan, maka pernikahanya tidak batal, tetapi jika sudah bercampur
belum dipersaksikan maka nikahya batal.
153
Ibnu Munzir berpendapat bahwa tidak ada satu pun hadits sahih tentang syarat dua orang saksi dalam pernikahan.
154
Yazid bin Harun berkata bahwa Allah SWT memerintahkan mengadakan saksi dalam urusan jual beli, bukan dalam pernikahan. Akan tetapi golongan
rasionalis pemakai dasar qiyas mensyaratkan adanya saksi dalam pernikahan dan mereka tidak mensyaratkan saksi dalam jual beli. Jika telah terjadi akad
nikah, tetapi dirahsiakan dan mereka memesankan kepada orang yang hadir agar merahsiakan pula, maka pernikahanya sah, tetapi makruh karena menyalahi
perintah syariat agar mengumumkan pernikahan.
155
Ibnu Wahab meriwayatkan dari imam Malik tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan dengan disaksikan oleh dua orang laki-laki,
tetapi dipesan agar mereka merahsiaknnya. Menurut beliau, keduanya harus
152
Ibid., h. 99
153
Ibid., hal. 99
154
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Darl Fath, 2004, jilid 2, h. 542
155
Ibid., h. 542
diceraikan dengan satu talak, tidak boleh menggaulinya, tetapi isterinya berhak atas maharnya yang telah diterimanya, sedangkan kedua orang saksinya tidak
dihukum.
156
Malik dari Abiz-Zubair mengatakan: “Bahwa dibawa kepada Umar pernikahan yang tiada disaksikan pada perkawinan
tersebut. Maka Umar r.a berkata: ini perkawinan rahsia. Saya tidak memperbolehkannya. Jika engkau telah bersetubuh pada perkawinan tersebut,
nescaya saya rejam”.
157
Ibnu Taimiyyah menentang persyaratan adanya saksi saja tanpa ada pengumuman adalah lemah tidak berdasarkan kitab ataupun sunnah, karena tidak
ada satu hadits pun dari Nabi SAW yang menjelaskan hal itu. Di antara sesuatu yang tidak mungkin adalah bahwa Rasulullah SAW tidak menjelaskan syarat-
syarat suatu perkara yang boleh dilakukan oleh kaum muslimin, padahal ini termasuk sesuatu yang sangat sering dilakukan oleh banyak orang.
158
Para fuqaha’ sepakat menyatakan bahwa kehadiran saksi dalam majlis akad nikah tidak boleh diabaikan karena saksi menjadi bagian penting dalam akad tersebut.
Tiga imam mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali memandang saksi sebagai unsur
156
Ibid., h. 542
157
Al-Imam-Asy-Syafi’i.R.A. Al-Umm Kitab Induk, Kuala Lumpur: Victory Agencie, jilid 7, h. 176
158
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Ensiklopedia Fiqih Wanita, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008, Cet 1, h. 279
mutlak, saksi adalah rukun dari akad nikah yang tidak sah akadnya bila ditinggalkan. Jika dalam majlis akad nikah tidak dihadiri dua orang saksi maka
akad nikah itu batal. Peran penting saksi dalam keabsahan akad nikah ini oleh fuqaha’ disepakati berhubung karena mendapatkan hadits mengenai saksi nikah
dalam sejumlah riwayat, meskipun dalam bunyi matan yang bervariasi.
159
Dipandang oleh fuqaha’ dari jumlah dan variasi itu, lalu satu sama lain dijadikannya sebagai syahidul hadits yang saling memperkuat kedudukan nilai
hadits dasar hukum yang dipegangi. Matan hadits yang ditakhrijkan asy-Syafi’i riwayat dari sumber Ibnu ’Abbas sebagai berikut:
[ -[
]D ?
ﺵ 1
ﺵ 1
u 3
1 m
160
Artinya: “Tidak dianggap sah suatu perkawinan kecuali dengan wali yang cakap dan dua orang saksi yang adil”
Imam malik berpendapat apabila suatu majlis akad nikah tidak dihadiri oleh seorang saksi, kemudian diberitahukan kepada khalayak secara terbuka maka
akad nikah itu bisa menjadi sah. Tetapi apabila suatu majelis akad nikah dihadiri saksi dan saksi itu dibebani agar tidak memberitahukan kapada siapa pun maka
akad nikah tersebut tidak sah. Akad nikah dalam pernikahan menurut beliau bukan wajib tapi sunnah hukumnya.
161
159
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995, Cet 1, h. 47
160
Ibid., h. 49
161
Ibid., h. 48
Sabda Rasulullah SAW sehubungan dengan akad nikah dan pengumumannya diriwayatkan oleh Aisyah r.a:
3 }
E =
r ;
D .
= 1
ﺽ ?
3 8
4 C1
; I
162
Artinya: “Umumkanlah akad nikah ini dan lakukanlah pengumuman itu melalui mesjid, pukullah di sana rebana
”.
B. Pendapat Mazhab Syafi’i