B. Kedudukan Saksi Dalam Akad Nikah
Akad pernikahan mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang
melaksanakan akad nikah. Dalam menempatkan kedudukan saksi dalam perkawinan ulama jumhur yang terdiri dari ulama Syafi’iyah, Hanabilah,
menempatkannya sebagai rukun dalam perkawinan. Sedangkan ulama Hanafiyah dan Zhahiriyah menempatkannya sebagai syarat. Menurut ulama Malikiyah tidak
ada keharusan untuk menghadirkan saksi dalam waktu akad nikah, yang diperlukan adalah mengumumkannya namun disyaratkan adanya kesaksian
melalui pengumumam itu sebelum dhukhul dilakukan.
101
Pendapat yang berbeda dengan pendapat jumhur ulama di atas adalah ulama Syi’ah Imamiyah. Bagi mereka tidak ada keharusan adanya saksi waktu
berlangsungnya akad perkawinan bahkan akad dapat berlangsung tanpa adanya saksi. Keberadaan saksi bagi mereka adalah sunnah
102
. Adapun hadits Nabi SAW adalah dari Ibnu Abbas menurut riyawat al-Tarmizi
O z
- v
i {
, Q
: -,
z 8
? 7-8
103
Artinya: “Pelacur-pelacur itu adalah orang yang menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya saksi”.
101
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007, Cet 1, h. 81
102
Ibid., h. 81
103
Ibid., h. 82
Hadits Nabi SAW dari Amran ibn Husein menurut riwayat Ahmad, sabda Nabi:
m13 u1 ﺵ D -6[X [
104
Artinya: “Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil”.
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut
kepentingan isteri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari isterinya itu. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah
menghindari fitnah dan prangsakaan jelek dari masyarat
105
. Berbeda dengan Imam Malik, kehadiran saksi pada saat akad nikah, tidak wajib
fardhu, tetapi cukup dengan pemberitahuan pengumuman kepada orang banyak, bahwa akad nikah itu telah berlangsung seperti mengadakan resepsi
perkawinan atau dengan cara lain. Namun malikiyah tetap menganggap perlu pemberitahuan itu sebelum suami melakukan dukhul persetubuhan. Demikian
menurut Imam Malik dengan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh At- Tirmizy dari Aisyah:
X 3
E ﺽ
? 3
8 4
z ?
m
106
104
Ibid., h. 83
105
Ibid., h.84
106
Ibid., 84
Artinya: “Beritahukanlah siarkanlah akad nikah itu dan untuknya tabuhlah gendang”
Hadits ini
jelas menunjukkan
bahwa pemberitahuan
tentang berlangsungnya akad nikah boleh dengan jalan apa saja yang antara lain dengan
menabuh gendang, dalam konteks saat ini yakni diadakannya resepsi pernikahan
107
. Perlu diketahui adanya perbedaan jumhur dan mazhab Maliki dalam hal-hal
sebagai berikut: 1 Jumhur mensyaratkan adanya saksi ketika berlangsung akad nikah dengan
kata arti bahwa akad nikah menjadi batal tanpa kehadiran saksi 2 Mazhab Maliki mensyaratkan adanya pemberitahuan ketika akan berlangsung
persetubuhan sesudah akad. Tetapi manakala terdapat saksi atau pemberitahuan ketika berlangsungnya akad, maka hal itu sudah dipandang
cukup.
108
Walaupun akad nikah sama dengan akad-akad lainya yang mensyaratkan keredhaan, ijab qabul, akan tetapi Islam sangat memuliakan akad pernikahan.
Islam menjadikan sebagian dari agama dan pengabdian diri kepada Allah SWT, oleh karena itu melakukan pernikahan dianggap sebagai ketaatan dan
mendekatkan diri kepada Allah SWT serta diberikan ganjaran pahala. Oleh karena
107
Ibid., 84
108
Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan, Jakarta: Balai Penerbitan dan Perpustakaan Islam Yayasan Ihya’ Ulumiddin, 1971, h. 180
itu, agama Islam mewajibkan kehadiran saksi untuk menyaksikan akad nikah, karena akad nikah merupakan penyatuan antara seorang pria yang akan menjadi
calon suami dengan wanita yang akan menjadi calon isteri. Jika kedudukan sebagai saksi dalam akad nikah tidak terpenuhi maka akad nikah yang
dilangsunkan menjadi tidak sah.
C. Syarat Sahnya Saksi Dalam Akad Nikah