itu, agama Islam mewajibkan kehadiran saksi untuk menyaksikan akad nikah, karena akad nikah merupakan penyatuan antara seorang pria yang akan menjadi
calon suami dengan wanita yang akan menjadi calon isteri. Jika kedudukan sebagai saksi dalam akad nikah tidak terpenuhi maka akad nikah yang
dilangsunkan menjadi tidak sah.
C. Syarat Sahnya Saksi Dalam Akad Nikah
109
Tidaklah cukup kehadiran saksi dalam akad pernikahan, akan tetapi kehadiran saksi mesti memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang. Inilah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama. Bagi ulama Hanafiyah saksi itu boleh terdiri satu orang
lelaki dan dua orang perempuan. Sedangkan bagi ulama Zhahiriyah boleh saksi itu terdiri dari empat orang perempuan.
b Kedua saksi itu adalah beragama Islam. Akad nikah seorang perempuan yang bersaksikan orang bukan Islam adalah tidak sah karena akad nikah dianggap
urusan agama. Ia mesti disaksikan oleh saksi yang beragama Islam. Karena orang Kafir tidak boleh menjadi saksi keatas orang Islam. Persaksian juga
merupakan penguasaan al-wilayah. Oleh itu saksi orang Kafir tidak dibolehkan karena mereka tidak mempunyai kekuasaan terhadap orang Islam.
Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. At-Taubah 9: 71
109
Ibid., 101
V- F •s 31- F
Q+N•_ = ]-
j” ab =•–† H
M 6F
Q 6N V H —,
}MVF ab F]Š H
83 89˜•
ab H
83 cdPg
ab ]- H
h ™
’ 6ƒšl † ›
+Nœc o M6’
• P
h žgHŸ
_:] 6X
70
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka
menyuruh mengerjakan yang maruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
c Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka
110
. d Kedua saksi itu adalah laki-laki. Sebagaimana disebutkan dalam syarat ulama
Hanafiyah membolehkan saksi perempuan asalkan diantaranya ada saksi laki- laki. Sedangkan ulama Zhahiriyah membolehkan semuanya perempuan
dengan pertimbangan dua orang perempuan sama kedudukannya dengan seorang laki-laki. Zuhri rh. Berkata ” Sunnah Rasulullah SAW tidak
membenarkan saksi perempuan dalam hukum hudud, nikah dan talak”.
111
e Kedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga maruah. Ulama
110
Ibid., 101
111
Ibid., h. 101
Hanafiyah tidak mensyaratkan adil pada saksi dalam akad perkawinan. Jika orang yang menyaksikan dalam pernikahan tidak adil maka hukum
pernikahan tersebut tetap sah. Setiap orang yang sudah pantas menjadi saksi, boleh menjadi saksi, karena maksud adanya saksi adalah untuk diketahui
umum.
112
Imam Syafi’i dan imam Hambali mereka bersepakat bahwa saksi itu harus adil. Mereka mengatakan bahwa apabila pernikahan disaksikan oleh
dua orang yang belum diketahui adil atau tidaknya, maka hukumnya tetap sah. Karena pernikahan itu terjadi diberbagai tempat, di kampung-kampung,
daerah terpencil maupun di kota, dimana ada orang yang belum diketahui adi atau tidaknya. Jika diharuskan mengatui lebih dahulu adil tidaknya seseorang
saksi hal ini berarti akan menyusahkan. Oleh karena itu, adil bisa dilihat lahirnya saja pada saat itu sehingga ia tidak terlihat fasik. Karenanya syarat
adil untuk menjadi saksi dalam pernikahan cukup melihat dari segi lahirnya saja. Apabila ternyata di kemudian hari setelah terjadinya akad nikah
diketahui kefasikannya, maka akad nikahnya tidak terpengaruhi berarti tetap sah.
113
.Terdapat lima syarat bagi sifat adil yaitu : 1. Orang yang adil yaitu orang yang menjauhi dosa-dosa besar, artinya
menjauhi tiap-tiap dosa besar. Maka orang yang melakukan dosa
112
Ibid., h. 101
113
Ibid., h. 101
besar tidak dapat diterima persaksiannya. Seperti melakukan zina dan pembunuhan.
2. Orang yang adil itu tidak sedikit melakukan dosa-dosa kecil, maka persaksian orang yang sering melakukan dosa kecil adalah tidak
diterima. 3. Orang yang adil itu selamat i’tiqadnya kepercayaannya, maka tidak
dapat diterima persaksian orang yang berbuat bid’ah yang menjadi kufur atau fasiq dengan perbuatan bid’ahnya. Seperti orang yang
ingkar akan adanya hidup selepas mati. 4. Orang yang adil itu diamankan marahnya, maksudnya tidak boleh
emosional. Maka tidak dapat diterima persaksian orang yang tidak dapat mencegah emosinya.
5. Orang yang adil itu dapat menjaga kehormatannya sesuai dengan orang yang sepadannya.
114
f Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.
115
g Kedua saksi itu mempunyai maruah.
116
h Kedua saksi itu bukan wali yang melakukan akad nikah. i Kedua saksi itu mengerti perkataan ijab dan qabul.
114
Imron Abu Amar, Fat-Hul Qarib, Menara Kudus, jilid 2, h. 262
115
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-undang Perkawinan,
hal 81
116
Nasahruddin Thaha, Pedoman Perkawinan Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1960, Cet 3, h. 43
j Saksi hendaklah berakal dan baligh. Tidak sah akad nikah yang disaksikan oleh orang-orang gila dan kanak-kanak karena akad nikah adalah satu akad
yang amat besar. Karena kehadiran orang-orang gila dan kanak-kanak akan meremehkan perkara yang besar itu.
Syarat-syarat menjadi saksi menurut Sayyid Sabiq dalam kitab fikih sunnah adalah berakal sehat, dewasa, dan mendengarkan omongan dari kedua belah pihak
yang berakad dan memahami bahwa ucapan-ucapan yang dimaksudnya adalah sebagai ijab qabul dalam pernikahan.
117
Jika yang menjadi saksi itu anak-anak, orang gila atau orang mabuk, maka pernikahannya tidak sah, sebab mereka dipandang seperti tidak ada.
1 Bersifat adil
118
Menurut imam Hanafi, untuk menjadi saksi dalam pernikahan tidak disyaratkan harus adil. Jika pernikahan yang dihadiri oleh dua orang fasik hukumnya sah.
Setiap orang yang suda patut menjadi wali dalam pernikahan boleh menjadi saksi karena maksud adanya saksi adalah agar diketahui umum. Golongan imam
Syafi’i berpendapat saksi haruslah orang yang adil. Jika pernikahan yang disaksikan oleh dua orang yang belum dikenal adil tidaknya hukumnya adalah
sah. 2 Perempuan menjadi saksi
119
117
Jika para saksi buta, hendaklah mereka bisa mendengar suaranya dan mengenal betul bahwa suara tersebut suaranya kedua orang yang berakad.
118
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Mesir: Dar al-Fikr,1999, Cet 3, Jilid 2, h. 543
Imam Syafi’i dan hambali mensyaratkan saksi haruslah laki-laki. Akad nikah dengan seorang laki-laki dan dua orang permpuan tidak sah, sebagaimana riwayat
Abu Ubaid dari zuhri, “telah berlaku contoh dari Rasulullah SAW bahwa tidak boleh perempuan menjadi saksi dalam akad nikah, talak dan pidana. Karena akad
nikah bukan suatu perjanjan kebendaan, dan yang biasanya menghadiri adalah kaum laki-laki. Karena itu, tidak sah akad nikah yang disaksikan oleh dua orang
perempuan, seperti halnya dalam urusan pidana tidak dapat diterima kesaksiannya dua orang perempuan”.
Dalam kitab fikih sunnah disebutkan:
P ?
Z ;
D CP
: A
} p
d T~
;S Z
3 2
1 -
P :
A T
d =
k ?
Q 8
, [
G C
-. d
r ,
3 O8
1 3
, C
? u
120
Artinya: “ Mensyaratkan saksi haruslah laki-laki.Akad nikah dengan saksi laki-laki
dan dua orang perempuan tidak sah, sebagaimana riwayat Abu Ubaid dari zuhri”.
Akan tetapi, golongan imam Hanafi tidak mensyaratkan saksi harus laki-laki, tetapi kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dengan dua orang
perempuan adalah sah.
121
Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. Al-Baqarah 2: 282
119
Ibid., h.543
120
Ibid., h. 38
B Or A?’
… v
6B K6u ,-
Q+••-G6, Q+h
H v
U894 n4 M
v •Q–
,EF- Q 0¡QM
T?2O
Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu jika tak ada dua oang lelaki, Maka boleh seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai”. 3 Harus orang merdeka
122
Imam Syafi’i dan imam Hanafi mensyaratkan orang menjadi saksi harus orang- orang yang merdeka, tetapi Imam Ahmad tidak mengharuskan syarat ini. Dia
berpendapat akad nikah yang disaksikan oleh dua orang budak, hukumnya sah sebagaimana sahnya kesaksian mereka dalam masalah-masalah lain, karena dalam
al-Quran dan hadits tidak ada keterangan yang menolak seorang budak untuk menjadi saksi dan selama dia jujur dan amanah, kesaksiannya tidak boleh ditolak.
4 Harus orang Islam
123
Para ahli fikih berbeda pendapat tentang syarat-syarat menjadi saksi dalam pernikahan jika pasangannya terdiri dari laki-laki dan perempuan muslim, apakah
saksinya harus beragama Islam?. Mereka juga berbeda pendapat jika yang laki- lakinya beragama Islam, apakah yang menjadi boleh orang yang bukan Islam?.
Menurut Imam Ahmad, imam Syafi’i, dan Muhammad bin al-Hasan, pernikahan
121
Slamet Abidin, Aminuddin, Fikih Munakahat 1, h. 102
122
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 543
123
Ibid., h. 543
tidak sah jika saksi-saksinya bukan orang Islam karena yang menikah adalah orang Islam, sedang kesaksian orang non muslim terhadap orang Islam tidak
dapat diterima.
124
Syarat-syarat saksi menurut Drs. H. Sidi Nazar Bakry terbagi kepada 12 yaitu
125
: 1. Beragama Islam
2. Laki-laki 3. Baligh
4. Berakal 5. Adil
6. Mendengar tidak tuli 7. Melihat tidak buta
8. Bisa bercakap-cakap tidak bisu 9. Tidak pelupa mughaffal
10. Menjaga harga diri menjaga maruah 11. Mengerti maksud ijab dan kabul
12. Tidak merangkap menjadi wali
126
Dengan dipenuhinya rukun dan syarat-syarat tersebut di atas, barulah pernikahan itu sah menurut hukum syariat Islam. Karena tujuan perkawinan
125
Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah-Tangga Keluarga yang Sakinah, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993, Cet 1, h. 31
126
Ibid., h.31
menurut ajaran Islam adalah untuk mendapat keturunan yang baik dan untuk membina rumah tangga yang penuh kedamaian, sejahtera, bahagia lahir dan batin
serta diredhoi oleh Allah swt. Perkawinan juga dapat menjalin hubungan antara satu keluarga dengan keluarga yang lainnya yang sebelumnya tidak saling
mengenal
127
. Syaikhul Islam Rahimahullah, Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang
laki-laki yang meminang seorang perempuan merdeka dan dia mempunyai wali yang bukan wali hakim, lalu laki-laki itu mendatangkan beberapa saksi yang ia
ketahui saksi itu fasik, tetapi jika menjadi saksi di hadapan hakim, maka hakim menerimanya. Maka sah pernikahannya sebab keadilan yang disyaratkan pada
dua saksi pernikahan adalah hendaknya tertutup dan tidak terlihat kefasikannya.
128
Maka boleh melakukan akad nikah dengan dua orang saksi itu. Menurut diantara fuqaha’ ada yang berpendapat: disyaratkan pada kedua saksi itu
terlihat keadilannya dan boleh melaksanakan akad nikah dengan saksi mereka sekalipun batin mereka kelihatan fasik.
129
Undang-undang perkawinan tidak menempatkan kehadiran saksi dalam syarat- syarat perkawinan, namun undang-undang perkawinan menyinggung kehadiran
saksi itu dalam pembatalan perkawinan dan dijadikan sebagai salah satu hal yang
127
Ibid., h. 31
128
Ibnu Taimiyah, Hukum-Hukum Perkawinan, Jakarta: Pustaka Kautsar, 1997, Cet 7, h. 141
129
Ibid., h. 141
membolehkan pembatalan perkawinan, sebagaimana terdapat pada Pasal 26 Ayat 1.
130
Kompilasi Hukum Islam KHI mengatur saksi dalam perkawinan yang materi keseluruhannya terambil dari kitab fiqh menurut jumhur ulama terutama fiqh
Syafi’iyah. Ketentuan saksi dalam akad perkawinan diatur dalam Pasal 24 adalah saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Setiap
perkawinan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi. Pasal 25 adalah yang dapat ditunjuk sebagai saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil
baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli. Pasal 26 adalah saksi harus hadir dan menyaksikan langsung akad nikah serta menandatangani
Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan
131
Terdapat beberapa persyaratan untuk saksi nikah yang merupakan rukun ini. Saksi harus dewasa yakni sudah baligh, ia harus berakal artinya tidak gila atau
berjiwa sakit, saksi juga disyaratkan lelaki, muslim, adil, dan beberapa indranya sehat. Syarat yang disebut ini menjadi ketentuan yang tertera dalam kompilasi
yang pada ketentuan syarat indra ditegaskan dengan menyebut tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Sementara itu di kalangan fuqaha’ masih
bisa ditemukan ketentuan syarat lain yang mereka tetapkan. Ketentuan itu ialah saksi harus merdeka artinya bukan budak, saksi bukan kerabat dekat yaitu anak
130
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-undang Perkawinan,
hal. 81
131
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 119
atau orang tua, saksi mesti hadir dalam akad nikah dan saksi tidak buta dan tidak bisu. Demikian macam syarat saksi dalam perhitungan nominal menurut ulama
mengenai dua diantaranya yaitu syarat harus berakal dan dewasa tidak seorang pun yang mengingkari atau menentangnya karena hal ini didukung oleh
pemikiran bahwa melakukan persaksian adalah termasuk perbuatan hukum. Adapun mengenai syarat selain akil baligh yaitu
132
: 1. Muslim
2. Lelaki 3. Adil
4. Sehat indra, maka para ulama masih diperselisihkan Syarat saksi harus muslim bagi pandangan ulama pada umumnya berlaku
untuk semua akad nikah. Namun demikian mazhab Hanafi mempuyai pandangan adanya pengecualian pada saksi untuk nikah yang mempelainya bukan muslim.
Dalam hal ini, Hanafiyyah menyatakan apabila dua pihak yang melakukan akad nikah bukan muslim, baik keduanya terikat dalam satu agama atau agama yang
berbeda. Demikian dikemukakan oleh al-Jaziri.
133
Menurut mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali saksi untuk akad nikah adalah khusus lelaki semua, dan Syafi’iyyah menambahkan kata mukaqqikah
artinya lelaki yang nyata lelaki tidak termasuk orang yang banci. Akan tetapi
132
Achmad Kuzari, Pernikahan Sebagai Perikatan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, Cet, 1, h. 51
133
Ibid., h. 51
Hanafiyyah mensyaratkan saksi harus ada lelaki dalam arti kalau saksi terdiri dari dua orang perempuan saja tidak sah. Dan jika terdiri dari satu orang lelaki dan dua
orang perempuan maka baru sah.
134
Adil menurut Imam Syafi’i adalah orang yang saleh orang yang tidak fasiq. Prof. Mahmud Yunus mengutip pendapat Ibnu Sam’ani mengatakan adil itu harus
mencakup empat syarat yaitu: 1. Memelihara perbuatan taat amalan salih dan menjauhi perbuatan maksiat
dosa. 2. Tidak mengerjakan dosa kecil yang sangat keji.
3. Tidak mengerjakan yang halal yang merusakkan muru’ah kesopanan. 4. Tidak mengi’tiqadkan sesuatu yang ditolak mentah-mentah oleh dasar-dasar
syara’. Dengan ketentuan bahwa saksi harus adil maka berarti orang yang tidak
memenuhi sifat seperti tersebut di atas tidak sah menjadi saksi nikah. Menurut Hanafiyyah saksi tidak disyaratkan harus bersifat adil
135
. Terdapat beberapa indra yang sehat perlu disyaratkan agar saksi dapat
menyadari dan menghayati adanya akad yang dilangsungkan. Kompilasi menegaskan pada dua macam yang disyaratkan yaitu daya ingat pendengaran
yang baik. Abdur Rahman Syata’ ad-Dimyati berkomentar bahwa saksi yang buta
134
Ibid ., h. 51
135
Ibid., h. 52
itu sama dengan persaksian dalam situasi gelap gulita yang tidak mengetahui siapa dan bagaimana yang terjadi dalam ijab dan qabul sehingga mengandung dua
altenatif antara sah dan tidak. Pada prinsipnya orang buta bisa diterima menjadi saksi tetapi dengan pertimbangan seperti itu lebih tepat jika yang buta tidak
diterima menjadi saksi. Al-Jaziri menyatakan bahwa menurut Hanafiyyah akad nikah sah dengan disaksikan orang yang bisu selama orang itu bisa mendengar
dan bisa memahami.
136
Ketentuan harus adanya dua orang saksi atau lebih bersumber dari hadits- hadits Nabi SAW yaitu :
3 ,
3 .
? Z
, G
8 ,
3 ,
O D
ﺹ -
D •
3 8
4 ﺱ
- H
m [
X -[
D ﺵ
1 u
3 1
m • 1O3 4 7 d D; kO. , 1. r?pB
137
Artinya: “Dari Imran bin Husein, Nabi SAW telah bersabda : tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil” H.R. Ahmad bin
Hanbal dalam satu riwayat dari anaknya Abdullah. Rasulullah SAW bersabda :
3 ,
3 €
P 7
H •
H m
d ﺱ
m •
ﺹ -
• D 3
8 4
ﺱ -
H m
[ X
-[ D
ﺵ 1
u 3
1 m
; Z
P =
? ;
V Z
CD ,
[ CD
4 D VHd 1 r d
138
136
ibid., h. 54
137
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995, cet I, h. 87
Artinya: “Dari Aisyah ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil, kemudian jika
mereka berselisih, maka penguasa hakimlah yang menjadi walinya bagi yang tidak ada walinya” H.R. Daruqutni.
Akad nikah menjadi tidak sah apabila disaksikan oleh dua orang hamba, dua orang wanita, dua orang fasiq, dua orang tuli, bisu, buta atau dua orang yang tidak
mengerti bahasa yang digunakan oleh dua pihak pengikat pernikahan, dan juga dengan saksi orang yang ditentukan selaku wali.
139
Asy-Syaukani menjelaskan hadits-hadits ini sebagai dalil bahwa adanya kesaksian dalam akad nikah sebagai syarat. Menurut Turmuzi, pendapat ini
bersumber dari kalangan ulama dari sahabat-sahabat Nabi SAW dan periode berikutnya dari Tabi’in dan lain-lain. Mereka berkata “ tidak ada nikah tanpa ada
saksi. Tidak ada yang berbeda pendapat dalam hal ini melainkan sebagian ulama Mutaakhirin. Perbedaan pandangan mereka dalam masalah ini ialah apabila saksi
itu tediri atas seorang laki-laki kemudian menyusul seorang laki-laki sesudahnya.dalam hal ini sebagian besar ulama kufah dan lainnya berkata : Tidak
sah nikah sehingga disaksikan oleh dua orang saksi secara bersama-sama pada waktu dilangsungkannya akad nikah.
140
138
Ibid., h. 87
139
Aliy As’ad, Fathul Mu’in, h. 35
140
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, h. 88
Menurut sebagian ulama Madinah, diperbolehkan saksi seorang kemudian sesudah itu seorang lagi, apabila diumumkan sebelumnya. Ibnu Taimiyah berkata
dalam Al-Ikhtiyat adalah yang tidak diragukan ialah bahwa nikah yang diumumkan dihadiri orang banyak adalah sah, meski secara formal tidak ada
dua orang saksi
141
Abu Hanifah berpendapat tentang hukum kesaksian orang fasik bahwa pernikahan dapat terjadi sah dengan kesaksian orang-orang fasik, karena baginya saksi itu
dimaksudkan sebagai pemberitahuan saja. Imam Malik berpendapat, kesaksian tidak memuat maksud pemberitahuan,
apabila dua orang saksi itu dipesan untuk merahsiakan. Sedangkan menurut imam Syafi’i, kesaksian itu mengandung dua tujuan; pemberitahuan dan penerimaan.
Oleh karena itu, imam Syafi’i mensyaratkan orang yang menjadi saksi haruslah bersikap adil.
142
Syarat inilah yang membedakan antara pernikahan dengan penzinaan. Para ulama berselisih tentang perkara yang menjadi syarat sahnya pernikahan, persaksian atau
pengumuman , atau keduanya, atau salah satu dari keduanya, atau tidak kedua- duanya. Mereka berargumen dengan tambahan yang disinyalir dalam hadits,
”Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.
143
141
Ibid., h. 88
142
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fikih Para Mujtahid, h. 431
143
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Sahih Fikih Sunnah, menghuraikan bab pakaian dan perhiasan, Nikah, Talak, Warisan.
Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2006, Cet 1, h. 202
Mazhab Jumhur ulama Abu Hanifah, imam Malik, dan pendapat yang dipegang oleh kalangan muta’akhirin dari pengikut imam Malik mengatakan persaksian
adalah syarat dan pengumuman adalah anjuran.
144
Riwayat dari Aisyah r.a secara marfu’, “setiap pernikahan yang tidak dihadiri oleh empat orang, ia adalah perzinaan seperti meminang, wali, dan dua orang saksi.
Pendapat yang sahih dari imam Malik, satu riwayat dari Ahamad dan sebagian kalangan Hanafiyah mengatakan pengumuman adalah syarat dan persaksian
adalah anjuran. Inilah pendapat yang dipilih oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mereka berkata, “jika wali menikahkan wanita tanpa saksi, lalu pernikahan itu
diumumkan dan tersiar di tengah masyarakat, maka pernikahannya telah sah dan tujuannya telah tercapai. Karena yang diperintahkan ialah mengumumkan, seperti
sabda Nabi SAW yang membawa erti: “ Umumkanlah pernikahan”.
145
144
Ibid., h. 202
145
Ibid., h. 202
BAB IV PENDAPAT HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH