Syarat Sahnya Saksi Dalam Akad Nikah

itu, agama Islam mewajibkan kehadiran saksi untuk menyaksikan akad nikah, karena akad nikah merupakan penyatuan antara seorang pria yang akan menjadi calon suami dengan wanita yang akan menjadi calon isteri. Jika kedudukan sebagai saksi dalam akad nikah tidak terpenuhi maka akad nikah yang dilangsunkan menjadi tidak sah.

C. Syarat Sahnya Saksi Dalam Akad Nikah

109 Tidaklah cukup kehadiran saksi dalam akad pernikahan, akan tetapi kehadiran saksi mesti memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang. Inilah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama. Bagi ulama Hanafiyah saksi itu boleh terdiri satu orang lelaki dan dua orang perempuan. Sedangkan bagi ulama Zhahiriyah boleh saksi itu terdiri dari empat orang perempuan. b Kedua saksi itu adalah beragama Islam. Akad nikah seorang perempuan yang bersaksikan orang bukan Islam adalah tidak sah karena akad nikah dianggap urusan agama. Ia mesti disaksikan oleh saksi yang beragama Islam. Karena orang Kafir tidak boleh menjadi saksi keatas orang Islam. Persaksian juga merupakan penguasaan al-wilayah. Oleh itu saksi orang Kafir tidak dibolehkan karena mereka tidak mempunyai kekuasaan terhadap orang Islam. Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. At-Taubah 9: 71 109 Ibid., 101 V- F •s 31- F Q+N•_ = ]- j” ab =•–† H M 6F Q 6N V H —,  }MVF ab F]Š H 83 89˜• ab H 83 cdPg ab  ]- H h ™ ’ 6ƒšl † › +Nœc o M6’ • P h žgHŸ  _:] 6X 70 Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh mengerjakan yang maruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. c Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka 110 . d Kedua saksi itu adalah laki-laki. Sebagaimana disebutkan dalam syarat ulama Hanafiyah membolehkan saksi perempuan asalkan diantaranya ada saksi laki- laki. Sedangkan ulama Zhahiriyah membolehkan semuanya perempuan dengan pertimbangan dua orang perempuan sama kedudukannya dengan seorang laki-laki. Zuhri rh. Berkata ” Sunnah Rasulullah SAW tidak membenarkan saksi perempuan dalam hukum hudud, nikah dan talak”. 111 e Kedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga maruah. Ulama 110 Ibid., 101 111 Ibid., h. 101 Hanafiyah tidak mensyaratkan adil pada saksi dalam akad perkawinan. Jika orang yang menyaksikan dalam pernikahan tidak adil maka hukum pernikahan tersebut tetap sah. Setiap orang yang sudah pantas menjadi saksi, boleh menjadi saksi, karena maksud adanya saksi adalah untuk diketahui umum. 112 Imam Syafi’i dan imam Hambali mereka bersepakat bahwa saksi itu harus adil. Mereka mengatakan bahwa apabila pernikahan disaksikan oleh dua orang yang belum diketahui adil atau tidaknya, maka hukumnya tetap sah. Karena pernikahan itu terjadi diberbagai tempat, di kampung-kampung, daerah terpencil maupun di kota, dimana ada orang yang belum diketahui adi atau tidaknya. Jika diharuskan mengatui lebih dahulu adil tidaknya seseorang saksi hal ini berarti akan menyusahkan. Oleh karena itu, adil bisa dilihat lahirnya saja pada saat itu sehingga ia tidak terlihat fasik. Karenanya syarat adil untuk menjadi saksi dalam pernikahan cukup melihat dari segi lahirnya saja. Apabila ternyata di kemudian hari setelah terjadinya akad nikah diketahui kefasikannya, maka akad nikahnya tidak terpengaruhi berarti tetap sah. 113 .Terdapat lima syarat bagi sifat adil yaitu : 1. Orang yang adil yaitu orang yang menjauhi dosa-dosa besar, artinya menjauhi tiap-tiap dosa besar. Maka orang yang melakukan dosa 112 Ibid., h. 101 113 Ibid., h. 101 besar tidak dapat diterima persaksiannya. Seperti melakukan zina dan pembunuhan. 2. Orang yang adil itu tidak sedikit melakukan dosa-dosa kecil, maka persaksian orang yang sering melakukan dosa kecil adalah tidak diterima. 3. Orang yang adil itu selamat i’tiqadnya kepercayaannya, maka tidak dapat diterima persaksian orang yang berbuat bid’ah yang menjadi kufur atau fasiq dengan perbuatan bid’ahnya. Seperti orang yang ingkar akan adanya hidup selepas mati. 4. Orang yang adil itu diamankan marahnya, maksudnya tidak boleh emosional. Maka tidak dapat diterima persaksian orang yang tidak dapat mencegah emosinya. 5. Orang yang adil itu dapat menjaga kehormatannya sesuai dengan orang yang sepadannya. 114 f Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat. 115 g Kedua saksi itu mempunyai maruah. 116 h Kedua saksi itu bukan wali yang melakukan akad nikah. i Kedua saksi itu mengerti perkataan ijab dan qabul. 114 Imron Abu Amar, Fat-Hul Qarib, Menara Kudus, jilid 2, h. 262 115 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-undang Perkawinan, hal 81 116 Nasahruddin Thaha, Pedoman Perkawinan Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1960, Cet 3, h. 43 j Saksi hendaklah berakal dan baligh. Tidak sah akad nikah yang disaksikan oleh orang-orang gila dan kanak-kanak karena akad nikah adalah satu akad yang amat besar. Karena kehadiran orang-orang gila dan kanak-kanak akan meremehkan perkara yang besar itu. Syarat-syarat menjadi saksi menurut Sayyid Sabiq dalam kitab fikih sunnah adalah berakal sehat, dewasa, dan mendengarkan omongan dari kedua belah pihak yang berakad dan memahami bahwa ucapan-ucapan yang dimaksudnya adalah sebagai ijab qabul dalam pernikahan. 117 Jika yang menjadi saksi itu anak-anak, orang gila atau orang mabuk, maka pernikahannya tidak sah, sebab mereka dipandang seperti tidak ada. 1 Bersifat adil 118 Menurut imam Hanafi, untuk menjadi saksi dalam pernikahan tidak disyaratkan harus adil. Jika pernikahan yang dihadiri oleh dua orang fasik hukumnya sah. Setiap orang yang suda patut menjadi wali dalam pernikahan boleh menjadi saksi karena maksud adanya saksi adalah agar diketahui umum. Golongan imam Syafi’i berpendapat saksi haruslah orang yang adil. Jika pernikahan yang disaksikan oleh dua orang yang belum dikenal adil tidaknya hukumnya adalah sah. 2 Perempuan menjadi saksi 119 117 Jika para saksi buta, hendaklah mereka bisa mendengar suaranya dan mengenal betul bahwa suara tersebut suaranya kedua orang yang berakad. 118 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Mesir: Dar al-Fikr,1999, Cet 3, Jilid 2, h. 543 Imam Syafi’i dan hambali mensyaratkan saksi haruslah laki-laki. Akad nikah dengan seorang laki-laki dan dua orang permpuan tidak sah, sebagaimana riwayat Abu Ubaid dari zuhri, “telah berlaku contoh dari Rasulullah SAW bahwa tidak boleh perempuan menjadi saksi dalam akad nikah, talak dan pidana. Karena akad nikah bukan suatu perjanjan kebendaan, dan yang biasanya menghadiri adalah kaum laki-laki. Karena itu, tidak sah akad nikah yang disaksikan oleh dua orang perempuan, seperti halnya dalam urusan pidana tidak dapat diterima kesaksiannya dua orang perempuan”. Dalam kitab fikih sunnah disebutkan: P ? Z ; D CP : A } p d T~ ;S Z 3 2 1 - P : A T d = k ? Q 8 , [ G C -. d r , 3 O8 1 3 , C ? u 120 Artinya: “ Mensyaratkan saksi haruslah laki-laki.Akad nikah dengan saksi laki-laki dan dua orang perempuan tidak sah, sebagaimana riwayat Abu Ubaid dari zuhri”. Akan tetapi, golongan imam Hanafi tidak mensyaratkan saksi harus laki-laki, tetapi kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan adalah sah. 121 Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. Al-Baqarah 2: 282 119 Ibid., h.543 120 Ibid., h. 38 B Or A?’ … v 6B K6u ,- Q+••-G6, Q+h H v U894 n4 M v •Q– ,EF- Q 0¡QM T?2O Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu jika tak ada dua oang lelaki, Maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai”. 3 Harus orang merdeka 122 Imam Syafi’i dan imam Hanafi mensyaratkan orang menjadi saksi harus orang- orang yang merdeka, tetapi Imam Ahmad tidak mengharuskan syarat ini. Dia berpendapat akad nikah yang disaksikan oleh dua orang budak, hukumnya sah sebagaimana sahnya kesaksian mereka dalam masalah-masalah lain, karena dalam al-Quran dan hadits tidak ada keterangan yang menolak seorang budak untuk menjadi saksi dan selama dia jujur dan amanah, kesaksiannya tidak boleh ditolak. 4 Harus orang Islam 123 Para ahli fikih berbeda pendapat tentang syarat-syarat menjadi saksi dalam pernikahan jika pasangannya terdiri dari laki-laki dan perempuan muslim, apakah saksinya harus beragama Islam?. Mereka juga berbeda pendapat jika yang laki- lakinya beragama Islam, apakah yang menjadi boleh orang yang bukan Islam?. Menurut Imam Ahmad, imam Syafi’i, dan Muhammad bin al-Hasan, pernikahan 121 Slamet Abidin, Aminuddin, Fikih Munakahat 1, h. 102 122 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 543 123 Ibid., h. 543 tidak sah jika saksi-saksinya bukan orang Islam karena yang menikah adalah orang Islam, sedang kesaksian orang non muslim terhadap orang Islam tidak dapat diterima. 124 Syarat-syarat saksi menurut Drs. H. Sidi Nazar Bakry terbagi kepada 12 yaitu 125 : 1. Beragama Islam 2. Laki-laki 3. Baligh 4. Berakal 5. Adil 6. Mendengar tidak tuli 7. Melihat tidak buta 8. Bisa bercakap-cakap tidak bisu 9. Tidak pelupa mughaffal 10. Menjaga harga diri menjaga maruah 11. Mengerti maksud ijab dan kabul 12. Tidak merangkap menjadi wali 126 Dengan dipenuhinya rukun dan syarat-syarat tersebut di atas, barulah pernikahan itu sah menurut hukum syariat Islam. Karena tujuan perkawinan 125 Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah-Tangga Keluarga yang Sakinah, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993, Cet 1, h. 31 126 Ibid., h.31 menurut ajaran Islam adalah untuk mendapat keturunan yang baik dan untuk membina rumah tangga yang penuh kedamaian, sejahtera, bahagia lahir dan batin serta diredhoi oleh Allah swt. Perkawinan juga dapat menjalin hubungan antara satu keluarga dengan keluarga yang lainnya yang sebelumnya tidak saling mengenal 127 . Syaikhul Islam Rahimahullah, Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang meminang seorang perempuan merdeka dan dia mempunyai wali yang bukan wali hakim, lalu laki-laki itu mendatangkan beberapa saksi yang ia ketahui saksi itu fasik, tetapi jika menjadi saksi di hadapan hakim, maka hakim menerimanya. Maka sah pernikahannya sebab keadilan yang disyaratkan pada dua saksi pernikahan adalah hendaknya tertutup dan tidak terlihat kefasikannya. 128 Maka boleh melakukan akad nikah dengan dua orang saksi itu. Menurut diantara fuqaha’ ada yang berpendapat: disyaratkan pada kedua saksi itu terlihat keadilannya dan boleh melaksanakan akad nikah dengan saksi mereka sekalipun batin mereka kelihatan fasik. 129 Undang-undang perkawinan tidak menempatkan kehadiran saksi dalam syarat- syarat perkawinan, namun undang-undang perkawinan menyinggung kehadiran saksi itu dalam pembatalan perkawinan dan dijadikan sebagai salah satu hal yang 127 Ibid., h. 31 128 Ibnu Taimiyah, Hukum-Hukum Perkawinan, Jakarta: Pustaka Kautsar, 1997, Cet 7, h. 141 129 Ibid., h. 141 membolehkan pembatalan perkawinan, sebagaimana terdapat pada Pasal 26 Ayat 1. 130 Kompilasi Hukum Islam KHI mengatur saksi dalam perkawinan yang materi keseluruhannya terambil dari kitab fiqh menurut jumhur ulama terutama fiqh Syafi’iyah. Ketentuan saksi dalam akad perkawinan diatur dalam Pasal 24 adalah saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Setiap perkawinan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi. Pasal 25 adalah yang dapat ditunjuk sebagai saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli. Pasal 26 adalah saksi harus hadir dan menyaksikan langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan 131 Terdapat beberapa persyaratan untuk saksi nikah yang merupakan rukun ini. Saksi harus dewasa yakni sudah baligh, ia harus berakal artinya tidak gila atau berjiwa sakit, saksi juga disyaratkan lelaki, muslim, adil, dan beberapa indranya sehat. Syarat yang disebut ini menjadi ketentuan yang tertera dalam kompilasi yang pada ketentuan syarat indra ditegaskan dengan menyebut tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Sementara itu di kalangan fuqaha’ masih bisa ditemukan ketentuan syarat lain yang mereka tetapkan. Ketentuan itu ialah saksi harus merdeka artinya bukan budak, saksi bukan kerabat dekat yaitu anak 130 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-undang Perkawinan, hal. 81 131 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 119 atau orang tua, saksi mesti hadir dalam akad nikah dan saksi tidak buta dan tidak bisu. Demikian macam syarat saksi dalam perhitungan nominal menurut ulama mengenai dua diantaranya yaitu syarat harus berakal dan dewasa tidak seorang pun yang mengingkari atau menentangnya karena hal ini didukung oleh pemikiran bahwa melakukan persaksian adalah termasuk perbuatan hukum. Adapun mengenai syarat selain akil baligh yaitu 132 : 1. Muslim 2. Lelaki 3. Adil 4. Sehat indra, maka para ulama masih diperselisihkan Syarat saksi harus muslim bagi pandangan ulama pada umumnya berlaku untuk semua akad nikah. Namun demikian mazhab Hanafi mempuyai pandangan adanya pengecualian pada saksi untuk nikah yang mempelainya bukan muslim. Dalam hal ini, Hanafiyyah menyatakan apabila dua pihak yang melakukan akad nikah bukan muslim, baik keduanya terikat dalam satu agama atau agama yang berbeda. Demikian dikemukakan oleh al-Jaziri. 133 Menurut mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali saksi untuk akad nikah adalah khusus lelaki semua, dan Syafi’iyyah menambahkan kata mukaqqikah artinya lelaki yang nyata lelaki tidak termasuk orang yang banci. Akan tetapi 132 Achmad Kuzari, Pernikahan Sebagai Perikatan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, Cet, 1, h. 51 133 Ibid., h. 51 Hanafiyyah mensyaratkan saksi harus ada lelaki dalam arti kalau saksi terdiri dari dua orang perempuan saja tidak sah. Dan jika terdiri dari satu orang lelaki dan dua orang perempuan maka baru sah. 134 Adil menurut Imam Syafi’i adalah orang yang saleh orang yang tidak fasiq. Prof. Mahmud Yunus mengutip pendapat Ibnu Sam’ani mengatakan adil itu harus mencakup empat syarat yaitu: 1. Memelihara perbuatan taat amalan salih dan menjauhi perbuatan maksiat dosa. 2. Tidak mengerjakan dosa kecil yang sangat keji. 3. Tidak mengerjakan yang halal yang merusakkan muru’ah kesopanan. 4. Tidak mengi’tiqadkan sesuatu yang ditolak mentah-mentah oleh dasar-dasar syara’. Dengan ketentuan bahwa saksi harus adil maka berarti orang yang tidak memenuhi sifat seperti tersebut di atas tidak sah menjadi saksi nikah. Menurut Hanafiyyah saksi tidak disyaratkan harus bersifat adil 135 . Terdapat beberapa indra yang sehat perlu disyaratkan agar saksi dapat menyadari dan menghayati adanya akad yang dilangsungkan. Kompilasi menegaskan pada dua macam yang disyaratkan yaitu daya ingat pendengaran yang baik. Abdur Rahman Syata’ ad-Dimyati berkomentar bahwa saksi yang buta 134 Ibid ., h. 51 135 Ibid., h. 52 itu sama dengan persaksian dalam situasi gelap gulita yang tidak mengetahui siapa dan bagaimana yang terjadi dalam ijab dan qabul sehingga mengandung dua altenatif antara sah dan tidak. Pada prinsipnya orang buta bisa diterima menjadi saksi tetapi dengan pertimbangan seperti itu lebih tepat jika yang buta tidak diterima menjadi saksi. Al-Jaziri menyatakan bahwa menurut Hanafiyyah akad nikah sah dengan disaksikan orang yang bisu selama orang itu bisa mendengar dan bisa memahami. 136 Ketentuan harus adanya dua orang saksi atau lebih bersumber dari hadits- hadits Nabi SAW yaitu : 3 , 3 . ? Z , G 8 , 3 , O D ﺹ - D • 3 8 4 ﺱ - H m [ X -[ D ﺵ 1 u 3 1 m • 1O3 4 7 d D; kO. , 1. r?pB 137 Artinya: “Dari Imran bin Husein, Nabi SAW telah bersabda : tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil” H.R. Ahmad bin Hanbal dalam satu riwayat dari anaknya Abdullah. Rasulullah SAW bersabda : 3 , 3 € P 7 H • H m d ﺱ m • ﺹ - • D 3 8 4 ﺱ - H m [ X -[ D ﺵ 1 u 3 1 m ; Z P = ? ; V Z CD , [ CD 4 D VHd 1 r d 138 136 ibid., h. 54 137 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995, cet I, h. 87 Artinya: “Dari Aisyah ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil, kemudian jika mereka berselisih, maka penguasa hakimlah yang menjadi walinya bagi yang tidak ada walinya” H.R. Daruqutni. Akad nikah menjadi tidak sah apabila disaksikan oleh dua orang hamba, dua orang wanita, dua orang fasiq, dua orang tuli, bisu, buta atau dua orang yang tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh dua pihak pengikat pernikahan, dan juga dengan saksi orang yang ditentukan selaku wali. 139 Asy-Syaukani menjelaskan hadits-hadits ini sebagai dalil bahwa adanya kesaksian dalam akad nikah sebagai syarat. Menurut Turmuzi, pendapat ini bersumber dari kalangan ulama dari sahabat-sahabat Nabi SAW dan periode berikutnya dari Tabi’in dan lain-lain. Mereka berkata “ tidak ada nikah tanpa ada saksi. Tidak ada yang berbeda pendapat dalam hal ini melainkan sebagian ulama Mutaakhirin. Perbedaan pandangan mereka dalam masalah ini ialah apabila saksi itu tediri atas seorang laki-laki kemudian menyusul seorang laki-laki sesudahnya.dalam hal ini sebagian besar ulama kufah dan lainnya berkata : Tidak sah nikah sehingga disaksikan oleh dua orang saksi secara bersama-sama pada waktu dilangsungkannya akad nikah. 140 138 Ibid., h. 87 139 Aliy As’ad, Fathul Mu’in, h. 35 140 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, h. 88 Menurut sebagian ulama Madinah, diperbolehkan saksi seorang kemudian sesudah itu seorang lagi, apabila diumumkan sebelumnya. Ibnu Taimiyah berkata dalam Al-Ikhtiyat adalah yang tidak diragukan ialah bahwa nikah yang diumumkan dihadiri orang banyak adalah sah, meski secara formal tidak ada dua orang saksi 141 Abu Hanifah berpendapat tentang hukum kesaksian orang fasik bahwa pernikahan dapat terjadi sah dengan kesaksian orang-orang fasik, karena baginya saksi itu dimaksudkan sebagai pemberitahuan saja. Imam Malik berpendapat, kesaksian tidak memuat maksud pemberitahuan, apabila dua orang saksi itu dipesan untuk merahsiakan. Sedangkan menurut imam Syafi’i, kesaksian itu mengandung dua tujuan; pemberitahuan dan penerimaan. Oleh karena itu, imam Syafi’i mensyaratkan orang yang menjadi saksi haruslah bersikap adil. 142 Syarat inilah yang membedakan antara pernikahan dengan penzinaan. Para ulama berselisih tentang perkara yang menjadi syarat sahnya pernikahan, persaksian atau pengumuman , atau keduanya, atau salah satu dari keduanya, atau tidak kedua- duanya. Mereka berargumen dengan tambahan yang disinyalir dalam hadits, ”Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil. 143 141 Ibid., h. 88 142 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fikih Para Mujtahid, h. 431 143 Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Sahih Fikih Sunnah, menghuraikan bab pakaian dan perhiasan, Nikah, Talak, Warisan. Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2006, Cet 1, h. 202 Mazhab Jumhur ulama Abu Hanifah, imam Malik, dan pendapat yang dipegang oleh kalangan muta’akhirin dari pengikut imam Malik mengatakan persaksian adalah syarat dan pengumuman adalah anjuran. 144 Riwayat dari Aisyah r.a secara marfu’, “setiap pernikahan yang tidak dihadiri oleh empat orang, ia adalah perzinaan seperti meminang, wali, dan dua orang saksi. Pendapat yang sahih dari imam Malik, satu riwayat dari Ahamad dan sebagian kalangan Hanafiyah mengatakan pengumuman adalah syarat dan persaksian adalah anjuran. Inilah pendapat yang dipilih oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mereka berkata, “jika wali menikahkan wanita tanpa saksi, lalu pernikahan itu diumumkan dan tersiar di tengah masyarakat, maka pernikahannya telah sah dan tujuannya telah tercapai. Karena yang diperintahkan ialah mengumumkan, seperti sabda Nabi SAW yang membawa erti: “ Umumkanlah pernikahan”. 145 144 Ibid., h. 202 145 Ibid., h. 202

BAB IV PENDAPAT HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH