sebanyak 60 kali. Beliau keluar dari Makkah dan menuju sutu dusun Bani Huzail untuk mempelajari bahasa arab.
58
Sebelum menekuni fiqh dan hadits, Imam Syafi’i tertarik pada puisi, syi’ir dan sajak bahasa arab. Beliau mempelajari hadits dari Imam Malik di Madinah.
Ketika berusia 13 tahun beliau telah dapat menghafaz al-Muwaththa’. Pada tahun 195 H. al-Syafi’i pergi ke Baghdad dan menetap disana selama
2 tahun. Setelah itu beliau kembali lagi ke Makkah pada tahun 198 H. Imam Syafi’I mempunyai pengetahuan yang sangat luas dalam bidang lughah dan adab.
Dan pengetahuan dalam bidang fiqh meliputi fiqh ashab al-Ra’yi di Irak dan fiqh Ashab al-Hadits di Hijaz.
59
2. Latar Belakang Pendidikan
Dalam usia anak-anak, Asy-Syafi’i ra diikutsertakan belajar pada suatu lembaga pendidikan di makkah, tetapi ibunya tidak mempunyai biaya pendidikan
sebagaimana mestinya. Sebenarnya guru yang mengajarkannya hanya terbatas memberikan pelajaran kepada anak-anak yang agak besar. Akan tetapi, setelah ia
mengetahui bahwa setiap apa yang diajarkan kepada asy-Syafi’i ra dapat mengerti dan diterima dengan baik, lagi pula setiap kali ia berhalangan ternyata asy-Syafi’i
58
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos, 1997, Cet 3, h. 120
59
Ibid., h. 120
ra mampu menggantikan gurunya meneruskan apa yang telah diajarkan kepadanya kepada anak-anak yang lain.
60
Akhirnya asy-Syafi’i ra dipandang sebagai murid yang bantuannya lebih besar dari pada bayaran yang diharapkan dari ibunya. Keadaan seperti itu
berlangsung hingga asy-Syafi’i ra berkesempatan belajar al-Quran dan mengkhatamkannya dalam usia tujuh tahun. Kemudian beliau belajar menghafal
banyak hadits. Untuk itu, beliau turut serta belajar pada guru-guru tafsir dan guru- guru ahli di bidang ilmu hadits. Pada saat itu harga kertas sangat mahal. Untuk
mencatat pelajaran, beliau mengumpul kepingan-kepingan tulang yang lebar dan besar, bahkan ia lebih mengandalkan ingatan melalui cara menghafalnya, karena
dengan kebiasaan tersebut ia memiliki daya ingat yang amat kuat
61
. Kemudian asy-Syafi’i ra meminta izin kepada ibunya hendak berangkat ke
Madinah al-Munawwarah untuk belajar kepada al-Imam Malik ibn Anas dan ibunya mengizinkannya. Pada saat itu beliau berusia kurang lebih 20 tahun.
Beliau menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk bertemu dengan imam Malik. Untuk keperluan itu, beliau mencari buku “al-Muwaththa”. Dalam buku
itulah imam Malik menuangkan semua hasil pemikirannya tentang ilmu fikih dan hadits-hadits Nabi SAW yang dipandang sahih isnadnya. Al-imam asy-Syafi’i ra
60
Abdurrahman Asy-Syarqawi, Al Hamid Al Husaini et.al terj, Riwayat Sembilan Mazhab Al Imam Mazhab,
Bandung: Pustaka Hidayah, 2000, Cet 1. h. 382
61
Ibid., h. 382
berhasil berhasil menemukan bukunya yang dimaksud dan pada akhirnya beliau mampu menguasai bahkan manghafal buku yang dikarang oleh imam Malik.
62
Imam asy-Syafi’i ra yang sejak kecil berada dalam kancah penderitaan, namun semangat beliau dalam menuntut ilmu tidak terhalang oleh penderitaan yang
menyelimuti keluarganya, baik dalam ilmu agama maupun ilmu yang lainnya. Selain itu beliau seorang yang baik budinya, jujur, dan rajin dalam beribadah
kepada Allah SWT.
63
B Guru-Guru imam Syafi’i dan Murid-Muridnya
Imam Syafi’i mengambil banyak ilmu dari para ulama di berbagai tempat pada zamannya. Di antaranya di Makkah, Madinah, Kufah, Basrah, Yaman, Syam, dan
Mesir. Hal itu telah disebutkan oleh al-Baihaqi, Ibnu Katsir, al-Mizzy, dan al- Hafizh Ibnu hajar.
Ibnu katsir berkata: “al-imam asy-syafi’i belajar banyak hadits kepada para syaikh dan para imam. Ia membaca sendiri kitab al-Muwaththa’ dengan hafalan
sehinga imam Malik kagum terhadap hafalan dan kemauan kerasnya”. Di riwayatkan dari imam Malik bahwa imam syafi’i mengambil ilmu dengan
ulama Hijjaz, sebagaimana ia mengambilnya dari Syaikh Muslim bin Khalid az- Zanji.
62
Ibid., h. 382
63
Moenawar Chalil, Biografi Emapat Serangkai Al-Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 2005, Cet, 11, h. 94
Al-Hafizh al-Mizzi telah menyebutkan para guru imam Syafi’i. Di antara gurunya yang berasal dari penduduk Makkah adalah:
1. Imam Sufyan bin ‘Uyainah 2. ‘Abdur Rahman bin Abu Bakar bin Abdullah bin Abu Mulaikah
3. Isma’il bin Abdullah bin Qasthinthin al-Muqri 4. Muslim bin Khalid az-Zanji, dan banyak lagi selain mereka.
Gurunya yang berasal penduduk Madinah adalah: 1. Malik bin Anas bin Abu ‘Amir al-Ashabani
2. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad ad-Darawardi 3. Ibrahim bin Sa’ad bin ‘Abdur Rahman bin ‘Auf
4. Muhammad bin Isma’il bin Abu Fudaik dan banyak lagi selain mereka. Dari negeri lain di antaranya adalah:
1. Hisyam bin Yusuf as-Shan’ani 2. Mutharrif bin Mazin as-Shan’ani
3. Waki’ bin al-Jarrah 4. Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani dan banyak lagi selain mereka.
64
Murid-murid imam Syafi’i yang paling popular adalah: 1 Ar-Rabi’ bin Sulaiman bin ‘Abdul Jabbar bin Kamil, Imam al-Muhaddits al-
Faqih al-Kabir Abu Muhammad al-Muradi al-Mishri al-Muadzdzin. Ia adalah
64
Muhammad bin A. W. al-‘aqil, Manhaj ‘Akidah Imam Asy-Syafi’i, Penerjemah: Nabhani, Saefudin Zuhri, Saudi Arabi: Maktabah Adhwa as-Salaf Riyadh, 1998 Cet 1, h. 41
teman imam Syafi’i yang mengambil ilmu-nya, syaikh para muadzdzin di Masjid Fusthath, dan seorang yang diminta oleh para syaikh pada zamannya
untuk membacakan atau menyampaikan ilmu. Ar-Rabi’ lahir pada tahun 174 H. Diriwayatkan bahwa imam Syafi’i pernah berkata kepadanya:” jika aku
mampu memberimu makanan ilmu, nescaya aku memberikannya”. Imam syafi’i juga berkata: “Ar-Rabi adalah orang yang banyak meriwayatkan
tulisan-tulisanku”. Ia wafat pada tahun 270 H
65
. 2 Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin Ismail bin ‘Amr bin Muslim al-Muzani al-
Mishri, al-Imam al-‘allamah, sangat faham tentang agamanya, pemuka para ahli zuhud, ia lahir pada tahun 175 H. karangannya yang berupa mukhtasar
ringkasan dalam bidang fikih memenuhi banyak negeri, yang kemudian di syarah diuraikan oleh sejumlah imam besar sehingga dikatakan: “seorang
anak gadis saja memiliki sebuah naskah mukhtasar al-Muzani yang disimpan di antara barang-barang miliknya”. Imam Syafi’i mengatakan:“Al-Muzani
adalah pembela mazhabku”. Imam adz-Dzahabi mengatakan bahwa Amr bin Tamim al-Makki berkata:“ saya telah mendengar Muhammad bin Isma’il at-
Tirmidzi berkata: ‘saya telah mendengar al-Muzani mengatakan hal berikut: ‘Tauhid seseorang tidak benar sampai ia mengetahui bahwa Allah SWT
65
Ibid., h. 46
bersemayam di atas ‘Arsy dengan sifat-sifat-Nya.’ Al-Muzani wafat pada tahun 264 H.
66
3 Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam bin A’yan bin Lits al-Imam Syaikhul Islam Abu Abdillah al-Mishri al-Faqih, lahir pada 182 H. ia
adalah ulama Mesir sezaman dengan al-Muzani. Ketika Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam menaiki kudanya, imam Syafi’i memandangnya
seraya berkata: “Alangkah baiknya aku jika mempunyai anak seperti dia, sementara aku menaggung utang 1000 dinar yang aku tidak dapat
membayarnya”. Diriwayatkan bahwa terjadi selisih pendapat antara dia Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam dengan Buwaithi karena imam
Syafi’i memilih al-Buwaithi untuk menggantikannya di majelisnya sehingga Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam meniggalkan madzhab imam
Syafi’i dan kembali ke madzhab Maliki
67
. 4 Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya al-Mishri al-Buwaithi. Al-Imam al-‘Allamah,
pemimpin para fuqaha, adalah sahabat imam Syafi’i yang mendampinginya dalam waktu yang lama hingga ia menjadi murid imam Syafi’i yang
mengalahkan kawan-kawannya. Al-Buwaithi adalah seorang imam dalam ilmu, teladan dalam amal, seorang yang zuhud, rabbani yang banyak tahajjud,
selalu berdzikir, dan menekuni ilmu fiqih. Imam Syafi’i berkata tentangnya: “
66
Ibid ., h. 46
67
Ibid ., h. 47
tidak ada seorangpun dari sahabat-sahabatku yang lebih banyak ilmunya dari pada al-Buwaithi”. Ia di siksa karena menolak pendapat yang mengatakan
bahwa al-Quran adalah makhluk. Ia sabar menghadapi ujian itu sampai wafat di penjara. Ia wafat dalam keadaan terbelenggu di penjara Irak pada tahun 231
H.
68
C Karya-karya Imam Syafi’i Dan Perkembangan Mazhabnya
Menurut Abu Bakar al-Baihaqy dalam kitab Ahkam al-Quran, bahwa karya Imam Syafi’i cukup banyak, baik dalam bentuk risalah, maupun dalam bentuk
kitab. Al-Qadhi Imam Abu Hasan ibn Muhammad al-Maruzy mengatakan bahwa Imam Syafi’i menyusun 113 buah kitab tentang tafsir, fiqh, adab dan lain-lain.
69
Kitab-kitab karya Imam Syafi’i yang dibagi oleh ahli sejarah menjadi dua bagian, yaitu :
1 Kitab yang ditulis Imam Syafi’i sendiri, seperti al-Umm dan al-Risalah
riwayat dai muridnya yang bernama al-Buwaithy dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Rabi’ ibn Sulaiman.
2 Kitab yang ditulis oleh murid-muridnya, seperti Mukhtashar oleh al-
Muzany dan Mukhtashar oleh al-Buwaithy keduanya merupakan ikhtisar dari kitab Imam Syafi’i: Al-Imla’ wa al-Amly.
68
Ibid ., h. 47
69
Ibid., h. 138
Kitab-kitab Imam Syafi’i baik yang sendiri didiktekan kepada muridnya, maupun dinisbahkan kepadanaya, antara lain sebagai berikut:
a Kitab al-Risalah, tentang ushul fiqh b Kitab al-umm, tentang fiqh
c Kitab al-Musnad, berisi hadits-hadits yang terdapat dalam kitab al-Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya
d Al-Imla’ e Al-Amaliy
f Harmalah g Mukhtashar al-Muzaniy
h Mukhtashar al-Buwaitiy i Kitab Ikhtilaf al-Hadits
70
Kitab-kitab Imam Syafi’i dikutip dan diperkembangkan para muridnya yang tersebar di Makkah, di Iraq, di Mesir, dan lain-lain
71
. Perkembangan Mazhabnya
72
Penyebaran mazhab Syafi’i ini antara lain di Iraq, lalu berkembang dan tersiar
ke khurasan, Pakistan, Syam, Yaman, Persia, Hijaz, India, daerah-daerah Afrika dan Andalusia selepas tahun 300 H. Kemudian mazhab Syafi’i ini tersiar dan
70
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 134
71
Muhammad bin A. W. al-‘aqil, Manhaj ‘Akidah Imam Asy-Syafi’i, Penerjemah: Nabhani, Saefudin Zuhri, h. 46
72
Ibid., h.135
berkembang bukan hanya di Afrika, tetapi keseluruh pelosok negara-negara Islam, baik di Barat, maupun di Timur, yang dibawa oleh para muridnya dan
pengikut-pengikutnya dari satu negeri ke negeri lain, termasuk ke Indonesia. Kalau kita melihat praktek ibadah dan mu’amalat umat Islam Indonesia, pada
umumnya mengikuti mazhab Syafi’i. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, yaitu:
a Setelah adanya hubungan Indonesia dengan Makkah dan di antara kaum Muslimin Indonesia yang menunaikan ibadah haji, ada yang bermukim di sana
dengan maksud belajar ilmu agama. Guru-guru mereka adalah ulama-ulama yang bermazhab Syafi’i dan setelah kembali ke Indonesia mereka menyebarkannya.
b Hijrahnya kaum Muslimin dari Hadhramaut ke Indonesia adalah merupaka sebab yang penting pula bagi tersiarnya mazhab Syafi’i di Indonesia. Ulama
dari Hadrhramaut adalah bermazhab Syfi’i. c Pemerintah kerajaan Islam di Indonesia, selama zaman Islam mengesahkan
dan menetapkan mazhab Syafi’i menjadi haluan hukum di Indonesia. Keadaan ini diakui pula oleh pemerintah Hindia Belanda, terbukti pada masa-masa
akhir dari kekuasaan Belanda di Indonesia, kantor-kantor kepenghuluan dan Pengadilan Agama, hanya mempunyai kitab-kitab fikih Syafi’iyyah, seperti
kitab al-Tuhfah, al-Majmu’, al-Umm dan lain-lain.
d Para pegawai jawatan dahulu, hanya terdiri dari ulama mazhab Syafi’i karena belum ada yang lainnya.
73
D Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-faktor yang mempengaruhi
Imam Syafi’I dalam Menetapkan Hukum Islam
74
Aliran kegamaan Imam Syafi’i sama dengan Imam Mazhab yang lainnya dari
Imam-imam Mazhab yang empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Ahmad bin Hambal adalah termasuk golongan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Ahlu al-
Sunnah wa al-Jama’ah dalam bidang furu’ terbagi kepada dua aliran, yaitu aliran Ahlu al-Hadits
dan aliran ahlu al-Ra’yi. Imam Syafi’i termasuk ahlu al-Hadits. Imam Syafi’i sebagai imam Rihalah fi Thalab al-Fiqh dan pernah pergi ke Hijaz
untuk menuntuk ilmu dengan Imam Malik dan beliau pergi ke Irak untuk menuntuk ilmu dengan Muhammad ibn al-Hasan, salah seorang murid imam Abu
Hanifah. Karena itu, Meskipun Imam Syafi’i digolongkan sebagai seorang yang beraliran ahlu al-Hadits, namun pengetahuannya tentang fiqh ahlu al-Ra’yi tentu
akan memberi pengaruh kepada metodnya dalam menetapkan hukum.
75
Di samping itu, pengetahuan Imam Syafi’i tentang masalah sosial kemasyarakatan sangat luas. Bahkan beliau menyaksikan secara lansung
73
Ibid., h.136
74
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 123
75
Ibid., 123
kehidupan masyarakat desa Badwy dan menyaksikan pula kehidupan masyarakat yang sudah maju peradabannya pada tingkat awal di Irak dan di
Yaman. Juga menyaksikan kehidupan yang sudah sangat kompleks peradabannya, seperti yang terjadi di Irak dan Mesir. Ia juga menyaksikan kehidupan orang
zuhud dan Ahlu al-Hadits. Pengetahuan imam Syafi’i dalam bidang kehidupan ekonomi dan kemasyarakatan yang bermacam-macam itu, memberikan bekal
baginya dalam ijtihadnya pada masalah-masalah hukum yang beraneka ragam.
76
Hal ini
memberikan pengaruh
pula dalam
mazhabnya. Menurut Mushtafa al-Sya’iy bahwa Imam Syafi’ilah yang meletakkan dasar
pertama tentang qaidah periwayatan hadits, dan beliau juga mempertahankan sunnah melebihi gurunya iaitu imam Malik bin Anas. Dalam bidang hadits, imam
Syafi’i berbeda dengan Abu Hanifah dan imam Malik bin Anas. Menurut Imam Syafi’i, apabila suatu hadits sudah sahih sanadnya dan mustahil bersambung
sanadnya kepada Nabi SAW, maka sudah wajib diamalkan tanpa harus dikaitkan amalan ahlu al-Madinah sebagaimana yang disyaratkan imam Malik dan tidak
pula perlu ditentukan syarat yang banyak syarat dalam penerimaan hadits, sebagaimana yang di syaratkan oleh imam Abu Hanifah. Karena itu, imam Syafi’i
dijuluki sebagai Nashir al-Sunnah penolong Sunnah.
77
76
Ibid ., 123
77
Ibid., h. 124
Imam Syafi’i mempunyai dua pandangan yang dikenal sebagai Qaul al-Qadim dan Qaul al-Jadid. Qaul Qadim terdapat dalam kitabnya yang bernama al-Hujjah,
yang di cetuskan di Irak. Qaul jadidnya terdapat dalam kitabnya yang bernama al- Umm
, yang di cetuskan di Mesir.
78
Adapun dua pandangan hasil ijtihad itu, maka diperkirakan bahwa situasi tempat pun turut mempengaruhi ijtihad imam Syafi’i. Keadaan di Iraq dan di
Mesir memang berbeda, sehingga membawa pengaruh terhadap pendapat- pendapat daan ijtihad imam Syafi’i. Ketika di Irak, imam Syafi’i menela’ah kitab-
kitab fiqh Iraq dan memadukan dengan ilmu yang ia miliki yang di dasarkan pada teori Ahlu al-Hadits.
79
Pendapat qadim didiktekan imam Syafi’i kepada murid-muridnya di Irak. Kemungkinan besar yang dimaksud dengan qaul qadim imam Syafi’i adalah
pendapat-pendapatnya yang dihasilkan dari perpaduan antara mazhab Iraqy dan pendapat Ahlu al-Hadits. Setelah itu, imam Syafi’i pergi ke Makkah dan tinggal
di sana untuk beberapa lama. Makkah pada waktu itu di kunjungi para ulama dari berbagai negara Islam. Di Makkah, imam Syafi’i dapat belajar dari mereka yang
datang dari berbagai negara Islam itu dan mereka pun dapat belajar dari imam Syafi’i.
80
78
Ibid., h. 124
79
Ibid., h. 124
80
Ibid., h. 124
Tampaknya qaul qadim ini didiktekan oleh imam Syafi’i kepada murid- muridnya ulama Iraq yang datang kepadanya ketika ia tinggal di Iraq. Sebab
imam Syafi’i datang ke Irak sebanyak dua kali. Kedatangannya yang pertama kali ke Irak tidak disebutkan untuk menyampaikan ajaran-ajaran kepada para ulama di
sana hanya di sebutkan, bahwa ia bertemu dengan Muhammad ibnu al-Hasan al- Syaibaniy salah seorang murid imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i sering
mengadakan muzakarah diskusi dengannya, sehingga menurut Khudary Bek, pemikiran imam Syafi’i penuh dengan hasil diskusi tersebut. Setelah itu, imam
Syafi’i kembali ke Hijjaz dan menetap di Makkah. Kemudian kembali lagi ke Iraq dan di sana ia mendiktekan qaul qadimnya kepada murid-muridnya ulama
Iraq.
81
Qaul qadim imam Syafi’i merupakan panduan antara fiqh Irak yang bersifat
rasional dan fiqh ahl al-Hadits yang bersifat “tradisional”. Tetapi fiqh yang demikian, akan lebih sesuai dengan ulama-ulama yang datang dari berbagai
negara Islam ke Makkah. Pada saat itu, mengigat situasi dan kondisi negara- negara yang sebagian ulamanya datang ke Makkah pada waktu itu berbeda-beda
satu sama lain. Mereka dapat memilih pendapat yang sesuai dengan kondisi dan situasi negaranya. Itulah pula yang menyebabkan pendapat imam Syafi’i mudah
tersebar ke berbagai negara Islam. Kedatangan imam Syafi’i kedua kalinya ke Irak, hanya beberapa bulan saja tinggal di sana, kemudian ia pergi ke Mesir.
82
81
Ibid ., h. 124
Di Mesir inilah tercetus qaul jadidnya yang didektekannya kepada murid- muridnya. Qaul jadid imam Syafi’i ini dicetuskannya setelah bertemu dengan
para ulama Mesir dan mempelajari fiqh dan hadits dari mereka serta adat istiadat, situasi dan kondisi di Mesir pada waktu itu, sehingga imam syafi’i merubah
sebagian hasil ijtihadnya yang telah diwafatkannya di iraq. Jika kandungan qaul jadid
imam Syafi’i adalah hasil ijtihadnya setelah pindah ke Mesir. Qaul jadidnya ini ditulis dalam kitab al-Umm.
83
Pegangan Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum adalah al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dalam kitabnya al-risalah sebagai berikut:
i; ?Oj 7:= 7:= , -[X M? Q -k
iﺵ D; F1Q m2 ZQ 1 \8
n 82 U .=a 7- o
Artinya: “Tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum selamanya,ini halal, ini haram kecuali kalau ada pengetahuan tentang itu. Pengetahuan ini adalah
kitab suci al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas”. Pokok-pokok pikiran imam Syafi’i dalam mengistinbatkan hukum adalah
84
: 1.
Al-quran dan al-Sunnah Imam Syafi’i memandang al-Quran dan sunnah berada dalam satu martabat.
Beliau menempatkan al-Sunnah sejajar dengan al-Quran. Karena menurut beliau,
82
Ibid., h. 125
83
Ibid., h. 126
84
Ibid., h. 127
Sunnah itu menjelaskan al-quran, kecuali hadits ahad tidak sama nilainya dengan al-Quran dan hadits mutawatir. Disamping itu, karena al-Quran dan Sunnah
keduanya adalah wahyu, meskipun kekuatan sunnah secara terpisah tidak sekuat seperti al-Quran.
Dalam perlaksanaannya, imam Syafi’i menempuh cara, bahwa apabila di dalam al-Quran sudah tidak ditemukan dalil yang dicari, ia menggunakan hadits
mutawatir . Jika tidak ditemukan dalam hadits mutawatir, ia menggunakan khabar
ahad. Jika tidak ditemukan dalil yang di cari dalam kesemuanya itu, maka dicoba untuk menetapkan hukum berdasarkan zhahir al-Quran atau Sunnah secara
berturut. Dengan teliti ia coba untuk menemukan mukhashshish dari al-Quran dan Sunnah. Selanjutnya menurut Sayyid Muhammad Musa dalam kitabnya al-
Ijtihad , imam Syafi’i jika tidak menemukan dalil dari zhahir nash al-Quran dan
Sunnah serta tidak ditemukan dalil dari mukhashshishnya, maka ia mencari apa yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW atau keputusan Nabi SAW. Kalau tidak
ditemukan juga, maka ia mencari lagi bagaimana pendapat para ulama sahabat. Jika ditemukan ada ijma’ dari mereka tentang hukum masalah yang dihadapi,
maka hukum itulah yang ia pakai.
85
Imam Syafi’i walaupun berhujjah dengan hadits ahad, namun beliau tidak menempatkannya sejajar dengan al-Quran dan Hadits mutawatir, karena hanya al-
85
Ibid., h. 128
Quran dan Hadits mutawatir sajalah yang qath’iy tsubutnya, yang dikafirkan orang yang menginkarinya dan disuruh bertaubat.
Imam Syafi’i dalam menerima hadits ahad mensyaratkan sebagai berikut: a. Perawinya terpercaya. Ia tidak menerima hadits dari orang yang tidak
dipercaya. b. Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkannya.
c. Perawinya dhabith kuat ingatan. d. Perawinya benar-benar mendengarkan sendiri hadits itu dari orang yang
menyampaikan kepadanya. e. Perawi itu tidak menyalahi para ilmu yang juga meriwayatkan hadits itu.
Imam Syafi’i mengatakan, bahwa hadits Rasulullah SAW tidak mungkin menyalahi al-Quran dan tidak mungkin berubah sesuatu yang telah ditetapkan
oleh al-Quran. Imam Syafi’i mengatakan:
6 mﺱd -,ﺱ Ckp
4- 0p 72; i:; i0-ﺱ 4- 0p Y -ﺱ 483 4- Dﺹ 4 7.9 , ?8 ?gpQ ,E8O 4- ,3 ,-8O 7.9 i; 4g. Eq D;
C, r? Q i; F7- 3 403 4- s?O;
0p Cq 48; \8 -. o
Artinya: “Segala yang Rasulullah SAW sunnahkan bersama Kitabullah adalah sunnahku jalanku, maka sunah itu sesuai dengan Kitabullah dalam
menaskan dengan yang sepertinya secara umum adalah merupakan penjelasan suatu dari Allah SWT dan penjelasan itu lebih banyak
merupakan tafsir dari firman Allah SWT. Apa yang disunahkan dari sesuatu yang tidak ada nashnya dari al-Quran, maka dengan yang Allah SWT
fardhukan untuk mentaatinya secara umum terhadap perintahnya, kita harus mengikutinya”.
86
86
Ibid., h. 129
2. Ijma’ Imam Syafi’i mengatakan, bahwa ijma’ adalah hujjah dan ia menempatkan
ijma’ ini sesudah al-Quran dan al-Sunnah sebelum qiyas. Imam Syafi’i menerima ijma’ sebagai hujjah dalam masalah-masalah yang tidak diterangkan dalam al-
Quran dan Sunnah.
87
Ijma’ menurut pendapat imam Syafi’i adalah ijma’ ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma’ suatu negeri saja dan bukan pula ijma’ kaum
tertentu saja. Namun imam Syafi’i mengakui, bahwa ijma’ sahabat merupakan ijma’ yang paling kuat.
Disamping itu imam Syafi’i berteori, bahwa tidak mungkin segenap masyarakat Muslim bersepakat dalam hal-hal yang bertentangan dengan al-Quran dan
Sunnah. Imam Syafi’i juga menyadari bahwa dalam praktek, tidak mungkin membentuk atau mengetahui kesepakatan macam itu semenjak Islam meluas
keluar dari batas-batas Madinah. Dengan demikian, ajarannya tentang ijma’ ini hakekatnya bersifat negatif. Artinya, ia dirancang untuk menolak otoritas
kesepakatan yang hanya dicapai pada suatu tempat tertentu-Madinah misalnya. Dengan demikian, diharapkan keberagamaan yang bisa ditimbulkan oleh konsep
87
Ibid., h. 129
konsensus oleh kalangan ulama di suatu tempat yang ditolaknya dapat dihilangkan.
88
Ijma’ yang dipakai imam Syafi’i sebagai dalil hukum itu adalah ijma’yang disandarkan kepada nash atau ada landasan riwayat dari Rasulullah SAW. Secara
tegas ia mengatakan, bahwa ijma’ yang berstatus dalil hukum itu adalah ijma’ sahabat.
89
Imam Syafi’i hanya mengambil ijma’ sharih sebagai dalil hukum dan menolak ijma’ sukuti
menjadi dalil hukum. Alasannya menerima ijma’ sharih, karena kesepakatan itu disandarkan kepada nash dan berasal dari semua mujtahid secara
jelas dan tegas sehingga tidak mengandung keraguan. Sementara alasannya menolak ijma’ sukuti, karena tidak merupakan kesepakatan semua mujtahid.
Diamnya mujtahid menurutnya belum tentu menunjukkan setuju.
90
3. Qiqas Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil keempat setelah al-
Quran, Sunnah, ijma’ dalam menetapkan hukum. Imam Syafi’i adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaedahnya dan menjelaskan
asas-asasnya. Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun telah menggunakan qiyas dalam berijtihad, namun belum membuat rumusan patokan kaidah dan asas-
asasnya, bahkan dalam praktek ijtihad scara umum belum mempunyai patokan
88
Ibid., h. 130
89
Ibid., h. 130
90
Ibid., h. 130
yang jelas, sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan yang mana keliru.
91
Di sinilah imam Syafi’i tampil kedepan memilih metode qiyas serta memberikan kerangka teorotis dan metodologinya dalam bentuk kaidah rasional
namun tetap praktis. Untuk itu imam Syafi’i pantas diakui dengan penuh penghargaaan sebagai peletak pertama metodologi pemahaman hukum dalam
Islam sebagai satu disiplin ilmu, sehingga dapat dipelajari dan diajarkan.
92
Sebagai dalil penggunaan qiyas, imam Syafi’i mendasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Nisa’ 3: 59
t
O g V
?2ce 8 ]M
8j e
Š‘ ’kM 1 d
V- e
-…Q }M
A6 6ƒ-D
oQM6 ,0 OX
CcH †
L
Artinya:“jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”.
91
Ibid., h. 130
92
Ibid., h. 131
Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa maksud “kembalilah kepada Allah SWT dan Rasul-Nya” itu ialah diqiyaskanlah kepada salah satu, dari al-Quran atau
sunnah.
93
93
Ibid., h.131
BAB III EKSISTENSI HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH