Hearing Loss pada operator PLTDG PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali.
2. Sebagai bahan evaluasi terhadap kebijakan perusahaan terkait risiko Noise Induced
Hearing Loss dan memberikan saran yang konstruktif bagi pihak perusahaan untuk dapat melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap kejadian Noise
Induced Hearing Loss pada operator PLTDG PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali.
3. Menjadi bahan masukan bagi peneliti selanjutnya dalam bidang keselamatan dan
kesehatan kerja tentang epidemiologi Noise Induced Hearing Loss khususnya pada operator di bidang jasa pembangkitan listrik.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah di bidang keselamatan dan kesehatan kerja khususnya penyakit akibat kerja yaitu Noise Induced Hearing Loss NIHL pada
operator jasa pembangkitan listrik.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fisiologi Pendengaran Manusia
Proses mendengar diawali dengan gelombang suara yang ditangkap oleh daun telinga yang kemudian melalui udara atau hantaran tulang mencapai membran tympani
hingga bergetar dan diteruskan ke koklea. Selanjutnya getaran diteruskan melalui membran Reissner mendorong endolimfe yang menyebabkan membrane basilaris dan
membrane tektoria bergerak relatif dan menimbulkan defleksi stereosilia sel-sel rambut sehingga membuka kanal ion dan terjadi pemasukan ion bermuatan listrik. Membran
basilaris yang terletak di dekat telinga tengah lebih pendek dan kaku akan bergetar bila ada getaran dengan nada rendah. Getaran yang bernada tinggi pada perilymph scala
vestibule akan melintasi membran vestibularis yang terletak dekat ke telinga tengah. Nada rendah akan menggetarkan bagian membran basilaris di daerah apex. Kemudian terjadi
proses depolarisasi sel rambut yang melepas neurotransmitter ke dalam sinapsis dan akhirnya terjadi potensial aksi pada saraf auditorius dilanjutkan ke nucleus auditorius.
Impuls dijalarkan melalui saraf otak yakni statoacustikus atau nervus ke VIII setelah proses sensori atau sensasi auditif kemudian menuju ke medulla oblongata lalu ke
colliculus persepsi auditif, inferior otak tengah, thalamus hingga mencapai kortek pendengaran di lobus temporalis pada area 39-40 untuk diinterpretasikan Astari, 2014.
2.2 Gangguan Pendengaran
2.2.1 Definisi Gangguan Pendengaran
Idealnya, telinga manusia dalam hanya mampu menangkap suara dengan intensitas 85 dBA dan dengan frekuensi 20-20.000 Hz. Seseorang termasuk kategori pendengaran
normal bila mampu mendengar suara deng an intensitas ≤25 dBA. Kebisingan sangat
identik sebagai pemicu utama gangguan pendengaran. Perubahan pada tingkat pendengaran berakibat pada kesulitan melakukan aktivitas secara normal, terutama dalam
hal memahami percakapan. Hal ini terjadi karena peningkatan ambang dengar dari batas nilai normal 0-25 dBA pada salah satu telinga atau keduanya. Peningkatan ambang
dengar dikategorikan ke dalam derajat ketulian yang dibagi menjadi tuli ringan, tuli sedang, tuli sedang berat, tuli berat dan tuli sangat berat Buchari, 2007.
Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Peningkatan Ambang Pendengaran
Klasifikasi Ambang Pendengaran
Normal 0-25 dBA
Tuli ringan 26-40 dBA
Tuli sedang 41-55 dBA
Tuli sedang berat 56-70 dBA
Tuli berat 71-90 dBA
Tuli sangat berat Lebih dari 90 dBA
2.2.2 Jenis-jenis Gangguan Pendengaran
Gangguan yang ditimbulkan akibat bising menyebabkan hilangnya pendengaran atau ketulian yang bersifat progresif atau yang awalnya sementara dapat berubah secara
bertahap menjadi tuli menetap bila pekerja sering terpajan bising. Menurut Hernomo 1998 dalam buku seri kebisingan karya Marji 2013 mengkategorikan tiga jenis utama
gangguan pendengaran, antara lain gangguan pendengaran konduksi, sensorineural perseptif dan gangguan pendengaran campuran Marji, 2013.
1. Conductive Hearing Loss
Tipe gangguan pendengaran ini terjadi akibat lesi di bagian hantaran mulai dari meatus akustikus sampai ke basis stapes. Kondisi ini dikaitkan dengan permasalahan
secara mekanikal pada telinga luar atau telinga tengah. Adapun penyebab kemungkinan masalah tersebut diantaranya cairan telinga yang masuk ke dalam
metus akustikus eksternus sehingga secret ototitis eksterna, pus dan furuncel pecah. Adanya serumen atau benda asing yang mengeras atau menyumbat, munculnya polip
dan granulasi, terjadi stenose penyempitan atresia, kerusakan membran timpani karena suara ledakan maupun benturan. Tuba eustachius yang tertutup akibat
discharge karena telinga tengah menyesuaikan diri dengan tekanan atmosfir. Selain itu, tulang-tulang pendengaran mengalami dislokasi akibat ledakan atau pukulan di
kepala yang menyebabkan terbatasnya pergerakan tulang-tulang tersebut. 2.
Sensorineural Hearing Loss Gangguan pendengaran terjadi akibat lesi di bagian penerimaan mulai dari koklea
sampai ke otak. Jenis ketulian ini terjadi karena disfungsi dari sistem telinga dalam yang ditandai dengan kerusakan pada cilia rambut organ korti koklea yang
berfungsi menghantarkan suara ke sistem saraf. Penyebab tuli sensorineural diantaranya toksin dari obat amminoglikosida streptomisin, kanamycin, salisilat,
kininr, sitostatika serta dari penyakit ginjal dan hepar, penyakit sistemik berupa diabetes mellitus, hipoteriodiea, multiple sclerosis, penyakit infeksi berupa virus
mobile, rubella, parotitis, meningitis. Degenerasi-akustik neurinoma, penyakit darah seperti anemia, leukemia, hipertensi dan akustik neurinoma.
3. Mixed Hearing Loss
Ketulian ini berupa gabungan dari conductive hearing loss dan sensorineural hearing loss yang ditandai dengan kondisi penderita yang mengalami permasalahan di bagian
telinga luar atau tengah seperti infeksius dan rambut pengantar suara ke saraf yang bermasalah akibat pajanan bising yang berlebihan Akbar, 2012.
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Dengar
Seseorang yang terpajan kebisingan tingkat tinggi dalam jangka waktu yang cukup lama dapat memicu penurunan pendengaran atau ketulian. Banyak faktor risiko yang
berpengaruh terhadap derajat atau tingkat keparahan penurunan pendengaran atau ketulian, antara lain intensitas kebisingan, lama pajanan bising, masa kerja, kepekaan
individu yang meliputi umur, konsumsi obat-obatan ototoksik dan kepatuhan penggunaan alat pelindung telinga.
1. Intensitas Kebisingan
Tingkat intensitas kebisingan yang melebihi nilai ambang batas akan menyebabkan gangguan pendengaran yang serius dan bersifat akumulatif sehingga bila terpapar
kebisingan dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen. Telinga manusia mempunyai ambang dengar terendah 0,00002 Nm2 dan
tertinggi adalah 200 Nm2. Untuk mempermudah penggunaannya maka digunakan skala logaritma yang disebut decibel dB, sehingga peningkatan tiga decibel pada
tingkat suara sudah merupakan penggandaan dari intensitas kebisingan. Sedangkan untuk memperhitungkan sensitifitas telinga manusia yang berbeda untuk frekuensi
yang berbeda, maka kekuatan atau intensitas kebisingan diukur dalam satuan dBA Work n.d. 2008. Di lingkungan industri, umumnya kebisingan dapat berasal dari
lebih satu sumber suara. Mengingat perhitungan intensitas bunyi dalam bentuk desibel logaritmik, maka bunyi secara kumulatif bukan penjumlahan aljabar. Efek kebisingan
gabungan dapat dihitung dengan berpedoman pada tabel berikut ini Pusat Pengembangan Keselamatan Kerja dan Hiperkes, 2006.
Tabel 2.32 Intensitas Kebisingan Gabungan
Perbedaan Intensitas Bunyi dalam dB
Penambahan pada Intensitas yang Lebih Tinggi
0 atau 1 3
2 atau 3 2
4 sampai 9 1
10 atau lebih Catatan: Jika 2 sumber bunyi 90 dan 93 dB maka kebisingan kumulatif adalah 93+2 =
95 dB. 2.
Lama Pajanan Bising Untuk mengetahui tingkat bahaya suatu kebisingan selain memperhatikan faktor
intensitas kebisingan, indikator lain yang juga berperan penting terhadap penentuan bahaya kebisingan adalah durasi pajanan bising. Time-weighted Average TWA
dalam hal ini digunakan pada waktu kerja 8 jam. Dasar pertimbangan dari TWA ini untuk menilai efek kebisingan yang diterima sebanding dengan lama pekerja terpajan
bising Work n.d. 2008. Besaran pajanan bising yang diterima diukur dengan perhitungan L equivalent yaitu jumlah rata-rata pajanan bising yang diterima pekerja
selama waktu kerja tertentu dalam satuan dBA. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus Akbar, 2012:
Keterangan: T = Total waktu
t
1,2,n
= waktu pada tingkat kebisingan tertentu L
1,2,n
= Tingkat kebisingan selama periode waktu tertentu Sedangkan untuk mengetahui persentase tingkat bising yang diterima pekerja selama
bekerja dengan mengurangi daya reduksi alat pelindung telinga yakni NRR Noise Reduction Rate dapat merujuk pada data spec product dan menggunakan rumus
Akbar, 2012: Leq
– NRR Kemudian besar dosis pajanan efektif dalam decibel ini dikonversikan ke dalam
bentuk persentase dengan menggunakan rumus berikut ini yang selanjutkan dikalikan 100 untuk melihat persentase dosis pajanan bising yang diterima pekerja
Akbar, 2012. D = 85 + 10 logf
3. Umur Pekerja
Faktor umur menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan terjadinya gangguan pendengaran yang harus diperhatikan walau sebagai faktor perancu confounding.
Pertambahan usia memberi kontribusi terhadap perubahan fisiologi pendengaran. Hal ini dikarenakan membran yang ada di telinga bagian tengah, termasuk gendang telinga
menjadi kurang fleksibel, kekakuan pada tulang-tulang kecil di telinga bagian tengah dan kerusakan sel-sel rambut pada telinga bagian dalam dan koklea. Penurunan
persepsi terhadap bunyi frekuensi tinggi dan penurunan kemampuan membedakan bunyi disebut Presbycusis. Kondisi ini diasumsikan dapat menyebabkan kenaikan
ambang dengar 0,5 dB setiap tahun yang dimulai dari usia 40 tahun. Kondisi ini menggambarkan bahwa pertambahan usia menyebabkan terjadinya penurunan
sensitivitas pendengaran Akbar, 2012. 4.
Tingkat Pendidikan Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan
di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup Marji, 2013. Pekerja dengan tingkat pendidikan yang rendah mempengaruhi pengetahuan pekerja dalam
melakukan upaya pencegahan bahaya bising di tempat kerja Akbar, 2012. 5.
Masa Kerja Pekerja yang terpajan bising dengan masa kerja 5 tahun atau lebih berisiko mengalami
penurunan pendengaran, namun tidak menutup kemungkinan hal ini juga dapat terjadi bila pekerja terpajan bising dengan intensitas sangat tinggi dengan waktu pajanan
melebihi standar yang diperbolehkan per harinya Primadona, 2012. 6.
Penggunaan Obat-obatan Ototoksik Menurut Soetirto 1997 dalam penelitian Primadona 2012 menyatakan bahwa
pengobatan yang bersifat racun pada telinga ototoksik dan dikonsumsi lebih dari 14 hari yang pada umumnya adalah jenis antibiotik aminoglikosid seperti neomisin,
streptomisin, kanamisin, garamisin, kina, asetosal dan obat sejenis lainnya secara tidak langsung mempengaruhi penurunan pendengaran pada pekerja. Hal ini dikarenakan
akumulasi zat kimia yang dikonsumsi dapat berpengaruh terhadap komponen akustik dan melemahkan saraf pendengaran di organ korti Primadona, 2012.
7. Riwayat Penyakit Telinga
Kerentanan individu terhadap penurunan fungsi pendengaran tidak hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal, tetapi juga faktor internal seperti infeksi telinga yang diderita
sebelum bekerja di area kerja yang bising. Penyakit telinga yang dimaksud adalah Otitis Media yaitu peradangan telinga bagian tengah akibat infeksi bakteri
Streptococcus pneumoniae, Haemopilus influence, atau Staphylococcus aerus. Menurut Corwin 2000 dalam Akbar 2012, infeksi telinga terjadi karena adanya
penimbunan sekresi yang tercemar dialirkan dari tuba eustakhius ke telinga tengah dapat menyebabkan infeksi telinga tengah dan bila terjadi berulang-ulang dapat
membentuk jaringan parut di gendang telinga dan terjadi gangguan pendengaran secara permanen. Selain kasus di atas, suara berdenging yang dirasakan pekerja atau
dikenal dengan istilah tinnitus dapat timbul karena penimbunan kotoran telinga, presbiakusis, kelebihan aspirin dan infeksi telinga.
8. Merokok
Merokok dapat menjadi faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya kejadian penurunan pendengaran karena efek nikotin dan karbonmonoksida yang dapat
meningkatkan viskositas darah dan oksigenasi. Nikotin dapat merusak sel saraf karena bersifat ototoksik dan karbonmonoksida dapat menyebabkan iskemia yang dapat
mengganggu suplai oksigen ke organ korti sehingga merusak peredaran darah pada koklea. Hal ini menunjukkan bahwa pajanan rokok dapat menjadi faktor etiologis luka
pada koklea Mohammadi, 2010. 9.
Pemakaian Alat Pelindung Telinga APT Faktor lain yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi penurunan pendengaran
akibat pajanan bising adalah pemakaian APT. Pekerja yang memakai APT di area
kerja yang bising dapat mengurangi pajanan yang diterima dan mencegah terjadinya penurunan pendengaran akibat bising dengan asumsi pekerja secara disiplin memakai
APT dengan benar. Efektivitas suatu alat pelindung telinga dapat dilihat dari Noise Reduction Rate NRR. Untuk earplug NRR produknya adalah 22 dBA. Sedangkan
untuk earmuff, NRR produknya adalah 26 dBA. Berikut ini adalah perhitungan dengan rumus NRR Akbar, 2012.
NRR = 50 NRR produk – 7
Adapun jenis-jenis alat pelindung telinga yang umumnya digunakan di perusahaan antara lain sebagai berikut.
a. Sumbat telinga earplugsinsertdeviceaural insert protector
Cara penggunaan sumbat telinga ini yaitu dengan memasukkannya ke dalam liang telinga sampai tertutup rapat sehingga menghalangi suara mencapai
membran timpani dan alat ini mampu mengurangi bising sampai dengan 30 dB. Berdasarkan cara pemakaiannya, earplugs dibedakan menjadi jenis
sumbat telinga yang hanya menyumbat ke dalam telinga luar semi insert type dan sumbat telinga yang menutupi seluruh telinga luar insert type.
Sedangkan menurut cara penggunaannya, sumbat telinga memiliki beberapa tipe, diantaranya disposable formable type yaitu sumbat telinga sekali pakai
yang terbuat dari kapas dan malam serta non-disposable ear plug yaitu sumbat telinga yang terbuat dari karet atau plastik yang dicetak untuk
digunakan pada jangka waktu yang lama Akbar 2012. b.
Tutup telinga earmuffinsert deviceaural insert protector
Jenis APT ini dapat menutupi seluruh telinga eksternal dan mampu meredam bising sebesar 40-50 dB.
c. Helmet enclosure
Jenis APT ini berbentuk penutup kepala secara keseluruhan sekaligus sebagai pelindung telinga. APT ini digunakan untuk mengurangi bising maksimal 35
dBA pada frekuensi 250 Hz dan 50 dBA pada frekuensi yang lebih tinggi Pujiriani, 2008.
Tabel 2.3 Pedoman dalam Pemilihan dan Pemakaian APT
Tingkat Bising dBA Pemakaian APT
Pemilihan APT
85 Tidak Wajib
Bebas memilih 85-89
Optional Bebas memilih
90-94 Wajib
Bebas memilih 95-99
Wajib Pilihan terbatas
100 Wajib
Pilihan sangat terbatas Sumber: Direktorat Bina Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan Republik
Indonesia 2006
Sumber: AFE Group General Industry and Safety 2010
2.4 Pemeriksaan Pendengaran