Epidemiologi Noise Induced Hearing Loss Pada Operator PLTD/G di PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali Tahun 2016.

(1)

UNIVERSITAS UDAYANA

EPIDEMIOLOGI NOISE INDUCED HEARING LOSS PADA

OPERATOR PLTD/G DI PT. INDONESIA POWER UNIT

PEMBANGKITAN DAN JASA PEMBANGKITAN BALI TAHUN

2016

A.A ISTRI DIAH INDRASUARI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2016


(2)

UNIVERSITAS UDAYANA

EPIDEMIOLOGI NOISE INDUCED HEARING LOSS PADA

OPERATOR PLTD/G DI PT. INDONESIA POWER UNIT

PEMBANGKITAN DAN JASA PEMBANGKITAN BALI TAHUN

2016

A.A ISTRI DIAH INDRASUARI

NIM. 1220025026

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2016


(3)

UNIVERSITAS UDAYANA

EPIDEMIOLOGI NOISE INDUCED HEARING LOSS PADA

OPERATOR PLTD/G DI PT. INDONESIA POWER UNIT

PEMBANGKITAN DAN JASA PEMBANGKITAN BALI TAHUN

2016

Skripsi ini diajukan sebagai

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

A.A ISTRI DIAH INDRASUARI

NIM. 1220025026

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2016


(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui dan diperiksa dihadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 27 Juni 2016

Pembimbing

dr. I Made Ady Wirawan, MPH., Ph.D NIP. 19771228 200501 1 001


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah dipresentasikan dan diujikan dihadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 27 Juni 2016

Tim Penguji Skripsi Penguji I,

I Made Kerta Duana, S.KM, MPH NIP. 19791117 200604 1 005

Penguji II,

Dr. dr. Partha Muliawan, MSc (OM) NIP. 19510922 198003 1 002


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Epidemiologi Noise Induced Hearing Loss pada Operator PLTD/G di PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali Tahun 2016” ini tepat pada waktunya.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan atas kerjasamanya dalam penyusunan skripsi ini kepada :

1. dr. I Made Ady Wirawan, MPH, Ph.D, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana sekaligus sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan secara teknis dalam penyelesaian skripsi ini dengan tepat waktu.

2. I Made Kerta Duana, S.KM.,MPH sebagai Kepala Bagian Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang telah memberikan izin kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.

3. General Manager PT. Indonesia Power UPJP Bali yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis serta Operator PLTD/G yang telah bersedia menjadi responden penelitian.

4. Orang tua tercinta A.A Ngurah Adhiputra dan I Gusti Ayu Ngurah Puspita Artiwi yang selama ini memberikan semangat dan dukungan baik moral maupun material kepada penulis.

5. Harmoni Hearing Centre yang telah membantu penulis dalam pemeriksaan audiometri.


(7)

6. AKBP dr. I.G.A.A Diah Yamini, Sp.THT-KL yang telah memberikan masukan dan membantu penulis dalam pembacaan hasil audiogram.

7. Teman-teman seperjuangan dari peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan teman-teman IKM Angkatan 2012 yang telah memberikan bantuan dan semangat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Sahabat FST diantaranya Ruth Yuliana Palupi, Ratih Wiratni, Gita Puspita, Sintya Surya, Dentisna Krisnayanti, Dimar Warsihantari, Diah Puspita, Nugrahaningari dan Nadi Karisma yang selalu memberikan motivasi untuk penyelesaian skripsi ini. 9. Semua pihak yang telah membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini yang penulis

tidak dapat sampaikan satu-persatu.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar hasil yang disampaikan dalam penelitian ini berguna dan dapat dimanfaatkan dengan baik.

Denpasar, Juni 2016


(8)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Juni 2016

A.A Istri Diah Indrasuari, I Made Ady Wirawan

EPIDEMIOLOGI NOISE INDUCED HEARING LOSS PADA OPERATOR PLTD/G DI PT. INDONESIA POWER UNIT PEMBANGKITAN DAN JASA PEMBANGKITAN BALI TAHUN 2016

ABSTRAK

Gangguan pendengaran akibat bising (NIHL) adalah salah satu penyakit akibat kerja tertinggi di sektor industri karena pajanan bising yang cukup tinggi dalam beberapa tahun. Operator di unit pembangkit listrik memiliki risiko besar mengalami NIHL. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi NIHL berdasarkan konsep triad epidemiologi yang meliputi host, agent dan environment.

Desain penelitian ini adalah cross sectional study dengan pendekatan deskriptif kuantitatif. Populasi berjumlah 56 orang yang merupakan seluruh operator PLTD/G PT. Indonesia Power UPJP Bali. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling. Instrumen yang digunakan yaitu kuesioner dan audiometri.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi NIHL adalah 42,59% dan secara bermakna terjadi pada kelompok umur lebih dari 40 tahun (p=0,001), masa kerja lebih dari 5 tahun (p=0,004) dan tingkat pendidikan SMK/Sederajat (p=0,012). Namun, tidak ada perbedaan yang bermakna pada merokok (p=0,846), dosis efektif pajanan bising (p=0,462) dan penggunaan alat pelindung telinga (p=1,000).

Pihak perusahaan sebaiknya mengadakan evaluasi program konservasi pendengaran operator dengan melakukan skrining audiometri awal bekerja dan audiometri monitoring serta pemberian alat bantu dengar pada operator yang sudah mengalami ketulian. Pada operator yang mengalami perubahan ambang dengar sementara (TTS) sebaiknya melakukan upaya pencegahan dengan cara beristirahat pada tempat yang tenang setelah bekerja pada area bising untuk memulihkan fungsi pendengaran.

Kata kunci: Noise Induced Hearing Loss, intensitas kebisingan, operator pembangkit listrik


(9)

SCHOOL OF PUBLIC HEALTH FACULTY OF MEDICINE UDAYANA UNIVERSITY

OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY MAJOR Thesis, June 2016

A.A Istri Diah Indrasuari, I Made Ady Wirawan

EPIDEMIOLOGY OF NOISE INDUCED HEARING LOSS IN OPERATOR OF DIESEL AND GAS POWER PLANTS AT PT. INDONESIA POWER GENERATION AND SERVICES UNIT BALI IN 2016

ABSTRACT

Noise Induced Hearing Loss (NIHL) is one of the highest occupational diseases in the industrial sector caused high enough exposure in a few years. Operators in the power plant unit has a disproportionate risk of NIHL. The purpose of this study was to determine the prevalence of NIHL is based on the concept of epidemiological triad that includes the host, agent (the noise intensity and duration of noise exposure) and the environment (the use of ear protectors).

The study design used is cross sectional study with quantitative descriptive approach. A population of 56 people who are all operators of diesel and gas power plants of PT. Indonesia Power UPJP Bali. The sampling technique used is total sampling. The instrument used consisted of a questionnaire and audiometry.

The results of this study showed that prevalence of NIHL is 42,59% and the highest incidence was significantly NIHL occurs in the age group over 40 years (p=0.001), work period more than 5 years (p = 0.004) and the educational level of vocational schools (p=0.012). However, there was no significant difference in smoking habits (p=0.846), the effective dose of noise exposure (p=0.462) and use of ear protective equipment (p=1.000). The company should regularly hold a hearing conservation program evaluation operator to conduct screening and provision of hearing aids to operators who have deaf. To operators who have NIHL suspect should take steps to prevent by temporary break on a quiet place after working in noisy areas to recover auditory function. Engineering controls can be done with the installation of the sound barrier on the machine that became the source of noise.


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN JUDUL DENGAN SPESIFIKASI ... iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.4.1 Tujuan Umum ... 5

1.4.2 Tujuan Khusus ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 6

1.5.2 Manfaat Praktis ... 6

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Fisiologi Pendengaran Manusia ... 8

2.2 Gangguan Pendengaran ... 9

2.2.1 Definisi Gangguan Pendengaran ... 9

2.2.2 Jenis-jenis Gangguan Pendengaran ... 9

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Dengar ... 11

2.4 Pemeriksaan Pendengaran ... 17

2.5 Bising ... 21

2.5.1 Definisi Bising ... 21


(11)

2.5.3 Pengukuran Kebisingan ... 23

2.5.4 Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan ... 24

2.6 Pengaruh Kebisingan Pada Kesehatan Manusia ... 25

2.7 Noise Induced Hearing Loss (NIHL) ... 28

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL ... 30

3.1 Kerangka Konsep ... 30

BAB IV METODE PENELITIAN ... 35

4.1 Desain Penelitian ... 35

4.2 Populasi dan Sampel... 35

4.2.1 Populasi ... 35

4.2.2 Sampel ... 35

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

4.4 Jenis Data Penelitian... 37

4.5 Instrumen Penelitian ... 37

4.6 Pengumpulan Data... 39

4.6.1 Data Intensitas Kebisingan ... 39

4.6.2 Data Lama Pajanan Bising ... 40

4.6.3 Data Karakteristik Pekerja (Masa Kerja, Umur Pekerja dan Tingkat Pendidikan) ... 40

4.6.4 Data Kebiasaan Merokok ... 41

4.6.5 Data Pemakaian Alat Pelindung Telinga (APT) ... 41

4.6.6 Data Audiometri ... 41

4.7 Pengolahan Data ... 46

4.8 Teknik Analisis Data ... 47

BAB V HASIL PENELITIAN ... 49

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 49

5.2 Karakteristik Responden ... 50

5.2.1 Karakteristik Agent ... 51

A. Pengukuran Tingkat Bising Lingkungan Kerja Area PLTD/G .. 51

A. Perhitungan L Equivalent ... 52


(12)

5.2.3 Gambaran Status Pendengaran ... 53

5.2.4 Karakteristik Noise Induced Hearing Loss... 54

5.2.5 Epidemiologi Noise Induced Hearing Loss ... 56

BAB VI PEMBAHASAN ... 57

6.1 Karakteristik Host, Agent dan Environment ... 57

6.2 Epidemiologi Noise Induced Hearing Loss ... 59

6.3 Keterbatasan Penelitian ... 65

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 68

7.1 Simpulan ... 68

7.2 Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(13)

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Gambar 2.1 Jenis-jenis Alat Pelindung Telinga ... 17

Gambar 2.2 Sensorineural Hearing Loss Audiogram………...21

Gambar 3.1 Kerangka Konsep………...………32

Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Peningkatan Ambang Pendengaran ... 9

Tabel 2.2 Intensitas Kebisingan Gabungan... 12

Tabel 2.3 Pedoman dalam Pemilihan dan Pemakaian APT ... 17

Tabel 2.4 Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan... 25

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel………..33

Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik Operator PLTD/G………..52

Tabel 5.2 Intensitas Kebisingan Pada Area Kerja PLTD/G PT. Indonesia Power UPJP Bali ………..54

Tabel 5.3 Distribusi Level Bising, Leq Efektif dan Dosis Efektif Pajanan Bising Pada PLTD/G………...54

Tabel 5.4 Distribusi Jenis dan Kategori Penggunaan Alat Pelindung Telinga Pada Operator PLTD/G………55

Tabel 5.5 Distribusi Kejadian Gangguan Pendengaran Pada Operator PLTD/G………55

Tabel 5.6 Distribusi Gangguan Pendengaran Pada Operator PLTD/G Berdasarkan Peningkatan Ambang Pendengaran Tabel 5.7 Distribusi Kejadian Telinga Berdengung, Waktu Berdengung dan Status NIHL Pada Operator PLTD/G………..56


(14)

DAFTAR ISTILAH DAN LAMBANG

ACOEM : The American College of Occupational and Environmental Medicine APT : Alat Pelindung Telinga

dBA : Desibel dalam jaringan A Leq : Tingkat tekanan suara ekuivalen

NIDOCD : National Institute on Deafness and Other Communication Disorders NIHL : Noise Induced Hearing Loss

NIOSH : National Institute of Occupational Safety and Health NRR : Noise Reduction Rate

PLN : Perusahaan Listrik Negara

PLTD/G : Pembangkit Listrik Tenaga Diesel dan Gas PT : Perseroan Terbatas

UPJP : Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan WHO : World Health Organization

% : Persen < : Lebih kecil

≤ : Lebih kecil sama dengan > : Lebih besar

≥ f

: Lebih besar sama dengan : Frekuensi

n : Besar sampel N : Besar populasi

d : Tingkat ketetapan absolut D : Dosis efektif pajanan bising


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

1. Jadwal Penelitian

2. Informasi dan Persetujuan Mengikuti Penelitian

3. Surat Pernyataan Bersedia Menjadi Responden Penelitian 4. Kuesioner Penelitian

5. Hasil Pengukuran Tingkat Kebisingan 6. Hasil Pemeriksaan Audiometri Responden 7. Dokumentasi Penelitian

8. Surat Keterangan Kelaikan Etik dari Komisi Etik 9. Lay Out Perusahaan


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konsumsi energi listrik setiap tahunnya terus meningkat sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan laporan proyeksi kebutuhan listrik PLN tahun 2015-2024, diperkirakan kebutuhan listrik pada tahun 2015 dari 219,1 TWH meningkat menjadi 464,2 TWh pada tahun 2024 dengan rata-rata pertumbuhan 8,7% per tahun. Untuk wilayah Jawa-Bali pada tahun 2015 tumbuh dari 165,4 TWh menjadi 324,4 TWh pada tahun 2024 atau tumbuh rata-rata 7,8% per tahun (Pamudji, 2014).

Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap konsumsi energi listrik, maka perusahaan yang bergerak di sektor pembangkitan listrik dituntut untuk dapat meningkatkan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya listrik yang diproduksi, diantaranya menentukan jenis dan kapasitas pembebanan baik beban dasar maupun beban puncak, karakterisitik pembebanan termasuk daya mampu dan waktu operasi unit pembangkit listrik. Agar dapat menjamin proses produksi listrik dapat terdistribusikan secara optimal, maka para operator di bagian PLTD/G PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali tidak terlepas dari proses mekanik yang dapat menghasilkan kebisingan, bahkan melebihi ambang batas yang diizinkan. Kebisingan yang ditimbulkan dari pengoperasian mesin di unit pembangkit listrik merupakan salah satu bahaya yang dominan terjadi di tempat kerja. National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) menetapkan nilai ambang batas bising di tempat kerja adalah


(17)

85 dBA. Bila para operator telah terpapar kebisingan melebihi nilai ambang batas dalam jangka waktu panjang dapat berisiko mengalami gangguan pendengaran akibat kebisingan atau yang dikenal dengan istilah Noise Induced Hearing Loss (NIHL).

Ketulian akibat bising atau NIHL adalah ketulian yang berangsur-angsur terjadi dalam jangka waktu panjang akibat terpapar kebisingan secara terus-menerus atau terputus-putus. Ketulian dalam occupational ini bermanifestasi menjadi kehilangan pendengaran sebagian maupun total yang terjadi akibat suatu pekerjaan. World Health Organization (WHO) pada tahun 2000 secara global menyatakan sekitar 250 juta (4,2%) penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dan sekitar 75 sampai 140 juta adalah penduduk Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Kejadian NIHL bukan hanya menjadi permasalahan kesehatan, namun juga berdampak pada masalah perekonomian seperti yang terjadi di Australia pada bulan Juli 2002 dan Juni 2007. Terdapat 16.500 kompensasi atas klaim yang diajukan pekerja terhadap ketulian yang dialami (Safe Work Australia, 2010). NIHL juga menjadi penyakit akibat kerja terbanyak di Amerika Serikat. Berdasarkan laporan dari National Institute on Deafness and Other Communication Disorders (NIDCD), tercatat sepuluh juta orang Amerika yang mengalami penurunan pendengaran akibat bising dan ±30-50 juta orang sering terpapar kebisingan yang melebihi nilai ambang batas yang diizinkan (Fligor, 2011).

Hal serupa juga didapatkan dari hasil penelitian Tana et al pada tahun 2002 di suatu perusahaan baja menyatakan bahwa sebanyak 115 orang (43,6%) pekerja mengalami NIHL. Peningkatan persentase NIHL pada pekerja dengan meningkatnya usia yaitu 14% pada umur <30 tahun, 41% pada umur 30-39 tahun dan 60% pada umur >40 tahun. Pekerja


(18)

3

yang ditempatkan pada unit komponen perawatan dengan masa kerja <10 tahun sebanyak 29% mengalami NIHL, masa kerja 10-19 tahun sebesar 44% dan 61% pada pekerja dengan masa kerja ≥20 tahun (Tana et al. 2002). Sejalan dengan penelitian tersebut, penelitian lain yang dilakukan oleh Amira Primadona mengenai faktor risiko yang berhubungan dengan penurunan pendengaran pada pekerja di PT. Pertamina Geothermal Area Kamojang, menunjukkan hasil bahwa variabel yang memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian penurunan pendengaran adalah variabel usia pekerja dan faktor risiko utama yang menyebabkan penurunan pendengaran pada pekerja yang terpajan kebisingan adalah tingkat kebisingan yang sangat tinggi yang berasal dari uji tegak dengan tingkat kebisingan mencapai 109,5 dBA yang berarti pekerja hanya boleh terpajan selama 1,5 menit, namun kenyataan di lapangan, pekerja terpajan selama ±2 jam bahkan lebih tergantung pada situasi dan kondisi di lapangan (Primadona, 2012).

Kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin pembangkit listrik terutama pada saat beban puncak dan mengakibatkan NIHL juga dipaparkan dalam hasil penelitian yang dilakukan di seputaran Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Siantan Hilir di provinsi Kalimantan Barat yang menyatakan bahwa penduduk yang bertempat tinggal pada radius kurang dari 100 meter dari PLTD mempunyai risiko 1,9 kali lebih besar untuk mengalami gangguan kemampuan pendengaran dibandingkan penduduk yang bertempat tinggal pada radius lebih dari 100 meter dari PLTD (Banitriono, 2012). Kejadian NIHL di sektor pembangkitan listrik juga dinyatakan dalam penelitian Nizam et al yang dilakukan pada 216 pekerja di pembangkit listrik Sarawak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi pekerja yang mengalami penurunan pendengaran sebesar 55,9% (Nizam et al. 2004). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penurunan pendengaran yaitu


(19)

umur, masa kerja lebih dari 20 tahun dan jenis mesin pembangkit. Berdasarkan fakta inilah, maka peneliti tertarik untuk mengetahui epidemiologi Noise Induced Hearing Loss pada Operator PLTD/G di PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali Tahun 2016.

1.2 Rumusan Masalah

Kebisingan merupakan salah satu faktor risiko yang dapat menyebabkan penurunan pendengaran pekerja atau Noise Induced Hearing Loss. Beberapa area tertentu di PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali memiliki tingkat kebisingan yang cukup tinggi, terutama di area Engine Hall dengan rata-rata intensitas kebisingan mencapai 110 dBA. Sedangkan intensitas kebisingan di control room operator rata-rata hanya mencapai 48,86 dBA. Aktivitas operator umumnya dilakukan di control room, tetapi ditemukan permasalahan gangguan pendengaran pada beberapa operator. Merujuk pada data hasil medical check up pada operator PLTD/G PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali tahun 2015, dinyatakan bahwa terdapat 2 orang mengalami tuli ringan akibat bising pada telinga kanan atau telinga kiri, 1 orang diindikasikan mengalami tuli sedang dan cenderung parah serta sebanyak 12 orang operator yang berusia di atas 40 tahun positif mengalami NIHL pada telinga kanan dan kiri. Pemeriksaan audiometri dilakukan pada saat awal bekerja di area bising, namun baseline audiogram tersebut tidak dapat diakses peneliti sehingga riwayat audiometri hanya diperoleh dari recall melalui kuesioner. Oleh karena itu dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui epidemiologi Noise Induced Hearing Loss (NIHL) pada operator PLTD/G di PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali Tahun 2016.


(20)

5

1.3 Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan yang ingin dijawab oleh peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana prevalensi NIHL pada operator PLTD/G di PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali?

2. Bagaimana gambaran triad epidemiologi Noise Induced Hearing Loss pada Operator PLTD/G PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali berdasarkan host yaitu karakteristik pekerja yang meliputi umur, masa kerja, tingkat pendidikan dan kebiasaan merokok?

3. Bagaimana gambaran triad epidemiologi Noise Induced Hearing Loss pada Operator PLTD/G PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali berdasarkan agent yang meliputi intensitas kebisingan dan lama pajanan bising? 4. Bagaimana gambaran triad epidemiologi Noise Induced Hearing Loss pada Operator

PLTD/G PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali berdasarkan environment atau pemakaian alat pelindung telinga?

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui epidemiologi Noise Induced Hearing Loss (NIHL) pada operator PLTD/G di PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali Tahun 2016.

1.4.2 Tujuan Khusus


(21)

1. Mengetahui prevalensi NIHL pada operator PLTD/G di PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali.

2. Mengetahui gambaran triad epidemiologi Noise Induced Hearing Loss pada Operator PLTD/G PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali berdasarkan host yaitu karakteristik pekerja yang meliputi umur, masa kerja, tingkat pendidikan dan kebiasaan merokok.

3. Mengetahui gambaran triad epidemiologi Noise Induced Hearing Loss pada Operator PLTD/G PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali berdasarkan agent yang meliputi intesitas kebisingan dan lama pajanan bising.

4. Mengetahui gambaran triad epidemiologi Noise Induced Hearing Loss pada Operator PLTD/G PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali berdasarkan environment atau pemakaian alat pelindung telinga.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi menyangkut bidang keselamatan dan kesehatan kerja mengenai epidemiologi Noise Induced Hearing Loss (NIHL) pada operator PLTD/G di PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali.

1.5.2Manfaat Praktis

1. Memberikan bukti empiris yang memuat informasi hasil pemeriksaan pendengaran dan pengukuran kebisingan yang berhubungan dengan epidemiologi Noise Induced


(22)

7

Hearing Loss pada operator PLTD/G PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali.

2. Sebagai bahan evaluasi terhadap kebijakan perusahaan terkait risiko Noise Induced Hearing Loss dan memberikan saran yang konstruktif bagi pihak perusahaan untuk dapat melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap kejadian Noise

Induced Hearing Loss pada operator PLTD/G PT. Indonesia Power Unit

Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali.

3. Menjadi bahan masukan bagi peneliti selanjutnya dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja tentang epidemiologi Noise Induced Hearing Loss khususnya pada operator di bidang jasa pembangkitan listrik.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah di bidang keselamatan dan kesehatan kerja khususnya penyakit akibat kerja yaitu Noise Induced Hearing Loss (NIHL) pada operator jasa pembangkitan listrik.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Pendengaran Manusia

Proses mendengar diawali dengan gelombang suara yang ditangkap oleh daun telinga yang kemudian melalui udara atau hantaran tulang mencapai membran tympani hingga bergetar dan diteruskan ke koklea. Selanjutnya getaran diteruskan melalui membran Reissner mendorong endolimfe yang menyebabkan membrane basilaris dan membrane tektoria bergerak relatif dan menimbulkan defleksi stereosilia sel-sel rambut sehingga membuka kanal ion dan terjadi pemasukan ion bermuatan listrik. Membran basilaris yang terletak di dekat telinga tengah lebih pendek dan kaku akan bergetar bila ada getaran dengan nada rendah. Getaran yang bernada tinggi pada perilymph scala vestibule akan melintasi membran vestibularis yang terletak dekat ke telinga tengah. Nada rendah akan menggetarkan bagian membran basilaris di daerah apex. Kemudian terjadi proses depolarisasi sel rambut yang melepas neurotransmitter ke dalam sinapsis dan akhirnya terjadi potensial aksi pada saraf auditorius dilanjutkan ke nucleus auditorius. Impuls dijalarkan melalui saraf otak yakni statoacustikus atau nervus ke VIII setelah proses sensori atau sensasi auditif kemudian menuju ke medulla oblongata lalu ke colliculus persepsi auditif, inferior otak tengah, thalamus hingga mencapai kortek pendengaran di lobus temporalis pada area 39-40 untuk diinterpretasikan (Astari, 2014).


(24)

9

2.2 Gangguan Pendengaran

2.2.1Definisi Gangguan Pendengaran

Idealnya, telinga manusia dalam hanya mampu menangkap suara dengan intensitas 85 dBA dan dengan frekuensi 20-20.000 Hz. Seseorang termasuk kategori pendengaran normal bila mampu mendengar suara dengan intensitas ≤25 dBA. Kebisingan sangat identik sebagai pemicu utama gangguan pendengaran. Perubahan pada tingkat pendengaran berakibat pada kesulitan melakukan aktivitas secara normal, terutama dalam hal memahami percakapan. Hal ini terjadi karena peningkatan ambang dengar dari batas nilai normal (0-25 dBA) pada salah satu telinga atau keduanya. Peningkatan ambang dengar dikategorikan ke dalam derajat ketulian yang dibagi menjadi tuli ringan, tuli sedang, tuli sedang berat, tuli berat dan tuli sangat berat (Buchari, 2007).

Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Peningkatan Ambang Pendengaran Klasifikasi Ambang Pendengaran

Normal 0-25 dBA

Tuli ringan 26-40 dBA

Tuli sedang 41-55 dBA

Tuli sedang berat 56-70 dBA

Tuli berat 71-90 dBA

Tuli sangat berat Lebih dari 90 dBA 2.2.2Jenis-jenis Gangguan Pendengaran

Gangguan yang ditimbulkan akibat bising menyebabkan hilangnya pendengaran atau ketulian yang bersifat progresif atau yang awalnya sementara dapat berubah secara bertahap menjadi tuli menetap bila pekerja sering terpajan bising. Menurut Hernomo (1998) dalam buku seri kebisingan karya Marji (2013) mengkategorikan tiga jenis utama gangguan pendengaran, antara lain gangguan pendengaran konduksi, sensorineural (perseptif) dan gangguan pendengaran campuran (Marji, 2013).


(25)

1. Conductive Hearing Loss

Tipe gangguan pendengaran ini terjadi akibat lesi di bagian hantaran mulai dari meatus akustikus sampai ke basis stapes. Kondisi ini dikaitkan dengan permasalahan secara mekanikal pada telinga luar atau telinga tengah. Adapun penyebab kemungkinan masalah tersebut diantaranya cairan telinga yang masuk ke dalam metus akustikus eksternus sehingga secret ototitis eksterna, pus dan furuncel pecah. Adanya serumen atau benda asing yang mengeras atau menyumbat, munculnya polip dan granulasi, terjadi stenose (penyempitan) atresia, kerusakan membran timpani karena suara ledakan maupun benturan. Tuba eustachius yang tertutup akibat discharge karena telinga tengah menyesuaikan diri dengan tekanan atmosfir. Selain itu, tulang-tulang pendengaran mengalami dislokasi akibat ledakan atau pukulan di kepala yang menyebabkan terbatasnya pergerakan tulang-tulang tersebut.

2. Sensorineural Hearing Loss

Gangguan pendengaran terjadi akibat lesi di bagian penerimaan mulai dari koklea sampai ke otak. Jenis ketulian ini terjadi karena disfungsi dari sistem telinga dalam yang ditandai dengan kerusakan pada cilia (rambut) organ korti koklea yang berfungsi menghantarkan suara ke sistem saraf. Penyebab tuli sensorineural diantaranya toksin dari obat amminoglikosida (streptomisin, kanamycin), salisilat, kininr, sitostatika serta dari penyakit ginjal dan hepar, penyakit sistemik berupa diabetes mellitus, hipoteriodiea, multiple sclerosis, penyakit infeksi berupa virus (mobile, rubella, parotitis, meningitis. Degenerasi-akustik neurinoma, penyakit darah seperti anemia, leukemia, hipertensi dan akustik neurinoma.


(26)

11

3. Mixed Hearing Loss

Ketulian ini berupa gabungan dari conductive hearing loss dan sensorineural hearing loss yang ditandai dengan kondisi penderita yang mengalami permasalahan di bagian telinga luar atau tengah seperti infeksius dan rambut pengantar suara ke saraf yang bermasalah akibat pajanan bising yang berlebihan (Akbar, 2012).

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Dengar

Seseorang yang terpajan kebisingan tingkat tinggi dalam jangka waktu yang cukup lama dapat memicu penurunan pendengaran atau ketulian. Banyak faktor risiko yang berpengaruh terhadap derajat atau tingkat keparahan penurunan pendengaran atau ketulian, antara lain intensitas kebisingan, lama pajanan bising, masa kerja, kepekaan individu yang meliputi umur, konsumsi obat-obatan ototoksik dan kepatuhan penggunaan alat pelindung telinga.

1. Intensitas Kebisingan

Tingkat intensitas kebisingan yang melebihi nilai ambang batas akan menyebabkan gangguan pendengaran yang serius dan bersifat akumulatif sehingga bila terpapar kebisingan dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen. Telinga manusia mempunyai ambang dengar terendah 0,00002 N/m2 dan tertinggi adalah 200 N/m2. Untuk mempermudah penggunaannya maka digunakan skala logaritma yang disebut decibel (dB), sehingga peningkatan tiga decibel pada tingkat suara sudah merupakan penggandaan dari intensitas kebisingan. Sedangkan untuk memperhitungkan sensitifitas telinga manusia yang berbeda untuk frekuensi yang berbeda, maka kekuatan atau intensitas kebisingan diukur dalam satuan dBA (Work n.d. 2008). Di lingkungan industri, umumnya kebisingan dapat berasal dari


(27)

lebih satu sumber suara. Mengingat perhitungan intensitas bunyi dalam bentuk desibel logaritmik, maka bunyi secara kumulatif bukan penjumlahan aljabar. Efek kebisingan gabungan dapat dihitung dengan berpedoman pada tabel berikut ini (Pusat Pengembangan Keselamatan Kerja dan Hiperkes, 2006).

Tabel 2.32 Intensitas Kebisingan Gabungan

Perbedaan Intensitas Bunyi dalam dB

Penambahan pada Intensitas yang Lebih Tinggi

0 atau 1 3

2 atau 3 2

4 sampai 9 1

10 atau lebih 0

Catatan: Jika 2 sumber bunyi 90 dan 93 dB maka kebisingan kumulatif adalah 93+2 = 95 dB.

2. Lama Pajanan Bising

Untuk mengetahui tingkat bahaya suatu kebisingan selain memperhatikan faktor intensitas kebisingan, indikator lain yang juga berperan penting terhadap penentuan bahaya kebisingan adalah durasi pajanan bising. Time-weighted Average (TWA) dalam hal ini digunakan pada waktu kerja 8 jam. Dasar pertimbangan dari TWA ini untuk menilai efek kebisingan yang diterima sebanding dengan lama pekerja terpajan bising (Work n.d. 2008). Besaran pajanan bising yang diterima diukur dengan perhitungan L equivalent yaitu jumlah rata-rata pajanan bising yang diterima pekerja selama waktu kerja tertentu dalam satuan dBA. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus (Akbar, 2012):


(28)

13

Keterangan: T = Total waktu

t1,2,n = waktu pada tingkat kebisingan tertentu

L1,2,n = Tingkat kebisingan selama periode waktu tertentu

Sedangkan untuk mengetahui persentase tingkat bising yang diterima pekerja selama bekerja dengan mengurangi daya reduksi alat pelindung telinga yakni NRR (Noise Reduction Rate) dapat merujuk pada data spec product dan menggunakan rumus (Akbar, 2012):

Leq – NRR

Kemudian besar dosis pajanan efektif dalam decibel ini dikonversikan ke dalam bentuk persentase (%) dengan menggunakan rumus berikut ini yang selanjutkan dikalikan 100% untuk melihat persentase dosis pajanan bising yang diterima pekerja (Akbar, 2012).

D = 85 + 10 log(f) 3. Umur Pekerja

Faktor umur menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan terjadinya gangguan pendengaran yang harus diperhatikan walau sebagai faktor perancu (confounding). Pertambahan usia memberi kontribusi terhadap perubahan fisiologi pendengaran. Hal ini dikarenakan membran yang ada di telinga bagian tengah, termasuk gendang telinga menjadi kurang fleksibel, kekakuan pada tulang-tulang kecil di telinga bagian tengah dan kerusakan sel-sel rambut pada telinga bagian dalam dan koklea. Penurunan persepsi terhadap bunyi frekuensi tinggi dan penurunan kemampuan membedakan bunyi disebut Presbycusis. Kondisi ini diasumsikan dapat menyebabkan kenaikan


(29)

ambang dengar 0,5 dB setiap tahun yang dimulai dari usia 40 tahun. Kondisi ini menggambarkan bahwa pertambahan usia menyebabkan terjadinya penurunan sensitivitas pendengaran (Akbar, 2012).

4. Tingkat Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup (Marji, 2013). Pekerja dengan tingkat pendidikan yang rendah mempengaruhi pengetahuan pekerja dalam melakukan upaya pencegahan bahaya bising di tempat kerja (Akbar, 2012).

5. Masa Kerja

Pekerja yang terpajan bising dengan masa kerja 5 tahun atau lebih berisiko mengalami penurunan pendengaran, namun tidak menutup kemungkinan hal ini juga dapat terjadi bila pekerja terpajan bising dengan intensitas sangat tinggi dengan waktu pajanan melebihi standar yang diperbolehkan per harinya (Primadona, 2012).

6. Penggunaan Obat-obatan Ototoksik

Menurut Soetirto (1997) dalam penelitian Primadona (2012) menyatakan bahwa pengobatan yang bersifat racun pada telinga (ototoksik) dan dikonsumsi lebih dari 14 hari yang pada umumnya adalah jenis antibiotik aminoglikosid seperti neomisin, streptomisin, kanamisin, garamisin, kina, asetosal dan obat sejenis lainnya secara tidak langsung mempengaruhi penurunan pendengaran pada pekerja. Hal ini dikarenakan akumulasi zat kimia yang dikonsumsi dapat berpengaruh terhadap komponen akustik dan melemahkan saraf pendengaran di organ korti (Primadona, 2012).


(30)

15

Kerentanan individu terhadap penurunan fungsi pendengaran tidak hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal, tetapi juga faktor internal seperti infeksi telinga yang diderita sebelum bekerja di area kerja yang bising. Penyakit telinga yang dimaksud adalah Otitis Media yaitu peradangan telinga bagian tengah akibat infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae, Haemopilus influence, atau Staphylococcus aerus. Menurut Corwin (2000) dalam Akbar (2012), infeksi telinga terjadi karena adanya penimbunan sekresi yang tercemar dialirkan dari tuba eustakhius ke telinga tengah dapat menyebabkan infeksi telinga tengah dan bila terjadi berulang-ulang dapat membentuk jaringan parut di gendang telinga dan terjadi gangguan pendengaran secara permanen. Selain kasus di atas, suara berdenging yang dirasakan pekerja atau dikenal dengan istilah tinnitus dapat timbul karena penimbunan kotoran telinga, presbiakusis, kelebihan aspirin dan infeksi telinga.

8. Merokok

Merokok dapat menjadi faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya kejadian penurunan pendengaran karena efek nikotin dan karbonmonoksida yang dapat meningkatkan viskositas darah dan oksigenasi. Nikotin dapat merusak sel saraf karena bersifat ototoksik dan karbonmonoksida dapat menyebabkan iskemia yang dapat mengganggu suplai oksigen ke organ korti sehingga merusak peredaran darah pada koklea. Hal ini menunjukkan bahwa pajanan rokok dapat menjadi faktor etiologis luka pada koklea (Mohammadi, 2010).

9. Pemakaian Alat Pelindung Telinga (APT)

Faktor lain yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi penurunan pendengaran akibat pajanan bising adalah pemakaian APT. Pekerja yang memakai APT di area


(31)

kerja yang bising dapat mengurangi pajanan yang diterima dan mencegah terjadinya penurunan pendengaran akibat bising dengan asumsi pekerja secara disiplin memakai APT dengan benar. Efektivitas suatu alat pelindung telinga dapat dilihat dari Noise Reduction Rate (NRR). Untuk earplug NRR produknya adalah 22 dBA. Sedangkan untuk earmuff, NRR produknya adalah 26 dBA. Berikut ini adalah perhitungan dengan rumus NRR (Akbar, 2012).

NRR = 50% (NRR produk – 7)

Adapun jenis-jenis alat pelindung telinga yang umumnya digunakan di perusahaan antara lain sebagai berikut.

a. Sumbat telinga (earplugs/insert/device/aural insert protector)

Cara penggunaan sumbat telinga ini yaitu dengan memasukkannya ke dalam liang telinga sampai tertutup rapat sehingga menghalangi suara mencapai membran timpani dan alat ini mampu mengurangi bising sampai dengan 30 dB. Berdasarkan cara pemakaiannya, earplugs dibedakan menjadi jenis sumbat telinga yang hanya menyumbat ke dalam telinga luar (semi insert type) dan sumbat telinga yang menutupi seluruh telinga luar (insert type). Sedangkan menurut cara penggunaannya, sumbat telinga memiliki beberapa tipe, diantaranya disposable (formable type) yaitu sumbat telinga sekali pakai yang terbuat dari kapas dan malam serta non-disposable ear plug yaitu sumbat telinga yang terbuat dari karet atau plastik yang dicetak untuk digunakan pada jangka waktu yang lama (Akbar 2012).


(32)

17

Jenis APT ini dapat menutupi seluruh telinga eksternal dan mampu meredam bising sebesar 40-50 dB.

c. Helmet (enclosure)

Jenis APT ini berbentuk penutup kepala secara keseluruhan sekaligus sebagai pelindung telinga. APT ini digunakan untuk mengurangi bising maksimal 35 dBA pada frekuensi 250 Hz dan 50 dBA pada frekuensi yang lebih tinggi (Pujiriani, 2008).

Tabel 2.3 Pedoman dalam Pemilihan dan Pemakaian APT

Tingkat Bising (dBA) Pemakaian APT Pemilihan APT <85 Tidak Wajib Bebas memilih 85-89 Optional Bebas memilih

90-94 Wajib Bebas memilih

95-99 Wajib Pilihan terbatas >100 Wajib Pilihan sangat terbatas Sumber: (Direktorat Bina Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2006)

Sumber: (AFE Group General Industry and Safety 2010) 2.4 Pemeriksaan Pendengaran

Pemeriksaan pendengaran diklasifikasikan menjadi tes kualitatif, semikuantitatif dan kuantitatif. Berikut ini penjelasan lebih lanjut tentang masing-masing jenis tes pendengaran.


(33)

a. Tes Kualitatif

Pemeriksaan secara kualitatif menggunakan tes penala (garpu tala) yang terdiri dari lima set dengan frekuensi 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz dan 2048 Hz. Berikut ini adalah jenis-jenis dari tes penala.

 Rinne yaitu jenis tes yang membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran tulang pada satu telinga. Hasil tes diberi tanda positif (+) dan negative (-).

 Weber yaitu jenis tes yang membandingkan hantaran telinga kanan dan telinga kiri. Hasil tes ditunjukkan dengan laterisasi.

 Schwabach yaitu jenis tes yang membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal.

 Tes Bing (Tes Oklusi) merupakan tes pendengaran untuk pemeriksaan tuli saraf.

 Tes Stenger, digunakan untuk pemeriksaan tuli anorganik (simulasi atau pura-pura tuli).

b. Tes Semikuantitatif

Pemeriksaan yang bersifat semikuantitatif ini dinamakan tes berbisik yang digunakan untuk menentukan derajat ketulian secara kasar. Adapun syarat yang harus diperhatikan yaitu ruangan cukup tenang, tidak terjadi gema dengan panjang minimal 6 meter.

c. Tes Kuantitatif

Pengukuran daya pendengaran manusia secara kuantitatif dapat dilakukan dengan menggunakan audiometer. Pengukuran dengan menggunakan teknik audiometer


(34)

19

mengacu pada nilai ambang pendengaran dan bila ada perbedaan ambang pendengaran > 10 dB, maka perbedaan ini disebut gap. Pada umumnya, program pemeliharaan pendengaran di perusahaan dilakukan dengan audiometer (audiometric screening). Tes audiometri harus dilakukan setiap setahun sekali yang memiliki tujuan sebagai berikut.

- Mengetahui keadaan pendengaran calon pekerja.

- Mengetahui secara dini gangguan pendengaran (hearing loss) yang diderita oleh pekerja dan untuk mencegah agar gangguan pendengaran tidak menjadi lebih parah.

- Menunjukkan kepada pimpinan perusahaan dan pekerja tentang pentingnya penggunaan alat pelindung telinga.

- Mengidentifikasi pekerja yang sensitif terhadap efek kebisingan.

Tes audiometri idealnya berupa nada murni (pure tone), air conduction, pemeriksaan ambang pendengaran (hearing threshold examination) dan minimum tes ini dilakukan pada frekuensi-frekuensi 500, 1000, 2000, 3000, 4000 dan 6000 Hz. Adapun persyaratan yang diperlukan untuk pemeriksaan audiometri yaitu: - Tempat pemeriksaan harus sunyi (sound treated/sound proof room). Untuk

memperoleh a pure-tone-air-conduction audiogram dengan menggunakan sebuah manual audiometer.

- Audiometer yang digunakan terlebih dahulu harus dikalibrasi (sensitive audiometer) dan dipelihara dengan baik.


(35)

- Pemeriksaan harus dilakukan oleh seorang yang telah memperoleh sertifikat (certified operator) atau yang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai tentang teknik pemeriksaan audiometri.

Sebelum melakukan tes audiometri, ada beberapa informasi yang harus dikumpulkan dari calon pasien yang akan diperiksa. Proses pengumpulan informasi ini disebut aural history, yakni meliputi riwayat kesehatan pendengaran individu dan keluarga, kondisi kebisingan yang memapari, kondisi pengendalian bising yang telah dilakukan dan data diri. Tujuannya adalah untuk membantu dalam tahap analisis hasil pemeriksaan (Akbar, 2012).

Berikut ini adalah penjelasan mengenai derajat pendengaran atau ambang pendengaran manusia menurut ISO (Akbar 2012).

- 0-25 dB = normal - 26-40 dB = tuli ringan - 41-60 dB = tuli sedang - 61-90 dB = tuli berat - >91 dB = tuli sangat berat

Pengukuran ambang dengar menggunakan alat yang disebut dengan audiogram. Paparan kebisingan mempengaruhi kedua telinga dan biasanya menyebabkan penurunan pendengaran pada 3000, 4000 dan 6000 Hz, tetapi tidak berpengaruh pada frekuensi rendah. Pada formulir audiogram, untuk mendeteksi kejadian NIHL dapat dilihat dari hasil tes audiometri pada frekuensi 3000 sampai dengan 6000 Hz. Terjadinya penurunan pendengaran pada frekuensi 4000 Hz secara signifikan dan membentuk sudut lancip karena perbedaan daya dengar dengan


(36)

21

frekuensi lain, sehingga kondisi ini disebut dengan NIHL. Kategori normal pendengaran bila berada pada titik 20 dB. Sedangkan jika ambang dengar seseorang berada di antara 41 sampai dengan 60 dB, maka seseorang tersebut dapat dikatakan mengalami gangguan pendengaran sedang (Alberta, 2014).

Sumber: (United State Department of Labor 2002) 2.5 Bising

2.5.1 Definisi Bising

Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak dikehendaki. Hal ini menunjukkan bahwa pengertian bising sangat subyektif yang tergantung pada persepsi individu, waktu dan tempat terjadinya bising. Secara audiologi, bising adalah campuran bunyi nada murni dan berbagai frekuensi. Menurut World Health Organization (WHO), kebisingan umumnya didefinisikan sebagai suara tanpa kualitas music yang

Gambar 2.4.2 Sensorineural Hearing Loss Audiogram


(37)

menyenangkan atau sebagai suara yang tidak diinginkan. Sementara itu, Kepmenkes 1405 Tahun 2002 menyatakan bahwa kebisingan adalah terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki sehingga mengganggu atau membahayakan kesehatan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2002). Sedangkan Permenaker No. 13 Tahun 2011 mengartikan kebisingan sebagai semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.

2.5.2 Jenis-jenis Kebisingan

Menurut Suma’mur dalam buku Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES), kebisingan berdasarkan sifatnya dikategorikan menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut (Suma’mur, 2009).

1. Kebisingan menetap berkelanjutan (kontinyu) tanpa putus-putus dengan spektrum frekuensi luas (steady state, wide band noise), misalnya bising mesin, kipas angin dan dapur pijar.

2. Kebisingan menetap berkelanjutan dengan spektrum frekuensi sempit (steady state, narrow band noise), misalnya bising gergaji sirkuler dan katup gas. 3. Kebisingan terputus-putus (intermittent noise), misalnya bising lalu lintas

suara pesawat di bandara.

4. Kebisingan impulsive (impact or impulsive noise), seperti bising pukulan palu, tembakan meriam dan ledakan.

5. Kebisingan impulsif berulang, seperti bising mesin tempa di perusaan atau tempaan tiang pancang bangunan.


(38)

23

Dari beberapa jenis kebisingan tersebut, bising yang dianggap lebih sering menyebabkan kerusakan pada pendengaran adalah kebisingan yang bersifat kontinyu, terutama yang memiliki spektrum frekuensi luas dan intensitas yang tinggi.

2.5.3 Pengukuran Kebisingan

1. Sound Level Meter

Sound Level Meter (SLM) adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kebisingan, yang terdiri dari mikrofon, amplifier, sirkuit “attenuator” dan beberapa alat lainnya. Alat ini mengukur kebisingan antara 30-130 dB dan dari frekuensi 20-20.000 Hz yang dibuat berdasarkan American National Standard Institute (ANSI) tahun 1997 dan dilengkapi dengan alat pengukur tiga macam frekuensi yaitu A, B dan C. Jaringan frekuensi A mendekati frekuensi karakteristik respon telinga untuk suara rendah yaitu di bawah 55 dB. Jaringan frekuensi B dimaksudkan mendekati reaksi telinga dengan batas kisaran 55 sampai 85 dB. Sedangkan jaringan frekuensi C digunakan untuk reaksi telingan dengan batas di atas 85 dB. Terdapat tiga jenis sound level meter yaitu type 0 untuk standar laboratorium, type 1 untuk presisi dan type 2 untuk tujuan umum.

2. Noise Dosimeter

Alat ini digunakan menilai tingkat pajanan pekerja pada tiap shiftnya karena umumnya pekerja tidak menetap pada satu shift, maka alat ini dapat mengkur shift 8, 10, 12 atau berapa pun lama jam kerja. Prinsip kerja noise dosimeter adalah untuk mengukur dan menyimpan level kebisingan selama waktu pajanan dan menghitung dosis kumulatif sebagai persentase dosis pada personal dengan


(39)

memperhatikan exchenge rate (misalnya 3, 4 dan 5), criterion level 8 jam (80,85 dan 90 dBA) dan jarak pengukuran kebisingan (80 sampai 130 dBA). Aplikasi dari dosimeter ini yaitu dengan dipasang pada sabuk pinggang dan sebuah microphone kecil dipasang dekat telinga. Skala logaritma digunakan untuk mengukur decibel dengan asumsi setiap penambahan 3 desibel berarti intensitas suara berlipat dua. Sebagai contoh, peningkatan dari 90 dB ke 93 dB berarti suaranya akan dua kali lebih keras daripada 90 dB. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan kecil pada desibel berarti terjadi peningkatan besar pada kerasnya suara dan berdampak pada semakin parahnya kerusakan telinga.

3. Octave Band Analyzer

Alat ini merupakan tipe SLM yang secara khusus digunakan untuk mengukur level kebisingan yang ditemukan dalam frekuensi band, yaitu frekuensi menengah dari 31.5, 63, 125, 250, 500, 1000, 2000, 4000, 8000, 16000, 31500 Hz. Informasi frekuensi analyser yang diperoleh setelah dilakukan pengukuran akan digunakan dalam mengestimasi tingkat kebisingan dan menentukan kapan harus menggunakan alat proteksi bising.

2.5.4 Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan

Suatu hal yang penting untuk menetapkan suatu standar atau NAB pada level tertentu mengingat kebisingan dapat menimbulkan respon yang berbeda individu yang satu dengan yang lain. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di tempat kerja sebesar 85 dBA untuk pajanan 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Berikut ini adalah tabel NAB pajanan kebisingan di tempat kerja. Berikut ini adalah tabel NAB pajanan kebisingan di tempat kerja yang


(40)

25

diizinkan berdasarkan Permenaker No. 13 Tahun 2011 (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2011).

Tabel 2.5 Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan

Satuan Waktu Waktu Pajanan per Hari Intensitas Kebisingan (dBA)

Jam

24 80

16 82

8 85

4 88

2 91

1 94

Menit

30 97

15 100

7,5 103

3,75 106

1,88 109

0,94 112

Detik

28,12 115

14,06 118

7,03 121

3,52 124

1,76 127

0,88 130

0,44 133

0,22 136

0,11 139

Catatan: Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB(A) walau sesaat. 2.6 Pengaruh Kebisingan Pada Kesehatan Manusia

1. Gangguan Auditori

Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising dapat sembuh setelah istirahat selama 1-2 jam. Bila terpapar bising dengan intensitas tinggi dalam waktu yang cukup lama sekitar 10-15 tahun akan menyebabkan robeknya sel-sel rambut organ Corti sampai terjadi destruksi total organ Corti. Terjadinya proses ini belum dapat dipastikan, tetapi diduga karena rangsangan bunyi yang berlebihan dalam kurun waktu yang lama sehingga mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler sehingga terjadi kerusakan


(41)

degenartif pada struktur sel-sel rambut organ Corti. Gambaran kondisi ini umumnya ditandai dengan penurunan frekuensi pendengaran yang mengalami penurunan intensitas antara 3000-6000 Hz dan kerusakan Corti untuk reseptor bunyi yan terberat terjadi pada frekuensi 4000 Hz (4 K notch). Proses ini terbilang lambat dan tersembunyi sehingga tahap awal kerap tidak disadari oleh para pekerja. Kondisi ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan audiometri. Bising dengan intensitas tinggi bila berlangsung dalam waktu yang cukup lama dapat menyebabkan penurunan pendengaran hingga ke frekuensi percakapan yakni 500-2000 Hz. Pada kondisi ini pekerja mulai merasakan ketulian karena tidak dapat mendengar pembicaaran di sekitarnya (Bashiruddin, 2009). Ketulian bersifat progresif karena pekerja yang ditempatkan pada area kerja yang terpapar kebisingan secara terus-menerus, maka daya dengar yang awalnya mengalami penurunan sementara berangsur-angsur dapat mengalami kehilangan pendengaran secara menetap.

a. Trauma Akustik

Tipe gangguan pendengaran ini terjadi secara mendadak yang disebabkan oleh kebisingan yang sangat ekstrem dan dalam jangka waktu pendek. Diagnosis trauma akustik terbilang mudah karenan penderita dapat mendeskripsikan langsung penyebab gangguan pendengaran yang dirasakan. Gangguan pendengaran ini bersifat akut dan dapat sembuh dengan cepat secara parsial atau sempurna (Roestam, 2004).

b. Gangguan Pendengaran Sementara (Temporary Threshold Shift)

Kebisingan dapat menyebabkan kenaikan nilai ambang pendengaran yang bersifat reversibel. Gangguan ini disebabkan oleh paparan bising dalam waktu singkat namun dengan intensitas sangat tinggi, misalnya karena mendengar


(42)

27

suara tembakan dan telinga terasa berdenging (tinnitus). Kenaikan ambang pendengaran sementara secara perlahan-lahan akan kembali seperti semula. Mula-mula kenaikan ini terjadi pada frekuensi 4000 Hz dan pada gambaran audiogram tampak acoustic notch, tetapi bila paparan berlangsung lama maka kenaikan nilai ambang pendengaran sementara akan menyebar pada frekuensi sekitarnya. Respon tiap individu terhadap kebisingan tidak sama karena sensivitas dari masing-masing individu tidak sama. Pendengaran biasanya akan kembali normal bila beristirahat di luar lingkungan bising.

c. Gangguan Pendengaran Permanen (Permanent Threshold Shift)

Jenis kehilangan pendengaran permanen tidak dapat disembuhkan (irreversible). Kerusakan telinga ini disebabkan oleh pajanan bising dalam jangka waktu lama yang biasa terjadi pada frekuensi 4000 Hz. atau dapat juga disebabkan oleh pajanan bising tingkat tinggi dalam waktu singkat. Kenaikan ambang pendengaran yang menetap dapat terjadi setelah rentang waktu 3,5 sampai 20 tahun sejak terjadi pemaparan. Penderita biasanya baru menyadari bahwa pendengarannya mengalami penurunan setelah dilakukan pemeriksaan audiogram.

2. Gangguan Non Auditori a. Gangguan Fisiologis

Bising yang ditimbulkan di tempat kerja dapat menyebabkan gangguan kesehatan pekerja salah satunya gangguan fisiologi berupa telinga berdengung (tinnitus), peningkatan tekanan darah, percepatan denyut nadi, peningkatan metabolisme basal, vasokonstriksi pembuluh darah, penurunan peristaltik usus


(43)

serta peningkatan ketegangan otot. Efek fisiologi disebabkan oleh peningkatan rangsangan saraf otonom, yang merupakan mekanisme pertahanan tubuh terhadap keadaan bahaya secara spontan.

b. Gangguan Psikologis

Selain itu, kebisingan juga dapat menyebabkan gangguan psikologi berupa stress tambahan bila mendengar bunyi yang tidak diinginkan atau yang mengganggu sehingga dapat menimbulkan perasaan tidak menyenangkan, sulit tidur, emosional, gangguan komunikasi serta gangguan konsentrasi yang dapat berkontribusi membahayakan keselamatan pekerja dan dalam jangka waktu panjang dapat menimbulkan penyakit psikosomatik.

c. Gangguan Komunikasi

Gangguan pendengaran juga dapat mempengaruhi komunikasi karena pembicaraan dilakukan dengan cara berteriak sehingga dapat mengganggu proses kerja dan berpotensi menimbulkan kesalahan (Wibowo, 2012).

2.7 Noise Induced Hearing Loss (NIHL)

NIHL merupakan salah satu penyakit akibat kerja tertinggi di sektor industri. Gejala muncul setelah bekerja pada area kerja dengan pajanan kebisingan yang cukup tinggi dalam beberapa tahun. Karakteristik NIHL menurut The American College of Occupational and Environmental Medicine (ACOEM) antara lain sebagai berikut (Kirchner et al. 2012).

a. NIHL termasuk dalam gangguan pendengaran sensorineural, yang mempengaruhi sel rambut koklea pada telinga bagian tengah.


(44)

29

c. Kondisi ini jarang menyebabkan tuli derajat sangat berat (profound hearing loss). Derajat ketulian berkisar antara 40 sampai dengan 75 dB

d. Kerusakan telinga dalam mula-mula terjadi pada frekuensi 3000, 4000 dan 6000 Hz. e. NIHL ini muncul secara bertahap dengan pemaparan yang sering dan berkelanjutan. Kejadian NIHL tidak bisa diketahui secara kasat mata karena penurunan pendengaran terjadi pada frekuensi tinggi yang biasanya terjadi pada frekuensi 4000 Hz, sehingga tidak telihat adanya gangguan dalam berkomunikasi. Dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekeuensi 3000, 4000 dan 6000 Hz akan mencapai tingkat maksimal dalam waktu 10 sampai 15 tahun. Ahli Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT) dalam melakukan penegakkan diagnosis NIHL terlebih dahulu harus melakukan anamnesis dengan teliti, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan audiologik.


(1)

memperhatikan exchenge rate (misalnya 3, 4 dan 5), criterion level 8 jam (80,85 dan 90 dBA) dan jarak pengukuran kebisingan (80 sampai 130 dBA). Aplikasi dari dosimeter ini yaitu dengan dipasang pada sabuk pinggang dan sebuah microphone kecil dipasang dekat telinga. Skala logaritma digunakan untuk mengukur decibel dengan asumsi setiap penambahan 3 desibel berarti intensitas suara berlipat dua. Sebagai contoh, peningkatan dari 90 dB ke 93 dB berarti suaranya akan dua kali lebih keras daripada 90 dB. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan kecil pada desibel berarti terjadi peningkatan besar pada kerasnya suara dan berdampak pada semakin parahnya kerusakan telinga. 3. Octave Band Analyzer

Alat ini merupakan tipe SLM yang secara khusus digunakan untuk mengukur level kebisingan yang ditemukan dalam frekuensi band, yaitu frekuensi menengah dari 31.5, 63, 125, 250, 500, 1000, 2000, 4000, 8000, 16000, 31500 Hz. Informasi frekuensi analyser yang diperoleh setelah dilakukan pengukuran akan digunakan dalam mengestimasi tingkat kebisingan dan menentukan kapan harus menggunakan alat proteksi bising.

2.5.4 Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan

Suatu hal yang penting untuk menetapkan suatu standar atau NAB pada level tertentu mengingat kebisingan dapat menimbulkan respon yang berbeda individu yang satu dengan yang lain. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di tempat kerja sebesar 85 dBA untuk pajanan 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Berikut ini adalah tabel NAB pajanan kebisingan di tempat kerja. Berikut ini adalah tabel NAB pajanan kebisingan di tempat kerja yang


(2)

diizinkan berdasarkan Permenaker No. 13 Tahun 2011 (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2011).

Tabel 2.5 Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan

Satuan Waktu Waktu Pajanan per Hari Intensitas Kebisingan (dBA)

Jam

24 80

16 82

8 85

4 88

2 91

1 94

Menit

30 97

15 100

7,5 103

3,75 106

1,88 109

0,94 112

Detik

28,12 115

14,06 118

7,03 121

3,52 124

1,76 127

0,88 130

0,44 133

0,22 136

0,11 139

Catatan: Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB(A) walau sesaat. 2.6 Pengaruh Kebisingan Pada Kesehatan Manusia

1. Gangguan Auditori

Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising dapat sembuh setelah istirahat selama 1-2 jam. Bila terpapar bising dengan intensitas tinggi dalam waktu yang cukup lama sekitar 10-15 tahun akan menyebabkan robeknya sel-sel rambut organ Corti sampai terjadi destruksi total organ Corti. Terjadinya proses ini belum dapat dipastikan, tetapi diduga karena rangsangan bunyi yang berlebihan dalam kurun waktu yang lama sehingga mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler sehingga terjadi kerusakan


(3)

degenartif pada struktur sel-sel rambut organ Corti. Gambaran kondisi ini umumnya ditandai dengan penurunan frekuensi pendengaran yang mengalami penurunan intensitas antara 3000-6000 Hz dan kerusakan Corti untuk reseptor bunyi yan terberat terjadi pada frekuensi 4000 Hz (4 K notch). Proses ini terbilang lambat dan tersembunyi sehingga tahap awal kerap tidak disadari oleh para pekerja. Kondisi ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan audiometri. Bising dengan intensitas tinggi bila berlangsung dalam waktu yang cukup lama dapat menyebabkan penurunan pendengaran hingga ke frekuensi percakapan yakni 500-2000 Hz. Pada kondisi ini pekerja mulai merasakan ketulian karena tidak dapat mendengar pembicaaran di sekitarnya (Bashiruddin, 2009). Ketulian bersifat progresif karena pekerja yang ditempatkan pada area kerja yang terpapar kebisingan secara terus-menerus, maka daya dengar yang awalnya mengalami penurunan sementara berangsur-angsur dapat mengalami kehilangan pendengaran secara menetap.

a. Trauma Akustik

Tipe gangguan pendengaran ini terjadi secara mendadak yang disebabkan oleh kebisingan yang sangat ekstrem dan dalam jangka waktu pendek. Diagnosis trauma akustik terbilang mudah karenan penderita dapat mendeskripsikan langsung penyebab gangguan pendengaran yang dirasakan. Gangguan pendengaran ini bersifat akut dan dapat sembuh dengan cepat secara parsial atau sempurna (Roestam, 2004).

b. Gangguan Pendengaran Sementara (Temporary Threshold Shift)

Kebisingan dapat menyebabkan kenaikan nilai ambang pendengaran yang bersifat reversibel. Gangguan ini disebabkan oleh paparan bising dalam waktu singkat namun dengan intensitas sangat tinggi, misalnya karena mendengar


(4)

suara tembakan dan telinga terasa berdenging (tinnitus). Kenaikan ambang pendengaran sementara secara perlahan-lahan akan kembali seperti semula. Mula-mula kenaikan ini terjadi pada frekuensi 4000 Hz dan pada gambaran audiogram tampak acoustic notch, tetapi bila paparan berlangsung lama maka kenaikan nilai ambang pendengaran sementara akan menyebar pada frekuensi sekitarnya. Respon tiap individu terhadap kebisingan tidak sama karena sensivitas dari masing-masing individu tidak sama. Pendengaran biasanya akan kembali normal bila beristirahat di luar lingkungan bising.

c. Gangguan Pendengaran Permanen (Permanent Threshold Shift)

Jenis kehilangan pendengaran permanen tidak dapat disembuhkan (irreversible). Kerusakan telinga ini disebabkan oleh pajanan bising dalam jangka waktu lama yang biasa terjadi pada frekuensi 4000 Hz. atau dapat juga disebabkan oleh pajanan bising tingkat tinggi dalam waktu singkat. Kenaikan ambang pendengaran yang menetap dapat terjadi setelah rentang waktu 3,5 sampai 20 tahun sejak terjadi pemaparan. Penderita biasanya baru menyadari bahwa pendengarannya mengalami penurunan setelah dilakukan pemeriksaan audiogram.

2. Gangguan Non Auditori a. Gangguan Fisiologis

Bising yang ditimbulkan di tempat kerja dapat menyebabkan gangguan kesehatan pekerja salah satunya gangguan fisiologi berupa telinga berdengung (tinnitus), peningkatan tekanan darah, percepatan denyut nadi, peningkatan metabolisme basal, vasokonstriksi pembuluh darah, penurunan peristaltik usus


(5)

serta peningkatan ketegangan otot. Efek fisiologi disebabkan oleh peningkatan rangsangan saraf otonom, yang merupakan mekanisme pertahanan tubuh terhadap keadaan bahaya secara spontan.

b. Gangguan Psikologis

Selain itu, kebisingan juga dapat menyebabkan gangguan psikologi berupa stress tambahan bila mendengar bunyi yang tidak diinginkan atau yang mengganggu sehingga dapat menimbulkan perasaan tidak menyenangkan, sulit tidur, emosional, gangguan komunikasi serta gangguan konsentrasi yang dapat berkontribusi membahayakan keselamatan pekerja dan dalam jangka waktu panjang dapat menimbulkan penyakit psikosomatik.

c. Gangguan Komunikasi

Gangguan pendengaran juga dapat mempengaruhi komunikasi karena pembicaraan dilakukan dengan cara berteriak sehingga dapat mengganggu proses kerja dan berpotensi menimbulkan kesalahan (Wibowo, 2012).

2.7 Noise Induced Hearing Loss (NIHL)

NIHL merupakan salah satu penyakit akibat kerja tertinggi di sektor industri. Gejala muncul setelah bekerja pada area kerja dengan pajanan kebisingan yang cukup tinggi dalam beberapa tahun. Karakteristik NIHL menurut The American College of Occupational and Environmental Medicine (ACOEM) antara lain sebagai berikut (Kirchner et al. 2012).

a. NIHL termasuk dalam gangguan pendengaran sensorineural, yang mempengaruhi sel rambut koklea pada telinga bagian tengah.


(6)

c. Kondisi ini jarang menyebabkan tuli derajat sangat berat (profound hearing loss). Derajat ketulian berkisar antara 40 sampai dengan 75 dB

d. Kerusakan telinga dalam mula-mula terjadi pada frekuensi 3000, 4000 dan 6000 Hz. e. NIHL ini muncul secara bertahap dengan pemaparan yang sering dan berkelanjutan. Kejadian NIHL tidak bisa diketahui secara kasat mata karena penurunan pendengaran terjadi pada frekuensi tinggi yang biasanya terjadi pada frekuensi 4000 Hz, sehingga tidak telihat adanya gangguan dalam berkomunikasi. Dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekeuensi 3000, 4000 dan 6000 Hz akan mencapai tingkat maksimal dalam waktu 10 sampai 15 tahun. Ahli Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT) dalam melakukan penegakkan diagnosis NIHL terlebih dahulu harus melakukan anamnesis dengan teliti, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan audiologik.