1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konsumsi energi listrik setiap tahunnya terus meningkat sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan laporan proyeksi kebutuhan listrik PLN
tahun 2015-2024, diperkirakan kebutuhan listrik pada tahun 2015 dari 219,1 TWH meningkat menjadi 464,2 TWh pada tahun 2024 dengan rata-rata pertumbuhan 8,7 per
tahun. Untuk wilayah Jawa-Bali pada tahun 2015 tumbuh dari 165,4 TWh menjadi 324,4 TWh pada tahun 2024 atau tumbuh rata-rata 7,8 per tahun Pamudji, 2014.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap konsumsi energi listrik, maka perusahaan yang bergerak di sektor pembangkitan listrik dituntut untuk dapat
meningkatkan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya listrik yang diproduksi, diantaranya menentukan jenis dan kapasitas pembebanan baik beban dasar maupun beban
puncak, karakterisitik pembebanan termasuk daya mampu dan waktu operasi unit pembangkit listrik. Agar dapat menjamin proses produksi listrik dapat terdistribusikan
secara optimal, maka para operator di bagian PLTDG PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali tidak terlepas dari proses mekanik yang dapat
menghasilkan kebisingan, bahkan melebihi ambang batas yang diizinkan. Kebisingan yang ditimbulkan dari pengoperasian mesin di unit pembangkit listrik merupakan salah
satu bahaya yang dominan terjadi di tempat kerja. National Institute of Occupational Safety and Health NIOSH menetapkan nilai ambang batas bising di tempat kerja adalah
85 dBA. Bila para operator telah terpapar kebisingan melebihi nilai ambang batas dalam jangka waktu panjang dapat berisiko mengalami gangguan pendengaran akibat kebisingan
atau yang dikenal dengan istilah Noise Induced Hearing Loss NIHL. Ketulian akibat bising atau NIHL adalah ketulian yang berangsur-angsur terjadi
dalam jangka waktu panjang akibat terpapar kebisingan secara terus-menerus atau terputus-putus. Ketulian dalam occupational ini bermanifestasi menjadi kehilangan
pendengaran sebagian maupun total yang terjadi akibat suatu pekerjaan. World Health Organization WHO pada tahun 2000 secara global menyatakan sekitar 250 juta 4,2
penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dan sekitar 75 sampai 140 juta adalah penduduk Asia Tenggara, termasuk Indonesia Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2006. Kejadian NIHL bukan hanya menjadi permasalahan kesehatan, namun juga berdampak pada masalah perekonomian seperti yang terjadi di Australia pada bulan
Juli 2002 dan Juni 2007. Terdapat 16.500 kompensasi atas klaim yang diajukan pekerja terhadap ketulian yang dialami Safe Work Australia, 2010. NIHL juga menjadi penyakit
akibat kerja terbanyak di Amerika Serikat. Berdasarkan laporan dari National Institute on Deafness and Other Communication Disorders NIDCD, tercatat sepuluh juta orang
Amerika yang mengalami penurunan pendengaran akibat bising dan ±30-50 juta orang sering terpapar kebisingan yang melebihi nilai ambang batas yang diizinkan Fligor,
2011. Hal serupa juga didapatkan dari hasil penelitian Tana et al pada tahun 2002 di suatu
perusahaan baja menyatakan bahwa sebanyak 115 orang 43,6 pekerja mengalami NIHL. Peningkatan persentase NIHL pada pekerja dengan meningkatnya usia yaitu 14
pada umur 30 tahun, 41 pada umur 30-39 tahun dan 60 pada umur 40 tahun. Pekerja
yang ditempatkan pada unit komponen perawatan dengan masa kerja 10 tahun sebanyak 29 mengalami NIHL, masa kerja 10-19 tahun sebesar 44 dan 61 pada pekerja
dengan masa kerja ≥20 tahun Tana et al. 2002. Sejalan dengan penelitian tersebut, penelitian lain yang dilakukan oleh Amira Primadona mengenai faktor risiko yang
berhubungan dengan penurunan pendengaran pada pekerja di PT. Pertamina Geothermal Area Kamojang, menunjukkan hasil bahwa variabel yang memiliki hubungan yang
bermakna dengan kejadian penurunan pendengaran adalah variabel usia pekerja dan faktor risiko utama yang menyebabkan penurunan pendengaran pada pekerja yang terpajan
kebisingan adalah tingkat kebisingan yang sangat tinggi yang berasal dari uji tegak dengan tingkat kebisingan mencapai 109,5 dBA yang berarti pekerja hanya boleh terpajan selama
1,5 menit, namun kenyataan di lapangan, pekerja terpajan selama ±2 jam bahkan lebih tergantung pada situasi dan kondisi di lapangan Primadona, 2012.
Kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin pembangkit listrik terutama pada saat beban puncak dan mengakibatkan NIHL juga dipaparkan dalam hasil penelitian yang
dilakukan di seputaran Pembangkit Listrik Tenaga Diesel PLTD Siantan Hilir di provinsi Kalimantan Barat yang menyatakan bahwa penduduk yang bertempat tinggal
pada radius kurang dari 100 meter dari PLTD mempunyai risiko 1,9 kali lebih besar untuk mengalami gangguan kemampuan pendengaran dibandingkan penduduk yang bertempat
tinggal pada radius lebih dari 100 meter dari PLTD Banitriono, 2012. Kejadian NIHL di sektor pembangkitan listrik juga dinyatakan dalam penelitian Nizam et al yang dilakukan
pada 216 pekerja di pembangkit listrik Sarawak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi pekerja yang mengalami penurunan pendengaran sebesar 55,9 Nizam et al.
2004. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penurunan pendengaran yaitu
umur, masa kerja lebih dari 20 tahun dan jenis mesin pembangkit. Berdasarkan fakta inilah, maka peneliti tertarik untuk mengetahui epidemiologi Noise Induced Hearing Loss
pada Operator PLTDG di PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali Tahun 2016.
1.2 Rumusan Masalah