Pasal 10 Undang Nomor 13 Tahun 2006

commit to user 70 UU seharusnya membuatmembagi hak-hak saksi tersebut berdasarkan kategori- kategori saksi yakni kategori pertama, adalah perlindungan atas hak saksi dalam prosedural pidana hak ini diberikan secara umum kepada seluruh saksi yang membutuhkan dan kedua, untuk kategori hak saksi yang terintimidasi.

e. Pasal 10 Undang Nomor 13 Tahun 2006

1 Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. 2 Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. 3 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. Secara substansial sesungguhnya masih ada pasal sandungan bagi saksi dalam Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Sekalipun dalam pasal 10 ayat 1 ditegaskan bahwa saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik secara pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya. Namun ayat 2 pasal yang sama menegaskan bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat menjadi pertimbangan bagi hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Bila dicermati pasal tersebut masih akan menjadi penghalang bagi pengungkapan kasus-kasus sulit seperti korupsi. Apalagi sudah menjadi rahasia umum bahwa tindak pidana korupsi dilakukan dengan sangat rapi dan sistematis, melibatkan hampir seluruh elemen pemerintahan, aparat penegak hukum, dunia usaha dan masyarakat umum. Tanpa adanya keberanian dari salah satu unsur tersebut untuk tampil sebagai whistleblower maka kecil sekali kemungkinan commit to user 71 korupsi akan terbongkar. Semestinya terhadap orang-orang yang terlibat tindak pidana korupsi tetapi bersedia tampil menjadi pelapor dibebaskan dari tanggung jawab pidana. Apalagi bila kemudian laporan dan kesaksiannya menjadi langkah awal terbongkarnya seluruh jaringan korupsi dengan kerugian negara relatif besar. Lain halnya terhadap mereka yang secara hukum wajib menjadi saksi, bila memang tidak ada insiatif pertama kali darinya untuk mengungkapkan tindak pidana bersangkutan tetapi terungkap belakangan mereka terlibat maka tetap orang seperti ini harus mempertangungjawabkan perbuatannya sekalipun dia menjadi saksi terhadap tersangka lainnya. Prinsipnya pengecualian berupa pembebasan dari tanggungjawab pidana hanya diberikan terhadap mereka yang memiliki inisiatif awal mengungkap sebuah tindak pidana sekalipun dia juga terlibat dalam kasus tersebut. Pembebasan tanggungjawab hukum baginya adalah sebuah bentuk penghargaan bagi upayanya mengungkap sebuah kejahatan luar biasa Artikel Sang pelapor dan Perlindungan Saksi, Juli 2008 . Pendapat yang sama dikemukakan oleh Anggara dalam artikelnya yang berjudul “ Pelapor dan Perlindungan Saksi ” bahwa sampai saat ini memang belum ada mekanisme khusus yang mengatur kedudukan peniup peluit whistleblower ini dalam kerangka hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Yang ada adalah mekanisme yang sangat ringkas sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat 2 Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa “…kesaksianya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”. Namun yang menjadi problema dengan siapa pelapor ini akan bernegosiasi? dan seberapa banyak keringanan hukuman yang akan dijatuhkan? dan bagaimana peran LPSK ataupun lembaga penegak hukum yang lain dapat memainkan perannya saat bernegosiasi dengan pelapor ini? Jika melihat dalam ketentuan Undang Nomor 13 Tahun 2006 maka peran hakim sangat menentukan kedudukan pelapor dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Ketua LPSK dalam tulisannya di kompas menuturkan dengan sangat baik apa yang menjadi kesulitan dalam mekanisme perlindungan saksi di Indonesia. Lebih lanjut beliau menyatakan: commit to user 72 “Meskipun telah ada peraturan perundang-undangan yang melindungi pelapor, ada perbedaan pengertian antara pelapor di Indonesia dan whistleblower. Seseorang hanya dapat disebut pelapor apabila telah menyampaikan laporan kepada aparat penegak hukum atau komisi. Adapun mereka yang mengungkapkan informasi kepada publik—bukan kepada aparat penegak hukum—tidak disebut pelapor, dan peraturan di atas tidak melindungi mereka. Perlindungan lengkap hanya diberikan kepada pelapor tindak pidana korupsi danatau pencucian uang, sedangkan untuk tindak pidana lainnya diatur di Pasal 10 UU Perlindungan Saksi dan Korban berupa perlindungan terbatas, yaitu proteksi hukum semata. Artinya tidak dituntut secara pidana ataupun perdata atas laporan yang disampaikan dengan iktikad baik. Bahkan, pelapor yang laporannya tidak masuk kategori pidana, tidak mendapat perlindungan. Ini berbeda dengan pelapor tindak pidana korupsi dan tindak pidana money laundering yang berhak mendapat jaminan keamanan, mengganti identitas, evakuasi, serta perlindungan hukum. Perlindungan hukum mencakup hak untuk tidak dituntut secara pidana atau perdata imunitas dan menuntut kerugian apabila ada pihak-pihak, dalam hal ini termasuk aparat penegak hukum, membocorkan identitas mereka sebagai pelapor.Untuk tindak pidana korupsi dan money laundring, menurut UU Tipikor dan UU KPK serta UU TPPU dan Peraturan Pelaksananya, perlindungan pelapor dilakukan oleh KPK, PPATK bersama dengan kepolisian serta aparat penegak hukum lainnya. Namun, sejak ada UU No 13 Tahun 2006, pelapor sekaligus saksi danatau korban dapat meminta perlindungan LPSK.Peraturan perlindungan pelapor yang tersebar dan dengan mekanisme yang berbeda-beda itu sangat membingungkan dan menyulitkan. Bahkan, dapat berimplikasi tidak berjalannya perlindungan terhadap pelapor. Karena itu, perlu dirumuskan mekanisme perlindungan yang lebih sederhana dan proaktif ” Artikel Pelapor dan Perlindungan Saksi,Juni 2010. Problema lain terdapat pada Pasal 10 ayat 3 yaitu “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan commit to user 73 pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. Dengan menghindari klarifikasi pada siapa yang berhak memberikan penilaian Itikad tidak baik dan atas dasar apa seseorang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini, teks tersebut meninggalkan celah interpretasi yang cukup besar bagi kepentingan para pelaku pelanggar Artikel Sebuah tinjauan kritis mengenai Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, Juli 2007. f. Saksi yang Harus Dilindungi Undang - undang Perlindungan Saksi dan Korban juga tidak jelas mengatur “status saksi” berkaitan dengan saksi dari pihak manakah yang bisa dilindungi? Apakah saksi yang membantu pihak tersangka terdakwa ataukah saksi dari pihak yang membantu pihak aparat penegak hukum? Tidak dicantumkannya secara tegas hal ini nantinya akan menimbulkan problem dan membebani lembaga perlindungan dalam pelaksanaannya. Sebaiknya ditegaskan bahwa saksi yang dilindungi dalam undang-undang ini adalah saksi dalam kasus pidana yang membantu aparat penegak hukum saksi pihak penuntut Eka Wahyu Keptiany, 2010:41.

g. Tidak Konsisten Pengaturan Jangka Waktu Perlindungan