TINJAUAN TENTANG PROBLEMATIK NORMATIF UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SERTA URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK ) DI DAERAH

(1)

commit to user

TINJAUAN TENTANG PROBLEMATIK NORMATIF UNDANG - UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN

SAKSI DAN KORBAN SERTA URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

(LPSK ) DI DAERAH

Penulisan Hukum ( Skripsi )

Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh:

Aditya Eka Dera P NIM.E0007063

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA


(2)

commit to user

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum ( Skripsi )

TINJAUAN TENTANG PROBLEMATIK NORMATIF UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN

SAKSI DAN KORBAN SERTA URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

(LPSK ) DI DAERAH

Oleh

Aditya Eka Dera P NIM. E0007063

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, Juli 2011 Dosen Pembimbing

Pembimbing 1 Pembimbing II

KRISTIYADI, S.H.,M.Hum MUHAMMAD RUSTAMAJI, S.H.,M.H 19581225 198601 1 001 19821008 200501 1 001


(3)

commit to user

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum ( Skripsi )

TINJAUAN TENTANG PROBLEMATIK NORMATIF UNDANG - UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI

DAN KORBAN SERTA URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK ) DI DAERAH

Oleh

Aditya Eka Dera P NIM. E0007063

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum ( skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada:

Hari : Senin Tanggal :25 Juli 2011

DEWAN PENGUJI 1.Bambang Santoso,S.H., M.Hum :

Ketua

2.M. Rustamaji, S.H., M.H : Sekretaris

3.Kristiyadi, S.H., M.Hum : Anggota

Mengetahui Dekan,

Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum NIP. 19570203 198503 2 001


(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Aditya Eka Dera P

NIM : E0007063

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum ( skripsi ) berjudul:

TINJAUAN TENTANG PROBLEMATIK NORMATIF UNDANG - UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGANSAKSI DAN KORBAN SERTA URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK ) DI DAERAH adalah betul – betul karya sendiri. Hal – hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum ( skripsi ) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum ( skripsi ) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum ( skripsi ) ini.

Surakarta, Juli 2011 yang membuat pernyataan

Aditya Eka Dera P NIM. E0007063


(5)

commit to user

v

MOTTTO

Kegagalan Dapat Dibagi Menjadi Dua Sebab, Yakni Orang Yang Berfikir Tapi Tindak Pernah Bertindak Dan Orang Yang Bertindak Tapi Tidak Pernah

Berfikir

( Sebuah Perenungan )

Tak akan ada waktu dan tempat untuk merubah masa lalu Anda, tapi akan selalu ada waktu dan tempat dimana anda dapat mengubah masa depan

anda ( Al Muhtaram )

Ketika ku Mohon Pada Allah Kekuatan,

Allah Memberi ku Kesulitan Agar Aku Menjadi Kuat.

Ketika ku Mohon Pada Allah Kebijaksanaan,

Allah Memberi Ku Masalah Untuk Ku Pecahkan.

Ketika ku Mohon Pada Allah Kesejahteraan,

Allah Memberi Ku Akal Untuk Berpikir.

Ketika ku Mohon Pada Allah Keberanian,

Allah Memberi Ku Kondisi Bahaya Untuk Ku Atasi.

Ketika ku Mohon Pada Allah Bantuan,

Allah Memberi Ku Kesempatan.

……..Aku Tak Selalu Menerima Apa Yang Ku Pinta Tapi Aku Menerima Segala Yang Ku Butuhkan

...Doa Ku Terjawab Sudah…


(6)

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Dengan segala keikhlasan dan kerendahan hati…Sebuah karya yang sederhana

ini penulis persembahkan kepada :

♥ Dzat yang Maha Agung,

SWT, penguasa alam semesta & pemilik

hidupku

♥ Keluargaku tercinta ( Ayahanda Bapak Marmono,S.Pd , Ibunda Larsi ,

S.E.,M.M dan adikku Andhika Della Permana Putra ) , Trimakasih atas cinta

yang tak pernah padam, atas kepercayaan & harapan yang kalian ciptakan

untukku

♥ Dik Pratiwi Damarjati, tengkyu dik..makasih atas doa dan dukungannya

selama ini….

♥ Sahabat-sahabatku ( Zuhri Saifudin, David, Tomy, Rian, Hadi, Hendy ) +

sobat – sobat setia kos Rinjani ( Mas erik, Mas Jalu, dr.hery, dr.Zamroni ),

seberapa lamapun aku hidup takkan pernah ada masa yang membosankan

bersama kalian…Tengkyu buat semuanya…

♥Semua

insan yang rindu dan terus mengusung tegaknya supremasi hukum di

Indonesia serta selalu menjunjung tinggi nilai – nilai kebenaran dan


(7)

commit to user

vii

ABSTRAK

Aditya Eka Dera, E0007063. 2011. TINJAUAN TENTANG PROBLEMATIK NORMATIF UNDANG - UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGANSAKSI DAN KORBAN SERTA URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK ) DI DAERAH. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui problematik normatif Undang Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta untuk mengetahui urgensi keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) di daerah kaitannya dalam mengatasi permasalahan perlindungan saksi dan korban di Indonesia.

Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif. Jenis bahan hukum mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan nonhukum. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan yaitu studi kepustakaan dan cyber media.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan,

Pertama, ada beberapa problematik normatif yang penulis cermati pada Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kelemahan – kelemahan tersebut terdapat pada pasal demi pasal dalam undang – undang perlindungan saksi dan korban tersebut. Salah satu contoh kelemahan tersebut adalah definisi “saksi” pada Pasal 1 ayat (1) kurang memadai dan masih dibebani oleh konsep KUHAP sehingga menutup kemungkinan perlindungan terhadap whistleblower, selain itu adanya ketidakjelasan pemberian perlindungan kepada saksi, terkait dengan bentuk perlindungan yang diberikan oleh undang – undang perlindungan saksi tersebut. Kedua, Mengenai urgensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) di daerah dapat lihat dari politik hukum Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 maupun dari dokumentasi fakta empiris persebaran tindak pidana di seluruh wilayah NKRI. Tidak sedikitnya kasus yang kandas di tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi, merupakan suatu realita kelemahan dari undang – undang perlindungan saksi dan korban yang hanya memprioritaskan kedudukan LPSK di daerah ibukota negara saja. Ketiadaan saksi tersebut disebabkan karena keengganan orang yang mengalami tindak pidana untuk menjadi saksi. Tidak adanya jaminan perlindungan hukum yang memadai, ditambah dengan munculnya intimidasi, kriminalitas atau tuntutan hukum atas kesaksian atau laporan yang diberikan merupakan alasan enggannya seseorang untuk menjadi saksi. Bertolak dari realita yang demikian, maka kehadiran LPSK di daerah sangat dibutuhkan.


(8)

commit to user

viii

ABSTRACT

Aditya Eka Dera. E0007063. 2011. A REVIEW ON NORMATIVE PROBLEMS OF ACT NUMBER 13 OF 2006 ABOUT WITNESS AND VICTIM PROTECTION AS WELL AS THE URGENCY OF WITNESS AND VICTIM PROTECTION AGENCY’S EXISTENCE IN LOCAL AREA. Faculty of Law of Sebelas Maret University.

The objective of research is to find out the normative problems of Act Number 13 of 2006 about Witness and Victim Protection as well as the urgency of Witness and Victim Protection Agency’s (LPSK) existence in local area in the term of coping with the problem of witness and victim protection in Indonesia.

This study belongs to an normative law research that is prescriptive in nature. The type of data used was secondary data. The secondary data source employed included primary, secondary and tertiary law materials. Technique of collecting data used was library study and cyber media.

Considering the result of research and discussion, the following conclusion can be drawn. Firstly, there is normative problem the writer observes in the Act Number 13 of 2006 about Witness and Victim Protection. The weaknesses lie in article by article within the witness and victim protection act. One example of such the weaknesses is the inadequate definition of “witness” in the article 1 clause 1 that is still imposed by Law Procedure Code concept so that it is impossible to protect the whistleblower; in addition there is vagueness of protection conferring to the witness, relating to the protection given by the witness protection act. Secondly, the urgency of Witness and Victim Protection Agency’s existence in local area, it can be seen from the legal politics of Act Number 13 of 2006 and empirical fact documentation on the crime distribution throughout Indonesia. Many cases failing in the middle of road because of witness absence is one reality of weakness of witness and victim protection act that only prioritize the position of LPSK in the Capital only. The witness absence is because the reluctance of individual encountering crime to become the witness. The absence of adequate law protection guarantee, coupled with the intimidation emergence, criminality or lawsuits for the testimony or report given are the reasons for someone to be reluctant to become witness. Thus, the existence of LPSK in local area is very necessary.


(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Segala puji dan syukur hanya milik Alloh SWT, Rabb semesta alam, Dzat Yang Maha Kuasa, Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat serta salam senantiasa terlantun kepada junjungan Baginda Rosullullah SAW, keluarga, dan sahabat – sahabatnya serta bagi mereka yang senantiasa istiqomah menjunjung risalahnya hingga yaumul qiyamah.

Puji dan syukur Alhamdulillah atas segala cinta dan kasih, izin dan pertolongan Allah-lah akhirnya penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum ( Skripsi ) ini, dengan judul “ Tinjauan Tentang Problematik Normatif Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungansaksi dan Korban Serta Urgensi Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) di Daerah”.

Tentunya dalam penyelesaian Penulisan Hukum ini penulis banyak

mendapatkan masukan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, pada kesempatan yang baik ini penulis

menyampaikan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum UNS Surakarta.

2. Bapak Tuhana, S.H.,M.Si selaku Pembimbing Akademik penulis yang telah memberikan bimbingan, motivasi dan arahan selama penulis belajar di kampus Fakultas Hukum UNS.

3. Bapak Kristiyadi, S.H.,M.Hum dan Bapak Muhammad Rustamaji, S.H.,M.H selaku Pembimbing Skripsi I dan Pembimbing II yang telah memberikan segala ilmu dan dengan penuh kesabaran membimbing serta mengarahkan penulis dalam menyelesaikan Penulisan Hukum ( Skripsi ) ini dengan baik.

4. Seluruh Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah mencurahkan ilmunya pada penulis dengan penuh kesabaran.


(10)

commit to user

x

5. Ayah, Ibunda tercinta ( Bapak Marmono, S.Pd dan Ib. larsi ,S.E.,M.M) dan Adiku tersayang ( Andhika Della Permana Putra ).

6. Seluruh keluarga besar Mbah Surodikromo dan Mbah Sarno ( Mbah Kakung, Mbah Putri, Pakde, budhe Parni, budhe Tini, Om Joko) beserta segenap anggota keluarga masing yang telah memberikan dukungan moril dan spirituil kepada penulis dari sejak penulis dilahirkan sampai dengan sekarang.

7. Pratiwi Damarjati yang telah dengan sabar dan setia memberikan dukungan moril dan spirituil kepada penulis sejak peulisan hukum ini ditulis.

8. Sahabat – sahabat setiaku yang selalu setia menemani dan memberi dukungan ( Zuhri Saifudin, David, Tomy, Rian, Hadi, Hendy ) bersama kalian, keluh kesah dan resah menjadi semangat dan cita untuk meraih sukses.

9. Teman – teman seperjuang di Fakultas Hukum UNS angkatan 2007 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih banyak dukungan dan bantuannya selama ini kawan.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis baik secar langsung maupun tidak langsung. Semoga Allah SWT membalasnya dengan sesuatu yang lebih baik.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa masih banyak sekali kekurangan dari penulisan yang sederahana ini dan masih jauh dari sempurna. Saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan dan kemajuan penulis di masa yang akan datang. Semoga Penulisan Hukum yang sederhana ini bermanfaat bagi penulis dan semua pembaca yang budiman.

Wassalamu”alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Surakarta, Juli 2011

Aditya Eka Dera P E 0007063


(11)

commit to user

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI……….………….iii

HALAMAN PERNYATAAN………...iv

HALAMAN MOTTO……… v

HALAMAN PERSEMBAHAN………vi

ABSTRAK……….vii

KATA PENGANTAR………....ix

DAFTAR ISI………..xi

DAFTAR TABEL………..xiv

DAFTAR GAMBAR……….xv

DAFTAR LAMPIRAN………xvi

BAB I PENDAHULUAN………....1

A. Latar Belakang Masalah………...1

B. Perumusan Masalah………4

C. Tujuan Penelitian………5

D. Manfaat Penelitian………..5

E. Metode Penelitian………...6

F. Sistematika Penulisan Hukum………...12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………...14

A. Kerangka Teori………..14

1.Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Saksi dan Korban………..14


(12)

commit to user

xii

b. Pengertian Saksi………..15

c. Keterangan Saksi ………...17

d. Pengertian Korban………...17

e. Hak-hak Saksi dan Korban………...18

f. Kompensasi dan Restitusi………...19

2.Tinjauan Umum Tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK )………..19

a) Kelembagaan dan Kedudukan LPSK………19

1) Kelembagaan LPSK……….19

2) Kedudukan LPSK………...20

b) Tanggung Jawab, Tugas dan Kewenangan LPSK……….22

c) Syarat Pemberian Perlindungan dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban oleh LPSK………23

d) Tata Cara Pemberian Perlindungan Saksi dan Korban oleh LPSK………..23

e) Tata Cara Pemberian Bantuan bagi Saksi dan Korban oleh LPSK………..25

f) Keputusan LPSK………...26

g) Anggaran LPSK………...27

B. Kerangka Pemikiran………...28

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………...30

A. Problema normatif pada Undang Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban………30

1. Peraturan Perundang – undangan yang terkait dengan perlindungan terhadap saksi dan korban di Indonesia………...32

a. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika………..33

b. Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika………....36

c. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup………...37 d. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang


(13)

commit to user

xiii

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat………40

e. Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme……….41

f. Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 ………..42

g. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi……….43

h. Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM…43 i. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.45 j. Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme………..46

k. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pengahapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga……….47

2. Ide Dasar Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Hal – Hal Pokok Dalam Perlindungan Saksi……….……….62

3. Problema Normatif Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban………66

B. Urgensi Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) di Daerah………76

BAB IV PENUTUP………81

A. Simpulan………..81

B. Saran………82

DAFTAR PUSTAKA……….84


(14)

commit to user

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kebijakan Perlindungan Saksi dan Korban………48 Tabel 2. Contoh kasus ancaman, intimidasi terhadap saksi ………....77


(15)

commit to user

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran………28

Gambar 2. Skematik Alur Pikir Penemuan Problema Normatif

Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006………..32

Gambar 3. Skematik Alur urgensi keberadaan Lembaga Perlindungan


(16)

commit to user

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran : Undang –Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi


(17)

commit to user

1

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam proses pemeriksaan perkara pidana, peranan saksi sangatlah penting. Peran penting saksi tersebut terdapat dalam seluruh tahapan proses penyelesaian perkara pidana, mulai tahap penyelidikan sampai pembuktian di muka sidang pengadilan. Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan di pengadilan, utamanya yang berkenaan dengan saksi (M .Rustamaji, 2004:1). Bahkan dalam praktek peranan saksi sering menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan suatu kasus (Muchamad Iksan,2009:107).

Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) pada Pasal 184 ayat (1) menempatkan alat bukti keterangan saksi pada urutan pertama dari lima alat bukti yang sah. Ketentuan dalam pasal tersebut menyatakan, keterangan saksi di pengadilan menjadi salah satu alat bukti yang sah.

Fakta bahwa seorang saksi dianggap memiliki kemampuan yang dapat menentukan kemana arah putusan hakim, menyebabkan adanya berbagai ancaman dan tekanan, baik sifatnya secara fisik maupun mental kepada seorang saksi, keluarga ataupun orang terdekat saksi. Ketakutan tersebut membuat para saksi enggan untuk memberikan kesaksiaannya di muka sidang pengadilan, bahkan tidak jarang para saksi tersebut sama sekali tidak mengakui bahwa ia mengetahui, melihat tentang tidak pidana yang terjadi. Apalagi dalam kasus-kasus besar yang melibatkan para pejabat, anak pejabat, konglomerat, bos mafia dan lain-lain yang bukan tidak mungkin apabila tidak ada perlindungan terhadap saksi, maka keamanan saksi akan terancam dan aksi tutup mulut dari para saksi akan bermunculan (Muhadar, dkk,2010:7).

Perlindungan terhadap saksi dalam kasus – kasus dalam perkara pidana tetap menjadi suatu perhatian serius dikarenakan saksi dalam kasus


(18)

commit to user

pidana adalah saksi yang sangat berguna mengingat keinginan pemerintah sekarang yang gencar – gencarnya memberantas tindak pidana. Suatu imbalan berupa ketenangan dalam memberikan kesaksian merupakan pilihan bagi seorang saksi. Saksi dalam perkara pidana ini bukannya tidak mungkin mendapat teror sehingga membuat hatinya menjadi ciut dan tidak mau menjadi seorang saksi (Muhadar,dkk,2010:9).

Perlindungan terhadap saksi pada saat ini memang sangat mendesak untuk dapat diwujudkan di setiap jenjang pemeriksaan pada kasus-kasus yang dianggap memerlukan perhatian khusus, penjagaan ekstra ketat. Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya telah mengatur mengenai perangkat dan dasar hukum perlindungan saksi, perangkat dan dasar hukum perlindungan saksi dalam KUHAP yaitu:

1. Adanya kewajiban mengucapkan sumpah bagi saksi, kecuali untuk: a. anak yang umurnya belum cukup 15 tahun ( Pasal 171 butir (a))

b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang – kadang ingatannya baik kembali ( Pasal 171 butir (b)) ;

2. Dapat didengarkannya kesaksian saksi tanpa kehadiran terdakwa (Pasal 173);

3. Dapat ditujukan juru bahasa bagi saksi yang tidak paham bahasa Indonesia (Pasal 177) dan;

4. Dapat ditunjukan penterjemah bagi saksi bisu tuli serta tidak dapat menulis (Pasal 178).

Mekanisme perlindungan saksi yang ada dalam KUHAP tersebut dalam perkembangannya sangat tidak memadai dalam upaya mendukung proses penegakan hukum dan keadilan.

Beberapa kasus yang mencuat masih menyisakan permasalahan di dalam masalah perlindungan terhadap saksi yang berkeinginan menjadi saksi namun belum jelas mengenai perlindungan terhadap dirinya. Salah satu kasus yang menjadi perhatian internasional adalah kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur, di mana para saksi tidak berkenan datang ke pengadilan untuk


(19)

commit to user

bersaksi dengan alasan keamanan. Setelah ada pendampingan dari Unit Kejahatan Khusus dan di bandara dipanggil dengan pengeras suara, akhirnya para saksi tersebut bersedia untuk dihadirkan di persidangan yang di gelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Contoh lain lagi adalah, dugaan kasus – kasus perkosaan terhadap etnik Cina di Jakarta pada Mei 1998 yang sampai kini tidak pernah terungkap, karena tiada satupun saksi korban yang mempunyai cukup keberanian dan ketegaran untuk melapor ( Muchamad Iksan,2009:115). Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merupakan undang undang yang pertama dilihat sebagai undang – undang hukum acara pokok yang dipakai sebagai panduan dalam beracara pidana ternyata tidak memberikan hasil yang memuaskan dalam mengatur masalah perlindungan saksi dan korban. Hal tersebut menyebabkan munculnya gagasan untuk membuat perangkat hukum khusus yang diharapkan mampu memberikan perlindungan saksi dan korban ketika memberikan kesaksian.

Konsep perlindungan saksi dan korban di Indonesia sebenarnya telah tersebar diberbagai macam peraturan perundang – undangan. Peraturan perundang – undangan yang terkait dengan perlindungan saksi tersebut juga jelas dimuat tentang peran dari masing – masing instansi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam hal perlindungan saksi, namun pelaksanaannya masih menjadi suatu tanda tanya, baik dalam hal kelembagaan maupun penerapannya.

Setelah menjadi perdebatan selama bertahun-tahun, Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban akhirnya disahkan juga dalam rapat paripurna DPR pada tanggal 11 Agustus 2006, menjadi “Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban”. Di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 terdapat ketentuan yang mengatur mengenai lembaga khusus yang menangani permasalahan perlindungan saksi dan korban. Lembaga tersebut dinamakan “Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)”.

Munculnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang diharapkan akan mampu menjadi solusi terhadap permasalahan perlindungan


(20)

commit to user

saksi dan korban di Indonesia dinilai masih menjadi tanda tanya dalam hal efektifitas peran dan fungsinya mengingat lembaga tersebut hanya berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan apabila diperlukan.

Berdasarkan apa yang telah di uraikan di atas jelaslah bahwa seorang saksi membutuhkan perlindungan yang khusus demi menjaga keselamatan dirinya. Masalah – masalah yang muncul dalam Undang - Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta urgensi keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menjadi topik yang menarik untuk diteliti lebih mendalam untuk mendapatkan pembaharuan hukum dalam memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban.

Melihat hal yang terurai di atas maka penulis tertarik untuk meneliti pemberian perlindungan hukum bagi saksi ini dalam penelitian dengan judul penelitian: “TINJAUAN TENTANG PROBLEMATIK NORMATIF UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SERTA URGENSI

KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN

KORBAN ( LPSK ) DI DAERAH”

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah pokok yang timbul secara jelas dan sistematis. Perumusan masalah dimaksudkan untuk lebih menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat ditentukan suatu pemecahan masalah yang tepat dan mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki.

Perumusan masalah juga dibuat untuk mempermudah langkah penulis dalam menyusun bahan hukum. Adapun rumusan masalah dalam


(21)

commit to user

1. Apakah yang menjadi problematik normatif pada Undang Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ?

2. Bagaimanakah urgensi keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di daerah ?

C. Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan penelitian apalagi penelitian ilmiah selalu memiliki tujuan-tujuan tertentu. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini penulis bagi dalam dua kelompok, yaitu sebagai berikut:

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui problematik normatif Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban.

b. Untuk mengetahui urgensi keberadaan LPSK di daerah kaitannya dalam mengatasi permasalahan perlindungan saksi dan korban di Indonesia.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperluas dan memperdalam wawasan, pengetahuan dan kemampuan analitis penulis mengenai ilmu hukum khususnya hukum acara pidana dan terutama dalam masalah mengenai perlindungan saksi dan korban di Indonesia.

b. Memberikan sumbangan dan masukan guna pengembangan ilmu hukum khususnya hukum acara pidana, terutama yang menyangkut mengenai perlindungan saksi dan korban di Indonesia.

c. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Nilai dari suatu penelitian dapat dilihat dari manfaat yang dapat diberikan. Adapun manfaat yang akan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


(22)

commit to user 1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan pengetahuan ilmu hukum khususnya hukum acara pidana dan memberikan wacana dan konsep baru dalam kerangka upaya perlindungan hukum bagi saksi dan korban dalam perkara pidana.

b. Hasil penelitian ini Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai

teaching materials dalam mata kuliah hukum acara pidana ataupun mata kuliah yang lain yang membahas masalah perlindungan saksi dan korban.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan atau masukan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai literatur bagi semua pihak yang tertarik dengan wacana tentang perlindungan saksi dan korban.

E. Metode Penelitian

Metodelogis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis berarti berdasarkan sistem, dan konsisten berarti tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan kerangka tertentu.

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, guna menjawab isu yang di hadapi (Peter Mahmud Marzuki,2006:35). Penelitian dapat dipercaya kebenarannya apabila disusun dengan menggunakan suatu metode yang tepat untuk memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.

Oleh karena itu, dalam suatu penelitian diperlukan suatu metode tertentu. Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai berikut :


(23)

commit to user 1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum normatif atau doctrinal research dari pendapat Hutchinson yaitu “Reasearch wich provides a systematic exposition of rules governing a particular legal category, analyses the relathionship between rules,explain areas of difficulty and perhaps,predict future development”

(Peter Mahmud Marzuki, 2006: 32). Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan penelitian yang mencakup paparan tentang aturan – aturan yang sistematis memuat peraturan resmi, menganalisis hubungan antar peraturan – peraturan, menjelaskan kesulitan – kesulitan, dan mungkin memprediksi perkembangan masa depan.

Berdasarkan judul penelitian dan rumusan masalah, penelitian yang dilakukan termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian Hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder (Johny Ibrahim, 2006:44).

2. Sifat Penelitian

Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai, keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006:22).

Penelitian ini bersifat preskriptif, yaitu dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan. Argumentasi disini dilakukan untuk memberikan perspektif atau penelitian mengenai benar atau salah menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian.


(24)

commit to user 3. Pendekatan Penelitian

Cara pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu hukum empiris dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif. Berbagai bahan hukum banyak yang memiliki sifat empiris seperti perbandingan hukum, sejarah hukum, dan kasus-kasus hukum yang telah diputus. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa ilmu hukum normatif dapat dan harus memanfaatkan berbagai temuan ilmu hukum lain, serta berinteraksi secara positif dengan ilmu-ilmu lain khususnya ilmu hukum empiris (Jhonny Ibrahim, 2006:300).

Macam-macam pendekatan dalam penelitian hukum menurut Peter Mahmud Marzuki adalah pendekatan Undang-Undang ( statue approach ), pendekatan kasus ( case approach ), pendekatan historis ( historicalapproach ), pendekatan komparatif ( comparative approach ) dan pendekatan konseptual

( conceptual approach ) ( Peter Mahmud Marzuki, 2006:93 ).

Pendekatan yang dipakai oleh penulis untuk melakukan penelitian hukum ini adalah dengan pendekatan perundang-undangan. Pendekatan perundang-undangan dilakukan guna memperkaya pertimbangan – pertimbangan hukum yang tepat untuk menghadapi problem hukum yang dihadapi (Jhonny Ibrahim, 2006:305).

4. Jenis dan Sumber Penelitian Hukum

Sebagaimana dikemukakan oleh Peter Mahmud Marzuki dalam Bab II bukunya yang berjudul Penelitian Hukum, penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan sumber – sumber penelitian. Sumber – sumber peneltian hukum dapat dibedakan menjadi sumber – sumber penelitian yang berupa bahan – bahan hukum primer dan bahan – bahan hukum sekunder ( Peter Mahmud Marzuki,2006:141).


(25)

commit to user

Bahan – bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang – undangan. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah:

1) Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP;

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP;

3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;

4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;

5) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;

6) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

7) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;

8) Undang – Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi 9) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM;

10) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;

11) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;

12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003;


(26)

commit to user

13)Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat;

14)Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;

15)Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pengahapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga;

16)Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; dan

17)Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,rancangan undang – undang, hasil penelitian, atau pendapat para pakar hukum.sebagai bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku- buku hukum termasuk skripsi, tesis, disertasi hukum dan jurnal – jurnal hukum ( Peter Mahmud Marzuki,2006:155). Dalam peneltian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan penulis adalah:

1) Hasil karya ilmiah yang relevan/terkait dalam penelitian ini ( Muhammad Rusatamaji. Studi Perbandingan Pengaturan Pemberian Perlindungan Hukum Bagi Saksi dalam Perlara Pidana antara Sistem Jaminan Hukum Acara Pidana di Indonesia dengan Sistem Hukum Anglo Saxon), ( Galuh Surya Rahutama, Analisis Yuridis Perlindungan Saksi dan Korban Melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK) Ditinjau Dari Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban ), ( Sapto Budoyo, S.H.,

Perlindungan Hukum Bagi Saksi dalam Proses Peradilan Pidana


(27)

commit to user

Mengenai Perlindungan Saksi Berdasar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dengan Undcp Model Witness Protection Bill 2000 ).

c. Bahan Hukum Tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, diantaranya :

1) Bahan dari internet yang relevan 2) Kamus Hukum.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumulan bahan hukum dalam suatu penelitian yang bersifat preskriptif adalah sesuatu yang penting karena digunakan untuk memperoleh bahan hukum, secara lengkap dan relevan. Dalam penelitian ini Penulis menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum kepustakaan yaitu suatau teknik pengumpulan bahan hukum dengan cara mengumpulkan, membaca, mempelajari dan mengutip dari bahan – bahan hukum yang meliputi peraturan perundang-undangan, dokumen, beberapa buku referensi, artikel-artikel dari beberapa jurnal, arsip, hasil penelitian ilmiah, bahan-bahan kepustakaan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

6. Teknik Analisa Bahan Hukum

Menurut Philipus M.Hadjon sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh aristoteles penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus). Dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Marzuki, 2006:47). Di dalam logika silogistik untuk penalaran hukum yang bersifat premis mayor adalah aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Sedangkan menurut Johnny Ibrahim, mengutip pendapat Bernand arief Shiharta,


(28)

commit to user

logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi khusus yang bersifat individual (Johnny Ibrahim, 2008:249).

Teknik analisis yang digunakan oleh Penulis adalah secara deduktif, yaitu pengolahan bahan hukum dengan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi (Jhonny Ibrahim, 2006:393).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai aturan yang baku dalam penulisan hukum, maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum ini terdiri atas empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untukmemudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang perlindungan saksi dan korban serta tinjauan umum tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu Apa sajakah yang menjadi problematik normatif pada Undang Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban


(29)

commit to user

dan urgensi keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di daerah.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini berisi tentang kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(30)

commit to user

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Kerangka Teori

1.Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

a) Pengertian Perlindungan

Pengertian perlindungan terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 1 butir 6 yang berbunyi “segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”.

Peraturan perundang-undangan yang memberikan pengertian perlindungan terhadap saksi diantaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 23 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam perkara tindak pidana terorisme, yang memberikan pengertian perlindungan adalah “jaminan rasa aman yang diberikan oleh Negara kepada saksi, penyidik, penuntut umum, hakim dari kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam perkara tindak pidana terorisme”.

Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Pasal 1 butir 1 memberikan pengertian perlindungan khusus adalah “suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh Negara untuk memberikan jaminan rasa aman terhadap pelapor atau saksi dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya”.

Pengertian perlindungan juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, menyatakan


(31)

commit to user

bahwa perlindungan adalah “suatu bentuk pelayaan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan”.

b) Pengertian Saksi

Dalam khasanah pengetahuan hukum Indonesia, terdapat berbagai definisi atau pengertian dari saksi, baik itu dalam KUHAP, peraturan perundang – undangan lainnya, maupun pendapat para pakar hukum.

The Act defines a witness as someone who gives or agrees to give infor-mation or evidence or who participates or agrees to participate in a mat-ter relating to an investigation or the prosecution of an offence

(Canada: Gregory Lacko: The Protection of witnesses, 2004:Volume 4 hlm:12)

Kamus hukum memberikan pengertian saksi adalah orang yang mengetahui dengan jelas mengenai sesuatu karena melihat sendiri atau karena pengetahuannya. Dalam memberikan keterangan dimuka pengadilan, seorang saksi harus disumpah menurut agamanya agar apa yang diterangkan itu mempunyai kekuatan sebagai alat bukti;orang yang mengetahui dan menjamin suatu peristiwa itu adalah terang ( Simorangkir dkk,2000:151-152)

KUHAP sebagai ketentuan pokok yang mengatur hukum acara pidana yang bersifat umum (lex Generalis) telah memberikan definisi atau pengertian saksi dalam Pasal 1 butir 6, yaitu “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”.

Pengertian saksi yang lebih luas dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap


(32)

commit to user

Korban dan Saksi Pelanggaran HAM yang Berat sebagai Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang memberikan definisi saksi sebagai “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang perkara pelanggran hak asasi manusia yang berat yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun (Pasal 1 butir 3).

Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003, dalam Pasal 1 butir 3 memberikan pengertian saksi sebagai “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana pencucian uang yang di dengar sendiri, lihat sendiri, dan di alami sendiri”.

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai produk hukum terbaru yang secara khusus mengatur tentang perlindungan saksi dan korban, memberikan pengertian saksi adalah “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri (Pasal 1 Ayat (1))”.

Syarat menjadi saksi : 1) Syarat Objektif Saksi :

(a) Dewasa telah berumur 15 tahun atau sudah kawin; (b) Posisi berubah akalnya;dan

(c) Tidak ada hubungan keluarga baik pertalian darah atau perkawinan dengan terdakwa.


(33)

commit to user 2) Syarat Subjektif Saksi :

Mengetahui secara langsung terjadinya tindak pidana dengan melihat, mendengar, merasakan sendiri.

3) Syarat Formil

Saksi harus disumpah menurut agamanya c) Keterangan Saksi

Dalam proses beracara, alat bukti merupakan bagian terpenting dalam mencari atau menemukan suatu kebenaran materiil. Mengenaialat bukti yang sah tercantum didalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu antara lain :

(1) Keterangan saksi (2) Keterangan ahli (3) Surat

(4) Petunjuk

(5) Keterangan terdakwa

Keterangan saksi adalah apa yang saksi kemukakan di dalam sidang pengadilan, keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu, saksi tidak boleh memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana yang ia dengar dari orang lain ( M.Yahya Harahap,1985:265).

d) Pengertian Korban

Menurut Arief Gosita, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang

bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita ( G.Widiartana,2009:19).

Pengertian korban ( victims ) menurut Muladi adalah orang – orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan


(34)

commit to user

substansial terhadap hak – haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing – masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan ( Dikdik M. Arif Mansur dan Elisatris Gultom, 2007 : 47 ).

Undang Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memberikan pengertian korban sebagai “seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana (Pasal 1 butir 2 )”.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang tata cara pemberian perlindungan kepada saksi dan korban pelanggaran HAM berat menyatakan bahwa korban adalah “orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun”.

e) Hak-hak Saksi dan Korban

Dalam Pasal 5 ayat (1) UU ini disebutkan bahwa seorang saksi dan korban berhak:

(1) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan;

(2) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

(3) memberikan keterangan tanpa tekanan; (4) mendapat penerjemah;

(5) bebas dari pertanyaan yang menjerat;

(6) mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; (7) mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; (8) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; (9) mendapat identitas baru;


(35)

commit to user

(11) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

(12) mendapat nasihat hukum; dan

(13) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

f) Kompensasi dan Restitusi

Kompensasi, restitusi dan bantuan rehabilitasi di atas merupakan bagian dari upaya pemulihan bagi korban pelanggaran HAM yang berat yang mempunyai tujuan untuk meringankan penderitaan dan memberikan keadilan kepada para korban dengan menghilangkan atau memperbaiki sejauh mungkin akibat-akibat dari tindakan salah dengan mencegah dan menangkal pelanggaran.

Yang dimaksud dengan “kompensasi” adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan yang dimaksud dengan “restitusi” adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.

Restitusi dapat berupa:

a) Pengembalian harta milik;

b) Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan;dan c) Penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

2.Tinjauan Umum Tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK )

h) Kelembagaan dan Kedudukan LPSK 1) Kelembagaan LPSK

Kelembagaan LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang anaggota yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya masyarakat. Susunan keanggotaan LPSK yang bervariasi terdiri dari beberapa unsur dan elemen


(36)

commit to user

masyarakat ini dimaksudkan untuk menjamin independensi, kemandiriaan, dan obyektifitas lembaga, disamping tuntutan profesional. Banyaknya kasus dimana saksi justru terancam kepentingannya oleh oknum aparat penegak hukum,merupakan alasan susunan keanggotaan LPSK yang di buat bervariasi terdiri dari beberapa unsur dan elemen masyarakat.

Anggota LPSK diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Kelembagaan LPSK terdiri atas pimpinan dan anggota. Pimpinan LPSK terdiri atas ketua dan wakil ketua yang merangkap wakil anggota, yang dipilih dari dan oleh anggota LPSK. LPSK merupakan lembaga baru, maka menurut pasal 16 Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban, untuk pertama kali seleksi dan pemilihan anggota LPSK dilakukan oleh Presiden dengan sebelumnya membentuk panitia seleksi yang terdiri atas 5 (lima) orang yang tidak dapat di calonkan sebagai anggota LPSK, dengan susunan 2 (dua) orang berasal dari unsur pemerintah dan 3 (tiga) orang berasal dari unsur masyarakat.

Dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK di bantu oleh sebuah sekretariat yang bertugas memberikan pelayanan administrasi bagi kegiatan LPSK. Secretariat LPSK di pimpin oleh seorang sekretaris yang bersaal dari pegawai negeri sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sekretasis Negara ( Muhammad Iksan,2009: 204-205 ).

2) Kedudukan LPSK

Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 memprioritaskan kedudukan LPSK ini berada di ibukota negara Republik Indonesia. Hal ini merupakan kebiasaan yang dapat dimaklumi bagi kedudukan sebuah Lembaga Negara. Namun di samping berkedudukan di ibu kota negara, Undang – undang juga memberikan keleluasaan bagi LPSK untuk membentuk perwakilannya di daerah lainnya jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan dari LPSK. Pilihan Undang - Undang untuk memberikan akses bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan adalah pilihan yang tepat karena dari segi geografis wilayah republik Indonesia yang cukup luas dan akses informasi maupun


(37)

commit to user

komunikasi yang terbatas baik antar wilayah maupun antar ibukota dengan wilayah lainnya. Lagi pula, kasus-kasus intimidasi terhadap saksi yang terjadi selama ini justru paling banyak di luar wilayah ibu kota negara RI.

Perwakilan di daerah lainnya ini bisa ditafsirkan secara luas, yakni bisa berada di tingkat region tertentu (antar propinsi) misalnya memilih di beberapa wilayah tertentu, Indonesia timur, Indonesia barat dan lain sebagainya. Perwakilan LPSK bisa juga didirikan di tiap propinsi atau bahkan di tingkat kabupaten-kabupaten tertentu. Atau dalam kondisi khusus (penting dan mendesak) LPSK perwakilan bisa juga didirikan di wilayah terpilih, misalnya karena tingginya kasus intimidasi dan ancaman saksi di daerah tertentu maka LPSK ini bisa juga didirikan secara permanen atau secara ad hoc tergantung situasi yang mendukungnya.

Walaupun idealnya LPSK ini ada di tiap wilayah Propinsi, namun kebutuhan untuk mendirikan perwakilan tersebut juga akan memberikan implikasi atas sumberdaya yang besar pula, baik dari segi pembiayaan, maupun penyiapan infrastruktur dan sumber daya manusianya. Jangan sampai pendirian perwakilan tersebut justru malah kontraproduktif dengan tujuan dari LPSK misalnya makin membebani kerja-kerja yang justru menjadi prioritas LPSK karena masalah administrasi dan lain sebagainya.

Dalam hal pendirian perwakilan dibutuhkan pula rencana jangka panjang yang strategis dalam hal kontinuitas lembaga, jangan sampai LPSK pusat hanya mampu membangun atau mendirikan perwakilan namun tidak begitu peduli atas sumberdaya yang harus disiapkan untuk berjalannya lembaga perwakilan tersebut. Masalah koordinasi antar perwakilan juga perlu diperhatikan dengan serius terutama berkaitan dengan jurisdiksi antar perwakilan. Demikian pula dukungan dari instansi terkait di wilayah perwakilan.

i) Tanggung Jawab, Tugas dan Kewenangan LPSK

Undang – Undang Nomor 13 tahun 2006 dalam ketentuan umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang


(38)

commit to user

untuk memberikan perlindungan dan hak – hak lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam undang – undang. Namun Undang – Undang Perlindungan Saksi dan Korban tidak merinci tugas dan kewenangan dari LPSK tersebut lebih lanjut, perumus Undang – Undang kelihatannya tidak menjabarkan tugas dan kewenangan LPSK dalam suatu bagian atau bab tersendiri dalam Undang Undang Nomor 13 tahun 2006 seperti peraturan lainnya, melainkan menyebarkannya diseluruh Undang – Undang. Tugas dan kewenangan LPSK yang tersebar dalam Undang – Undang Nomor 13 tahun 2006, yaitu :

1) Menerima permohonan saksi dan/atau korban untuk perlindungan ( Pasal 29 );

2) Memberikan keputusan pemberian perlindungan saksi dan/atau korban ( Pasal 29);

3) Memberikan perlindungan kepada saksi dan/atau korban ( Pasal 1); 4) Menghentikan program perlindingan saksi dan/atau korban (Pasal 32 ); 5) Mengajukan ke Pengadilan ( berdasarkan keinginan korban ) berupa hak

atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana ( Pasal 7 );

6) Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang mewakili korban untuk bantuan ( Pasal 33 dan 34 );

7) Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan diberikannya banatuan kepada saksi dan/atau korban ( Pasal 34);dan 8) Bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam

melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan ( Pasal 39 ) ( Muhadar dkk, 2010:209-210).

c) Syarat Pemberian Perlindungan dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban oleh LPSK


(39)

commit to user

Tidak semua saksi dan korban dapat menikmati perlindungan dan bantuan dari LPSK. Saksi atau korban yang dapat menerima perlindungan dan bantuan dari LPSK harus terlebih dahulu menandatangani perjanjian dari pihak LPSK. Menurut Pasal 28 Undang – Undang Perlindungan Saksi dan Korban, perjanjian perlindungan LPSK terhadap saksi dan/atau korban tindak pidana diberikan dengan mempertimbangkan syarat :

(1) Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban;

(2) Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban;

(3) Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban;dan (4) Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban. Keempat syarat tersebut akan dijadikan pertimbangan oleh LPSK apakah akan diberikan perlindungan atau bantuan terhadap saksi atau korban tersebut atau tidak. Artinya, walaupun ia merupakan saksi atau korban tindak pidana yang tergolong nerat dan nilai kesaksiannya sangat penting, akan tetapi kalau syarat lain tidak terpenuhi, misalnya saksi atau korban memiliki rekam jejak kejahatan yang serius, dapay saja kemudian dia tidak jadi diberi perlindungan dan bantuan dari LPSK Negara ( Muhammad Iksan,2009: 207-208 ).

d) Tata Cara Pemberian Perlindungan Saksi dan Korban oleh LPSK

Berkaitan dengan tata cara pemberian perlindungan terhadap saksi, Pasal 29 menentukan bahwa saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang mengajukan permohonban secara tertulis kepada LPSK. Selanjutnya LPSK segera melakukan pemerikasaan terhadap permohonan tersebut, dan keputusan LPSK terhadap di kabulkan atau tidaknya permohonan atau perlindungan bantuan itu harus diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan. Dalam hal LPSK menerima permohonan saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, saksi dan/atau korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan


(40)

commit to user

perlindungan saksi dan korban. Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban sebagaimana dimaksud memuat :

1) Kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;

2) Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya;

3) Kesediaan saksi dan/atau korban unutk tidak berhub ungan dengan cara apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK;

4) Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai keberadaannya dibawah perlindungan LPSK;

5) Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK ( Pasal 30 UU PSK).

Menurut Pasal 31 Undang – Undang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada saksi dan/atau korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud Pasal 30 Undang – Undang Perlindungan Saksi dan Korban.

Penghentian pemberian perlindungan atas keamanan saksi dan/atau korban tidak dapat dilakukan secara gegabah atau asal-asalan, akan tetapi harus atas dasar pertimbangan/alas an yang kuat dan matang. Untuk menjamin hal itu maka dalam Pasal 32 ayat (1) Undang – Undang Perlindungan Saksi dan Korban ditegaskan bahwa perlindungan atas keamanan Saksi dan/atau korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan:

1) Saksi dan/atau korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;

2) Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaann perlindungan terhadap saksi dan/atau korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan;

3) Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; atau


(41)

commit to user

4) LPSK berpendapat bahwa saksi dan/atau korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan.

Dalam ayat (2) ditegaskan pula bahwa penghentian perlindungan keamanan seorang saksi dan/atau korban harus dilakukan secara tertulis. Ketentuan seperti ini untuk memberikan jaminan kepastian hukum, baik bagi saksi dan/atau korban yang bersangkutan dan keluarganya, maupun bagi pejabat aparat penegak hukum, termasuk LPSK sendiri.

Karena keterbatasan kelembagaan LPSK, maka untuk menjamin telaksananya pemberian perlindungan terhadap saksi dan/atau korban, LPSK dapat bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang, seperti polisi, kejaksaan, dan lain-lain yang dianggap kompeten. Instansi terlait yang diminta bantuan atau kerjasamanya oleh LPSK untuk memberikan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang – Undang Perlindungan Saksi dan Korban (Pasal 36). Ketentuan yang sama juga berlaku apabila LPSK memerlukan bantuan atau kerjasama dalam pemberian bantuan kepada saksi dan/atau korban ( Muchamad Iksan, 2009: 209).

e) Tata Cara Pemberian Bantuan bagi Saksi dan Korban oleh LPSK

Berkaitan dengan pemberian bantuan berupa bantuan medis dan/atau bantuan rehabilitasi psiko-sosial bagi saksi dan/atau korban kasus pelanggaran HAM berat sebagaimana di maksud dalam Pasal 6, diberikan apabila ada permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun orang yang mewakilinya kepada LPSK (Pasal 33 Undang – Undang Perlindungan Saksi dan Korban). Atas dasar permintaan tertulis itu selanjutnya LPSK menentukan kelayakan diberikannya bentuan kepada saksi dan/atau korban. Dalam hal saksi dan/atau korban layak diberikan bantuan, LPSK menentukan jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan.

Tidak semua permohonan bantuan akan dikabulkan oleh LPSK, yang layak dibantu akan dibantu, sedangkan yang dianggap tidak layak akan ditolak


(42)

commit to user

permohonan bantuannya. Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan kepada saksi dan/atau korban harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan tersebut (Pasal 35 Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban).

f) Keputusan LPSK

Undang Undang Nomor 13 tahun 2006 menyatakan bahwa keputusan LPSK diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat dan jika dalam hal keputusan ( musyawarah mufakat ) tidak dapat dicapai, maka keputusan akan diambil dengan suara terbanyak. Apa yang dimaksud dalam keputusan ini dalam Undang tidaklah begitu jelas. Dalam Undang-Undang keputusan yang dimaksud terkait dengan kewenangan LPSK terutama dalam keputusan pemberian perlindungan dan bantuan bagi saksi dan korban. Keputusan dan kebijakan LPSK, yang di dasari oleh musyawarah dan tidak sesuai dengan format pekerjaan LPSK.

Pilihan terhadap model pengambilan keputusan seperti ini tidaklah tepat karena model yang mkengisyaratkan setiap anggota perlindungan saksi punya hak dan mandat yang sama seperti layaknya komisi-komisi yang sudah ada dalam prakteknya kurang member kontribusi yang positif karena seluruh keputusan dari komisi harus melalui rapat pleno. Setiap anggota memiliki suara baik mendukung atau mem-veto sebuah kebijakan yang akan diambil oleh lembaga. Hal ini sebaiknya di hindari karena model ini tidak sesuai dengan kerja-kerja praktek perlindungan saksi yang dalam praktek di berbagai Negara diberikan dalam satu komando kerja yang berdasarkan protab atau bekerja dalam system yang baku ( Muhadar dkk,2010:218). g) Anggaran LPSK

Agar dapat manjalankan tugasnya dengan baik maka setiap institusi maupun organisasi tentunya membutuhkan sumber daya yang memadai, antara lain dalam bentuk sumber daya financial ( anggaran ). Demikian pula bagi LPSK, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 menyatakan bahwa biaya yang diperlukan untuk pelaksaan tugas LPSK dibebankan kepada


(43)

commit to user

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber lainnya yang tidak mengikat. Namun sumber utama tetaplah dari APBN. Hal ini hampir sama dengan pembiayaan-pembiayaan lembaga-lembaga negara lainnya yang telah ada di Indonesia. Sedangkan sumber lainnya yang tidak mengikat adalah berupa hibah dan bantuan baik dalam maupun luar negeri.

Dalam konteks APBN, umumnya pembagian anggaran dalm sebuah lembaga negara pada dasarnya di bagi dalam 2 (dua) kategori yakni anggaran rutin dan anggran pembangunan. Anggran rutin dalam sebuah pengeluaran negara untuk membiayai tugas-tugas umum pemerintah baik pusat maupun daerah dan untuk membayar kewajiban hutang luar negeri ataupun hutang dalam negeri yang jatuh tempo dalam setiap tahun anggaran. Sedangkan anggaran pembangunan adalah semua pengeluaran negara yang diperuntukkan bagi pembiayaan proyek-proyek pembangunan yang terbagi dalam beberapa sektor, baik ditingakat pusat maupun ditingkat daerah. Mengenai proses anggaran terutama terkait dengan model yang selama ini diterapkan dalam proses anggran lembaga negara di Indonesia, LPSK harus mau tidak mau akan menghadapi tata cara dan proses anggaran yang sudah ada ( Muhadar dkk,2010:218-219).


(44)

commit to user

Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran

Penjelasan :

Konsep Perlindungan Saksi dan Korban dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia

Peraturan Perundang - undangan di Indonesia yang mengatur perlindungan saksi

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK )

2. Bagaimana urgensi kedudukan LPSK di daerah?

KUHAP

Pasal 184 ayat (1) Alat Bukti Bebas ( Keterangan Saksi )

Dalam proses peradilan pidana

Perlindungan Saksi dan Korban

1.Apa sajakah yang menjadi problematik normatif dalam UU NO 13 Tahun 2006 ?

UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban


(45)

commit to user

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, dapat diketahui bahwa konsep pemikiran tentang perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana sudah ada dan banyak tersebar pada peraturan perundang – undangan sebelum dilahirkannya Undang – Undang Nomor 13 tahun 2006 Tentang perlindungan saksi dan korban. Pengaturan konsep perlindungan saksi dan korban tidak diatur secara rinci dan jelas. Dalam KUHAP ( Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana ) telah diatur mengenai tata cara pelaksanaan proses beracara dalam peradilan pidana, alat bukti dalam proses peradilan pidana salah satunya adalah keterangan saksi dan/atau korban. Mengingat pentingnya keterangan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana, maka perlu mendapatkan perlindungan. Undang – Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban melahirkan suatu lembaga yang berwenang untuk melindungi saksi dan korban dalam proses peradilan pidnan yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Munculnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) diharapkan akan mampu menjadi solusi terhadap permasalahan perlindungan saksi dan korban di Indonesia. Namun fakta di lapangan memunculkan penilaian dalam hal efektifitas peran dan fungsinya mengingat lembaga tersebut hanya berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan apabila diperlukan. Banyaknya kasus – kasus didaerah yang terbengkalai karena kekurangan atau bahkan tidak ada yang mau menjadi saksi merupakan masalah yang timbul karena kurangnya perlindungan dan rasa aman bagi para saksi. Perlindungan dan rasa aman bagi para saksi seharusnya mampu diberikan oleh LPSK, namun lembaga tersebut hanya fokus pada kasus yang di muat secara besar – besaran di media dan berkedudukan di ibukota saja. Lalu bagaimana yang di daerah?


(46)

commit to user

30

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Problematik Normatif Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Guna mengetahui problematik normatif dari sebuah perundang-undangan, tak terkecuali Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban maka harus dilihat keterkaitannya dengan produk perundang-undangan sejenis. Sebelum munculnya Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pengaturan mengenai perlindungan saksi dan korban sudah tersebar ke dalam berbagai produk peraturan perundang-undangan seperti:

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP;

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; 3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;

4. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

5. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;

6. Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;

7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ;

8. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi; 9. Undang - Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; 10. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;


(47)

commit to user

11. Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme; dan

12. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pengahapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Peraturan perundang – undangan yang terkait dengan perlindungan saksi dan korban tersebut di atas, dalam pelaksanaannya masih menjadi suatu tanda tanya, baik dalam hal kelembagaan maupun penerapannya. Hal tersebut dapat di lihat pada ketentuan Pasal 1 butir 26 KUHAP tentang pengertian atau definisi saksi yang berbunyi “ saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. Namun, KUHAP yang selama ini menjadi landasan beracara di dalam peradilan pidana Indonesia, justru tidak mengatur mengenai hak dan perlindungan terhadap saksi secara mendasar maupun secara spesifik. Walaupun terdapat beberapa ketentuan di dalam KUHAP yang mengatur mengenai hak – hak seorang saksi dan hal lain termasuk hak korban yang menjadi saksi, hak – hak tersebut tidaklah memadai, bahkan sebaliknya terhadap saksi, KUHAP justru memberikan banyak beban dan kewajiban. Contoh lain terdapat dalam Undang – Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika. Dalam Undang – Undang tersebut tidak memberikan gambaran jelas bagaimana cara perlindungan dan perlakuan terhadap korban penyalahgunaan psikotropika. Tidak efektifnya pengaturan perlindungan saksi dan korban tersebut maka memunculkan gagasan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan saksi dan korban tersebut, maka langkah selanjutnya adalah menemukan problematik normatif dari uraian pasal demi pasal yang terdapat dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang telah dihubungkan dengan dokumentasi fakta empirisdanpolitik hukum dari Undang – Undang tersebut.


(48)

commit to user

Untuk mempermudah alur pikir penemuan problematik normatif dalam Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban tersebut, maka dapat digambarkan alur pikir sebagai berikut :

Gambar 2. Skematik Alur Pikir Penemuan Problema Normatif Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006

1. Peraturan Perundang - Undangan yang Terkait dengan Perlindungan Terhadap Saksi dan Korban di Indonesia

Peraturan di Indonesia yang mengatur atau memasukkan saksi dan korban dalam berbagai aspek tersebar dalam berbagai produk legislasi baik dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan – peraturan jenis lainnya. Tersebarnya peraturan – peraturan yang terkait dengan saksi dan korban terlihat baik dalam peraturan pidana materiil maupun formil.

Pedoman utama legislasi di Indonesia yang mengatur mengenai saksi dan korban termasuk hak dan perlindungannya sampai saat ini adalah Kitab Undang – undang hukum Acara Pidana ( KUHAP ) dan peraturan lain dibawahnya. Aturan dalam KUHAP inilah yang merupakan payung dari seluruh hukum acara pidana di Indonesia yang pertama kali mengatur saksi dan hak-haknya. Dalam bidang hukum pidana formil, KUHAP merupakan kebijakan legislatif dalam penyelenggarakan hukum acara pidana yang bersifat pokok dan umum yang berlaku untuk semua tindak pidana, baik tindak pidana umum yang terdapat dalam KUHP, maupun tindak pidana khusus yang diatur dalam perundang – undangan khusus di luar KUHP, sepanjang ketentuan di luar KUHP tersebut tidak menyimpang dari KUHAP ( lex specialis derogate lex generalis ). Sehingga pasal – pasal yang mengatur perlindungan terhadap saksi dalam KUHAP juga ditujukan untuk melindungi semua saksi tindak Produk Peraturan

Perundang – Undangan Terkait

Problematik Normatif

Ide dasar Lahirnya UU No.13 th 2006


(49)

commit to user

pidana, kecuali yang telah mengatur secara khusus dan menyimpang di luar KUHAP ( Muchamad Iksan,2009:120).

Adapun peraturan perundang – undangan di Indonesia yang terkait dengan perlindungan saksi dan korban adalah sebagai berikut:

a. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika

Apabila dipandang dari sudut viktimologi, Korban dalam undang – undang ini merupakan self-victimizing victims, yaitu seseorang yang menjadi korban karena perbuatannya sendiri. Namun ada juga yang mengelompokkannya dalam victimeles crime atau kejahatan tanpa korban karena dalam kejahatan ini biasanya tidak ada sasaran korban. Semua pihak adalah terlibat ( Muhadar,dkk,2010:52).

Kejahatan lain yang dapat dikelompokkan dalam victimless crime adalah perjudian, prostitusi, pornografi. Jenis kejahatan tersbut telah diorganisasi oleh sebuah jaringan kejahatan internasional ( Transnational Organized ) sehingga sukar untuk diberantas. Undang – Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika tidak memberikan gambaran jelas bagaimana cara perlindungan

dan perlakuan terhadap korban penyalahgunaan psikotropika ( Muhadar,dkk,2010:53).

Perlindungan hukum pada Undang - Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika ditujukan pada korban dan kepada pelapor, bukan saksi dalam pengertian biasa. Pada Pasal 54 yang berbunyi:

1) Masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk ber-peran serta dalam membantu mewujudkan upaya pencegahan penyalahgunaan psikotropika sesuai dengan undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya. 2) Masyarakat wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang bila mengetahui

tentang psikotropika yang disalahgunakan dan/atau dimiliki secara tidak sah. 3) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) perlu mendapatkan jaminan

keamanan dan perlindungan dari pihak yang berwenang.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat seba-gaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


(1)

commit to user Koordinator

Pusat Telaah Informasi Regional ( Pattiro ) dan Koordinator

Forum Peduli Anggaran

Solo

korupsi APBD kota Solo 2003 yang melibatkan Darsono, Bandung Joko Suryanto, dan Ipmawan M. Iqbal

kota Solo 1999-2004 terhukum 2,5 tahun penjara kasus korupsi yang dilaporkan Alif Basuki.Ketiga Anggota DPRD tersebut menggugat ganti rugi Alif Basuki secara perdata ke PN Surakarta sebesar 3 miliar, Alif dituduh telah mencemarkan nama baik ketiganya.

3 Simon ( Ketua Lembaga Pengawasan Pembagunan Mamasa) Dugaan korupsi APBD oleh Pemkab Mamasa dan DPRD Kab.Mamasa Tahun Anggaran 2003 ( dilaprkan Des 2004,Feb 2005, dan Jan 2006 ke

Kejakgung dan KPK )

2006 Bupati Mamasa pada Februari 2006 melaporkan Simon ke Polres Mamasa karena dugaan pencemaran nama baik. Hingga saat ini kasus korupsi yang dilaporkan Simon tidak jelas perkembangannya.

4 Kamzul Abrar( Aktivis

Dugaan korupsi yang dilakukan oleh

2006 Abar sempat diculik selama 5 hari ( 2-7 Juni 2006) oleh sejumlah orang tidak


(2)

commit to user Forum

Peduli Nurani Rakyat ( FPNR ) sulit air

Firdaus Kahar, Wali Nagari Sulit iar, Kab.Solok Sumbar

dikenal. Penculikan dikaitkan denganaktivitas Abrar dalam mengungkap kasus korupsi yang dilakukan oleh Wali Nagari Sulit iar, Kab.Solok Sumbar.

Pihak Kepolisian belum melakukan penyelidikan atas kasus penculikan tersebut.

Bertolak dari realita yang demikian, maka kehadiran LPSK di daerah

sangat dibutuhkan. Walaupun Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, memprioritaskan kedudukan LPSK ini berada di ibukota Negara Republik Indonesia, namun disamping berkedudukan di ibukota Negara, Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, juga memberi keleluasan bagi LPSK untuk membentuk perwakilannya di daerah lainnya jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan dari LPSK. Pilihan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, untuk memberikan akses bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan di daerah adalah pilihan yang tepat karena secara geografis wilayah Republik Indonesia yang akses informasi dan komunikasi yang terbatas baik antar wilayah maupun antar ibukota Negara dengan wilayah lainnya.

Apalagi, kasus-kasus intimidasi terhadap saksi maupun korban yang terjadi selama ini justru paling banyak terjadi diluar wilayah Ibukota Negara Republik

Indonesia. Perwakilan LPSK di daerah ini bisa ditafsirkan secara luas, yakni bisa

berada di tingkat region tertentu ataupun di tiap provinsi. Bahkan bisa juga didirikan di level Kabupaten. Bahkan dalam kondisi khusus (Penting dan Mendesak) LPSK bisa didirikan di wilayah terpilih. Disamping itu Perwakilan


(3)

commit to user

LPSK di daerah juga bisa didirikan secara permanen atau secara ad hoc, sangat tergantung dari dari situasi yang mendukungnya.

Satu hal yang tidak boleh diabaikan atau dilupakan adalah kebutuhan untuk mendirikan perwakilan LPSK di daerah, juga akan memberikan implikasi atas sumber daya yang besar pula dari segi pembiayaan maupun penyiapan infrastruktur dan sumberdaya manusia. Berkaitan dengan sumber daya manusia sebagai pejabat di dalamnya, harus benar – benar profesional dan jauh dari intervensi kepentingan kelompok. Hal ini menjadi penting karena jangan sampai pendirian perwakilan LPSK di daerah yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pendamba keadilan ini, justru akan menjadi sesuatu yang kontra produktif, jika ketiga aspek ini tidak dikaji dengan benar.


(4)

commit to user

81

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Adapun beberapa probematik normatif yang penulis cermati pada Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah sebagai berikut:

a. Pasal 1 ayat 1 Undang Nomor 13 Tahun 2006, definisi “saksi” kurang

memadai dan masih dibebani oleh pngertian saksi menurut KUHAP sehingga menutup kemungkinan perlindungan terhadap

whistleblower.

b. Pasal 1 poin 5 Undang Nomor 13 Tahun 2006, rumusan dalam pasal

tersebut terlalu sempit, seharusnya konsep orang terkait ini tidak hanya menjangkau keluarga, namun dapat menjangkau orang lain yang mempunyai potensi membuat saksi tidak mau bersaksi bila orang tersebut di intimidasi.

c. Pasal 5 ayat (2) Undang Nomor 13 Tahun 2006, terlihat adanya

pembatasan terhadap saksi yang akan dilindungi, dan hal ini merupakan suatu kemunduran dari niat yang baik di balik undang – undang tersebut

d. Ketidakjelasan Pemberian Perlindungan Kepada Saksi, Terkait

dengan bentuk perlindungan yang diberikan oleh undang – undang

perlindungan saksi tersebut, rumusan tersebut tidak menjelaskan

secara memadai beberapa pertanyaan yang mendasar berkenaan dengan apakah hak-hak ini diberikan kepada seluruh saksi dalam


(5)

commit to user

perkara pidana ? apakah hanya saksi yang yang tertentu saja (dalam ancaman)?

e. Pasal 10 Undang Nomor 13 Tahun 2006, bila dicermati pasal tersebut

masih akan menjadi penghalang bagi pengungkapan kasus-kasus sulit seperti korupsi. Tanpa adanya keberanian dari salah satu unsur tersebut untuk tampil sebagai whistleblower maka kecil sekali kemungkinan korupsi akan terbongkar.

f. Saksi yang harus dilindungi, tidak jelas mengatur “status saksi”

berkaitan dengan saksi dari pihak manakah yang bisa dilindungi.

Apakah saksi yang membantu pihak tersangka/ terdakwa ataukah saksi dari pihak yang membantu pihak aparat penegak hukum.

g. Undang - undang Perlindungan Saksi dan Korban juga Tidak

Konsisten Pengaturan Jangka Waktu Perlindungan

h. Lahirnya Beban Ganda dalam Undang- Undang Nomor 13 Tahun

2006 akibat kondisi hukum acara pidana yang tidak memadai terkait

dengan hak perlindungan saksi dan korban.

i. Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi

dan Korban, belum mengatur tentang peran serta masyarakat dan penghargaan terhadap orang yang memberikan kesaksian atau melaporkan tindak pidana

2. Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan di tingkat pengadilan, terutama yang berkenaan dengan saksi. Tidak sedikit kasus yang kandas di tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi. Bertolak dari realita yang demikian, maka terlepas dari tidak sempurnanya Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namun kehadiran LPSK di daerah sangat dibutuhkan. Pilihan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, untuk memberikan akses bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan di daerah adalah pilihan yang tepat karena secara geografis wilayah Republik Indonesia yang akses informasi dan


(6)

commit to user

komunikasi yang terbatas baik antar wilayah maupun antar ibukota Negara dengan wilayah lainnya. Apalagi, kasus-kasus intimidasi terhadap saksi maupun korban yang terjadi selama ini justru paling banyak terjadi diluar wilayah Ibukota Negara Republik Indonesia.

B. Saran

1. Ketidak jelasan pengaturan – pengaturan, adanya unsur intervensi kepentingan politik dalam penyusunan peraturan perundang - undangan dan munculnya beberapa kemunduran – kemunduran dari niat baik dibalik cita – cita undang – undang tersebut, tidak menghadirkan sebuah kerangka untuk institusi yang independen dan stabil yang mampu untuk mengatasi permasalahan yang kini dihadapi. Maka untuk memperbaiki hal tersebut seyogyanya diperlukan suatu revisi dari Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban.

2. Dalam Undang – Undang Perlindungan Saksi dan Korban tersebut juga dipandang masih ada keterbatasan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Untuk mengatasi hal tersebut, perlu adanya dukungan dan fasilitasi Presiden dengan membuat kesepakatan – kesepakatan kerjasama antar lembaga negara/instansi pemerintah lainnya untuk memperkuat kewenangan LPSK.