lain, sebuah tentara yang diberi tugas memelihara keamanan dalam negeri secara besar-besaran dan semi-permanen, secara praktisnya terlibat dalam percaturan politik
dalam negeri; dalam hal ini tentara Angkatan Darat telah memainkan peran yang boleh dikatakan menentukan dalam menetapkan struktur konstitusional Indonesia
4
Pada masa periode tahun 1957-1959-yang disini disebut sebagai masa transisi di dalam kehidupan politik di Indonesia- TNI melalui Mayor Jenderal A.H. Nasution
sebagai KSAD, menitikberatkan tindakannya untuk mengurangi, atau bahkan untuk menghilangkan kerapuhan politis yang merupakan kelemahan paling fundamental
yang ada pada TNI. Dan Nasution menitik beratkan usahanya untuk mendapatkan legitimasi atau “dasar hukum” bagi TNI untuk melakukan peranan-peranan non-
militer-dalam hal ini peranan politik- yang selama ini belum dimiliki TNI. .
I.2. Masuknya Militer Dalam Politik.
5
Pada bulan oktober 1956, Presiden sukarno menawarkan satu alternatif untuk mengatasi krisis politik yang berkecambuk waktu itu, berupa suatu gagasan system
pemerintahan lain yang dinamainya “Demokrasi Terpimpin” dengan formula atau konsepsinya sendiri. Sejak itu rakyat dan kalangan politisi Indonesia menunggu-
nunggu konsepsi yang dijanjikannya. Konsepsi Presiden itui ternyata bukan saja tidak berhasil mendapat dukungan mayoritas, tetapi juga tidak mencapai consensus. Partai-
partai politik menyambutnya dengan suara pro dan kontra. Yang paling jelas menolak konsepsi itu adalah partai Masyumi dan partai katholik; sedangkan NU, Parkindo,
IPKI, PSII dan PSI menolak secara tidak langsung. Dukungan yang didapat Sukarno
4
Ulf Sundhaussen. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI. Jakarta: LP3S. 1986. hal. 98.
5
Yahya Muhaimin. Op.cit. hal 92.
Universitas Sumatera Utara
adalah dari PNI dan partai-partai nasionalis kecil lainnya, sedangkan yang paling gigih mendukungnya adalah PKI.
Politik PKI yang sejak tahun1952 merangkul PNI, mulai tahun tahun 19551956 PKI melakukan politik merangkul Presiden Sukarno, yang kedua-duanya-
Sukarno dan PKI- kebetulan tidak committed dengan sistem politik yang ada. Pertimbangan PKI ialah mengingat peranan politik yang dimiliki PNI sudah semakin
menurun terus dan peranan politi Sukarno sebagai presiden yang terus bertambah besar.
Sementara itu, pimpinan pusat TNI bersikap diam terus sehubungan dengan gagasan politik daripada konsepsi Sukarno. Tetapi apa yang dikehendaki oleh TNI
jelas bagi Sukarno, yaitu “lebih banyak kekuasaan untuk tentara, tanpa secara langsung menentang Presiden”.
6
Hal itu menjadi kenyataan tatkala pada bulan Maret 1957, dipermaklumkan berlakunya “keadaan darurat bahaya perang” atau Staat Van Oorlog en van Beleg
Di lain pihak, kabinet Ali tidak mampu lagi menghadapi tantangan yang berupa tuntutan-tuntutan yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan tetapi
sama-sama beratnya, yaitu antara “pengembalian Dwi-tunggal Sukarno-Hatta” dan “megimplementasikan konsepsi Sukarno”. Karena itu, tatkala Nasution tidak berhasil
mengkompromikan kaum regionalis dengan Jakarta dan kemudian mendesak Presiden Sukarno agar dapat menyatakan seluruh wilayah negara berlaku “keadaan
darurat perang”, maka Presiden pun mendesak agar Perdana Menteri Ali untuk menyetujui peraturan negara dalam keadaan darurat perang.
6
Yahya Muhaimin. ibid. hal 95
Universitas Sumatera Utara
SOB untuk seluruh wilayah Indonesia oleh Presiden Soekarno. Dan hal ini menjadi dasar hukum dan dasar politik bagi tentara untuk melaksanakan fungsi-fungsi non-
militer, terutama dalam hal peranan politik dalam proses memulihkan keamanan dan dalam memperjuangkan UUD 1945
7
a. golongan fungsional dalam masyarakat.
. Langkah Nasution berikutnya yaitu membentuk satu organisasi massa yang
lebih besar dan lebih menyeluruh dibawah pengaruh TNI. Sejak lama, baik Nasution maupun Sukarno menginginkan dibentuknya suatu Front Nasional yang nantinya
diharapkan akan mengeser kedudukan partai-partai politik. Dan pada tanggal 8 April 1957 Presiden Sukarno menunjuk Ir. Juanda umtuk
membentuk kabinet dan membentuk Dewan Nasional. Keesokan harinya tanggal 9 April 1957 terbentuk Kabinet Djuanda dan diberi nama Kabinet Karya, yang terdiri
dari 24 Kementerian dengan 23 Menteri. Dan didalamnya duduk dua orang anggota angkatan bersenjata, yaitu Menteri Urusan Veteran dan Menteri Pelayaran.
Sesuai dengan programnya, dengan undang-undang Darurat no. 7 Tahun 1957 pada tanggal 6 Mei 1957, pemerintah membentuk Dewan Nasional. Dewan nasional
adalah suatu badan yang memberikan nasihat mengenai soal-soal pokok kenegaraan dan kemasyarakatan kepada pemerintah atas permintaan pemerintah dan atas inisiatif
sendiri. Dewan ini langsung dipimpin oleh Presiden. Adapun anggota dewan nasional diangkat dan diberhentikankan oleh presiden,
dan terdiri dari eksponen :
7
Jenderal A.H Nasution.. Kekayaan ABRI. Jakarta: Penerbit Seruling Masa. 1971. hal 18
Universitas Sumatera Utara
b. Orang-orang yang dapat mengemukakan persoalan-persoalan daerah.
c. Pejabat militer dan sipil yang dianggap perlu.
d. Menteri-menteri yang dianggap perlu.
Dengan dimasukkan militer ke dalam dewan nasional maka sesungguhnya ABRI telah memperoleh legalitas dalam fungsi sosial-politiknya bersana golongn
fungsional lainnya. Masalah pengertian dan rumusan golongan funsional pada waktu itu masih dianggap kurang jelas. Pada tanggal 13 Januari 1958 Dewan Nasional
bersidang untuk merumuskan kembali golongan fungsional. Akhirnya pada tanggal 26 Januari 1958 berhasil dirumuskan bahwa golongan fungsional adalah “alat
demokrasi berupa penggolongan warga negara Indonesia menurut tugas pekerjaannya dalam lapangan produksi dan jasa dalam melaksanakan pembangunan masyarakat
adil dan makmur sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia”. Golongan funsional terdiri dari:
8
- Angkatan bersenjata.
- Buruh pegawai
- Alim ulama islam, katholik, protestan, indu, budha.
- Tani
- Angkatan 45
- cendekiawansarjana.
- Seniman
- Wartawan
- Pemuda.
8
Nugroho Notosusanto.Pejuang dan Prajurit.Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. 1984. hal 77-78
Universitas Sumatera Utara
- Warga negara peranakan..
Pada bulan Juni 1958, militer diakui sebagai kekuatan politik “golongan fungsional” dan wakil-wakil militer berhasil didudukkan dalam lembaga negara
Dewan nasional yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan SOB. Merupakan badan negara pusat yang amat besar peranannya didalam proses pembuatan keputusan
politik saat itu. Di dalam tatanan politik yang baru itu Nasution telah berhasil
menempatkan wakil-wakil angkatan darat dalam mpemerintah, badan-badan legislatif dan hampir semua badan negara. Tentara mempunyai suara dalam penyelenggaraan
hukum dan menjadi makin terlibat dalam pengelolaan ekonomi nasional.
9
Dengan dibentuknya Dewan Nasional, maka dimulailah babak baru dalam konstelasi politik Indonesia. Sementara itu perdebatan konstituante semakin berlarut-
larut, tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat dan membuat krisis nasional semakin parah. Dalam suasana sangat gawat karena
memuncaknya krisis nasional serta untuk menjaga kemungkinan timbulnya ekses- ekses politik yang mengancam keselamatan negara sebagai akibat di tolaknya usul
pemerintah oleh konstituante, maka KSAD Jenderal A.H. Nasution atas nama PemerintahPenguasa Perang Pusat Peperpu, tentang larangan mengadakan
kegiatan-kegiatan politik. Dan tanggal 19 Febuari 1959, dewan menteri secara aklamasi menerima
rumusan Dewan Nasional dalam rangka implementasi Demokrasi Terpimpin dan dalam rangka kembali ke UUD 1945. Perumusan ini merupakan persiapan untuk
memperlancar jalan menuju kepada usaha kembali UUD 1945.
9
Ulf sundhaussen. Op.cit. hal 241.
Universitas Sumatera Utara
Kegagalan konstituante dalam melaksanakan tugasnya sudah dapat dibayangkan sejak semula, dengan itu gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945
melalui saluran konstitusional yang disarankan oleh pemerintah kepada konstituante. Maka dengan mendapat jaminan dan dukungan Angkatan Bersenjata, Presiden
soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan dekrit presiden mengenai pembubaran konstituante dan berlakunya kembali ke UUD 1945 dalam kerangka
Demokrasi Terpimpin. Berlakunya kembali UUD’45 dalam kerangka demokrasi terpimpin disambut
dengan penuh harapan oleh rakyat yang sudah lama mendambakan stabilitas politik. Tindak lanjut dari dekrit presiden diantaranya adalah membentuk Kabinet Kerja pada
tanggal 13 Juli 1959, pembubaran Dewan Nasional dan membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No.21959 tanggal 22 Juli 1959. Selanjutnya, dengan
penetapan Presiden No. 4 tahun 1960, dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong DPRGR. Komposisi kenggotaan DPRGR antara lain adalah 44 PNI, 36
NU, 18 PKI, 118 Golongan Fungsional Non-ABRI, 35 ABRI. Pada Januari 1961, berhasil dibentuk dengan resmi Front Nasional sesuai
dengan konsep dan ide Sukarno, yang rupanya dimaksudkan oleh Sukarno nantinya menjadi partai tunggal negara dengan basis massa sebagai penggeraknya. Namun
demikian, Sukarno tidak memperoleh kontrol penuh atas Front Nasional, sebagaimana dengan tidak berhasilnya TNI-AD dalam usaha yang sama.
Dikarenakan, didalam Front Nasional ini tergabung seluruh partai politik-yang sifatnya amat heterogen dan saling bertentangan ideologi- dan seluruh golongan
fungsional, baik yang berada dibawah atau berafiliasi dengan suatu partai politik
Universitas Sumatera Utara
mauipun yang independen. Dalam hal ini, partai politik yang mempunyai organisasi fungsional mempertahankan pengaruhnya dan tetap mengikatnya dengan ketat
sehingga organisasi fungsional tidak terbawa arah tujuan Front Nasional yang akan dijadikan semacam partai tunggal di Indonesia. Kerena inilah baik Sukarno maupun
TNI tidak bisa menguasai Front Nasional dengan penuh. Sejak tanggal 23 Maret 1961, dibentuklah cabang-cabang Front nasional di
daerah seluruh Indonesia. Dan badan ini menjadi arena mencari kekuasaan dan pertarungan politik. Beberapa waktu kemudian, diluar Front nasional, TNI berhasil
menghimpun beberapa organisasi golongan fungsional, terutama yang tidak berafiliasi dengan sesuatu partai politik, ke dalam satu organisasi bersama golongan
fungsional yang diberi nama dengan “Sekretariat Bersama Golongan Karya” sekber golkar yang sepenuhnya dikuasai oleh TNI.dengan terwujudnya organisasi sekber
Golkar, maka TNI telah dapat dikatakan berhasil banyak dalam memperkuat posisinya sebagai kekuatan politik golongan fungsional, atau tepatnya, golongan
karya dalan pertikaiannya melawan PKI yang peranannmya sejak tahun 1960 telah mampu mengubah perimbangan kekuasaan di dalam kehidupan politik di Indonesia.
Usaha-usaha yang lain yang dilakukan oleh tentara dalam rangka mengimbangi kekuatan PKI terutama didaerah-daerah adalah meningkatkan
organisasi territorial sesuai dengan doktrin perang wilayang yaitu dengan membentuk struktur territorial di tingkat kecamatan dengan nama Komando Rayon Militer
Koramil dan di tingkat desa Bintara Pemdina Desa Babinsa. Pada tanggal 1 mei 1963, Indonesia menerima kekuasaan atas Irian Barat dari
PBB sebagai kelanjutan Persetujuan yang dicapai oleh Indonesia dengan Belanda 15
Universitas Sumatera Utara
agustus 1962 di PBB dan seterusnya Indonesia berjanji akan memberi hak kepada penduduk Irian barat untuk menentukan sendiri; apa mau tetap bersatu dengan
Indonesia atau mau lepas dari kekuasaan Indonesia. Dan saat inilah, Presiden sukarno mengumumkan mencabut SOB di seluruh wilayah Indonesia.
Penghapusan SOB itu diharapkan oleh Sukarno akan memperkuat posisi presiden dalam hubungannya dengan kepentingan politik TNI, yang dengan cara
demikian Presiden Sukarno lambat laun berharap akan menghilangkan, atau paling tidak hendak membatasi kegiatan politik TNI. Dalam pada itu, Sukarno dapat
memperkuat terus posisinya sejak 1963, dan kelihatan akan tetap merupakan faktor politik terkuat di samping dipandang oleh kalangan militer sebagai simbol bangsa
yang pantang ditentang. Ternyata kemudian pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang seharusnya
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, telah menyimpang jauh sekali. Kekuasaan presiden tidak ada batasnya, dapat berbuat apa saja menurut kehendaknya.
Selanjutnya dalam Sidang Umum MPRS tahun 1963 mengambil ketetapan “mengangkat Ir.Sukarno menjadi presiden seumur hidup”. Selama pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin, golongan fungsional terutama TNI, sesungguhnya ditempatkan dalam suatu posisi sulit. Pada satu pihak berusaha teguh pada Pancasila
dan UUD ’45 sedangkan di pihak lain harus menghadapi berbagai rongrongan, intimidasi dan usaha dominasi PKI.
Presiden membiarkan berlangsungnya proses balance of power antara dua kekuatan politik utama pada waktu itu yakni TNI dan PKI. Sukarno mulai
Universitas Sumatera Utara
mengembalikan kekuasaan antara TNI dengan kekuatan-kekuatan politik lainnya, memecah belah kalangan perwira TNI, dan melemahkan kedudukan Nasution
10
Pada bulan April 1965, kalangan para pimpinan terkemuka dari TNI-dengan menyesuaikan diri dengan keadaan dan kondisi yang ada pada waktu itu yaitu
mengingat besarnya kekuasaan presiden yang tidak dapat mereka konfrontasi tapi justru selalu membuka jalan bagi politik PKI-berhasil menyusun satu doktrin buat
TNI khususnya, dan untuk kekuatan militer Indonesia umumnya, yang dinamakan “Doktrin Tri ubaya Cakti”. Dengan adanya doktrin inilah untuk pertama kalinya
secara resmi TNI menyatakan dirinya memiliki fungsi ganda atau Dwi-fungsi di dalam tata kehidupan politik Indonesia yaitu “sebagai kekuatan militer dan sebagai
kekuatan sosial-politik” .
11
10
Yahya Muhaimin. Ibid. hal 117.
11
Yahya Muhaimin. Ibid. hal 141-142
. Meletusnya peristiwa “Gerakan 30 September” pada tanggal 1 Oktober 1965,
merupakan suatu turning point dalam perkembangan politik nasional Indonesia. Selama republik Indonesia berdiri, kejadian ini adalah yang paling mengancam
eksistensi dan kedaulatan negara. Dan yang paling penting dalam hubungan ini ialah bahwa krisis yang ditimbulkan oleh Gerakan 30 September telah menjadi momentum
yang membuka pintu selebar-lebarnya kepada TNI untuk kemudian memegang peranan politik dan pemerintahan. Yang pasti ialah bahwa peristiwa “Gerakan 30
September” tanpa ragu dan dengan cepat digunakan sebagai dasar tentara untuk secara bebas menghantam dan membinasakan PKI sebagai “musuh negara yang
mengancam keutuhan dan keselamatan seluruh bangsa”.
Universitas Sumatera Utara
Pergolakan yang ditimbulkan “Gerakan 30 September” telah menampilkan seorang jenderal yang sebelum meletusnya peristiwa itu kurang dikenal dalam
percaturan politik di Indonesia, seorang jenderal yang hampir sepenuhnya memainkan peranan dalam mengatasi krisis nasional dalam peristiwa itu dan
kecakapan dibidang militer yaitu Suharto.
I.3. Legalisasi dan Lahirnya Konsep Dwifungsi.