Dalam kebudayaan politik yang seperti di atas itulah militer Indonesia dibina dan berkembang. Ini berarti bahwa para perwira militer Indonesia mempunyai watak,
persepai, tindakan yang kuat sekali yang dipengaruhi oleh implikasi dan aspek nilai kebudayaan politik serta kondisi lingkungan sekitarnya. Dengan pemikiran dan
konsep diatas pennulis akan melihat bagaimana perkembangan militer Indonesia di dalam memegang peranan dan berada pada posisi yang betul-betul dominant dalam
politik khususnya ketika mengatasi peristiwa politik yang kritis yang mengancam keberlangsungan NKRI.
I.1. Lahirnya Politik Militer Indonesia
Setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 agustus 1945, tidak segera dibentuk tentara kebangsaan. Undang-Undang Dasar 1945 sendiri hanya memuat dua
pasal mengenai Angkatan Perang dan Pembelaan Negara, yaitu pasal 10 yang menetapkan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan pasal 30 yang menentukan bahwa tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha-usaha pembelaan negara yang syarat-
syaratnya diatur dalam undang-undang. Tidak mengherankan perkembangan Tentara Indonesia dalam negara republik Indonesia lebih banyak ditentukan oleh jalannya
dinamika revolusi perjuangan bangsa daripada oleh ketentuan Undang-Undang Dasar. Ketidaktegasan sikap pemerintah pusat dalam pembentukan sebuah tentara
nasional ternyata menimbulkan akibat-akibat yang serius. Ketidakmampuan untuk menentukan, atau bahkan buat menuntut hak yang menentukan, pengangkatan
perwira-perwira dan organisasi struktural golonan militer menyebabkan para pemimpin pemerintah kehilangan peluang untuk membentuk sebuah tenmtara yang
Universitas Sumatera Utara
terikat oleh kesetiaan atau bahkan oleh rasa berhutang budi kepada mereka. Kenyataan bahwa para perwira itu dengan cepat merasakan siakp ragu-ragu
pemerintah mengenai soal-soal pertahanan nasional. Dan ini merupakan suatu permulaan buruk bagi hubungn pemimpin sipil dan militer.
Pada sidang Agustus Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI ke-2 tanggal 19 agustus 1945 diputuskan antara lain untuk membentuk Tentara, tetapi
keputusan ini kemudian diubah dalam siding PPKI ke-3 tanggal 22 agustus 1945. Dalam sidang ini diputuskan untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat BKR saja,
sebagai Bagian Penolong Keluarga Korban Perang BPKKP. Penggunaan nama Tentara dihindari untuk menunjukkan politik damai republik Indonesia terhadap
pihak sekutu yang menang perang. BKR bertugas untuk memelihara ketertiban dan keamanan didaerah-daerah.
BKR tumbuh secara spontan dari bawah di daerah-daerah, didorong oleh panggilan jiwa para pemuda, banyak diantaranya bekas PETA, Heiho, KNIL, dan
lain-lainnya. Mereka ini didorong untuk berbakti dan mengabdi kepada bangsa dan negara yang kedaulatannya menghadapi ancaman pihak penjajah. BKR
mempersenjatai, melengkapi, dan membekali diri sendiri; disusun secara umum secara kedaerahan teritorial administratif dan sedikit banyak dikendalikan oleh
Komite Nasional Indonesia KNI didaerah. Pimpinan BKR yang duduk di KNI ikut memecahkan masalah-masalah yang timbul dibidang politik, ekonomi, sosial, dan
keamanan. BKR bukanlah tentara regular, melainkan suatu korps pejuang bersenjata. KNI dan BKR menjadi organisasi-organisasi rakyat yang tidak sekedar membantu,
tetapi juga mendorong memimpin dan memutar roda revolusi. Disamping BKR
Universitas Sumatera Utara
tumbuh pula pasukan-pasukan bersenjata badanlaskar yang terdiri dari pemuda- pemuda dengan bermacam-macam orientasi politik yang tidak puas dengan hanya
dibentuk BKR. Mereka menghendaki suatu tentara kebangsaan. Baru pada 5 oktober 1945 dikeluarkan maklumat pemerintah yang
menyatakan bahwa “untuk memperkuat peranan keamanan umum, maka diadakan suatu Tentara Keamanan Rakyat” TKR. Bekas Mayor KNIL Urip Sumoharjo
diserahi tugas untuk membentuknya; ia diangkat sebagai Kepala Staf Umum TKR dan berhasil mendirikan Markas Tertinggi TKR di Yogyakarta. Dikeluarkannya
peraturan dan instruksi-intruksi untuk menyalurkan susunan kesatuan-kesatuan yang sudah ada, terutama BKR yang seluruh statusnya beralih menjadi TKR, ke arah suatu
organisasi yang teratur, namum belum dapat berhasil sepenuhnya. Konferensi pertama antara para komandan divisi dan resimen TKR diadakan di yogyakarta pada
tanggal 12 November 1945 dan dipimpin oleh Letjen Urip Sumoharjo. Dalam pertemuan ini antara lain diadakan pemilihan Panglima Besar dan
Menteri Keamanan Rakyat. Terpilih sebagai panglima besar ialah Kolonel Sudirman yang pada waktu itu menjabat sebagai Panglima divisi VBanyumas dan sebagai
Menteri Keamanan Rakyat terpilih Sultan Hamengku Bowono IX. Pengesahan jabatan Panglima Besar Sudirman baru ditetapkan tanggal 18 Desember 1945,
sedangkan usul Sultan Hamengku Buwono menjadi Menteri Keamanan Rakyat tidak dapat diterima oleh pemerintah. Sebagaimana kita ketahui, tentara terbentuk dalam
masa revolusiperang kemerdekaan sejak awal sudah terlibat dalam kehidupan politik. Gejala ini disebabkan karena perang umtuk memperjuangkan kemerdekaan
adalah suatu perjuangan politik dimana pimpinan politik dan pimpinan perang
Universitas Sumatera Utara
merupakan suatu pimpinan bulat dan tidak terpisahkan putusan-putusan penting mengenai strategi perjuangan diputuskan secara bersama. Adalah suatu kenyataan
bahwa perang kemerdekaan adalah perang yang bersifat total, tidak jelas batas perjuangan militer dan non-militer. Keterlibatan pimpinan tentara dalam soal-soal
politik juga disebabkan adanya perbedaan pandangan tentang strategi perjuangan dalam menghadapi kaum penjajah.
Pemerintah yang dipimpin oleh kaum politik tua lebih menitikberatkan pada perjuangan diplomasi, sedangkan pimpinan tentara yang tergolong kaum mudalebih
menitikberatkan pada perjuangan dengan menggunakan kekuatan bersenjata. Perbedaan persepsi tentang stategi ini sering menimbulkan dialog dan silang pendapat
yang antara pemerintah dan pimpinan militer yang mewarnai hubungan yang kurang serasi antar pemerintah dan pimpinan tentara sampai menjelang diakuinya
kemerdekaan republik Indonesia oleh pihak belanda pada tanggal 27 desember 1949. Pada tanggal 1 januari 1946 nama Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi
Tentara Keselamatan Rakyat, yang dapat diartikan memperluas dan memperdalam tugas tentara dari kamanan menjadi keselamatan dalam arti luas. Ketidaksesuaian
jalan pikiran antar pemerintahkabinet dan kalangan markas tertinggi TKR tersebut juga menjadi sumber ketegangan politik dalam perkembangan selanjutnya. Dalam
usaha untuk menjadikan TKR sebagai alat negara republik Indonesia yang patuh kepada pemerintah, maka pada tanggal 25 januari 1946 dikeluarkan Maklumat
Pemerintah yang mengubah nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia TRI.
Ditetapkan bahwa TRI adalah satu-satunya organisasi militer di negara republik Indonesia dan akan disusun atas dasar militer internasional.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian pada tanggal 23 febuari 1946 dibentuklah panitia besar penyelengaraan organisasi tentara yang dipimpin oleh Letjen Urip Sumoharjo, sebagai hasil
reorganisasi, maka susunan dan kewenangan markas tertinggi Tentara Republik Indonesia TRI dipecah dua, yakni markas besar umum MBU dibawah panglima
besar sudirman dengan tugas operasional membawahi divisi-divisi dan bagian-militer kementerian pertahanan dibawah direktorat jenderal administrasi dipimpin oleh
Jenderal Mayor Soebidyo. Di Kementerian Pertahanan dibentuk staf pendidik politik yang mendidik opsir-opsir politik untuk kemudian ditetapkan di divisi-divisi dan
berkedudukan di samping panglima. TRI dengan penuh minat mengikuti kegiatan politik tersebut dan kadang-kadang dengan terbuka menyatakan pro-kontranya.
Sejak awal pembentukannya Kabinet Syahrir mengalami oposisi yang gencar dari Persatuan Perjuangan di bawah pimpinan Tan Malaka. Oposisi berkembang
disertai dengan kerusuhan dan berakibat pada pengangkapan terhadap pimpinan Persatuan Perjuangan. Percobaan perebutan kekuasaan Persatuan Perjuangan dengan
menggunakan panglima divisi III pada tanggal 3 juli 1946 dapat digagalkan. Setelah “Peristiwa 3 Juli” , sejak itu Jenderal Soedirman merupakan “satu faktor politik
utama”
3
Adanya dua macam TRI sebagai tentara resmi dibawah panglima besar dan brigade-brigade kelaskaran dibawah biro perjuangan sangat merugikan perjungan
bangsa menghadapi ancaman Belanda. Oleh kerena itu pada tanggal 5 mei 1947 dikeluarkan dekrit oleh presiden yang menentukan agar dalam waktu sesingkatnya
mempersatukan TRI dan laskar-laskar menjadi satu tentara. Pelaksanaan dekrit .
3
Yahya Muhaimin. ibid. hal 47
Universitas Sumatera Utara
ditugaskan kepada suatu panitia diketuai oleh presiden sendiri. Pada tanggal 7 juni 1947 dikeluarkan pnenetapan presiden antara lain menetapkan bahwa mulai tanggal 3
juni 1947 disahkan secara resmi berdirinya tentara nasional Indonesia TNI. Dalam TNI ini tergabung TRI, kesatuan-kesatuan dari biro perjuangan dan pasukan-pasukan
bersenjata lainnya. Dengan terbentuknya TNI, maka Biro Perjuangan dihapuskan. Semenjak tahun-tahun pertama republik Indonesia berdiri, para perwira
militer Indonesia memiliki kecenderungan untuk berpolitik sebagai prajurit. Dan kecenderumgan ini semakin kuat setelah tahun-tahun berikutnya mereka mengatasi
peristiwa politik yang kritis dan pemberontakan komunis di Madiun pada tahun 1948. Tetapi turut sertanya militer di dalam politik di Indonesia mulai tampak secara
jelas pada tahun 1952 tatkala terjadi peristiwa yang kemudian dikenal dengan nama “peristiwa 17 oktober”. Kejadian yang kiranya tepat disebut politico-military
symptom tersebut meletus karena kepemimpinan sipil dianggap “selfih”, tidak
bertanggung jawab, tidak efektif, penuh korupsi dan tidak berhasil dalam memerintah negara yang baru merdeka itu, dan justru para perwira militer yang memegang andil
terbesar dalam mencapai dan menegakkan kemerdekaan pada masa 1945-1950. Menjelang Agustus 1950, sistem federal dibubarkan. Dalam proses
pembubaran sistem federal ini, angkatan darat telah memainkan peran penting dengan menggunakan kemampuan militer dan politiknya. Baik pimpinan militer maupun
pemimpin sipil pada waktu itu tampaknya tidak menyadari kenyataan bahwa penggunaan tentara dalam operasi-operasi keamanan dalam negeri melibatkan
mereka dalam membuat pilihan-pilihan politik, dan dengan demikian maka tak terhindarkan lagi mereka memperoleh kawan politik dan musuh politik. Dengan kata
Universitas Sumatera Utara
lain, sebuah tentara yang diberi tugas memelihara keamanan dalam negeri secara besar-besaran dan semi-permanen, secara praktisnya terlibat dalam percaturan politik
dalam negeri; dalam hal ini tentara Angkatan Darat telah memainkan peran yang boleh dikatakan menentukan dalam menetapkan struktur konstitusional Indonesia
4
Pada masa periode tahun 1957-1959-yang disini disebut sebagai masa transisi di dalam kehidupan politik di Indonesia- TNI melalui Mayor Jenderal A.H. Nasution
sebagai KSAD, menitikberatkan tindakannya untuk mengurangi, atau bahkan untuk menghilangkan kerapuhan politis yang merupakan kelemahan paling fundamental
yang ada pada TNI. Dan Nasution menitik beratkan usahanya untuk mendapatkan legitimasi atau “dasar hukum” bagi TNI untuk melakukan peranan-peranan non-
militer-dalam hal ini peranan politik- yang selama ini belum dimiliki TNI. .
I.2. Masuknya Militer Dalam Politik.