BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemampuan penyelenggaraan pelayanan kesehatan suatu bangsa diukur dengan menentukan tinggi rendahnya angka kematian ibu dan perinatal dalam
100.000 persalinan hidup. Sedangkan tingkat kesejahteraan suatu bangsa ditentukan dengan seberapa jauh gerakan keluarga berencana dapat diterima masyarakat. Angka
kematian ibu dan bayi masih sangat tinggi. Berdasarkan penelitian WHO di seluruh dunia, terdapat kematian ibu sebesar 500.000 jiwa per tahun dan kematian bayi
khususnya neonatus sebesar 10.000.000 jiwa per tahun. Kematian maternal dan bayi tersebut terjadi terutama di negara berkembang sebesar 99 Manuaba, 2010.
Indonesia, di antara negara ASEAN, merupakan negara dengan angka kematian ibu dan perinatal tertinggi. Angka Kematian Ibu yaitu 300100.000
persalinan hidup. Jika diperkirakan persalinan di Indonesia sebesar 5.000.000 orang maka akan terdapat sekitar 15.000 sampai 15.500 kematian ibu setiap tahunnya atau
meninggal setiap 30 samapi 40 menit. Sedangkan jumlah kematian perinatal sekitar 401000 kelahiran Manuaba, 2010.
Selain penyebab langsung seperti perdarahan, infeksi, dan eklampsia; penyebab tak langsung kematian ibu ini antara lain adalah anemia, kurang energi
kronis KEK, dan keadaan “4 terlalu” terlalu mudatua, sering, dan banyak Prawirohardjo, 2001.
Untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu AKI, Departemen Kesehatan dibantu WHO, UNICEF dan UNDP melaksanakan Assessment Safe
Motherhood, yang salah satu pilar di dalamnya adalah keluarga berencana. Keluarga
Universitas Sumatera Utara
berencana yang memastikan bahwa setiap orangpasangan mempunyai akses ke informasi dan pelayanan KB agar dapat merencanakan waktu yang tepat untuk
kehamilan, jarak kehamilan dan jumlah anak. Dengan demikian diharapkan tidak ada kehamilan yang tak diinginkan dan kehamilan yang termasuk dalam kategori “4
terlalu” Prawirohardjo, 2001. WHO memperkirakan jika ibu hanya melahirkan rata-rata 3 bayi, maka
kematian ibu dapat diturunkan menjadi 300.000 jiwa dan kematian bayi sebesar 5.600.000 jiwa pertahun Manuaba, 2010.
Anak yang diibaratkan sebagai titipan Tuhan bagi orang tua memiliki nilai tertentu serta menuntut dipenuhinya konsekuensi atas kehadirannya. Anak memiliki
nilai universal namun nilai anak tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor sosiokultural dan lain-lain. Latar belakang sosial yang berbeda, tingkat pendidikan, kesehatan, adat
istiadat atau kebudayaan suatu kelompok sosial serta penghasilan atau mata pencaharian yang berlainan menyebabkan pandangan yang berbeda terhadap anak
Siregar, 2003. Adat istiadat atau kebiasaan dari suatu masyarakat yang memberikan nilai
lebih pada satu jenis kelamin tertentu, hal ini akan memungkinkan satu keluarga mempunyai banyak anak. Bilamana keinginan untuk mendapatkan anak laki-laki
atau perempuan tidak terpenuhi mungkin akan menceraikan istrinya dan atau kawin lagi, atau terus melahirkan anak sampai keinginan memiliki anak laki-laki atau
perempuan terpenuhi. Seperti halnya pada masyarakat suku Nias yang menganut sistem kekerabatan patrilineal yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan
dari pihak ayah. Sehingga setiap keluarga pada suku Nias berkeinginan untuk memiliki anak laki-laki sebagai penerus garis keturunan dan ahli waris. Akan tetapi
karena alasan agama, kebanyakan dari mereka lebih memilih punya anak lagi
Universitas Sumatera Utara
daripada kawin lagi. Tentu saja kemungkinan adanya paritas tinggi lebih besar, dan ini merupakan salah satu faktor tak langsung pemicu angka kematian ibu meningkat.
Berdasarkan data yang diperoleh di desa Onozitoli Sifaoro’asi kecamatan Gunungsitoli kotamadya Gunungsitoli yang mayoritas penduduknya adalah suku
Nias, rata-rata pada setiap keluarga memiliki 4 empat orang anak. Hal ini sudah termasuk dalam golongan paritas tinggi.
Berdasarkan data di atas, penulis merasa tertarik untuk membuat Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Hubungan budaya patrilineal terhadap jumlah anak dalam
keluarga Suku Nias di Desa Onozitoli Sifaoro’asi Kecamatan Gunungsitoli Kotamadya Gunungsitoli Tahun 2012”.
B. Perumusan Masalah