Kerjasama internasional dalam penegakan hukum pidana transnasional

Kerjasama internasional dalam penegakan hukum pidana transnasional

Implikasi dari penyelarasan hukum pidana nasional masing-masing Negara akibat kesepakatan tentang kejahatan-kejahatan transnasional adalah keniscayaan mengembangkan instrumen-instrumen kerjasama internasional yang ditujukan bagi kelancaran penegakan hukum pidana transnasional melalui sistem peradilan pidana nasional. Singkat kata, penegakan hukum pidana transnational (di tataran hukum nasional) bagaimanapun juga pada akhirnya sangat tergantung pada kerjasama antar negara. Untuk itu diperlukan adanya kesepahaman tentang bagaimana negara-negara tersebut

33 Pauline Tamesis and Samuel De Jaegere (eds). Guidance Note: UNCAC Self Assesments: Going Beyond the Minimum, UNDP 2010.

mendayagunakan aparat penegak hukum serta instrumen-instrumen hukum pidana dan hukum acara pidana nasional.

Ditengarai kemudian UN atau badan-badan yang terafiliasi dengan UN mengembangkan model laws atau model treaties dalam rangka mendorong adanya penyelarasan hukum pidana materiil-formal negara-negara.

Terdata bahwa UNODC mengembangkan model legislative provision against terrorism, model law on extradition, model law on mutual legal assistance in criminal matters (2007), model legislation on money laundering and the financing of terrorism (bekerjasama dengan International Monetary Fund); Model Provisions on money laundering, terrorist financing, preventive measures and proceeds of crime (bekerjasama dengan International Monetary Fund dan Commonwealth Secretariat; dan sebab itu dimaksudkan untuk negara-negara yang menggunakan sistem hukum anglo-saxon); Model legislative provisions on measures to combat terrorism (Commonwealth Secreatiat). Dapat dibayangkan bahwa model laws (legislative provisions) ditujukan sebagai panduan bagi negara-negara dalam merumuskan ketentuan-ketentuan pidana secara sarana penegakannya di tataran hukum nasional.

Dalam rangka itu pula, UNODC menerbitkan Manual on Mutual Legal Assistance and Extradition (2012) dengan tujuan menjembatani perbedaan cara pengimplementasian hukum internasional oleh Negara- negara yang dapat dikategorikan menganut civil law system atau common law system (termasuk kecenderungan untuk mengadopsi dualism atau monism dalam memandang hubungan perjanjian internasional dengan sistem hukum nasional).

Sedangkan melalui General Assembly of the UN dikembangkan sejumlah resolusi yang memuat model treaties. Tercatat Model Treaty on Extradition ((A/RES/45/116 and A/RES/52/88); Model Treaty on Mutual Assistance in Criminal Matters (A/RES/45/117 and A/RES/53/112). UNODC kemudian mengembangkan Revised Manuals on the Model Treaty on Extradition and on the Model Treaty on Mutual Assistance in Criminal Matters (GA Resolution 52/88 of 12 December 1997). Di samping itu ECOSOC menerbitkan Resolution 2005/14: Model Bilateral Agreement on the Sharing of Confiscated Proceeds of Crime and Property.

Terlepas dari masalah perbedaan di atas antara model legislation atau law dengan model treaties, keduanya sebagai model kiranya diajukan sebagai acuan tidak wajib bagi negara-negara yang berkepentingan untuk mengatur soal ekstradisi atau bantuan timbalbalik di bidang penegakan hukum pidana (mutual assistance in criminal matters) atau persoalan lain yang terkait (misalnya tentang pemberantasan terorisme termasuk pembiayaaan kegiatan terorisme). Apa yang di sini lebih menarik ialah pe soala kekuata e gikat da i model law atau treaties a u uka da i fo alitas a. Alasannya jelas, yakni bahwa model law/treaties jelas tidak dapat dipersamakan dengan (juga tidak dimaksudkan untuk menggantikan) perjanjian internasional yang tegas disebut dalam ketentuan Pasal 38(1) Statuta Mahkamah Internasional maupun pustaka hukum internasional sebagai sumber hukum dalam wujud hard law. Bahkan juga tidak dimaksud untuk menggantikan peran dari perjanjian internasional. Perannya sebagai salah satu sumber hukum internasional justru muncul dari substansi dan prinsip-prinsip yang diusung dan termuat di dalam model law/treaties tersebut.

Sebagaimana telah disinggung di atas, dalam rangka penegakan tindak pidana, khususnya tindak pidana transnasional juga dipersiapkan mekanisme dan prosedur ekstradisi, bantuan timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance) dan satu hal yang kiranya juga penting untuk menjamin kelancaran proses pemeriksaan-pembuktian, yaitu perlindungan saksi dan korban (UU 13/2006), dan penyerahan narapidana (transfer of sentenced persons).

Di Indonesia, ketentuan mengenai ekstradisi diatur dalam UU 1/1979 yang merupakan undang-undang payung. 34

Berdasarkan ketentuan di dalam UU tersebut Indonesia mengadakan perjanjian ekstradisi dengan tujuh Negara. Perjanjian-perjanjian tersebut adalah: 35

• Pe ja jia ekst adisi ‘I-Malaysia: UU RI No. 9 Tahun 1974 • Pe ja jia ekst adisi ‘I-Philipina: UU RI No. 10 Tahun 1976 • Pe ja jia ekst adisi ‘I-Thailand: UU RI No. 2 Tahun 1978 • Pe ja jia ekst adisi ‘I-Australia: UU RI No. 8 Tahun 1994 • Pe ja jia ekst adisi ‘I-Hongkong: UU RI No. 1 Tahun 2001 • Pe ja jia ekst adisi ‘I-Korea Selatan: (Belum diratifikasi) • Pe ja jia ekst adisi ‘I-Singapura: (Belum diratifikasi)

Sedangkan berkenaan dengan kerjasama penyidikan dan penuntutan, termasuk pembekuan dan penyitaan asset, titik tolaknya adalah UU 1/ 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (mutual assistance in criminal matters). Berdasarkan UU 1/2006 itu, pemerintah Indonesia, misalnya, membuat perjanjian dengan RRC yang disahkan UU 8/2006. Perbedaan kedua bentuk perjanjian kerjasama penegakan hukum tersebut adalah, bahwa perjanjian esktradisi untuk tujuan penyerahan orang (pelaku kejahatan , seda gka pe ja jia MLTA s u tuk tujua pe a tua dala p oses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang peradilan pidana termasuk pengusutan, penyitaan

dan pengembalian aset hasil kejahatan. 36