Keberlakuan instrumen instrumen hukum pi

Pengantar

Di dalam tulisan ini akan ditelaah persinggungan sistem hukum pidana nasional (Indonesia) dengan sistem hukum pidana internasional. Argumentasi pokok ialah bahwa ada saling keterjalinan dan persinggungan antara hukum pidana internasional dengan hukum nasional. Di sini persoalannya bukan lagi semata-mata penegakan hukum pidana dalam rangka menjaga kepentingan nasional atau kedaulatan, melainkan penjagaan keadaban kehidupan bersama manusia, penghormatan atas hak asasi manusia yang dilihat tidak lagi menjadi urusan negara nasional, namun kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan. Dari sudut pandang ini hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional akan saling berkelindan. Kompleksitas perkelindanan inilah yang akan diuraikan di bawah.

Di sini sistem hukum pidana internasional (dalam arti luas) akan dipahami melingkupi hukum pidana transnasional dan hukum pidana internasional dalam arti sempit. 1 Hukum pidana internasional dalam

arti sempit hanya melingkupi persoalan penormaan serta penegakan hukum atas pelanggaran 4 kejahatan internasional (international crimes) yang menjadi kewenangan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) untuk memeriksa dan memutusnya (sepanjang negara

nasional tidak mau/mampu menanganinya sendiri). 2 Persinggungan dan perkaitan antara ketiganya (hukum pidana nasional-transnasional dan internasional) pada akhirnya akan ditelaah dari sudut

pandang hubungan dan saling keterpengaruhan antara sistem hukum internasional dengan sistem hukum nasional (Indonesia).

Persoalan lain yang juga akan ditelaah adalah perkaitan sistem pidana transnasional-internasional dengan penegakan hak asasi manusia (di tataran hukum nasional maupun hukum internasional). Perlu dicermati bahwa instrumen yang tersedia untuk mendorong penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia bukan semata-mata ancaman penjatuhan sanksi (dalam hukum nasional maupun hukum internasional) baik yang ditujukan terhadap Negara-Bangsa sebagai anggota masyarakat internasional ataupun terhadap pelaku individual. Pokok persoalan di sini selain menuntut pertanggungjawaban pidana pelaku (pimpinan pemerintah sipil atau militer) terhadap pelanggaran hak

1 Cheriff M. Basssiouni (ed.), International Criminal Law, 1986, (Dobbes Ferry, New York: Transnational). Bassiouni menggunakan pengertian hukum pidana internasional dalam arti luas. Bgkn juga dengan Illias Bantekas & Susan

Nash, International Criminal Law, second edition, London: Cavendish Publishing Ltd, 2003). Dijelaskan bahwa the legal basis for considering an offence to be of international import is where existing treaties or custom consider the act as being an international crime. Oleh Bassiouni dibuat 22 categories of international crimes (p. 5).

2 Hukum Pidana Internasional dalam arti sempit. Ini adalah pendekatan yang digunakan dalam buku Antonio Cassese (ed), The Oxford Companion to International Criminal Justice, (Oxford University Press, 2009).

asasi manusia (berat-ringan) adalah pada akhirnya mendorong negara dan pemerintah untuk menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan secara beradab. Apa yang hendak dihindari pada akhirnya adalah munculnya negara rapuh (fragile) bahkan gagal (failed) atau bahkan yang menjadi ancaman bagi rakyatnya sendiri (predatory state). Berkaitan dengan itu di sini kita berhadapan dengan persoalan pendefinisian pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat perbuatan Negara atau pelaku individual serta respons negara cq. pemerintah dan/atau masyarakat internasional terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut.

Hukum pidana nasional (Indonesia), Hukum Pidana Trans-Internasional/Internasional

Hukum pidana nasional pada umumnya melarang perbuatan yang menurut (hukum) negara yang bersangkutan dianggap perbuatan tercela. 3 Penegakan hukum pidana akan diserahkan kepada negara

yang melalui perangkat yang ada (sistem peradilan pidana) dapat menjatuhkan sanksi pidana sebagai reaksi hukum (negara) terhadap diperbuatnya tindakan tercela tersebut. 4 Dengan demikian, norma-

norma yang dirangkum oleh ketentuan-ketentuan hukum pidana nasional dan terutama penegakannya melalui pengadilan nasional dapat dibayangkan sebagai cerminan kesusilaan/moralitas masyarakat

(bangsa) dan keperdulian negara untuk menjaga keadaban masyarakat (nasional). 5 Melalui hukum pidana (intervensi negara dalam mengatur-menata kehidupan sosial-ekonomi warga melalui ancaman

dan/atau penjatuhan sanksi pidana), negara seyogianya menjaga dan menjamin keadaban kehidupan bermasyarakat.

Sebab itu pula dapat pula dikatakan penegakan hukum pidana nasional - niscaya ditujukan pada kepastian hukum dan keadilan (atau termasuk kemanfaatan) - terkait erat dengan kepentingan menjaga kekuasaan dan wibawa negara cq. pemerintah, termasuk legitimitas negara serta hukum (negara) dihadapan masyarakat. Berhasil atau tidaknya penegakan hukum pidana, dengan demikian, terkait erat dengan kewibawaan (kemampuan) Negara cq. pemerintah cq. penegak hukum untuk menghadirkan diri sebagai pemegang kekuasaan publik yang legitim (absah) kehadapan warga. Khususnya sebagai otoritas publik yang mampu (berdiri di atas kepentingan golongan-golongan masyarakat) untuk secara

3 Bdgkan dengan definisi hukum pidana sebagai jus poenale dan jus puniendi dalam buku ajar klasik Hukum Pidana karangan Ny. D. Hazewinkel-Suringa yang ditulis ulang oleh J. Remmelink, Inleiding tot de studie van het

Nederlandse Strafrecht. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2003).

4 Berkenaan dengan ini dalam hukum acara pidana dikenal pula asas nullum iudicium sine lege (tiada proses pidana (hukum acara pidana) tanpa ditetapkan terlebih dahulu oleh peraturan perundang-undangan). Asas ini dapat

diperbandingkan – dan harus dibedakan dari – asas legalitas (nullum crimen, nulla poena sine lege praevia). Baca lebih lanjut Prof.mr.G.J.M. Corstens, Het Nederlandse strafprocesrecht (Arnhem: Gouda-Quint-D.Brouwer en Zoon, 1993), pp. 13 et seq. Dalam sistem hukum berbeda (common law), asas ini muncul pula dalam bentuk tuntutan due process atau penyelenggaraan peradilan secara benar/jujur/terbuka dan bertanggungjawab (fair).

5 Di dalam kepustakaan ilmu hukum dikenal sebagai mirror thesis. Pandangan ini dirangkum Tamahana sebagai e ikut: It is widely and routinely assumed that law reflects/mirrors society, and operates to maintain social

order. B ia ). Ta a aha, A Ge e al; Ju isp ude e of La a d “o iet , O fo d U i .P ess, 2001, p. 51.). Seberapa relevankah teori ini untuk memahami hukum public internasional, mengingat bahwa, misalnya Ronald Dworkin (dikutip oleh Tamanaha) menyatakan: law not just mirrors but inseparably includes aspects of the general principles of political morality within a society (p. 51).

monopolistik memulihkan – bila perlu dengan mendayagunakan secara sah kekuatan (-bersenjata) - ketertiban umum yang terganggu akibat tindak pidana dan melalui itu menjaga kepastian hukum dan memunculkan keadilan. Negara di sini harus dipahami se agai o ga (hukum public) yang (seharusnya mampu) memonopoli penggunaan kekuatan (bersenjata) termasuk yang ditujukan pada penegakan hukum dan penjagaan kewibawaan negara (di dalam masyarakat maupun dalam pergaulatan internasional).

Singkat kata, hukum pidana (nasional) adalah instrumen negara untuk mengatur-menata masyarakat, menjaga keadaban pergaulan hidup masyarakat, sekaligus menjaga kewibawaan serta legitimitas penyelenggaraan kekuasaan oleh negara cq. pemerintah. Kegagalan Negara untuk menegakkan hukum pidana (atau dalam hal adanya pelanggaran pidana dalam skala individual atau massal) secara terus menerus akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat akan kemampuan serta keabsahan pemerintah. Bahkan konsep negara yang rapuh (fragile) atau gagal (failed state) juga dimengerti dalam

kaitan dengan aspek kemampuan pemerintah menegakkan hukum (pidana khususnya). 6

Sejalan dengan berkembangnya kejahatan terorganisir yang bersifat lintas Negara (transnational & organized crime dalam pelbagai bentuk), persoalan menjaga-mempertahankan kewibawaan serta legitimitas negara tidak lagi semata-mata dapat digantungkan pada kemampuan agen-agen negara menegakkan hukum pidana nasional. Kejahatan-kejahatan lintas negara (dari sudut pandang pelaku, korban atau akibatnya) kerapkali mengganggu kepentingan lebih dari satu negara (atau setidaknya mengganggu hubungan antar negara) dan mendorong serta mengharuskan adanya kerjasama antar negara untuk mencegah atau memberantasnya. Untuk itu, perlu dibangun pemahaman yang kurang lebih serupa tentang perbuatan-perbuatan apa yang dapat dikategorikan pidana, tingkat keseriusan/ketercelaannya dan bagaimana menyikapinya. Dengan itu muncul kesadaran perlunya harmonisasi hukum pidana nasional. Tujuannya, antara lain, mencegah impunitas. Hal mana terjadi

akibat tidak terjangkaunya pelaku oleh lingkup keberlakuan hukum pidana nasional yang terbatas. 7 Sebab itu pula, masyarakat (negara) di mana suatu tindak pidana berawal mula (direncanakan atau

6 Isitlah i i ke ap digu aka political commentators and journalist to describe a state perceived as having failed at so e of the asi o ditio s a d respo si ilities of a so ereig go er

e t . Lihat https://www.princeton.edu/- archaney/tmve/wiki100k/docs/Failed_state.html . Sementara itu Fund for Peace menggunakan parameter: 1. Loss

of physical control of its territory; or 2. of the monopoly on the legitimate use of physical force therein, 3. erosion of legitimate authority to make collective decisions, 4. an inability to provide reasonable public services, and 5. an inability to interact with other states as a full member of the international community . Na u lihat pula FFP: Fragile State Index 2014 (report written by Nate Haken, J.J. Mesner, Krista Hendry, Patricia Taft, Kendal Lawrence, Laura Brisard, Felipe Umaña (The Fund for Peace , 2014). Konsep failed state yang digagas pada 2005 diganti dengan konsep fragile state. Keduanya, berbeda dengan parameter di atas,

e ujuk pada pe ge tia weak and failing states yang digunakan u tuk e gga

a ka governments that have failed their people catastrophically and (sometimes) hav e do e it i te tio ally a d iole tly . Untuk tinjauan dari sudut pandang berbeda baca: Daron Acemoglu & James A. Robinson, Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty, (Profile Books Ltd, London: 2013).

7 Di dalam KUHPidana Indonesia, daya berlaku hukum pidana digantungkan pada faktor wilayah kedaulatan (yurisdiksi teritorial; Pasal 2 (wilayah); Pasal 3 (perahu/bendera kapal)), kewarganegaraan Indonesia (yurisdiksi

nasional aktif; Pasal 5-7) dan perlindungan kepentingan negara (yurisdiksi protektif/perlindungan; Pasal 4)). Periksa Moeljatno, KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), cetakan ke-14, (PT. Bina Aksara, 1985).

langkah awal diambil) bersama-sama negara-negara lain tempat di mana perbuatan berakhir (dan berujung pada adanya korban) atau negara-negara lain (baik yang langsung/tidak langsung terkena) akan berkepentingan mengkriminalisasi perbuatan(-perbuatan) serupa dan bekerjasama mencegah dan

memberantas kejahatan lintas batas negara demikian. 8

Pada tahapan ini muncul pengertian kejahatan lintas batas (transnational crimes) yang perumusannya tidak semata-mata dilandaskan pada hukum pidana nasional (dari masing-masing negara) melainkan dibentuk oleh dan dalam kesepakatan antar negara yang dituangkan dalam perjanjian internasional. Dalam hal ini kita berbicara tentang hukum pidana trans-nasional (transnational criminal law). Dengan kata lain, dalam perjanjian internasional, negara-negara (sebagai bagian dari masyarakat internasional dan bukan lagi sekadar masyarakat dalam lingkup negara nasional) yang kemudian bersepakat untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan tertentu (yang dianggap mengancam kepentingan bersama) dan bekerjasama dalam pencegahan serta pemberantasannya. Di sini muncul apa yang dinamakan treaty crimes yang mencerminkan kesadaran hukum yang tidak lagi bersifat lokal/nasional. Kesadaran hukum justru dibentuk melalui perundingan internasional dan suatu perbuatan tertentu dirumuskan sebagai tindak pidana berdasarkan kesepakatan antar Negara yang dituangkan dalam wujud perjanjian internasional. Kesepakatan trans-nasional tersebut -tentang mengapa perbuatan tertentu harus dikriminalisasi- pada akhirnya tetap harus diterjemahkan melalui kebijakan/politik kriminal negara yang bersepakat dan diadopsi atau ditransformasikan ke dalam peraturan perundang-undangan nasional dan menjadi hukum pidana nasional.

Reaksi negara-negara terhadap munculnya kejahatan (terorganisir) yang bersifat lintas batas adalah bersepakat mengkriminalisasi perbuatan (yang mungkin belum dikriminalisasi melalui hukum nasional); mengatur ihwal konflik yurisdiksi yang mungkin terjadi dan terakhir mengembangkan kerjasama di bidang penyidikan sampai dengan pemeriksaan di pengadilan, termasuk bagaimana dan di mana pelaku menjalani hukuman. Konsekuensi dari itu semua kemungkinan besar adalah kecenderungan untuk mengembangkan sistem peradilan pidana yang menggunakan konsep-konsep yang mirip (dalam bentuk transplantasi atau cara-cara lain) dengan yang dipergunakan di negara-negara dengan siapa kerjasama memberantas kejahatan trans-nasional dilakukan.

Sementara itu dalam lintasan sejarah bangsa-bangsa di dunia muncul pula bentuk-bentuk kejahatan (yang dalam perwujudannya selintas tidak berbeda dengan tindak pidana biasa), namun dilakukan dan terjadi dalam konteks yang tidak biasa (extra-ordinary crimes). Ketidakbiasaan ini dapat bersumberkan pada banyak faktor. Misalnya karena dibelakang perbuatan-perbuatan tersebut (yang bagaimanapun

8 Hal ini juga bersentuhan dengan doktrin aut dedere aut judicare (kewajiban untuk mengekstradi pelaku kejahatan atau mengadilinya sendiri di bawah hukum nasional). Untuk analisis dan komentar perihal doktrin ini serta

status a se agai o a huku i te asio al a a le ih la jut: )dzisla Gali ki, The Obligation to Extradite or P ose ute aut dedere aut judicare in International Law: Preliminary remarks ; Mi hael Pla hta, Contemporary

Problems of Extradition: Human Rights, Grounds for Refusal and the Principle aut dedere aut judicare, Resource Material Series No. 57, 114th international training course visiting e pe ts pape s da Mi hael J. Kell , Cheating Justice by Cheating Death: the Doctrinal Collision for Prosecuting Foreign Terrorists – Passage of aut dedere aut judicare into Customary Law & Refusal to Extradite Based on the Death Penalty (Arizona Journal of International and Comparative Law Vol 20, No. 3 2003: 491-522).

juga tetap dilakukan manusia baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama orang lain) adalah kebijakan penguasa yang mendukung terjadinya kejahatan-kejahatan tersebut (state sponsored crimes). 9 Dari

sudut pandang itu, kejahatan yang muncul bukan lagi sekadar perbuatan jahat-tercela yang dilakukan kelompok-kelompok criminal (organized crimes atau sebagai bagian dari permufakatan jahat) ataupun perseorangan (individual crimes) yang terjadi acak. Kejahatan yang dilakukan perseorangan atau kelompok ternyata merupakan bagian dari kebijakan Negara. Aparat negara dalam hal ini secara aktif melakukan sesuatu (memberi perintah) atau tidak melakukan apapun sekalipun sebenarnya berkewajiban untum melakukan sesuatu (pembiaran: tidak memberikan reaksi apapun sebelum, pada saat kejadian maupun pasca kejadian). Dikatakan pula bahwa kejahatan tersebut dikategorikan sebagai luar biasa karena sebarannya meluas, terjadi secara sistematis atau terpola dan masif. Selanjutnya karena skala sebaran dan sifat jahat perbuatan (tindak pidana tersebut) sedemikian luar biasa-nya (extra-ordinary), maka acap menjadi perhatian/kecemasan dari masyarakat internasional (most serious crimes of concern to the international community as a whole). Bentuk-bentuk kejahatan seperti inilah yanga memunculkan kajian hukum pidana internasional (arti sempit/core crimes).

Di sini dapat diajukan pertanyaan apa yang membedakan tindak pidana dalam hukum pidana nasional, hukum pidana trans-nasional dan hukum pidana internasional serta bagaimana membedakan hukum pidana trans-nasional dari hukum pidana internasional. Jelas bahwa criterium umum beranjak dari dalam wujud apa ketentuan pidana ditemukan. Apakah rumusannya dapat ditemukan dalam hukum nasional saja ataukah kriminalisasi perbuatan merupakan akibat dari adanya kesepakatan-kesepakatan internasional. Dalam hal yang disebut terakhir kriminalisasi suatu perbuatan tertentu karena itu terjadi karena adanya kesepakatan antar negara. Dapat dimengerti mengapa kemudian hukum pidana internasional mencakup baik hukum pidana trans-nasional (dalam arti luas) maupun hukum pidana internasional (dalam arti sempit).

Criterium pembeda penting lain antara hukum pidana nasional dengan hukum pidana internasional adalah konteks (latarbelakang/situasi kondisi di mana perbuatan dilakukan). Dalam hal ini kita tidak hanya berbicara tentang unsur-unsur atau elemen dari tindak pidana (actus reus dan mens rea), namun juga menyinggung soal chapeau elements. Ini menjadi titik pembeda penting antara hukum pidana trans-nasional dengan hukum pidana internasional dalam arti sempit. Untuk yang terakhir, chapeau

9 Trans-national crimes secara konsepsional harus dibedakan dari state-sponsored crimes. Pengertian terakhir juga harus dibedakan antara state spo sored ri es yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia di dalam

negeri (aktor- akto ega a e ada di alik a de ga state sponsored crimes a g digu aka ega a se agai instrumen politik internasional. Baca lebih lanjut, Daniel Byman, Deadly Connections: States that Sponsor Terrorism (Cambridge University P ess,

. Ia e jelaska : States sponsor terrorists as their proxies for a variety of reasons. The most important is often strategic interest: terrorist offers another means for states to influence their neighbors, topple a hostile adversary regime, counter US hegemony, or achieve other aims of state . (p. 4). Dan selanjutnya: Backing terrorists also can serve a broader range of regime objectives, including domestic and ideological ones. The Taliban gave al- Qa ida a ha e in Afghanistan out of ideological sympathy and to gain

allies in their civil war against the Northern Alliance. Iran and Iraq used terrorists to kill dissidents overseas. Arab Saudi provided aid to Palenstinian radicals in an attempt to buy them off and turn their guns elsewhere. Syrian leader Hafez-al-Asad also helped a range of Palestinian groups in order to demonstrate his Arab nationalist bona fides . p. .

elements sebenarnya dapat dimengerti tidak berbeda dengan unsur delik. Satu perbuatan, misalnya pembunuhan, penganiayaan atau perkosaan, dapat ditempatkan dalam konteks berbeda-beda. Pelaku dapat melakukan perbuatan tersebut berdasarkan ragam niatan (dalam gradasi pengetahuan dan kehendak yang berbeda), namun dalam konteks yang berbeda: apakah sebagai bagian dari kejahatan perdagangan manusia (human trafficking) atau perdagangan narkotika dan obatan-obatan terlarang (kejahatan trans-nasional) ataukah pada pelaku ada niat memusnahkan (genosida); perbuatan sebagai bagian dari kegiatan terpola (meluas dan sistematis) atau terjadi dalam situasi internal/international armed conflict).

Dari sudut pandang ini, pengujian terhadap chapeau elements berdampak pada pengklasifikasian perbuatan (berdiri sendiri atau dalam perkaitan dengan rangkaian perbuatan lain) sebagai tindak pidana dalam konteks hukum transnasional atau hukum pidana internasional dalam arti sempit. Artinya juga sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) atau pelanggaran hak asasi yang bersifat luar biasa (bukan tindak pidana biasa) yang membutuhkan penanganan khusus (extra-ordinary measures), tidak semata-mata melalui proses peradilan pidana biasa.

Hukum pidana transnasional dan hukum pidana internasional, bersama-sama membentuk kajian hukum pidana internasional yang dikontraskan dari kajian hukum pidana nasional. 10 Beranjak dari itu semua

dapat digambarkan hubungan atau keterkaitan antara hukum pidana trans-nasional dan hukum pidana internasional sebagai berikut:

Lingkup Hukum Pidana Internasional (sempit-luas)

Perbuatan dikriminalisasi oleh masyarakat

internasional (melalui perjanjian

Most serious crimes of concern internasional; drug-human trafficking, to the international community

HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

korupsi dll.). Namun disidik,

as a whole (genocide, crimes

didakwa/dituntut dan diadili menurut hukum against humanity, war crimes

nasional.

dan aggression). Perbuatan

Trans-National

dikriminalisasi, diinvestigasi,

Crimes

dituntut dan diadili menurut hukum nasional dan hukum

internasional (asas

Core- Crimes

komplementaritas)

Tanggungjawab Negara terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia-Hukum Pidana Trans-Internasional

10 Satu perbedaan penting ialah bahwa untuk hukum pidana internasional (sempit dan luas), maka kajiannya meniscayakan pendekatan lintas bidang hukum (hukum publik internasional, hukum dan hak asasi manusia, hukum

pidana, bahkan juga politik dan hubungan internasional). Pendekatan multi-inter disipliner ini tidak mutlak diperlukan dalam kajian hukum pidana nasional.

Satu hal lain yang kerap membingungkan adalah kecenderungan umum untuk mengkategorikan semua tindak pidana (termasuk yang diatur dalam hukum nasional maupun hukum pidana internasional dalam arti luas) sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Semua perbuatan (berbuat/tidak berbuat) yang melanggar hak orang lain dan/atau menimbulkan kerugian akan bersinggungan dengan atau mengurangi bahkan meniadakan hak (asasi) orang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan hak asasi mencakup hak asasi generasi pertama (hak-hak sipil-politik); generasi kedua (hak ekonomi, sosial dan budaya) dan dari generasi ketiga (hak-hak yang bersifat komunal). Jika ini menjadi acuan, maka setiap perbuatan melawan, baik yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tertulis maupun melanggar hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan, perasaan hukum masyarakat, rasa keadilan, kepatutan, dll), dapat begitu saja dipersamakan dengan pelanggaran hak asasi manusia.

Juga menambah kerumitan adalah kecenderungan untuk memandang setiap perbuatan anggota angkatan bersenjata (agen negara yang memonopoli kewenangan penggunaan kekerasan) yang mengurangi atau meniadakan hak asasi orang lain sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Terpikirkan di sini pencurian yang dapat saja dilakukan kecil-kecilan (petty crimes), atau besar-besaran (korupsi massif dan sistematis) baik yang dilakukan warga biasa atau anggota angkatan bersenjata atau yang dilakukan sebagai bagian dari kebijakan pemerintah yang berkuasa. Ilustrasi lain adalah penganiayaan atau pembunuhan yang seperti disinggung di atas dapat dilakukan dalam ragam konteks berbeda. Kendati begitu apakah kemudian secara konsepsional tepat untuk menggolongkan begitu saja semua perbuatan yang melanggar hak orang lain, termasuk semua perilaku anggota angkatan bersenjata, sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang mensyaratkan penanganan khusus oleh negara?

Sebagaimana telah diuraikan di bagian terdahulu, penegakan instrumen-instrumen hak asasi manusia dan keberlakuan ketentuan-ketentuan internasional tentang hak asasi manusia digantungkan pada adanya kesepakatan bersama (atau penerimaan di tataran internasional) tentang perlunya negara-

ega a e daulat e e i a da e gakui o a- o a a g sa a u i e salitas da i ilai-nilai (penghargaan atas hak-hak dasar/manusia) yang diusung instrumen-instrumen hak asasi manusia.

Berdasarkan itu keadaban penyelenggaraan kekuasaan negara cq. pemerintahan dan hukum nasional diukur dari norma-norma (internasional) yang dianggap universal, indivisible (hak asasi generasi pertama (hak sipil-politik), kedua (ekonomi, sosial & budaya) dan ketiga (hak-hak kelompok) merupakan satu

paket kesatuan yang utuh). 11 Tanggungjawab untuk melindungi, menghormati dan menegakkan hak asasi manusia secara khusus dibebankan kepada negara (atau organ yang dianggap paling wenang

memegang dan menyelenggarakan kekuasaan publik untuk dan atas nama masyarakat negara). Dalam

11 Pada umumnya hak asasi manusia tidak dapat disimpangi (non-derogable) atas alasan apapun juga. Penyimpangan, pengurangan atau pembatasan hak asasi tertentu, namun demikian, di sejumlah instrumen hak

asasi manusia, misalnya ICCPR, masih dimungkinkan atas dasar public interest. Satu contoh dari public interest muncul dalam wujud sistem hukum pidana dan hukum acara pidana. Atas nama kepentingan publik, negara dapat misalnya mengatur pembatasan dari hak menyatakan pendapat melalui peraturan perundang-undangan. Di samping itu kebebasan seseorang (tersangka, terdakwa atau terpidana) dapat dibatasi sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam hukum acara pidana (sesuai asas nullum iudicium sine lege) dan peraturan perundang-undangan nasional lainnya (penyelenggaraan penjara atau lembaga pemasyarakatan: hukum penitensier).

hal ini menjadi relevan pengertian failed state atau fragile state yang digambarkan sebagai negara (pemerintahan) yang gagal (tidak mau/mampu) melindungi masyarakat (warga negara sebagai perseorangan maupun dalam wujud kelompok masyarakat).

Beranjak dari itu, pelanggaran hak asasi hanya dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan Negara (berbuat melanggar hak atau tidak melakukan apa yang menjadi kewajiban) terhadap warganegara. Sedangkan penegakan dan penghormatan hak asasi ditujukan pada individu atau kelompok masyarakat. Maka pelanggaran hak asasi (yang niscaya dilakukan negara atau tepatnya agen-agen negara, baik secara aktif maupun secara pasif: tidak melakukan apa yang menjadi kewajiban hukum) memunculkan hak pada warganegara untuk menuntut negara berbuat sesuatu: menindak pelaku pelanggaran hak asasi manusia, menghilangkan kondisi yang menyebabkan munculnya pelanggaran hak asasi, dan/atau memberikan kompensasi, gantirugi atau satisfaction (pengakuan adanya pelanggaran hak asasi manusia, pernyataan

bersalah dan/atau permohonan maaf). 12

Pelanggaran hak asasi manusia, dengan demikian, tidak dapat dipandang sertamerta sama dan sebangun dengan perbuatan individu atau kelompok (masyarakat) yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran hukum pidana (nasional). Betul bahwa setiap tindak pidana umum (penipuan-penggelapan, pencurian, penganiayaan, pembunuhan, pencemaran nama baik, pemerkosaan, dstnya) niscaya melanggar hak orang lain (individual atau kelompok). Bahkan dalam hal pembunuhan misalnya meniadakan hak (asasi) orang lain untuk hidup.

Berhadapan dengan tindak pidana umum tersebut reaksi sewajarnya yang diharapkan dari Negara (kepolisian, Kejaksaan, Kekuasaan Kehakiman atau lebih abstrak: sistem peradilan pidana) adalah

12 Misalnya yang terjadi dalam kasus comfort women (budak seks/jugun lanfu) yang dipekerjakan di rumah pelacuran semasa pendudukan balatentara Jepang di wilayah Asia (1942-1945). Apa yang dituntut para korban

uka sekada ga ti ugi, elai ka pe gakua se a a es i ada a ke ijaka buruk yang menempatkan diri mereka sebagai korban (dan bukan pelaku pelacuran) dan permintaan maaf dari pemerintah Jepang. Apa yang juga mereka tuntut a dalah pe uliha a a aik , dala a gka e

alika pe sepsi as a akat atau stigma ah a e eka ela u ka e a ku a g i a , tidak e kesusilaa dll. . Me eka adalah ko a da uka pelaku kejahatan. Baca pula, Indri Hapsari Mustika Dewi, Recognizing, the Indonesian Jugun Ianfu Survivors need for Truth-Telling, (nov.10, 2011) dalam www.internationalpeaceandconflict.org/.../ , 5/12/2014). Bdgkan pula dengan: Jaringan Advokasi Jugun Ianfu et. Al. Menggugat Negara Indonesia atas Pengabaian Hak-Hak Asasi Manusia (pembiaran) Jugun Ianfu sebagai Budak Seks Militer dan Sipil Jepang 1942-1945 (Jakarta: Oktober 2010). Kasus ini dapat diperbandingkan dengan pengakuan pemerintah Belanda pada 2012-2013 atas terjadinya kejahatan perang semasa aksi polisionil (perang revolusi) di Rawa Gede. Pengakuan dan permintaan maaf ini dibarengi dengan pemberian ganti rugi yang diperoleh pasca putusan terhadap gugatan gantirugi yang diajukan kehadapan

Rechtbank s-G a e hage, “epte e . Lihat: ‘us a Pa a ue , Masih Ada Kasus Kejahata Pe a g Bela da di I do esia

.tempo.co.id. 10 desember 2011). Juga pemerintahan RI semasa Pres. Abd. Wahid memberi pengakuan melalui permintaan maaf terhadap para korban pelanggaran hak asasi manusia dalam periode 1965-1967, yaitu berkaitan dengan keterlibatan ummat Islam (setidak-tidaknya warga NU) dalam pembunuhan massal terhadap mereka yang diduga menjadi anggota ataupun simpatisan Partai Komunis

I do esia. Ba a: Terhadap Korban G30S/PKI Gus Dur: Sejak Dulu Sudah Minta Maaf, (Kompas, 15 maret 2000). Pres. Abd. Wahid juga yang memunculkan kebijakan rekonsiliasi dengan para eksil: eks mahasiswa Indonesia yang tugas belajar di Negara-negara Eropa Timur dan karena pecahnya G-30-S tidak dapat (berani) pulang ke Indonesia ka e a a a a ata ada a pe se utio da i Nega a.

menegakan aturan hukum pidana yang sudah ada. Dalam proses pemeriksaan di pengadilan (nasional) lagipula pembuktian ditujukan untuk mengungkap kebenaran materiil tentang apa yang terjadi dan berdasarkan itu memutus apakah terdakwa benar bersalah atau tidak serta kemudian apakah ia dapat di i taka pe ta ggu gja a a pida a. Ba u ila a a ega a e ga aika ke aji a e egakkan huku pida a , dala a ti tidak e espo s ada a suatu ti dak pida a de ga e egakkan hukum

pidana, agen-agen negara dapat dikatakan telah melanggar hak asasi korban (untuk mendapat keadilan dan perlindungan yang sejatinya juga bersifat non-diskriminatif) dari negara. Lebih jauh lagi, agen negara juga dikatakan telah mengkhianati kepercayaan warga atau anggota masyarakat apabila Negara (rezim pemerintah yang berkuasa) mengembangkan kebijakan sistematis, meluas dan masif untuk

e u uh as a akat atau a ga ega a se di i sekada ka e a alasa pe edaa suku, as, agama/keyakinan atau demi mewujudkan agenda/kebijakan politik tertentu atau dalam rangka mewujudkan-mempertahankan suatu ideologi resmi negara. 13 Dalam hal ini kita berbicara tentang state

sponsored crimes, rogue state, bahkan failed state yang telah disinggung sebelumnya. Pemerintahan negara seperti ini akan dikatakan tidak mau atau mampu untuk melindungi warga negara dengan memberdayakan sistem peradilan pidana nasional (yang mencakup hukum pidana materiil maupun hukum pidana prosesuil).

Di samping itu harus pula dibedakan antara konflik vertikal (negara dengan masyarakat/warganegara) dengan konflik antar individu dengan individu lainnya atau satu kelompok dengan lainnya. Beranjak dari pemahaman di atas tentang pelanggaran hak asasi manusia dan kewajiban negara ketika berhadapan dengan pelanggaran hukum pidana, hanya kategori yang pertama yang menghasilkan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam hal ini kualifikasi perbuatannya adalah negara (khususnya aparat atau agen negara) lalai melakukan apa yang menurut hukum negara menjadi kewajibannya (melindungi-menjaga hak asasi warga masyarakat).

Berkaitan dengan itu, dihadapan hukum internasional, yang dituntut adalah tanggungjawab (hukum) Negara cq. pemerintah untuk menjalankan kewajiban melindungi dan menghormati hak asasi manusia. Untuk itu, pada tataran internasional dibentuk sistem dan mekanisme pelaporan kinerja penaatan Negara terhadap instrument-instrumen hak asasi manusia, badan-badan pengawas dan forum evaluasi diri internasional (dibentuk melalui perjanjian-perjanjian internasional yang memuat penegasan adanya sejumlah hak asasi manusia baik umum maupun khusus). 14 Sistem pelaporan (evaluasi diri oleh Negara

ataupun dilakukan secara eksternal, misal oleh Human Right Watch, Elsam dll.) pada akhirnya dimaksudkan sebagai upaya mendorong negara untuk mengembangkan serta terus mengupayakan kebijakan negara yang perduli pada penghormatan hak asasi manusia. Artinya juga di tingkat

13 Kasus ekstrim adalah Jerman di bawah pemerintahan Hitler (1937-1945) yang mengembangkan kebijakan the last solution untuk menghapus bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa non Aria lainnya dari muka bumi. Ilustrasi

lainnya adalah Cambodia. Pemerintahan Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot, dkk. pada era 1970-1980 memaksakan terwujudnya masyarakat egaliter (komunis) dengan membantai hampir ¾ populasi rakyatnya sendiri (the killing fields).

14 Baca Henry J. Steiner, Philip Alston & Ryan Goodman (eds.) Text & Materials: International Human Rights in Context: Law, Politics, Morals, third ed. (Oxford Univ. Press, 2007). Khususnya Part D (International Human Rights

Organization) yang mengulas the UN Human Rights System & Treaty Bodies: The ICCPR Human Rights Committee.

internasional tidak setiap pelanggaran hak asasi manusia yang dapat dipersalahkan kepada (agen-agen) ega a aka di espo s de ga tu tuta pe ta ggungjawaban pidana di bawah hukum nasional maupun huku i te asio al .

Sebab itu pula harus ditarik garis pembeda antara penegakan kewajiban internasional dari negara untuk menghormati dan menegakkan norma-norma hak asasi manusia sebagaimana muncul dalam perjanjian- perjanjian internasional atau sumber hukum internasional lainnya (international human right law) dengan persoalan penegakan hukum pidana trans/internasional (yang pada pokoknya juga melanggar atau meniadakan hak asasi orang lain). Dalam lingkup hukum pidana trans/internasional fokusnya bukan pada tanggungjawab negara untuk mengembangkan hukum nasional yang melindungi-menghormati hak asasi warga melainkan pada pengembangan ketentuan pidana yang disepakati bersama dan tanggungjawab penegakannya - melalui sistem peradilan pidana nasional - ada pada negara-negara yang bersepakat. Perbuatan-perbuatan tertentu tidak lagi dilarang hanya oleh hukum pidana nasional (peraturan perundang-undangan suatu negara), namun justru dinyatakan (atau negara didorong untuk mengkriminalisasi) sebagai tindak pidana oleh perjanjian-perjanjian (atau hukum kebiasaan) internasional. Kendati demikian, penaatan dan penegakannya - karena menyangkut penegakan ketentuan pidana - tetap mengandalkan sistem peradilan pidana nasional. Bahkan juga bila menyangkut perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai international (core) crimes dan masuk ke dalam lingkup yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, sistem peradilan pidana nasional tetap akan didahulukan (complementarity principle).

Perbedaan dalam urusan penegakan instrumen hak asasi (internasional) dengan hukum pidana internasional dapat dirangkum sebagai berikut:

Hukum Internasional (hak asasi manusia) Hukum pidana internasional (International Human Rights Law)

Muatan isi (substansi)

Norma/kaedah (mengikat/abstrak);

Prohibitions (offences/crimes)

Standard (mengikat/konkrit); Prinsip-prinsip (tidak mengikat/abstrak); Pedoman perilaku/guidelines (tidak mengikat/konkrit)

Perilaku yang menjadi Perilaku Negara (berbuat/tidak berbuat), tidak Perbuatan (berbuat/tidak berbuat) sasaran pengaturan & sertamerta bersifat jahat (criminal in nature)

perseorangan yang dikualifikasikan

penegakan hukum

sebagai tindak pidana Strategi

Monitoring, Pelaporan, Pemberdayaan (capacity Penyidikan dan Penuntutan, penaatan/penegakan

building), pengajuan pengaduan perseorangan pelibatan korban (individual), (compliance)

(individual complaints), dstnya.

kompensasi korban (kolektif)

Kerangka Institusional

Komisi HAM (HR Commission), badan-badan yang

Pengadilan Umum atau Khusus (hak

dibentuk oleh instrumen hak asasi manusia

asasi manusia); Mahkamah Pidana

(treaty bodies), mekanisme regional, special

Internasional, peradilan pidana yang

rapporteurs, komisi kebenaran ( truth

diinternasionalisasikan; pengadilan

commissions), dll.

pidana hibrida (campuran nasional- pidana hibrida (campuran nasional-

Dari gambar di atas kiranya jelas bahwa hukum pidana internasional maupun hukum pidana transnasional bagaimanapun juga dalam penegakannya terutama akan mengandalkan sistem peradilan pidana nasional (criminal justice system). Norma-norma hukum pidana (substantif maupun prosesuil) di tataran trans-nasional atau internasional pada akhirnya harus diterjemahkan (transformasikan) ke dalam ketentuan pidana dalam hukum nasional agar dapat ditegakkan dan diberdayakan untuk melindungi kepentingan umum dan/atau hak asasi manusia. Di samping itu perlu ditambahkan di sini bahwa satu persinggungan penting dari ketiga lingkaran di atas muncul dalam wujud asas-asas hukum pidana (nasional maupun internasional). Dua asas hukum pidana materiil terpenting (di luar asas-asas hukum pidana procesuil; misalnya asas presumption of innocence, unus testis nullus testis dll.) adalah asas legalitas dan non-retroactivity yang diturunkan dari asas pertama. Keduanya akan dibahas di bawah ini.

Asas legalitas dalam Hukum Pidana (nasional-internasional)

Asas legalitas tercantum dalam ketentuan Pasal 1(1) KUPidana Indonesia (Pasal 1(1) RKUHP 2013) menyatakan: Tiada suatu pe uata dapat di pida a, ke uali atas kekuata aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli). Asas ini terjalin erat dengan asas non-retroaktif (peraturan perundang-undangan, khususnya ketentuan pidana tidak boleh diberlakukan surut). Apa yang hendak dicegah dengan asas ini adalah kesewenang-wenangan penguasa tatkala menghukum seseorang atas suatu perbuatan yang dilakukannya. Harus ada kepastian hukum (dalam wujud lex scripta (tertulis), lex certa (precise: tidak multitafsir) dan lex praevia (foreseable)) bagi semua orang perihal perbuatan apa yang diperbolehkan dan dilarang (dan diancam pidana). Dapat dikatakan merupakan pelanggaran keadilan dan kepastian hukum bila seseorang dihukum atas dasar ketentuan pidana yang pada saat perbuatan itu dilakukan belum dinyatakan sebagai tindakan tercela yang (secara tegas) diancam hukuman (sanksi pidana).

Asas legalitas, termasuk larangan menjatuhkan sanksi pidana yang lebih berat daripada yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan, dapat kita temukan tercantum pula di dalam ICCPR, Konvensi Hak Anak

dan banyak konvensi hak asasi manusia regional lainnya. 15 Disebutkan tegas di dalam ICCPR bahwa asas ini tidak dapat disimpangi (non-derogable). Sedangkan Konvensi Hak Anak (Convention on the right of

the child) tidak mengizinkan peluang untuk menyimpanginya. Berkaitan dengan statuta Roma, ketentuan Pasal 22 menegaskan bahwa penerapan ketentuan International Criminal Court (ICC) tidak berlaku surut dan ketentuan pidana dalam Statuta harus ditafsirkan ketat (strictly construed), dan tidak

boleh diperluas dengan tafsir analogis. 16 Selanjutnya ditegaskan jika terdapat keragu-raguan terhadap ketentuan ICC, rumusan tindak pidana harus ditafsirkan demi kepentingan tersangka atau terdakwa.

15 International Covenant on Civil and Political Rights, Art. 15(1); Convention on the right of the child, Art. 40(2)(a); European Convention on Human Rights, Art. 7(1); American Convention on Human Rights, Art. 9; African Charter

o Hu a a d People s ‘ights, A t. 16 .

Itu pula sebabnya dalam hukum pidana (materiil) tidak diperkenankan digunakan penafsiran analogis (argumentum per analogiam). Larangan ini yang tercantum dalam KUPidana (Pasal 1) dapat kita temukan pula di dalam ICCPR. Risiko yang hendak dicegah adalah perluasan jangkauan ketentuan pidana (rumusan delik) secara

Menjadi persoalan ketika di Indonesia kebebasan hakim untuk menemukan hukum (dan peduli pada rasa keadilan) diterjemahkan sedemikian rupa sehingga de facto dapat menghukum seseorang karena bersalah melanggar hukum kebiasaan (tidak tertulis) yang berlaku dalam masyarakat. Tidak tertulis di sini harus dimaknai sebagai tidak dirumuskan dalam ketentuan pidana yang ditemukan dalam peraturan

perundang-undangan. 17 Maka suatu perbuatan tertentu dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana bertitik tolak dari nilai-nilai (agama-adat-kepercayaan-hukum kebiasaan) yang berlaku dalam (segmen)

masyarakat tertentu. Peluang ini bahkan dilegitimasikan oleh RKUHP (hukum pidana tertulis tidak mengurangi keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat; Pasal 3). 18 Sekalipun ditambahkan

bahwa hukum yang hidup (hukum adat atau hukum kebiasaan: tidak tertulis) dianggap berlaku hanya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa (Pasal 1(4) RKUHP). Tampaknya pembuat undang-undang di sini hendak mengakomodasikan kenyataan adanya pluralisme hukum (pidana) dalam kebhinekaan (suku-ras & agama/keyakinan) masyarakat Indonesia, namun sekaligus, mempertahankan (karena tidak ada pilihan dari sudut pandang kewajiban negara untuk mematuhi dan menghormati hak asasi) asas legalitas dalam arti memunculkan kepastian (lex certa dan lex scripta). Dari sudut pandang ini asas legalitas dapat dipandang berlaku dan mengikat negara Indonesia (dan juga masyarakat internasional) sebagai asas- asas hukum umum (berlaku dan mendasari hukum pidana nasional) yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab (negara-negara modern).

Hukum Pidana Trans-Nasional dalam sistem hukum pidana nasional Indonesia

Persoalan yang akan akan diulas di sini dan ditelaah dalam kaitannya dengan sistem hukum nasional Indonesia berkenaan dengan penandatanganan dan peratifikasian perjanjian-perjanjian internasional yang memuat kewajiban negara peserta untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan tertentu. Kehendak bersama tersebut muncul dari adanya kepentingan bersama negara-negara di dunia untuk memberantas perbuatan tertentu yang dianggap menggangu kepentingan bersama. Sebagai ilustrasi

semena-mena oleh hakim pidana dan dihukumnya pelaku padahal melakukan perbuatan yang pada waktu dilakukan belum dinyatakan terlarang oleh hukum pidana. Sikap atau pandangan ini pula yang kiranya melandasi putusan Mahkamah Konstitusional (003/PUU-IV/2006); 25 juli 2006) yang menolak ajaran melawan hukum materiil dalam kaitan dengan UU 31/1999 jo. UU 20/2001 (tentang pemberantasan tindak pidana korupsi). Dalam pandangan MK, suatu perbuatan hanya dapat ditetapkan sebagai tindak pidana (korupsi) hanya berdasarkan aturan tertulis yang sudah ada sebelumnya.

17 Contoh dari itu adalah zinah (atau kumpul kebo) dalam konteks hukum kebiasaan/agama ataupun hukum adat harus dimaknai berbeda dari tindak pidana zina (kesusilaan) dalam KUHPidana/WvS yang ditujukan melindungi

ikatan perkawinan monogamy (BW jo UU 1/1974). Namun, sebaliknya juga bisa terjadi. Satu perbuatan yang di dalam KUHPidana atau hukum pidana formal dikualifikasikan sebagai tindak pidana (penculikan), dalam sejumlah hukum masyarakat adat tertentu justru diperkenankan (diam- dia se agai jala kelua da i ke aji a membayar aha . Me ulik a ak gadis u tuk ke udia dipe su ti g da setelah a dida aika e u ut aturan adat dengan mengikuti upacara adat tertentu) dalam konteks pandangan hidup masyarakat yang

e sa gkuta uka lah ti dak pida a atau pe uata te ela ang harus diancam dengan sanksi pidana bila terjadi pelanggaran terhadapnya. Satu persoalan berbeda berkenaan dengan honor killing, pembunuhan untuk membela kehormatan diri. Dalam khasanah hukum adat Indonesia dikaitkan dengan budaya siri (Bugis-Makassar) atau carok (Madura).

18 Rancangan KUHPidana versi tahun 2014.

dapat disebut, misalnya, Convention against Transnational Organized Crimes dan Convention against Corruption yang menargetkan perbuatan korupsi untuk diberantas karena mengganggu tujuan bersama: membangun kerjasama ekonomi yang lebih erat antar negara. Singkatnya, dalam hal hukum pidana trans-national, ihwalnya adalah munculnya kesadaran masyarakat internasional (atau anggota majelis umum PBB) akan adanya kejahatan yang seringkali bersifat lintas batas dan penanganannya meniscayakan kerjasama antar Negara. Kerjasama tersebut tidak cukup hanya pada tataran penegak hukum, namun justru harus mencakup upaya menyelaraskan peraturan perundang-undangan di bidang pidana materiil maupun hukum acara pidana. Dengan kata lain, pemberantasan perbuatan yang dikategorikan sebagai trans-national crimes (yang harus dibedakan dari international crimes) dan penegakannya (melalui penerapan hukum pidana nasional) digantungkan pada kerjasama antar negara. Perlu adanya pengaturan kerjasama ini kemudian mendorong perumusan perjanjian internasional dan bentuk-bentuk kerjasama lain (seperti ekstradisi dan mutual legal assistance on criminal matters).

Secara umum dapat dicermati langkah pertama adalah menegaskan kesepakatan untuk mengembangkan kebijakan di tataran internasional dalam rangka mencegah terjadinya tindak pidana yang bersifat lintas batas, termasuk ke dalamnya kesepakatan untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan melalui hukum pidana nasional. Beranjak dari sini dapat dipahami pula rasionalitas prinsip aut dedere aut judicare: yakni, pilihan yang diberikan kepada negara nasional untuk menghukum tersangka pelaku kejahatan (trans-nasional) atau mengadilinya sendiri dalam rangka menghindari impunitas. 19 Langkah

kedua adalah membuat kerangka kerjasama dalam wujud perjanjian internasional yang memuat kesepakatan tentang pencegahan-pemberantasan maupun penegakan hukum pidana terhadap kejahatan tertentu yang dikualifikasikan sebagai transnational (organized) crime. Beranjak dari itu, negara-negara dapat mengembangkan kerangka kerjasama dalam rangka penegakan hukum pidana masing-masing negara (mutual legal assistance). Singkat kata melalui kesepakatan internasional negara- negara peserta tidak saja bersepakat menyelarasakan kebijakan hukum pidana, namun juga cara bagaimana eksekutif-birokrasi (termasuk yustisi) harus dikelola dan dijalankan.

issio : The O ligatio to Extradite or Prosecute (Aut Dedere Aut Judicare), (London: Amnesty International Publications, 2009).

19 U tuk ulasa u u da i p i sip i i a a: A est I te atio al, I te atio al La Co

Dise utka di dala a ah a: Under the related aut dedere aut judicare (extradite or prosecute) rule, a state may not provide a safe haven for a person suspected of certain categories of crimes. Instead, it is required either to exercise jurisdiction (which would necessarily include universal jurisdiction in certain cases) over a person suspected

of certain categories of crimes or to extradite the person to a state able and willing to do so or to surrender the person to an international criminal court with jurisdiction over the suspect and the crime.

Di samping itu ditambahkan bahwa: The aut dedere aut judicare obligation is contained in a number of conventions of different nature covering both crimes under international as well as ordinary crimes of international concern and international private law . Bdgkan juga dengan studi yang dilakukan M. Cheriff Bassiouni & Edward Martin Wise,

Aut Dedere Aut Judicare: The Duty to Extradite Or Prosecute in International Law (London: Martinus Njihoff

Pu lishe s, 99 . Be ke aa de ga pe soala i ple e tasi a a pula: Mi hael J. Kell , CHEATING JUSTICE BY CHEATING DEATH: THE DOCTRINAL COLLISION FOR PROSECUTING FOREIGN TERRORISTS – PASSAGE OF AUT DEDERE AUT JUDICARE INTO CUSTOMARY LAW & REFUSAL TO EXTRADITE BASED ON THE DEATH PENALTY,

(Arizona Journal of International and Comparative Law Vol 20, No. 3, 200: 491-531. Pe iksa pula Miŝa )go e - ‘ožej; Joa e Foakes, K ia gsak Kitti haisa ee & Eliza eth Wil hu st, I te atio al La “ui

a : I te atio al Criminals: Extradition or Prosecution?, summary of an event held at Chatham House 11 july 2013. Di dalamnya dilakukan perujukan pada putusan ICJ dalam kasus antara Belgia-Senegal berkenaan dengan kewajiban untuk menuntut atau mengekstradisi Hisséne Hab e.

Dengan cara ini pula , u ul paksaa halus pada ega a-negara non peserta (bukan penandatangan atau penandatangan namun tidak/belum meratifikasi) untuk menyelaraskan tidak saja kebijakan nasional namun khususnya juga hukum pidana asio al e eka pada sta da e sa a a g dikembangkan melalui perjanjian internasional tersebut. Dengan kata lain norma-norma yang terkandung di dalamnya dapat dikatakan merupakan cerminan opinio iuris negara-negara anggota PBB dan konvensi menjelma sebagai kodifikasi-kristalisasi bahkan progressive development dari ius constituendum dari hukum (pidana) transnasional.

Bagaimana proses demikian muncul akan dijelaskan dengan menguraikan kemunculan dan kesepakatan pokok yang termuat dalam dua konvensi internasional yang diratifikasi Indonesia, yaitu The UN Convention against Transnational Organized Crime (UN-TOC) dan The UN Convention against Corruption (UN-CAC). Keduanya akan digunakan sebagai ilustrasi untuk menunjukkan kompleksitas keterjalinan hukum pidana trans-nasional dengan hukum pidana nasional.

UN Convention against Transnational Organized Crime

Konvensi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan GA Resolusi 55/25 (15 november 2000). Perjanjian ini dibuka untuk ditandatangani peserta konferensi di Palermo, Italy, pada 12-15 desember

2000. 20 Berbarengan dengan Konvensi ini dibuat 3 protokol yang mengatur bentuk-bentuk khusus kejahatan terorganisasi, yaitu the protocol to prevent, suppres and punish traficking in persons,

especially women and children; 22 the protocol against the smuggling of migrants by land, sea and air; dan the protocol against the illicit manufacturing of and traficking in firearms, their parts and

components and ammunitions. 23 Ketiga protokol di atas hanya terbuka untuk ditandatangani negara yang telah meratifikasi Konvensi induk (UN Convention against Transnational Organized Crime/UN TOC).