UN Convention against Corruption (UN-CAC)

UN Convention against Corruption (UN-CAC)

Persoalan korupsi di Indonesia dianggap sangat serius. Kesungguhan ini tercermin setidaknya dari rangkaian perundang-undangan yang mengatur ihtiar pemberantasan tindak pidana korupsi. Dua yang utama bahkan lahir jauh sebelum UN-CAC hadir. Indonesia telah menerbitkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi pada awal tahun 1970-an (UU 3/1971) yang diperbaharui dengan UU 28/1999 (penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN) dan juga oleh UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 (pemberantasan tindak pidana korupsi). Berikutnya, sebagai landasan terbentuknya komisi anti korupsi pertama di Indonesia, terbit UU 30/2002 (pembentukan KPK). Berdasarkan undang-undang ini juga lalu Indonesia membentuk pengadilan khusus korupsi. Namun, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya memerintahkan agar pembentukan pengadilan khusus

korupsi harus didasarkan pada undang-undang tersendiri. 25 Sebab itu kemudian lahir UU 46/2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Cerminan dari keseriusan penanggulangan muncul pula

dalam wujud adanya tiga instansi pemerintah yang kadangkala secara tumpangtindih berwenang melakukan penyelidikan-penyidikan dan penuntutan terhadap kasus-kasus korupsi: kepolisian,

kejaksaan dan komisi pemberantasan korupsi. 26

25 Pada 19 Desember 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan atas judicial review Undang- Undang Nomor 30/2003 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), yaitu putusan MK no.

012-016-019/PUU-IV/2006. Dalam mengabulkan permohonan judicial review terhadap Pasal 53 UU KPK, MK mengajukan 2 (dua) pertanyaan yang menjadi sasaran argumentasinya, yaitu: 1) apakah Pasal 53 UU KPK yang melahirkan dua sistem peradilan yang menangani tindak pidana korupsi bertentangan dengan UUD 1945? dan 2) apakah pembentukan pengadilan demikian (in casu Pengadilan Tipikor) secara bersama-sama dalam satu undang- undang yang mengatur tentang pembentukan sebuah lembaga yang bukan lembaga peradilan (in casu Komisi Pemberantasan Korupsi), sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UU KPK, bertentangan dengan UUD 1945? Untuk menjawab persoalan pertama, MK dalam putusannya meyebutkan bahwa adanya dua pengadilan berbeda (disparitas), antara pengadilan umum di satu pihak dengan Pengadilan Tipikor di pihak lain, yang sama-sama mengadili perkara tindak pidana korupsi, bertentangan dengan UUD 1945. Konsekuensi dari putusan ini adalah, untuk dikemudian hari, hanya ada satu pengadilan yang menangani perkara tindak pidana korupsi, yaitu Pengadilan Tipikor.

26 Kasus cicak (KPK) versus buaya (Kepolisian RI), terkait penanganan kasus Simulator ujian SIM. Sengketa kewenangan ini dimulai sejak penetapan mantan Kepala Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang, Irjen Pol Djoko

Susilo sebagai tersangka pada 27 Juli 2012 sampai penggeledahan di kantor Korlantas Mabes Polri pada tanggal 30 Juli 2012 sampai 31 Juli 2012 dini hari. Dilanjutkan dengan penetapan tiga tersangka yang sama oleh KPK dan Kepolisian, yaitu Wakorlantas Brigjen Pol Didik Purnomo selaku pejabat pembuat komitmen dan dua dari pihak swasta, yaitu Budi Susanto dan Sukotjo S Bambang. Dua lembaga penegak hukum tersebut nampak saling bersitegang untuk mendapatkan penanganan kasus korupsi yang diduga merugikan negara mencapai Rp 100 miliar. Perang dingin dimulai ketika Kabareskrim, Komjen Pol Sutarman mengatakan bahwa Kepolisian lebih dahulu yang menangani penyelidikan kasus Simulator dan menyatakan KPK telah melanggar MoU yang sebelumnya telah disepakati. Dinyatakan pula bahwa KPK bisa dikenakan Pasal 21 UU Tipikor karena menghalang- halangi penyelidikan. Polri mengaku telah memulai penyidikan kasus dugaan korupsi simulator Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri sejak 1 Agustus 2012. Akhirnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memutuskan bahwa penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulator di Korlantas Mabes Polri dengan tersangka Irjen Pol

Keseriusan pemerintah mencegah dan memberantas korupsi muncul pula dalam ihtiar menandatangani dan meratifikasi UN-TOC yang memuat sejumlah kewajiban negara berkenaan dengan kriminalisasi perbuatan gratifikasi, pencucian uang, dan lain-lain. Ikhtiar serupa melandasi keputusan Indonesia untuk menandatangani (18 dec. 2003), meratifikasi (19 sept. 2006) dan selanjutnya mengesahkan UN

Convention against Corruption melalui UU 7/2006. 27 Konvensi ini muncul atas ihtiar Majelis Umum PBB. Berdasarkan resolusi 55/61 (4 december 2000) dinyatakan adanya kebutuhan akan instrumen

hukum internasional yang terpisah dari UN Convention against Transnational Organized Crime (resolution 55/25, annex I). Naskah konvensi dirancang dari 2002 sampai dengan 2003 dan diterima sebagai final text melalui Resolusi 58/4 (31 october 2003) dan mulai berlaku (entered into force: 14

december 2005). 28 UN-CAC memandang korupsi se agai threats to the stability and security of societies, undermining the

institutions and values of democracy, ethical values and justice and jeopardizing sustainable development and the rule of law

da sekaligus diakui ah a corruption is no longer a local matter but

a transnational phenomenon . Atas dasa pe ti

a ga i i, ditetapka seju lah tujua , aitu: (a) To promote and strengthen measures to prevent and combat corruption more efficiently and

effectively; (b) To promote, facilitate and support international cooperation and technical assistance in the prevention of and fight against corruption, including in asset recovery; (c) To promote integrity, accountability and proper management of public affairs and public property.

Di dalam UN-CAC tercantum sejumlah kewajiban negara untuk mengkriminalisasi perbuatan tertentu (segala bentuk korupsi). Kewajiban ini kemudian harus dioperasionalkan (ditransformasikan dari wujud kewajiban negara menjadi ketentuan pidana) ke dalam sistem hukum pidana Indonesia.