Penyelarasan Hukum Pidana Nasional (khususnya tentang korupsi) terhadap UN TOC dan UN CAC
Penyelarasan Hukum Pidana Nasional (khususnya tentang korupsi) terhadap UN TOC dan UN CAC
Juga harus diperhatikan bahwa persoalan korupsi sebenarnya sudah disinggung dalam UN-TOC. Maka penting untuk mencermati apakah ketentuan pidana di aras nasional, khususnya yang mengatur persoalan korupsi dalam segala bentuknya, sudah selaras baik dengan UN TOC maupun UN-CAC. Untuk itu kita harus bandingkan UN-TOC, UN-CAC, UU-Tipikor dan terakhir RKUHP (versi 2012).
Djoko Susilo diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Baca lebih lanjut: Suara Pembaharuan online, Djoko Susilo Klaim Minta Perseteruan Cicak vs Buaya Dihentikan (Selasa, 27 Agustus 2013). Bdgkan pula dengan Ramadhan M uhai i , K o o ologi Kasus “us o: Ci ak s. Bua a Hi gga Ko upsi Pilgu Ja a , detikNe s (24/04/2013).
27 Namun, UNCAC tidak diterima secara utuh oleh Indonesia. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU 7/ 2006 menyatakan Me gesahka United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 66 ayat (2) tentang Penyelesaian “e gketa .
28 Lihat http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC ; khususnya background of the UN Convention against corruption (accessed 29/10/2013)
UN Transnational UN Convention against UU Tipikor (31/1999 RKUHP Organized Crime (TOC)
Corruption (CAC)
diubah dengan UU
(ius constituendum)
Bab XXXII Tindak Pidana Korupsi
Art.8 (1): Criminalization Art. 15: bribery of Pasal 2 UU 31/1999) Pasal 680 (pegawai negeri)
of Corruption
national public officials
Unsur terpenting dalam tindak
pidana korupsi: Pasal 681 (hakim)
Each state party shall
merugikan
keuangan
adopt such legislative and
other measures as may (a): the promise, offering ekonomian negara: dalam be necessary to establish or giving, to a public bentuk penyuapan dan
as criminal
offences, official,
committed indirectly, of an undue gratifikasi.
intentionally:
advantage, for the official
himself or herself or Penyuapan Pejabat Publik another person or entity Nasional
in order that the official
The promise, offering or act or refrain from acting Pasal 5(1) huruf a & b giving to a public official, in the exercise of his or (pegawai
negeri
atau
directlly or indirectly, of her official duties.
penyelenggara negara)
an undue advantage, for the official himself or
Pasal 6(1) huruf a & b
herself or another person
(hakim)
or entity, in order that the official act or refrain from
acting in the exercise of his or her official duties;
The solicitation
or Art. 15 (b) the solicitation Pemberian
Hadiah- Pasal 687: pemberian
hadiah/janji kepada official,
acceptance by a public or acceptance by a public Gratifikasi
pegawai negeri. indirectly, of an undue indirectly, of an undue Pasal 12; + 12A dan 12B) advantage, for the official advantage, for the official (pemberian
directly or official,
himself or herself or himself or herself or gratifikasi
kepada
another person or entity, another person or entity pegawai
negeri
atau
in order that the official in order that the official penyelenggara negara) act or refrain from acting act or refrain from acting
in the exercise of his or in the exercise of his or her official duties;
her official duties.
Art. 16. Bribery of foreign
menjanjikan hadiah atau
gratifikasi kepada pejabat
international
public asing atau public asing atau
organisasi internasional.
Art. 17. Embezzlement,
misappropriation or other diversion of property by a public official
Influence. Art.
19. Abuse
of Pasal
pemberian Penyalahgunaan
functions
hadiah atau janji kepada wewenang yang pegawai negeri dengan merugikan
keuangan mengingat kekuasaan atau Negara (683-684): wewenang yang melekat pada jabatan.
Art. 20. Illicit enrichment
Pasal 683: memperkaya diri sendiri
Pasal 684: menguntungkan
diri sendiri atau orang lain.
Art. 21. Bribery in the
private sector Art. 22. Embezzlement of
property in the private sector
Art 6(1) criminalization of Art. 23. Laundering of
laundering of proceeds of proceeds of crime
crime) Ea h pa t shall adopt, i
accordance with fundamental principles of its domestic law, such legislative
and other measures as may be necessary to establish a criminal offences, when committed intentionally:
the conversion or transfer of property, knowing that such property is
the the
in the commission
of the predicate
offence to evade
the legal consequence of his or her action ;
Dengan menyandingkan 2 instrumen hukum internasional (UN TOC dan UN CAC) terhadap dua instrumen hukum nasional (UU Tipikor dan RKUHP 2012) dapat kita cermati seberapa jauh Indonesia sebagai negara pihak telah menyelaraskan atau berniat menyelaraskan perundang-undangan nasional (di bidang hukum pidana) berkaitan dengan komitmen mengkriminalisasi (dan selanjutnya mencegah dan memberantas melalui instrumen hukum pidana) perbuatan-perbuatan tertentu. Daftar perbuatan yang seharusnya dikriminalisasi (melalui/ di dalam hukum pidana nasional) adalah sebagai berikut: bribery, soliticing, embezzlement-misappropriation-diversion of property by public officials, trading in influence, illicit enrichment, termasuk bribery, embezzlement of property in the private sector dan laundering of proceeds of crime.
Beberapa dari perbuatan tersebut tidak kita temukan padanan ketentuan pidananya dalam UU Tipikor maupun RKUHPidana. Namun demikian, dapat dipastikan bahwa hukum pidana Indonesia mengenal bentuk tindak pidana pencucian uang. UU 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mengancamkan dengan tindak pidana, perbuatan mencuci uang. Pencucian uang didefinisikan sebagai (Pasal 3) perbuatan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukar dengan mata uang atau surat berharga atas perbuatan lain atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) 29 dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. Di samping itu, beranjak dari UU 5/1999 (larangan praktek monopoli dan persaingan usaha
29 Ketentuan Pasal 2 UU Tindak Pidana Pencucian Uang mengenemurasikan tindak pidana apa yang disasar, yaitu: a. korupsi;b. penyuapan; c. narkotika;d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja;f. penyelundupan migran;g.
di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal;i. di bidang perasuransian;j. kepabeanan; k. cukai;l. perdagangan orang;m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme;o. penculikan; p. pencurian;q. penggelapan;r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian;u. prostitusi;v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Ditambahkan pula dalam ayat (2) harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
curang), Indonesia juga mengenal ketentuan-ketentuan yang mengancam dengan pidana perbuatan- perbuatan yang sekalipun tidak identik dapat dikategorikan sebagai bribery atau embezzlement in the private sector.
Pertanyaan besarnya di sini apakah itu berarti bahwa representasi masyarakat internasional yang terwujud dalam organisasi internasional: UN dan produk pengambilan keputusan di organ PBB (UN-GA Resolution) yang kemudian terwujud lebih konkrit di dalam UN-TOC maupun UN-CAC sebenarnya tidak sedang mendikte negara berkembang (cq Indonesia) atau membatasi kewenangan pembuat undang- undang (hukum pidana nasional) dalam memutus dan menentukan ketentuan (norma) pidana apa yang
harus diberlakukan untuk mengatur dan mendisplinkan masyarakat Indonesia? 30 Karena pada prinsipnya, dengan menerima UN-CAC (dan UN-TOC, serta serangkaian perjanjian internasional lain yang
berkaitan dengan tindak pidana (-transnasional), lembaga legislatif nasional (DPR dan/atau Presiden) tidak lagi sepenuhnya berwenang secara otomon merumuskan moralitas masyarakat (perbuatan apa yang dinyatakan tercela dan karena itu patut diancam dengan sanksi pidana). 31 Peraturan perundang-
undangan yang berlaku (atau akan dinyatakan berlaku) harus selaras dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan UN-CAC.
Pada saat sama harus ditegaskan bahwa kesepakatan internasional (UN-CAC dan semua kesepakatan lainnya yang terkait dengannya) tidak dapat langsung berlaku (non-self executing). Sebagaimana nyata digambarkan di atas sejumlah ketentuan ditujukan pada negara untuk mengkriminalisasi perbuatan tertentu dan dengan cara itu mengharmonisasi ketentuan pidana (termasuk kemudian yurisprudensi).
Di samping itu untuk menyelaraskan UN-CAC dengan kebijakan dan perkembangan pengaturan hukum pidana nasional perihal korupsi, negara-negara anggota UN-CAC pada november 2009 32 menyepakati
Terms of Reference dala a gka e
e tuk review mechanism that is transparent, efficient, non- intrusive, inclusive and impartial . Selanjutnya dalam para. 28 Terms of Reference di atas disepakati
bahwa negara-negara peserta dan yang sedang diperiksa melalui review mechanism yang dibentuk:
30 Bdgkan Rosa Ehrenreich Brooks, The New Imperialism: Violence, Norms, a d the ‘ule of La , 101 Mich. L. Rev.
2275-2340 (2003). Ia, dengan mencermati transplantasi norma melalui hukum trans-internasional mengingatkan: Meanwhile, an important area of study slipped through the cracks - the study of how societies do or do not absorb the norms associated with international law, in a context where actors from different states interact in complex transitional and crisis situations (p. 2288). Ia e a ahka ah a: The urgency of this project is only increased by the same trends that have led some scholars to assert that international law is beginning to look more like "real" law: the decline of the idea of absolute state sovereignty, the increasing importance of international humanrights law, the growth in transnational and regional tribunals and arbitration regimes, and the steady movement in many parts of the world towards the incorporation of international law into domestic law.
31 Sekaligus dengan itu, membongkar teori cermin (yang juga diusung oleh Carl von Savigny: hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat dan cara pandang yang menempatkan Pancasila sebagai
pandangan hidup khas bangsa Indonesia yang harus menjadi sumber hukum dan norma kritik terhadap keseluruhan bangunan hukum nasional). Periksa juga Brian Z. Tamanaha, op.cit.
32 Mechanism for the Review of Implementation of the United Nations Convention against Corruption-Basic Documents; UN New York 2011. Di dalamnya termuat Resolution 3/1 of the Conference of the State Parties to the
United Nations Convention against Corruption dan Terms of reference of the Mechanism for the Review of Implementation of the United Nations Convention against Corruption.
(...) shall endeavour to prepare its responses to the comprehensive self-assessment checklist through broad consultations at the national level with all relevant stakeholders, including the private sector, individuals and groups outside the public sector.
Selanjutnya dalam para(30) disebutkan bahwa:
(...) are encouraged to facilitate engagement with all relevant national stakeholders in the course of a country visit.
Kesemua itu berarti bahwa negara peserta UN-CAC harus bersedia melakukan evaluasi diri dengan melibatkan masyarakat sipil serta dikritisi berdasarkan kemajuan atau kemunduran yang dilaporkan. Untuk itu bahkan PBB (UNDP) menerbitkan: Guidance Note: UN-CAC Self-Assesments: Going Beyond the Minimum, A practical guide to undertaking a participatory self-assesment of implementation of the
United Nations Convention against Corruption. 33 Di dalamnya di bagian Introduction disebutkan (para.1):
UNCAC “elf-Assesment seek to achieve a comparative analysis of the extent to which a ou try s atio al a ti-corruption systems, notably its laws, regulations, policies, institutions and
programmes are complying with the requirements of UNCAC, both de jure and de facto. This Guidance Note provides a methodology for UNCAC Self Assesment by drawing upon the UNCAC Self-Assesment Checklist as adopted by the CoSP and by encouraging broad national stakeholder consultations, to promote national anti-corruption reform and to prepare the country for review u der the UNCAC ‘e ie Me ha is .
Ulasan dan kritikan yang pasti muncul mengikuti self-assessment negara terhadap kinerjanya dalam penegakan kebijakan anti korupsi sebab itu tidak lagi dapat ditafsirkan semata-mata sebagai campurtangan dalam urusan internal negara (urusan dalam negeri) dan ancaman terhadap kewibawaan pemerintah.
Di sini selanjutnya harus ditambahkan bahwa penegakan ketentuan-ketentuan pidana yang disepakati sebagai tindak pidana transnasional (korupsi atau kejahatan lintas batas yang terorganisir) digantungkan pada ada dan bekerjanya mekanisme kerjasasama antar Negara dalam penegakan hukum pidana nasional.