Kepemilikan Tanah dalam Penanaman Tebu

C. Kepemilikan Tanah dalam Penanaman Tebu

Kepemilikan tanah dalam penanaman tebu di pabrik gula Colomadu tidak lepas dari berbagai kebijakan dan aturan yang dikeluarkan oleh pemilik atau pengelola pabrik gula Colomadu. Kepemilikan tanah ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu pada masa kepemilikan Mangkunegaran dan Pemerintah Republik Indonesia.

Pada saat Praja Mangkunegaran memiliki kekuasaan atas rakyat di wilayah Colomadu atau Desa Malangjiwan dalam memperoleh aset tanah dan tenaga kerja untuk keperluan industri gula tidak mengalami kesulitan. Hal ini dapat terjadi karena pada masa ini pengusahaan tanah dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tanah di bawah kekuasaan penyewa, dan tanah raja yang hak pajaknya berada di tangan para pangeran dan bangsawan. Pada tipe model tanah pertama ada tiga model pemanfaatanya, yaitu: (!) glebagan, (2) bengkok , (3) glidig. Pada tanah tipe kedua terdapat dua jenis model pengelolaannya, yaitu: sistem pajeg dan maron. Dalam hal ini pabrik gula memakai sistem glebagan dalam penanaman tebu. Untuk memperoleh tanah dalam penggarapan tanaman tebu

pabrik gula dilakukan oleh bekel. 58

57 Mubyarto, 1983, Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Jakarta: SinarHarapan, hal. 79.

58 Wasino, 2008. Op. Cit., hal. 154.

Peranan bekel dalam penanaman tebu di Colomadu sangat penting karena bekel merupakan orang yang mengelola tanah agar mendapatkan keuntungan bagi kerajaan. Tanggung jawab bekel juga membayar pajak bagi negara karena itu dalam melaksanakan tugasnya bekel dibantu oleh para petani dalam menggarap tanah yang disewanya. Pencarian petani para bekel bersaing dengan bekel lain dalam memberi kemudahan dan kemakmuran kepada para petani. Hal ini dilakukan para bekel karena para petani dapat

pindah kerja bila bekel yang bersangkutan tidak memberikan keuntungan baginya. 59 Penggarap tanah para bekel disebut juga kuli, atau kepala keluarga laki-laki yang telah

berkeluarga. Penggarapan tanah kuli terbagi menjadi beberapa diantaranya, kuli kenceng, kuli kendo . Di dareah Colomadu peranan kuli kenceng lebih memdominasi dari pada kuli kendo. kuli kenceng adalah petani penggarap dengan penguasaan tanah minimal 0,5 ha sedangkan kuli kendo yaitu petani bukan penggarap, tetapi memiliki pekarangan dan tegalan. Antara kuli kenceng dan kuli kendo terdapat kesamaan diantara mereka seperti mereka tidak memiliki hak atas tanah mereka tetapi hanya sekedar menguasai saja. Sebagai konsekuensinya, mereka tidak dapat menjual-belikan tanah tetapi dapat

mewariskan kepada keturunannya. 60 Keberadaan tanah di wilayah perkebunan tebu Mangkunegaran dipengaruhi oleh

kekuatan-kekuatan di luar perkebunan tebu. Salah satu pengaruh yang paling dominana adalah kebijakan pertanahan dari pemerintahan Mangkunegaran dan pemerintahan Kolonial Belanda. Hal ini dapat di lihat dari terbentuknya tanah komunal desa, tanah ini terbentuk karena adanya reorganisasi tanah 1912-1926. Akibat reorganisasi tanah, hak

59 Ibid, hal. 148.

60 Ibid, hal. 151.

milik tanah yang semula berada di tangan raja dialihkan kepada desa menjadi hak komunal desa. Status petani berubah tidak lagi sekedar penggarap, tetapi mempuyai hak

pakai atas tanah yang diperolehnya dari desa. 61 Tanah-tanah yang digunakan untuk perkebunan berkurang karena diperuntukan

untuk gaji para perangkat desa. Sementara itu, penggunaan tanah oleh pabrik gula Mangkunegaran di luar tanah milik perkebunan bisa dilakukan dengan cara menyewa tanah kepada desa atau penduduk secara langsung. Setelah adanya perubahan sosial– politik pasckemerdekaan Indonesia pabrik gula Colomadu lepas kepemilikan dari tangan keluarga Mangkunegaran ke pemerintahan Indonesia. Pada tahun 1946 Pemerintah Indonesia mengambil alih kepemilikan pabrik gula Colomadu dengan alasan Pemerintahan Praja Mangkunegaran telah berakhir bersamaan dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian pengelolaan di bawah pemerintah

Indonesia, melalui PPRI. 62 Iklim kemerdekaan membawa dampak pada sikap rakyat terhadap hak kemilikan

tanah dan penguasaan tanah. Tanah di wilayah Mangkunegaran yang sejak tahun 1918 diserahkan kepada desa menjadi hak komunal desa dan diberikan penguasaannya kepada penduduk desa dari kalangan kuli kenceng. Sejak itu penduduk di wilayah ini merasa memiliki dan menguasai tanah garapan. Hal ini berdampak pada tanah-tanah yang semula di sewa oleh perusahaan perkebunana atau pabrik gula mulai diabaikan statusnya oleh

61 Ibid, hal. 157.

62 Ibid, hal. 4-6.

rakyat. Disamping itu petani mulai berani menetepkan harga sewa atas tanahnya kepada pabrik gula. 63

Untuk mempermudah hubungan petani dengan pabrik gula maka pemerintah mengeluarkan Instruksi Kemetrian Dalam Negeri Jogyakarta kepada semua Residen dan Gubernur tentang penetepan minimum uang sewa tanah buat perusahaan pertanian

tertanggal 16 Januari 1950. 64 Instruksi ini diatur persewaan antara pabrik dengan rakyat bersifat sukrela dan hanya berlaku dalam satu tahun tanam. Luas lahan bagi setiap desa

yang boleh di sewa tidak boleh melebihi dari 1/3 luas lahan pertanian di desa itu. Untuk memperoleh lahan tanah, pihak pabrik harus berhubungan dengan perangkat desa setempat terlebih dahulu, karena mereka yang berkewajiban dalam mempertemukan

antara pihak pabrik dan organisasi petani dalam hal penentuan sewa tanah. 65 Kondisi kepemilikan tanah di Colomadu tetap mengikuti setiap peraturan yang

dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia sampai sekarang. Tanah – tanah di Colomadu tidak beda dengan awal Indonesia merdeka tetapi sekarang para petani lebih bisa memilih

dalam menanam tananaman yang diusahakan. 66