Sistem Sewa Tanah

D. Sistem Sewa Tanah

Sistem sewa di pabrik Colomadu mengikuti periodesasi setiap kebijakan pemerintah yang memerintah. Walaupun dalam perjalanannya setiap sistem yang di jalankan tidak berjalan dengan lama, hal ini dapat terjadi karena adanya berbagai rintangan. Beberapa sistem itu dapat dijelaskan, seperti di bawah ini yaitu sistem tebu

63 Ibid, hal. 10.

64 Wasino, 2004. Op. Cit., hal. 11.

65 Ibid., hal. 12.

66 Wawancara dengan Darso, 25 Agustus 2009.

sewa, sistem tebu rakyat dan sistem tebu rakyat Intensifikasi (TRI), dan sistem tebu sewa. 67

1. Sistem Tebu Sewa.

Sistem tebu sewa adalah sistem hubungan tanah untuk tanaman tebu oleh pabrik gula, yang mana pemilik tanah menerima sejumlah uang sewa tertentu untuk selama jangka waktu penanaman tebu. Sebagai imbalannya petani pemilik tanah menyerahkan

tanahanya kepada pihak pabrik gula. 68 Besarnya uang tergantung pada tingkat kesuburan tanah, pengairannya serta jauh tidaknya letak tanah itu dari rail-baan pabrik gula.

Kelemahan dalam sistem ini menunjukkan bahwa besarnya uang sewa yang diterima oleh petani dirasakan kurang memadai. Biasanya petani mebandingkan antara uang sewa dengan hasil tanahnya apabila diusahkan sendiri dengan tanaman pangan. Selain itu dihubungkan dengan jangka waktu yang dianggapnya terlalu lama, karena

tanaman tebu biasanaya membutuhkan waktu antara 16 sampai 18 bulan. 69 Di lain pihak pabrik gula dalam menentukan besarnya uang di dasarkan pada harga gula yang

ditentukan oleh pemerintah. Akibatnya dari semua itu, maka sikap petani terhadap sistem sewa kurang bergairah.

Pada awal berdirinya pabrik gula Colomadu dalam usaha memperoleh tanah untuk tanaman tebu belum menggunakan sistem sewa seperti yang dikemukaan diatas. Sistem ini dipakai pada masa pengalihan kepemilikan dari Praja Magkunegaran ke

67 Wawancara dengan Widodo, 15 Juli 2009.

68 Mudjijo Prodjosuhardjo dan Ahmad Sutarmadi, Sistem Penggunaan Tanah Untuk Tanaman Tebu dan Kerja Sama Patani Tebu Rakyat , Seminar Tebu Rakyat tanggal 28-30 Agustus 1975, Yogyakarta,

1975, hal. 76-77.

69 Wawancara dengan Widodo, 15 Juli 2009.

Pemerintahan Republik Indonesia. Dalam sistem sewa ini pabrik gula Colomadu menggunakan tanah rakyat yang terbagai ke 3 Kabupaten, seperti Boyolali, Sukoharjo,

dan Karanganyar. 70 Sebagai landasan hukum bagi pabrik gula Colomadu dalam menggunakan tanah

rakyat adalah PERPU No. 38/1960, yang antara lain berbunyai : pabrik-pabrik gula mendapatkan perlindungan untuk menggunakaan tanah rakyat. Sebaliknya desa harus menyediakan sejumlah minimum luas tanah untuk menanam tebu. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan PERPU NO. 38/1960, namun pada kenyataannya pemasukan areal sering tersendat-sendat hingga pihak berwajib terpaksa turun tangan. Hal itu disebabakan karena uang sewa tanah yang ditetapkan pemerintah tidak sesuai lagi dengan pendapatan dari usaha tani padi.

Upaya yang dilakukan pemerintah selain setiap tahun menaikkan besarnya uang sewa, juga memberi berbagi tambahan premi seperti premi serah tanah, 71 premi

72 dongkelan 73 , dan premi produksi. Penambahan premi-premi itu bertujuan agar pada akhirnya para petani menerima uang sewa yang memadai. Akan tetapi upaya ini belum

dapat menyelesaiakan masalah, karena petani merasa hasil yang diperoleh belum memberikan keuntungan bagi mereka.

70 Ibid.

71 Premi serah tanah adalah uang tambah yang diberikan kepada petani yang menyerahkan tanahnya dalam bulan Maret, April, dan Mei.

72 Premi dongkelan adalah uang yang diberikan oleh PG kepada petani, sebagai bantuan biaya membersihkan tanh yang bersangkutan setelah tebunya ditebang.

73 Premi produksi adalah uang tambah yang diberikan kepada petani untuk tiap kuital hasil tebu di atas jumlah penghasilan tebu yang ditanam, yang biasanya ditentukan tiap hektarnya

Akibatnya sistem sewa tanah yang ditetapkan tiap tahun semakin sulit untuk dilaksanakan. Perkembangan jumlah penduduk mengakibatkan kebutuhan tanah semakin mendesak, yang berarti meningkatnya jumlah beras dan makanan. Dengan ini petani mulai tidak rela menyewakan tanahnya untuk tanaman tebu. Mereka lebih suka menanam padi yang dianggap lebih menguntungkan untuk mereka.

2. Sistem Tebu Rakyat

Berbeda dengan sistem tebu sewa, dimana seluruh pekerjaan kebun dan peguasaan tanah selama jangka waktu tertentu berada dalam pihak pabrik gula, maka dalam sistem tebu rakyat ini tanggung jawab pekerjaan sepenuhnya berada di tangan petani atau pemilik lahan sendiri. Petani tebu rakyat dengan bakat, kemampuan dan ketrampilan sendiri, mengusahakan tanaman tebu di atas tanah miliknya sendiri atau sewa

dari petani lain. 74 Pada sistem ini petani bebas menjual dan menggilingkan tebunya kepada

siapapun. Besar kecilnya penghasilan tergantung kepada kemampuan mereka dalam mengusahakan tanah dan tanamanya. Dengan demikian mutu dan kualitas tinggi rendahnya rendeman tebu terlepas dari pengawasan serta tanggung jawab pabrik gula. Dalam perkembangnya sistem tebu rakyat tidak terlalu berkembang di pabrik gula Colomadu, karena sistem tebu ini hanya dikembangkan oleh para petani yang memiliki modal yang cukup besar, sehingga untuk perawatan dan pengawasan sistem tebu ini juga

memperlukan tenaga kerja yang lebih banyak 75

74 Mubyarto, 1968, Usaha Tani Tebu Dan Industri Gula Di Jawa, (Survey Agro Ekonomi Indonesia,), hal. 57.

75 Ibid.

Sistem di atas merupakan sistem bagi hasil “ Tebu Rakyat”, sistem ini diatur dalam PMPA No. 8 Tahun 1963 yang mengatur pelaksanaanya sebagai berikut:

4. Para petani pemilik/penanam tebu rakyat yang berada di dalam wilayah kerja pabrik-pabrik gula tertentu, wajib menyerahkan tebunya kepada PG tersebut untuk digiling menjadi gula kristal.

5. Perusahaan PG wajib menerima tebu rakyat yang diserahkan para petani penanam tebu rakyat.

6. Setiap kuital tebu yang diserahkan petani kepada PG mendapat imbalan langsung berupa gula kristal sebanyak 3 kg untuk penyerahan April dan Mei. Setelah penyerahan sesudah Mei petani mendapatkan imbalan gula kristal sebanyak 4kg.

Pada tingkat selanjutnya sebenarnya sistem tebu rakyat merupakan awal dari adanya sistem TRI. Letak perbedaanya hanya pada penyediaan bimbingan secara intensif kepada petani penanam tebu. Selain itu dalam sistem TRI pihak petani memperoleh kredit atau bantuan dari pemerintah.

3. Sistem TRI

Perubahan sistem tebu pabrik (sistem sewa) ke sistem Tebu Rakyat Intensifikasi tidak lepas dari dua hal, yaitu pertama mengenai keadaan produksi gula di Indonesia pada masa lampau dan kedua mengenai sistem penggunaan tanah bagi sebagian besar pabrik

gula dalam mengusahakan tanaman tebunya. 76 Pada tahun 1930 Indonesia merupakan salah satu negara produsen gula yang menduduki tempat terkemuka. Pada waktu itu

produksi gula yang dihasilkan rata-rata 16,5 ton setiap hektar, dengan produksi secara

76 A. Rifa’i Husein, 1998, Peranan Program Tebu Rakyat Intensifikasi dalam Sistem Bimbingan Massal , Jakarta: Badan Pengendali Bimas, hal. 23-24.

keseluruhan dapat mencapai 2.970.836 ton, sehingga dengan hasil produksi sekian besarnya, maka Indonesia dapat dikatakan sebagai negara pengekspor gula. 77

Perang dunia II dan Revolusi Fisik menyebabkan terjadinya penurunan produksi. Pada tahun 1974 keadaan produksi gula belum mencapai hasil seperti pada waktu sebelum perang. 78 Kemudian pada tanggal 19 pebruari 1975 pemerintah mengadakan

sidang dewan stabilisasi Ekonomi. Sidang memutuskan semua perusahaan perkebunan negara menyelenggarakan proyek perintis Tebu Rakyat Intensifikasi dengan sistem

Bimas. 79 Sebagai kelanjutan keputusan sidang maka pada tanggal 22 April 1975

dikeluarkan Inpres Presiden No. 9 Tahun 1975 yang menetapkan penghapusan sistem sewa rakyat. Adanya Inpres ini telah membawa perubahan dalam sistem pengusahaan tanaman tebu. Pengusahaan tanaman tebu kini di serahkan kepada petani, sedangkan

pabrik gula hanya menjadi buruh giling. 80 Inpres tersebuat membawa optimisme kepada keyakinan pemerintah akan kenaikan produksi gula Nasional. Inpres ini mempuyai tiga

tujuan pokok, yaitu: meningkatkan produksi gula dalam negeri, Meningkatkan pendapatan petani, dan Menghemat devisa untuk impor gula.

Kebijakan ini, membuat kegiatan produksi gula menjadi bagian dari program pemerintah yang operasionalisasinya dilaksanakan dalam kerangka Bimas seperti produksi padi yang sudah dimulai lebih dulu. Untuk menjamin agar tujuannya dapat

77 Dirjen Perkebunan, Beberapa Permasalahan Produksi dan Recana Tebu Rakyat Intensifikasi, Seminar tebu rakyat tanggal 28-30 agustus 1975, Yogyakarta: tanpa penerbit, hal. 3.

78 Alec Gordon, 1982, ldeologi Ekonomi dan Perkebunan: Runtuhnya sistem Gula Kolonial dan Merosotnya ekonomi , Jakarta: LP3ES, hal. 32.

79 Selo Soemardjan, dkk, Op. Cit., hal. 19-25.

80 Ibid. hal. 53-55.

dicapai, pelaksanaan program TRI dilengkapi beberapa kebijakan pendukung, yaitu: penyediaan kredit lunak, bimbingan teknis untuk petani, penetapan harga provenue, rehabilitasi pabrik gula - pabrik gula di Jawa, serta penetapan target areal dan produksi, serta mekanisme operasional yang diatur berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian/Ketua Badan Pengendali Bimas Pusat.

Pelaksanaan Inpres ini di pabrik gula Colomadu dilaksanakan secara bertahap. Sesuai dengan program yang telah ditentukan dan sejalan dengan program pengalihan dari tanaman sewa ke tanaman TRI. Proses peralihan sistem TRI yang dilaksanakan di pabrik Colomadu secara penuh berlangsung mulai tahun 1983 untuk tanaman yang di tanam di Kabupaten Boyolali dan, Kabupaten Sukoharjo, sedangkan di Kabupaten Karanganyar mulai secara penuh dilaksanakan pada tahun 1981. Pelaksanaan areal TRI di pabrik gula Colomadu pada awal tahun 1980-an dapat dikatakan selalu menunjukan hasil

yang memuaskan. 81 Prosedur pemanfaatan areal sebelum dan sesudah Inpres No. 9 Tahun 1975 pada

dasarnya hampir sama. Mula-mula petugas pabrik gula membicarakan dengan kepala desa mengenai kemungkinan luas areal yang dapat dimasuki. Dari hasil pembicaraan dibuat suatu rencana areal yang selanjutnya rencana areal itu disampaikan ke Kabupaten sebagai bahan untuk membuat Surat Keputusan Bupati mengenai areal tanah yang akan

di tanami tebu. 82 Setelah adanya SKA Bupati, maka petugas menetapkan luas lahan yang definitif

agar dapat dibuat daftar nomatif petani pemilik tanah. Daftar nomatif pada sistem tebu

81 Wawancara dengan Irsad, 20 Juli 2009.

82 Wawancara dengan irsad, 20 Juli 2009.

sewa digunakan sebagai dasar pembayaran uang sewa, sedangkan pada sistem TRI digunakan sebagai dasar pengajuan kredit. Pada dekade tahun 1990-an di pabrik gula Colomadu sudah mulai kekurangan bahan baku dalam proses pembuatan gula. Hal ini

terjadi karena petani di daerah ini sudah enggan menanam tebu. 83 Keenggan para petani di daerah pabrik gula Colomadu disebabkan karena mulai berkembangnya daerah

Colomadu kearah lingkungan perkotaan, sehingga tanah atau lahan disekitar pabrik gula Colomadu banyak yang beralih fungsi. Pengalihan fungsi lahan membuat para petani

enggan tanahnya ditanami tebu. 84 Hal ini bisa terjadi karena Program TRI sudah tidak bisa mengikat petani.

Menurut mereka program TRI membuat terjadi disintegrasi dalam penguasaan proses produksi gula. Proses produksi tebu dilakukan oleh petani sedangkan proses pengolahan dilakukan oleh PG. Sementara penyediaan sarana produksi pertanian dilakukan oleh KUD, dan pembiayaan kegiatan produksi tebu disediakan pemerintah melalui paket kredit bersubsidi. Konsekuensi dari pemisahan tersebut adalah terjadinya berbagai hambatan manajemen produksi dan penurunan standar penerapan budidaya tebu

dan teknologi prosesing, sehingga berakibat pada rendahnya hasil panen tebu. 85 Petani mulai berfikir untuk menanam tanama padi dari pada tebu. Keinginan dari

para petani semakin meluap-luap dengan dikeluarkannya Inpres No 5 Tahun 1998. Inpres ini tentang penghapusan Program Pengembangan Tebu Rakyat. 86 Dampak dari kebijakan

ini membuat sistem sewa yang selama ini telah dibekukan oleh pemerintah muncul

83 Wawancara dengan Widodo, 15 Juli 2009.

84 Wawancara dengan Widodo, 15 Juli 2009.

85 Mubyarto, Op. Cit., hal. 124-126.

86 Sumber ini dapat dilihat di bagian SDM pabrik gula Colomadu tentang Inpres No 5 Tahun 1998.

kembali. Sehingga pada tahun ini pabrik gula Colomadu memakai sistem sewa tanah kepada petani. Sistem sewa tanah pabrik gula Colomadu sudah tidak menyewa di daerah sekitar pabrik gula Colomadu karena harga tanah di sekitar pabrik gula Colomadu mahal. Untuk melanjutkan sistem sewa yang ada di pabrik gula Colomadu, maka pihak PG menyewa tanah di daearah Boyolali, tepatnya di Sambi dan Simo.