PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT COLOMADU AKIBAT PENIDURAN PABRIK GULA COLOMADU TAHUN 1998 - 2007

PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT COLOMADU AKIBAT PENIDURAN PABRIK GULA COLOMADU TAHUN 1998 - 2007

SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan

Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta

Disusun oleh :

Eddy Riyanto

C 0504020

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

ABSTRAK

2010. Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta 2010. Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu: (1) Bagaimana sejarah singkat pabrik gula Colomadu. (2) Bagaimana reaksi para pekerja dalam menghadapi peniduran pabrik gula Colomadu. (3) Bagaimana perubahan sosial ekonomi masyarakat Colomadu dan pekerja pabrik gula Colomadu akibat peniduran pabrik gula Colomadu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Sejarah singkat pabrik gula Colomadu, (2) Untuk mengetahui reaksi pekerja dalam menghadapi peniduran pabrik gula Colomadu, dan (3) untuk mengetahui akibat peniduran pabrik gula Colomadu terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Colomadu dan pekerja pabrik gula Colomadu. Sejalan dengan tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini menggunakan metode sejarah yang meliputi empat tahap, pertama adalah heuristik yang merupakan langkah awal dalam mencari sumber data baik lisan maupun tulisan, kedua adalah kritik sumber yang bertujuan untuk mencari keaslian data, ketiga adalah interpretasi merupakan penafsiran fakta-fakta yang dimunculkan dari data yang diseleksi, keempat adalah historiografi yang merupakan penulisan dari kumpulan data tersebut. Data ini diperoleh dari studi dokumen diperpustakaan pabrik gula Colomadu yang dibantu dengan studi pustaka di beberapa perpustakan di Surakarata. Untuk mendukung penelitian ini penulis melakukan wawancara dengan beberapa pekerja pabrik gula Colomadu dan masyarakat Colomadu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peniduran pabrik gula Colomadu pada tahun 1998 telah mengubah kondisi sosial ekonomi Kecamatan Colomadu. Peniduran pabrik gula Colomadu dikarenakan kekurangan bahan baku untuk pabrik gula Colomadu sehingga dalam perjalanannya tidak mungkin beropersi lagi. Perkembangan bisnis perumahan di wilayah Colomadu semakin membuat pabrik gula Colomadu kehilangan lahan-lahan tebu, yang disebabkan adanya alih fungsi lahan tanaman tebu yang dimanfaatkan untuk pemukiman penduduk. Kesimpulan yang dapat ditarik bahwa adanya peniduran Pabrik Gula Colomadu telah mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Colomadu. Masyarakat Colomadu yang terkena dampaknya adalah para pekeja pabrik gula Colomadu dan masyarakat yang menggantungkan hidupnya kepada pabrik gula Colomadu. Peniduran pabrik gula Colomadu membuat pendapatan mereka berkurang. Setelah peniduran tahun 1998 pabrik gula Colomadu kegiatan utamanya hanya menanam tebu di luar wilayah Colomadu.

ABSTRACT

2010. Thesis: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta 2010. Issues to be discussed in this study, namely: (1) How is a brief history of sugar factory. (2) What was the reaction of the workers in facing “peniduran” Colomadu sugar factory. (3) How do socio- economic changes in society Colomadu and sugar factory workers Colomadu due “peniduran” Colomadu sugar factory. The purpose of this study is to determine: (1) A brief history of the sugar factory Colomadu, (2) To determine the reaction of workers in the face “peniduran” Colomadu sugar factory, and (3) to assess the effect of “peniduran” Colomadu sugar factory towards socio-economic conditions of Colomadu society and factory workers of Colomadu sugar factory. In line with these research objectives, the research uses historical method includes four stages, first one is the heuristic is the first step in searching data sources both oral and written, the second is a source of criticism that aims to find the authenticity of data, the third is the interpretation of the facts which are appeared from the selected data, the fourth is the writing of historiography, which is a collection of such data. This data was obtained from the study of the sugar factory Colomadu in library documents that assisted with the study of literature in several libraries in Surakarata. To support this research the author conducted interviews with some of the sugar mill workers and the public Colomadu. The results showed that “peniduran” Colomadu sugar mill in 1998 has changed the socio- economic conditions Colomadu District. “Peniduran” Colomadu sugar mill due to shortage of raw materials Colomadu sugar mills so that the journey is not possible processing again. Housing in the area of business development Colomadu increasingly making sugar mills sugarcane land loss, caused by land conversion of sugarcane to be used for human habitation. Conclusion that the existence “peniduran” Colomadu Sugar Factory has affected the socio- economic life of society Colomadu. Colomadu communities affected are the workers Colomadu sugar factory and the people who rely to a sugar factory Colomadu. Peniduran Colomadu sugar factory made their incomes reduced. After 1998 the sugar factory “peniduran” Colomadu main activities is just plant the sugarcane outside of Colomadu.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan industri gula di Indonesia di mulai pada abad 18 ketika VOC mengusahakan kira-kira seratus perkebunan gula di sekitar Batavia, tetapi dengan kebangkrutan VOC pada akhir abad 18 membuat semua hal yang berkaitan dengan industri gula dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada masa Culturstelsel atau Tanam Paksa di Hindia Belanda berkembang industri gula. Dengan sistem ini para petani dipaksa dan diharuskan menanam tanaman tebu di atas tanah mereka. Hasil panen

diserahkan kepada pemerintah sebagai pembayaran pajak bumi. 1 Pemerintah memiliki dan menguasai pabrik gula, dan dapat pula memperintahkan

kerja paksa kepada penduduk untuk menjalankan pabrik gula. Setelah adanya Agrarische Wet tahun 1870, secara berangsur-angsur pemerintah menarik dari usaha ini, yang berarti dibukanya kesempatan para usahawan asing dalam menjalankan usahanya di Hindia

Belanda. 2 Usaha yang diminati oleh para usahawan asing adalah industri perkebunan terutama gula, hal ini di dorong oleh faktor keuntungan yang diperoleh. 3 Akibatnya para pengusaha bumiputra tertarik terutama pihak Praja Mangkunegaran. 4 Dengan alasan ini

membuat Praja Mangkunegara mendirikan usaha industri gula.

1 Mubyarto, 1991 dkk, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan di Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Aditya Media, hal. 17.

2 Ibid.

3 Mubyarto, 1984, Masalah Industri Gula di Indonesia, Yogyakarta: BPFE, hal. 3-4.

4 Wasino, 2008. Kapitalisme Bumi Putra, Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta:

Munculnya industri gula Mangkunegaran tidak lepas dari peranan Mangkunegoro IV (1853-1881). Pembangunan industri gula Mangkunegaran bercirikan kapitalisme priyayi. Kapitalisme ini ditandai dengan ciri utama, yaitu keuntungan yang diperoleh dari hasil reproduksi modal untuk pengembangan modal dan untuk memenuhi

semua kebutuhan trah dan rakyatnya. 5 Pembangunan industri gula Mangkunegaran dilakukan di dua tempat yang berbeda. Pertama di wilayah MalangJiwan, sebelah barat

ibukota Mangkunegaran yang bernama pabrik gula Colomadu, sedangkan yang selanjutnyan di wilayah Karanganyar yang bernama pabrik gula Tasikmadu.

Berkembangnya industri gula di Mangkunegaran memberikan pengaruh positif bagi perkembangan perdagangan, dan juga mempunyai terhadap perubahan sosial dan suasana politik ditingkat lokal. Dalam fase perkembangannya industri gula Mangkunegaran mengalami banyak perkembangan. Hal ini terbukti dengan kemampuan dari industri ini dalam menghasilkan pendapatan bagi Praja Mangkunegaran dalam upaya

membayar hutang-hutang untuk membangun pabrik gula. 6 Manajemen industri gula mengalami perubahan total, ketika Jepang masuk di

wilayah Surakarta. Banyak orang Belanda yang meninggalkan pekerjaannya di lingkungan pabrik gula. Pergantian sistem manajemen ini dapat dilihat dari pergantian

Superintenden yang semula dijabat oleh orang Belanda diganti oleh orang bumiputra. 7 Industri gula Mangkunegaran yang semula diusahakan oleh Mangkunegoro IV (1853-

1881), untuk kepentingan keluarga dan rakyat Mangkunegaran harus lepas ke tangan

5 Ibid., hal. 48.

6 Wasino. “Nationalisasi Pabrik Gula Mangkunegaran”, Makalah disampaikan dalam Workshop on the Economic Side of Decolonization, Jointly Organizied by LIPI, NIOD, PPSAT-UGM dan Program Studi

Sejarah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta Akhir Agustus 2004. hal. 3.

7 Ibid., hal. 4.

Pemerintahan Republik Indonesia setelah terjadinya krisis sosial politik di Surakarta tahun 1946. Berakhirnya status pemerintahan Mangkunegaran membuat kedua industri gula Mangkunegaran diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia atau dinasionalisasikan. Untuk mempermudah dalam pengelolaan perusahaan milik Mangkunegaran maka pemerintah RI, mendirikan Perkebunan Republik Indonesia

(PPRI). 8 Adanya alasan ini maka industri gula Mangkunegaran dikuasai dan dikelola

oleh Pemerintah RI. Oleh karena itu kedua industri gula Mangkunegaran menjadi milik pemerintah RI dan menjadi Perusahaan Negara Republik Indonesia. Perkembangan kedua industri gula Mangkunegaran dalam perjalanannya mengalami pertumbuhan yang

berbeda. 9 Hal ini disebabkan oleh perubahan proses yang terjadi di dalam masyarakat di masing-masing pabrik gula. Perubahan ini mendorong salah satu PG tidak dapat

beroperasi. Pabrik gula yang tidak dapat bertahan dalam menghadapi perubahan zaman adalah PG Colomadu.

Pabrik Gula Colomadu ditutup oleh PTPN IX pada pertengahan tahun 1998 tepatnya tanggal 1 mei. Keputusan ini tentu sangat pahit, bagi sebanyak 365 orang karyawan tetap perusahaan, dan ribuan buruh seperti, buruh angkut, buruh tebang, dan

buruh bongkar muat. 10 Sebanyak 126 karyawan tetap yang sudah bekerja di atas 20 tahun dipercepat pensiunnya dan mereka diberi pesangon tergantung pada tingkat pangkatnya.

Sebagian yang lain dipindahkan ke pabrik gula Tasikmadu Karanganyar, termasuk

8 Ibid.

9 Ibid., hal. 18.

10 Solopos, 18 Juli 1998.

mesin-mesinnya. Kini di PG Colomadu tinggal beberapa karyawan yang bertugas mengurusi usaha tanam tebu. Mereka mengelola lahan seluas 382.349 hektare. Hasilnya

dikirim ke pabrik gula Tasikmadu Karanganyar. 11 Tidak adanya hubungan yang saling menguntungkan di antara PG Colomadu

dan masyarakat membuat pabrik gula Colomadu tidak bisa memberikan hasil yang memuaskan dalam setiap musim panen dan giling. Hal ini dapat terjadi karena setiap musim giling tiba pabrik gula Colomadu kesulitan dalam memperoleh bahan baku. Kesulitan bahan baku ini dapat terjadi karena dalam masyarakat di sekitar pabrik gula

Colomadu mengalami perubahan dalam hal pemanfaatan lahan. 12 Pandangan masyarakat Colomadu yang telah berubah dapat dilihat dari

penggunaan lahan pertanian bukan untuk menanam tebu tetapi menanam tanaman padi. Selain itu juga dengan semakin berkembangnya ekonomi di sekitar pabrik gula Colomadu membuat masyarakat semakin berfikir materialistik. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyak lahan pertanian tebu yang dijual oleh pemilik lahan untuk pembangunan pemukiman penduduk Hal ini memperparah kondisi pabrik gula Colomadu dalam

memperoleh bahan baku. 13 Scope temporal dimulai tahun 1998 sampai 2007 dengan pertimbangan pada tahun 1998 terjadi peniduran pabrik gula Colomadu yang dilakukan

oleh PT PERKEBUNAN NUSANTARA IX, sedangkan batasan akhir penelitian sampai tahun 2007 karena dengan adanya peniduran pabrik gula Colomadu telah mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat Colomadu yang berupa peralihan fungsi lahan di

11 Ibid.

12 SuaraMerdeka, 9 desember 2008.

13 Ibid.

Colomadu dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun telah mengubah kondisi sosial ekonomi masyarakat Colomadu.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana sejarah singkat pabrik gula Colomadu?

2. Bagaimana reaksi para pekerja dalam menghadapi peniduran pabrik gula Colomadu?

3. Bagaimana perubahan sosial ekonomi masyarakat Colomadu dan pekerja pabrik gula Colomadu akibat peniduran pabrik gula Colomadu?

C. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian mempuyai arah dan tujuan yang telah ditetapkan agar dapat bermanfaat dalam penyelesaian. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sejarah singkat pabrik gula Colomadu.

2. Untuk mengetahui reaksi pekerja dalam menghadapi peniduran pabrik gula Colomadu.

3. Untuk mengetahui perubahan sosial ekonomi masyarakat Colomadu dan pekerja pabrik gula Colomadu akibat peniduran pabrik gula Colomadu.

D. Manfaat Penelitian

Dari kajian tentang perubahan sosial ekonomi masyarakat Colomadu akibat peniduran pabrik gula Colomadu tahun 1998-2007, maka penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara teoritis, memberikan sumbangan dan pengetahuan dalam penelitian sejarah, khususnya mengenai pabrik gula Colomadu.

2. Sebagai bahan tambahan dan masukan bagi dunia pendidikan pada umumnya dan sejarah pergulaan di Indonesia pada khususnya.

E. Tinjauan Pustaka

Untuk mendukung penelitian mengenai Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Colomadu Akibat Peniduran Pabrik Gula Colomadu Tahun 1998-2007, menggunakan literatur dan referensi yang relevan dan menunjang dengan tema yang diangkat. Literatur dan referensi tersebut antara lain: James Scott dalam bukunya Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara (1983) mengemukakan bahwa petani subsisten memiliki etika “dahulukan selamat’ namun ketika subsistennya terancam akan melakukan protes dan gelombang protes itu muncul sebanding dengan daya paksa negara yang tumbuh semakin kuat. Kondisi tertekan karena subsistensi terancam akibat kerawanan ekologis, sistem harga dan monokultur, pertumbuhan negara dianggap sebagai ancaman terhadap subsistensi mereka, dan pada saat itu mereka mersa memiliki otoritas moral untuk melakukan perlawanan. Hal ini yang terjadi di pabrik gula Colomadu terlihat dari usaha para petani yang mulai tidak mau menanam tebu. Ketidakmauan petani dalam menanam tebu merupakan salah satu bentuk perlawanan petani.

Mubyarto dalam buku Masalah Industri Gula di Indonesia (1984) buku ini membahas tentang masalah yang ditimbulkan dari sistem TRI. Sistem ini mendorong para petani tebu agar dapat meningkatkan produksi gula menuju swasembada. Hal ini mendorong adanya hubungan timbal balik antara petani tebu dengan pabrik gula. Buku ini dapat dijadikan bahan untuk memperjelas permasalahan yang ada dalam pergulaan di Mubyarto dalam buku Masalah Industri Gula di Indonesia (1984) buku ini membahas tentang masalah yang ditimbulkan dari sistem TRI. Sistem ini mendorong para petani tebu agar dapat meningkatkan produksi gula menuju swasembada. Hal ini mendorong adanya hubungan timbal balik antara petani tebu dengan pabrik gula. Buku ini dapat dijadikan bahan untuk memperjelas permasalahan yang ada dalam pergulaan di

Wasino dalam buku Kapitalisme Bumi Putra; Perubahan Masyarakat Mangkunegaran (2008) buku ini memaparkan mengenai kekayaan-kekayaan yang dimiliki oleh Praja Mangkunegaran yang berupa tanah, perusahaan, pabrik dan perkebunan sehingga Praja Mangkunegaran mencapai kesuksesan dalam bidang perekonomian. Buku ini lebih menitik beratkan mengenai perkebunan tebu atau pabrik gula sebagai salah satu bagian dari kesuksesan perekonomian Praja Mangkunegaran. Selain itu juga membicarakan mengenai penguasahaan tanaman tebu dan kepemilikan tanah dalam penanaman tebu sehingga buku ini dapat dipakai sebagai acuan dalam penulisan skripsi terutama penulisan tentang penguasahaan tanaman tenu dan kepemilikan tanah dalam penanaman tebu pada masa Mangkunegaran.

Setiap manusia dalam hidupnya akan mengalami perubahan-perubahan. Menurut Soleman B. Taneko, dalam bukunya Struktur dan Proses Sosial Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan (1984) buku ini menyebutkan bahwa perubahan yang terus menerus, artinya menelah keadaan suatu masyarakat pada waktu tertentu dan kemudian membandingkan dengan keadaan masyarakat itu pada masa lalu. Karya ini digunakan sebagai acuan atau sebagai bahan pembandingan dalam penulisan skripsi ini karena, yang sedikit banyak akan membahas tentang perubahan masyarakat Colomadu yang di akibatkan dari perubahan di daerah ini tentang cara pandang tentang pemanfaatan Setiap manusia dalam hidupnya akan mengalami perubahan-perubahan. Menurut Soleman B. Taneko, dalam bukunya Struktur dan Proses Sosial Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan (1984) buku ini menyebutkan bahwa perubahan yang terus menerus, artinya menelah keadaan suatu masyarakat pada waktu tertentu dan kemudian membandingkan dengan keadaan masyarakat itu pada masa lalu. Karya ini digunakan sebagai acuan atau sebagai bahan pembandingan dalam penulisan skripsi ini karena, yang sedikit banyak akan membahas tentang perubahan masyarakat Colomadu yang di akibatkan dari perubahan di daerah ini tentang cara pandang tentang pemanfaatan

Perkembangan Kecamatan Colomadu yang lebih dinamis akibat dari perubahan Kota Solo yang semakin berkembang berdampak pada tingkat interaksi yang semakin intens. Menurut Bintarto R, (1983), Interksi Desa Kota dan Permasalahannya itu merupakan masalah perkembangan kota yang mempuyai aspek yang menyangkut perubahan–perubahan yang dikehendaki dan dialami oleh warga kota. Perubahan yang dikehendaki adalah pemenuhan kebutuhan prasarana dan fasilitas hidup di kota. Akibat dari itu membuat Colomadu berkembang menjadi daerah pinggiran kota. Hal ini mendorong lahan di Colomadu menjadi sasaran dari pemenuhan kebutuhan masyarakat kota. Pemenuhan ini dapat dilihat dari semakin berkembangnya daerah Colomadu menjadi daerah investasi baru yang semakin berubah sesuai dengan perkembangan Kota Solo yang dinamis.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Metode sejarah adalah sekumpulan prinsip-prinsip dan aturan yang sistematis yang dimaksudkan untuk memberi bantuan penelitian sejarah, menilai secara kritis dan kemudian metode sejarah terbagi ke dalam

empat tahap kegiatan yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historigrafi. 14 Tahap pertama adalah heuristik yaitu suatu proses pengumpulan bahan atau

sumber-sumber sejarah. Tahap kedua yaitu kritik sumber yang bertujuan mencari keaslian data-data yang diperoleh melalui kritik intern dan kritik ekstern. Kritik intern

14 Louis Gottschalk,1993, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, hal. 18.

untuk membuktikan bahwa isi dari suatu sumber dapat dipercaya, sedangkan kritik ekstern adalah untuk mencari keaslian sumber tertulis.

Tahap ketiga adalah interpretasi yaitu menafsirkan keterangan yang saling berhubungan dengan fakta-fakta yang diperoleh dan merangkaikannya atau penafsiran terhadap data-data yang diperoleh di lapangan dan hasil-hasil yang telah dilakukan sebelumnya. Tahap terakhir adalah melakukan penulisan atau historigrafi berdasarkan data-data yang telah dianalisa. Kemudian tahap selanjutnya semua data yang diperoleh, terkumpul dan terpercaya di sajikan dalam bentuk sebuah cerita sejarah.

1. Lokasi Penelitian Berdasarkan topik di atas, penelitian dilaksanakan di daerah Desa MalangJiwan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Alasan mengambil lokasi ini karena di desa ini terdapat salah satu peninggalan kejayaan Mangkunegaran pada abad ke-19, berupa pabrik gula yang bernama Pabrik Gula Colomadu. Pabrik ini didirikan oleh Mangkunagara IV (1853-1881), dan merupakan saksi bisu zaman keemasan agroindustri di masa kolonial. Pabrik gula ini ditutup pada tahun 1998, sehingga memberikan suatu perubahan sosial ekonomi bagi masyarakat di daerah ini

2. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi Dokumen Dalam studi ini karena fokus penelitian adalah peristiwa yang sudah lampau, maka salah satu sumber yang digunakan adalah sumber dokumen. Dokumen dibedakan menjadi dua macam yaitu dokumen dalam arti sempit dan dokumen dalam arti luas. Menurut Sartono Kartodirdjo, “dokumen dalam arti sempit adalah kumpulan data verbal a. Studi Dokumen Dalam studi ini karena fokus penelitian adalah peristiwa yang sudah lampau, maka salah satu sumber yang digunakan adalah sumber dokumen. Dokumen dibedakan menjadi dua macam yaitu dokumen dalam arti sempit dan dokumen dalam arti luas. Menurut Sartono Kartodirdjo, “dokumen dalam arti sempit adalah kumpulan data verbal

dokumen dalam penelitian ini adalah dokumen dalam arti sempit. Studi dokumen mempunyai arti metodologis yang sangat penting, sebab selain bahan dokumen menyimpan sejumlah besar fakta dan data sejarah, bahan ini juga dapat digunakan untuk

menjawab pertanyaan, apa, kapan dan mengapa. 16 Studi tentang dokumen bertujuan untuk menguji dan memberi gambaran tentang teori sehingga memberi fakta dalam

mendapat pengertian historis tentang fenomena yang unik. Dokumen yang berhasil kumpulkan untuk penelitian ini antara lain: arsip tentang data statistik tanam pabrik gula Colomadu tahun 1986-1990, Rkap MG. 1993-1997, daftar nama para pekerja yang dipercepat pensiunnya, surat keputusan PTPN IX tentang amalgamasi, dan kumpulan inpres, perpu dan undang-undang yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Studi Pustaka Selain menggunakan studi dokumen peneliti juga menggunakan studi pustaka dalam mengumpulkan data. Sumber-sumber pustaka digunakan untuk melengkapi data- data yang peneliti kumpulkan di lapangan sebagai pendukung penelitian. Studi pustaka dilakukan dengan cara mencari data-data dari buku-buku referensi, majalah, surat kabar, artikel, dan laporan penelitian yang relevan dengan permasalahan yang akan diuraikan, yang dapat digolongkan sebagai bahan kepustakaan dan dapat mendukung terwujudnya penelitian ini. Sumber-sumber studi pustaka diperoleh di perpustakaan Unversitas

15 Sartono Kartodirdjo, 1992, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode Sejarah, Jakarta: PT. Gramedia, hal. 98

16 Sartono Kartodirdjo, 1982, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternati , Jakarta: PT. Gramedia, hal 97-122

Sebelas Maret, perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa, perpustakaan Daerah Karanganyar, perpustakaan PTPN IX, perpustakaan pabrik gula Colomadu dan, perpustakaan Monumen Pers.

c. Wawancara Teknik wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam terutama dalam studi ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang masalah yang dikaji terutama mengenai peniduran pabrik gula Colomadu dan dampak sosial ekonomi bagi masyarakat Colomadu dan pekerjanya. Pada wawancara mendalam sebelumnya ditetapkan terlebih dahulu informannya. Informan yang diwawancara adalah orang- orang yang mengetahui masalah yang dikaji, antara lain, Marwanto sebagai Koordinator Administrasi dan Keuangan pabrik gula Colomadu, Irsad sebagai Teknisi Intalasi pabrik gula Colomadu Suyamto III, Sumadi petani dideerah Paulan Colomadu.

e. Analisa Data Teknik yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah analisis historis kritis dengan maksud akan berusaha menguraikan kejadian dan mendiskripsikan dalam jalinan kausalitas atau sebab akibat peristiwa tersebut secara kronologis. Pada tahap berikutnya akan dilakukan eksplanasi atau menerangkan setiap kejadian secara lebih mendalam berdasarkan analisis yang ada.

Data yang tersedia akan menjadi hidup dan menjadi tajam apabila analisis penelitian terhadap sumber yang ada kritis. Sumber yang hidup dan tajam tersebut akan menentukan seberapa bermutunya tulisan yang disajikan.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri atas: Bab I yang berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, teknik pengumpulan data, dan sistematika skripsi.

Bab II berisi mengenai gambaran umum perusahaan pabrik gula Colomadu yang meliputi sejarah singkat pabrik gula Colomadu, pengusahaan tananam tebu, yang meliputi kondisi alam Colomadu, kependudukan Colomadu, setelah itu kepemilikan tanah dalam penanaman tebu, dan sistem sewa yang berlaku di PG Colomadu.

Bab III berisi mengenai reaksi pekerja dalam menghadapi peniduran pabrik gula Colomadu yang meliputi latar belakang peniduran PG Colomadu, yang membahas, kebijakan pemerintah tentang tanaman tebu, perkembangan ekonomi yang mendorong peralihan fungsi lahan, dan reaksi pekerja dalam menghadapi peniduran PG Colomadu.

Bab IV berisi mengenai perubahan sosial ekonomi masyarakat Colomadu akibat peniduran pabrik gula Colomadu yang meliputi pengalihan penanaman tebu ke padi, perkembangan pemukiman penduduk, hilangnya tradisi cembengan, dan perubahan struktur kepegawaian pekerja PG Colomadu.

Bab V merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari penulisan skripsi.

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN PABRIK GULA COLOMADU

A. Sejarah Singkat Pabrik Gula Colomadu

Pabrik gula Colomadu di dirikan pada tanggal 8 desember 1861, oleh KGPAA Mangkunegoro IV (1853-1881). Pada tahun 1861 Mngkunegara IV mengajukan rencana mengenai berdirinya sebuah pabrik gula pada Residen Nieuwenhuysen. Sejak beberapa waktu sebelumnya beliau telah memilih tempat yang tepat di desa Malangjiwan, suatu tempat yang baik, karena adanya tanah-tanah yang baik, air mengalir dan hutan-hutan. Tempat tersebut dianggap beliau paling cocok untuk perkebunan tebu. Peletakan batu pertama untuk pabrik gula Colomadu pada tanggal 8 Desember 1861, bangunan dan pelaksanaan industri di bawah pimpinan seorang ahli dari Eropa, yang bernama R. Kamp. Pertama kali pabrik bekerja dengan menggunakan mesin uap. Mesin-mesin tersebut dipesan dari Eropa. Mangkunegara IV mendapatkan pinjaman dari pemerintah Hindia Belanda dan dibantu Be Biau Coan, mayor untuk kaum Cina di Semarang untuk

mendirikan pabrik gula Colomadu. 17 Perusahaan gula tersebut ternyata dapat memenuhi semua persyaratan yang

diajukan untuk pengelolaan sebuah pabrik gula yang baik pada masa itu. Pada tahun 1863, tahun panen yang pertama, 95 ha lahan perkebunan tebu menghasilkan 3700 kuintal gula, yang jatuhnya pada produksi 39 kuintal per hektar, untuk masa itu dapat dikatakan sangat memuaskan, walaupun cuaca tidak begitu menguntungkan. Seluruh panen dijual dengan perantara firma Cores de Vries dengan harga sekitar f 32 per kuintal.

17 Soetono H.R, Timbulnya Kepentingan Tanam Perkebunan di Daerah Mangkunegaran, (Surakarta: Reksa Pustaka, 2000), hal., 19.

Keberadaan industri gula sangat membantu penghasilan Praja Mangkunegaran untuk melengkapi sumber pendapatan tradisional dari pajak tanah. Keuntungan yang diperoleh dari pabrik gula sebagian digunakan raja untuk membayar gaji para bangsawan, dan pepanci bagi para kerabat dekatnya, serta sebagian lagi digunakan untuk menebus tanah lungguh yang belum selesai ditarik kembali. Setelah beberapa tahun MN IV wafat, usahanya untuk membentuk dasar-dasar ekonomi kerajaan mengalami guncangan yang hebat. Guncangan ini terutama melanda industri gula Mangkunegaran. Guncangan ini disebabkan oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar adalah terjadinya krisis ekonomi dunia dan hama penyakit tebu. Faktor dalam adalah kesalahan manajemen

keuangan dari MN V. 18 Kedua faktor itu telah memukul ekonomi terhadap industri gula Mangkunegaran

yang terlihat dari penurunan pendapatan sebesar f100.000 ( sertus ribu gulden setiap tahun. Faktor salah langkah dalam manajemen juga turut mengakibatkan makin terpuruknya industri gula Mangkunegaran. Untuk mengatasi krisis yang terjadi di perusahaan Mangkunegaran, maka Mangkunegaran mencari pinjaman kepada pihak swasta di Semarang. Melalui penggadaian harta miliknya yang memiliki nilai verponding sebesar f519.000. Selain itu Mangkunegaran V mendapat pinjaman sebanyak f200.000 dari Faktorij dengan cara menggadaikan 290 saham Javache Bank dan 100 saham Nederlandsche Handelmaatschappinj (NHM), warisan ayahnya. Kenyataannya pinjaman yang dilakukan oleh MN V telah mempersulit pemenuhan defisit keuangan Mangkunegaran. Untuk mengatasi kerumitan keuangan Praja Mangkunegaran itu,

18 Wasino, 2008. Kapitalisme Bumi Putra, Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta: Lkis, hal. 51-54.

Pemerintah Kolonial mengambil alih segala urusan keuangan Mangkunegaran, termasuk pengelolaan perusahaan-perusahaan. 19

Setelah pergantian pimpinan Mangkunegaran V diganti oleh Mangkunegaran VI kinerja pabrik gula berangsur-angsur membaik. Membaiknya kinerja pabrik gula tidak lepas dari usaha yang dilakukan oleh MN VI dalam penghematan pengeluaran keuangan Praja Mangkunegaran. Akibatnya pada tahun 1899 atas permintaan MN VI pabrik gula Mankunegaran dikembalikan pengelolaannya kepada pihak Mangkunegaran. Dampak dari pengembalian pabrik gula membuat komando pengelolaan dibawah Praja Mankunegaran. Meskipun dalam pengelolaan perusahaan-perusahaan Mangkunegaran pihak Praja Mangkunegaran masih diwajibkan untuk menggunakan seorang ahli

berkebangsaan Belanda sebagai Superintenden. 20 Pada saat pendirian sampai tahun 1942, pabrik gula Colomadu tidak pernah

mengalami kesulitan dalam pengadaan tanah, tenaga kerja, dan pemasaran produksinya. Pada masa ini pula pabrik gula Colomadu mengalami jaman keemasan, hal ini terlihat

dari hasil produksi yang diperoleh pada masa itu 21 . Pada masa pendudukan Jepang pabrik gula Colomadu mengalami penurunan dalam produksi karena kesulitan dalam

mendapatkan tenaga kerja, maupun areal untuk ditanami tebu. Kesulitan tersebut disebabkan pada masa pendudukan Jepang banyak pabrik gula beralih fungsi. 22

19 Ibid, hal., 55-59.

20 Ibid, hal., 75-76.

21 Waktu itu 1862 hasil PG di Jawa rata-rata 40 pikul tiap bau, yaitu PG yang dipimpin oleh orang Eropa, sedangkan yang dipimpin oleh orang Cina hanya 17 sampai 25 pikul tiap bau. Mansfeld, 1939,

Geschledenis der Eigendommen ran Het Mangkoenegoroscherijk: diterjemahkan M. Husodo Pringgokusumo, 1989, Sejarah milik Praja Mangkunegaran. Ska: koleksi perpus Reksopustoko Mangkunegaran, hal. 35.

22 Aiko Kurasawa, 1993, Mobilisasi dan Kontrol, Jakarta: Grasindo, hal. 44-49.

Pengalihan fungsi dilakukan Pemerintah Jepang untuk memfokuskan tanaman pangan dari pada tanaman tebu. Banyak lahan pertanian yang dijadikan areal tanaman pangan, karena pada masa Jepang komuditas pangan yang penting adalah beras. Selain itu pabrik gula banyak yang dipakai sebagai pabrik semen, amunisi, dan butanol sehingga

berdampak kepada penurunan produksi gula. 23 Pada tahun 1946 pemerintahan Swapraja Mangkunegaran dihapus. Berakhirnya status pemerintahan Mangkunegaran membuat

pabrik gula Colomadu diambil-alih pengelolaannya oleh pemerintahan RI atau dinasionalisasi. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1947 yang memuat tentang Peraturan Perkebunan Republik Indonesia. Adanya peraturan ini membuat pengelolaan pabrik gula Colomadu dikelola oleh Perusahaan Perkebunan

Republik Indonesia (PPRI). 24 Sejak berlakunya Peraturan itu segala kegiatan di pabrik gula Colomadu diatur oleh PPRI. 25

Pertengahan tahun 1950 pabrik gula Colomadu mengalami kesulitan dalam pengadaan tenaga kerja dan pengadaan tanah. Kesulitan ini disebabkan organisasi buruh dan Barisan Tani Indonesia menuntut peningkatan uang sewa tanah yang lebih besar. Para petani beranggapan bahwa peraturan sewa yang dijalankan oleh pabrik gula selama ini tidak jelas, sehingga petani menginginkan adanya perbedaan tentang sistem sewa yang dipakai. Untuk meredam konflik pemerintah menetapkan secara jelas harga sewa tanah

23 Ibid.

24 Lampiran 2.

25 Ibid,.

untuk tiap lahan tebu yang dibedakan antara lahan tebu biasa, tebu tunas dan tebu bibit. Dengan adanya aturan ini aksi boikot para petani di pabrik gula Colomadu berhenti. 26

Untuk memaksimalkan produksi pabrik gula pada tahun 1963 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1963 tentang pembentukan Badan Pimpinan Umum Perusahaan Negara Perkebunan Gula ( BPU-PPNG ). Tujuan badan ini untuk meningkatkan produksi gula. Usaha yang dilakukan oleh BPU-PPNG dalam meningkatan produksi gula ditempuh dengan sistem bagi hasil. Sistem ini para petani menerima 25 persen dari hasil menyewakan tanahnya kepada pabrik gula atau 60 persen bagi petani jika petani mengusahakan dan memelihara tebu di tanah mereka sendiri

sehingga PG hanya menggiling saja. 27 Kenyataannya sistem ini tidak memberikan keuntungan yang diharapkan oleh

para petani. 28 Hal ini terjadi karena sistem bagi hasil muncul akibat adanya inflasi pada masa itu, sehingga kenaikan harga pada waktu itu menyebabkan besarnya uang sewa

tanah yang ditetapkan pada awal tahun selalu ketinggalan dengan laju kenaikan harga tersebut. Dengan demikian nilai riil uang sewa yang diterima petani sangat merosot. 29

Perkembangan selanjutnya sistem bagi hasil tidak berjalan dengan baik, sehingga pada tahun 1967 sistem ini dihentikan. Ketidakberhasilan sistem bagi hasil ini mendorong dikeluarkannya SK Gubernur Jawa Tengah No.Produk G8/1968: 2/3/6, tertanggal 11

26 Wasino. “Nationalisasi Pabrik Gula Mangkunegaran”, Makalah disampaikan dalam Workshop on the Economic Side of Decolonization, Jointly Organizied by LIPI, NIOD, PPSAT-UGM dan Program

Studi Sejarah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta Akhir Agustus 2004. hal 10-11

27 Abdurachman S, 1975, Pemikiran-Pemikiran Untuk Mengatasi Kebutuhan Tanah Untuk Tanamn Tebu , Surabaya: Majalah Gula Indonesia, hal. 13.

28 Sapuan, 1985, Ekonomi Pergulaan di Indonesia, Jakarta: Badan Urusan Logistik, hal. 12.

29 Ibid.

Maret 1968 Tentang Pembekuan Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil di Pabrik Gula Mojo Sragen dan Pabrik Gula Colomadu. Dengan adanya SK ini membuat sistem sewa tanah

berlaku kembali di kedua pabrik gula tersebut. 30 Pada tahun 1968 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 13 tentang

pembubaran Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara Gula ( BPU-PPNG ). Pembubaran badan ini karena pola manajemen, PG hanya menekankan pelaksana teknis produksi gula saja. Hal ini berdampak pada penurunan produksi gula. Selain itu sentralisasi manajemen membuat keputusan tidak tepat sasaran dan tidak tepat waktu. Akibatnya ke tidak lengkapan informasi yang diperoleh BPU-PPNG dalam pengambilan

keputusan berpengaruh buruk terhadap efisiensi industri gula. 31 Keadaan ini mendorong pemerintah mengubah kebijakan pergulaan secara

fundamental. Dahulu kebijakan pergulaan yang diarahkan untuk mendorong ekspor, maka sejak tahun 1967 kebijakan pergulaan lebih banyak di arahkan untuk stabilisasi harga dalam negeri dan untuk mengurangi volume impor. Agar tujuan dari pemerintah

dapat tercapai, maka pemerintah menunjuk Bulog sebagai agen tunggal pemasaran gula. 32 Bersama pembubaran Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara

Gula (BPU-PPNG) pemerintah membentuk 8 Perusahaan Negara Perkebunan Gula (PPNG) yang masing-masing mengelola 4 – 7 PG. Sesuai dengan pembentukan 8 Perusahaan Negara Perkebunan Gula, maka PG Colomadu masuk ke dalam wilayah PNP

XVI yang berpusat di Surakarta. Untuk mengadakan reorganisasi perusahaan, maka

30 Selo Soemardjan, dkk, Petani Tebu (Laporan Penelitian tentang Masalah-masalah dalam Pelaksanaan TRI di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat). Yayasan Ilmu-ilmu Sosial dan Dewan

Gula Indonesia, tanpa tahun, hal. 52.

31 Mubyarto, 1984, Masalah Industri Gula di Indonesia, Yogyakarta: BPFE, hal. 49.

32 Ibid., hal. 50.

pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1981 tentang pembubaran PNP XVI dan penggabungan kedalam Perusahaan Persero (Persero) digabung menjadi satu dengan PNP XV dengan nama PT Perkebunan XV-XVI ( Persero ) yang

berkedudukan di Surakarta. 33 PG Colomadu termasuk wilayah PTP XV-XVI ( Persero ). 34 Setiap kegiatannya PG Colomadu bertanggung jawab kepada Direksi PTP XV-XVI (

Persero ). Perkembangnya PT Perkebunan XV-XVI ( Persero ) mengalami peleburan dengan PT Perkebunan XVIII ( Persero ) berdasarkan Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1996 menjadi PT Perkebunan Nusantara IX ( Persero ) hal ini dilakukan

pemerintah pada tanggal 14 Februari 1996. 35 PT Perkebunan Nusantara IX ( Persero ) terbagi ke dalam dua divisi, yaitu pertama divisi tanaman tahunan yang meliputi tanaman

kopi, kakoa, karet dan teh sedangkan divisi kedua adalah tanaman semusim yaitu, tanaman tebu. Alasan itu PG Colomadu masuk ke dalam divisi kedua. PG Colomadu diakhir tahun 1997 mengalami kesulitan bahan baku. Hal ini membuat PT Perkebunan

Nusantara IX ( Persero ) melakukan penutupan. 36

B. Pengusahaan Tanaman Tebu

Pengusahaan tebu yang merupakan tanamam pokok pembuatan gula sudah diusahakan dan dikenal di Indonesia sejak jaman dahulu, dan pernah menjadi salah satu komoditi ekspor yang sangat menguntungkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

33 Sumber ini dapat dilihat di bagian SDM pabrik gula Colomadu tentang Perpu No 11 Tahun 1981.

34 Wawancara dengan Marwanto, 15 Juli 2009.

35 Sumber ini dapat dilihat di bagian SDM pabrik gula Colomadu tentang Perpu No 14 Tahun 1996.

36 Wawancara dengan Marwanto, 15 Juli 2009.

Pengusahaan tanaman ini tidak lepas dari peranan para penguasa. Tanaman tebu diusahankan dengan cara paksa menggunkan alat – alat pemerintah maupun dengan sistem sewa sampai dengan sistem tebu rakyat. Salah satu yang istimewa dari tanaman

tebu adalah penyedian lahan selalu menjadi perhatian besar dari pemerintah. 37 Tanaman tebu yang memiliki nama latin Sacharum officinarum L merupakan

jenis tanaman yang secara ekologis merupakan tanaman tahunan yang pengusahaannya mencapai waktu 16-18 bulan. Hidup dan berkembangnnya sangat tergantung pada ekosistem. Ekosistem adalah hubungan saling mempengaruhi antara makhluk hidup

dengan lingkungannya membentuk suatu sistem. 38 Keadaan iklim dan tanah besar sekali pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tebu. 39

Tanaman tebu merupakan jenis tanaman tropis yang membutuhkan iklim musim hujan dan musim kemarau. Pertumbuhan tebu membutuhkan air setiap 3-5 mm atau jika dikaitkan dengan curah hujan maka kebutuhan akan hujan bulanan minimal 100 mm.

Suhu optimal yang diperlukan tanaman tebu berkisar antara 24 derajat 6 derajat Celcius. 40 Tebu adalah tanaman tropis sehingga dalam pertumbuhannya membutuhkan sinar

matahari yang cukup, terutama saat pembentukan tunas, pemanjangan tunas dan saat proses fotosintesis untuk membentuk gula. 41

37 Mubyarto dkk, 1992, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan, Yogyakarta: Aditya Media, hal. 20- 22.

38 Clifford Geertz, 1983, Involusi Pertanian, Jakarta: Yayasan Obor, hal. 3.

39 Soepardiman, 1983, Bercocok Tanaman Tebu, Yogyakarta: LPP, hal. 35.

40 Notojoewono, 1960, Berkebun Tebu, Surabaya: BU-PPN Gula Inspeksi VI, hal. 45.

41 Soepardiman, Op. Cit., hal. 39.

Proses perkembangannya kecepatan angin berpengaruh terhadap tanaman tebu. Kecepatan angin yang melebihi sepuluh kilometer per jam akan menyebabkan kerusakan pada tanaman tebu. Selain itu, faktor tanah juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman

tebu, khususnya terhadap kadar gula dalam batang tebu. 42 Tanah yang baik dalam penanaman tanaman tebu adalah lapis atas yang tebal dan di bawahnya lempung liat. 43

Faktor selain yang disebutkan di atas, manusia sebagai bagian ekosistem juga berperan penting dalam penyediaan tebu sampai proses pembutan gula.

Manusia mempuyai peranan penting sebagai tenaga kerja, tenaga ahli, pemimpin perusahaan dan usahawan yang sangat diperlukan untuk menciptakan kegiatan

ekonomi. 44 Pembuatan gula banyak tenaga kerja yang diperlukan, karena itu pada masa kolonial, khususnya pada sistem tanam paksa banyak penduduk yang dikerahkan secara

paksa sebagai tenaga kerja di perkebunan tebu maupun pabrik gula.

a. Kondisi Alam Colomadu

Sebagian yang dibicarakan di awal, tanaman tebu sebagai tanaman tropis, pengusahaan membutuhkan syarat-syarat tertentu. Daerah Colomadu, yang secara geografis memiliki batas-batas wilayah sebelah barat dan utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali, timur berbatasan dengan Kota Surakarta sedangkan sebelah selatan

42 Adisewojo, 1983, Bercocok Tanaman Tebu, Bandung: Sumur, hal. 18.

43 Ibid., hal. 20-22.

44 Sadono Sukirno, 1985 Ekonomi Pembangunan Proses Masalah dan Dasar Kebijakan, Jakarta: Bima Grafiti, hal. 174.

berbatasan Kabupaten Sukoharjo, memiliki kondisi yang mendukung untuk ditanami tebu.

Kecamatan Colomadu Karanganyar merupakan bagian dari daerah agraris dengan iklim tropis. Curah hujan rata-rata 150 mm per bulan dengan, keadaan suhu rata- rata berkisar antara 27-28 derajat Celcius dan tidak ada perbedaan suhu yang ekstrem dalam peralihan musim penghujan ke musim kemarau. Penyinaran matahari rata-rata 61 persen per tahun, sedangkan untuk kelembaban udara rata-rata per bulan sebesar 62,46

persen. 45 Daerah Colomadu yang memiliki luas wilayah15,64 kilimeter persegi dapat

dibagi mejadi 11 Desa. Desa yang terluas adalah Desa Malangjiwan, yaitu 2,06 kilometer persegi, kemudian Desa Gedongan 1,79 kilometer persegi, sedangkan yang terkecil adalah Desa Gajahan, yaitu 0,73 kilometer persegi dan Desa Paulan 0,98 kilometer persegi. Sebagian besar tanah pertanian di Colomadu merupakan tanah persawahan yakni

seluas 532,4 Ha dan sisanya seluas 1.032,0 Ha merupakan tanah kering. 46

b. Kependudukan Colomadu

Daerah Colomadu menyediakan tenaga kerja yang besar karena selama tahun 1998-2007 laju pertumbuhan penduduknya rata-rata 2,095 persen. Pada tahun 1998 jumalah penduduknya 46.583 jiwa dan terus bertambah sampai 57.084 pada tahun 2007. Perkembangan yang pesat di daerah ini membuat mata pencaharian penduduk semakin

45 Colomadu dalam Angka Tahun 1998-2007, BPS Karanganyar.

46 Ibid.

beraneka ragam, hal ini terlihat dari tabel jenis mata pecaharian penduduk Colomadu sebagai berikut.

Tabel. 1 Jenis Mata Pecaharian Penduduk Colomadu 1998-2007

Jenis Mata Pecaharian Penduduk Colomadu 1998-2007

Tahun Petani

Pedagang PNS/Polri/TNI 1998

Buruh Tani

Sumber: BPS, Colomadu dalam Angka Tahun 1998-2007 Dari tabel di atas terlihat bahwa dengan berkembangnya daerah Colomadu sebagai Kota pinggiran dari Kota Solo membuat posisi mata pencaharian di wilayah ini mengalami perubahan. Hal ini terlihat dari semakin berkurangnya mata pencaharian petani dan buruh tani dari tahun ke tahun. Berkurangnya petani dan buruh tani di Colomadu disebabkan generasi muda di daerah ini lebih memilih jenis mata pencaharian sebagai karyawan dan PNS/Polri/TNI. Hal ini bisa terjadi karena profesi sebagai petani Sumber: BPS, Colomadu dalam Angka Tahun 1998-2007 Dari tabel di atas terlihat bahwa dengan berkembangnya daerah Colomadu sebagai Kota pinggiran dari Kota Solo membuat posisi mata pencaharian di wilayah ini mengalami perubahan. Hal ini terlihat dari semakin berkurangnya mata pencaharian petani dan buruh tani dari tahun ke tahun. Berkurangnya petani dan buruh tani di Colomadu disebabkan generasi muda di daerah ini lebih memilih jenis mata pencaharian sebagai karyawan dan PNS/Polri/TNI. Hal ini bisa terjadi karena profesi sebagai petani

c. Sistem Penanaman Tebu

Tanaman tebu sudah mulai ditanam di areal yang luas oleh penduduk Colomadu sebelum Mangkunegoro IV (1853-1881) membangun pabrik gula. Dalam sistem penanaman tebu di daerah ini pada awal berdirinya pabrik gula Colomadu mengambil tanah-tanah Lungguh yang ditarik dari kalangan keluarga kerajaan dan diganti dengan sistem tunjangan yang berupa uang. Pengawasan sistem sewa tanah Mangkunegoro IV (1853-1881), dibantu oleh para bekel. Hal ini dilakukan karena pada masa ini rakyat

belum memiliki wewenang dalalm pengusahaan atas tanahnya. 48 Wewenang pengusahaan tanah adalah ditangan bekel. Sebab itu bekel

berkewajiban membayar pajak kepada raja. Tanah yang menjadi wewenang bekel disebut tanah sesanggeman. Tetapi bila ada rakyat yang ingin menggarap tanah maka harus ada persetujuan dari bekel terlebih dahulu. Jika bekel mengijinkan rakyat yang mengerjakan

tanah sesanggeman para bekel disebut narakaraya. 49 Perekrutan tenaga kerja untuk menanam tebu di pabrik gula Colomadu

menggunakan struktur feodal. Petani penggarap di sekitar pabrik dikenakan kerja wajib tanam tidak dibayar sehingga kelangsungan produksi pabrik gula Colomadu dapat

berjalan. 50 Perjalanan sistem penanaman tebu di pabrik gula Colomadu mengalami

47 Ibid. 48 Wasino, 2008, Kapitalisme Bumi Putera: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta: Lkis, hal. 38.

49 Ibid. 50 Ibid., hal. 52.

berbagai macam sistem penanaman sesudah kemerdekaan. Sistem penanaman pada awal kemerdekaan menganut sistem pada massa kolonial atau sesuai dengan uandang- undang tanah yang dikeluarkan pemerintah kolonial pada tahu 1918 ( Grondhuur Ordonantie).

Perubahan ini dilakukan pemerintah karena pada masa itu kepemilikan pabrik gula Colomadu sudah berubah. Disamping itu pemerintah belum memiliki peraturan tentang sistem penanaman yang sesuai antara petani dengan pabrik gula. Pola penanaman yang digunakan adalah sistem sewa tanah. Sistem ini di mana pabrik gula Colomadu menyewa tanah dari para petani di sekitar pabrik gula Colomadu. Dalam sistem sewa ini

ada perjajian yang dilakukan antara petani dengan pabrik gula Colomadu. 51 Penanaman ini dikembangkan satu kompleks tanah di sebuah desa yang di sewa oleh pabrik gula.

Pabrik gula menanami sepertiga sawah dengan tebu selama 16 bulan atau 18 bulan. Setelah kontrak selesai, maka sawah dikembalikan kepada pemilik lahan, dan sepertiga sawah Desa yang lain ditanami tebu, demikian seterusnya sepanjang siklus atau sistem ini

juga disebut sistem glebagan. 52 Selain itu sistem sewa tanah penanaman tebu di pabrik gula Colomadu juga

memakai sistem tebu rakyat di mana sistem ini memberikan kepercayaan dari pemerintah kepada petani untuk mengolah tanaman tebu pada lahan yang telah disewakan. Petani kemudian mendapatkan bayaran berupa setengah bagian atau separo harga tebu yang

dihasilkan. 53 Tebu rakyat terus berkembang dan semakin luas areal penanaman, ketika memperoleh dukungan pemerintah melalui dinas pertanian rakyat. Berbagai upaya

51 Ibid.

52 Werner Roll, 1983, Struktur Pemilikan Tanah di Indonesia, Jakarta: CV Rajawali, hal. 17.

53 Mubyarto dkk, Op. Cit., hal. 77-83.

dilakukan untuk semakin memacu berkembangnya tebu rakyat , antara lain dengan berdirinya Yayasan Tebu Rakyat (YATRA) pada tahun 1953. Banyak petani di Colomadu yang sebelumnya tidak menanam tanaman ini kemudian mengusahakan tanaman tebu setelah pemerintah memberikan penyuluhan untuk menanam tebu guna

menambah hasil produksi gula sebagai barang ekspor. 54 Tugas yatra adalah mendorong tumbuhnya tebu rakyat dengan cara memberi

bantuan teknis dan memberikan kredit untuk mengusahakan tanaman tebu, sedangkan tanggung jawab penanaman tebu tetap di tangan petani. 55 Perkembangannya YATRA

tidak memberikan hasil yang memuaskan bagi pemerintah, kemudian pada tahun 1964 YATRA dibubarkan.