REAKSI PEKERJA COLOMADU DALAM MENGHADAPI PENIDURAN PABRIK GULA COLOMADU

BAB III REAKSI PEKERJA COLOMADU DALAM MENGHADAPI PENIDURAN PABRIK GULA COLOMADU

A. Latar Belakang Peniduran Pabrik Gula Colomadu

Peniduran pabrik gula Colomadu tidak lepas dari dua faktor. Pertama kebijakan pemerintah yang menyangkut tentang tanaman tebu dan upaya peningkatan produktivitas gula. Kedua, perkembangan ekonomi yang mendorong pengalihan fungsi lahan pertanian di sekitar pabrik gula Colomadu, faktor yang disebutkan di atas dapat dijelaskan, seperti

di bawah ini. 87

1. Kebijakan Pemerintah Tentang Tanaman Tebu Pemerintah dalam upaya untuk mendorong petani agar mau menanam tanaman tebu melakukan berbagai cara seperti, program tebu rakyat intensifikasi (TRI). Ini merupakan sebuah produk kebijakan pemerintah Orde Baru dalam agraria. Dalam pembuatan produk kebijakan agraria pemerintah selalu menekankan dua segi. Pertama, kebijakan agraria lebih memfokuskan kepada peningkatan produksi dari pada penataan struktur agraria. Hal ini dilakukan karena pemerintah Orde Baru lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi sebagai strategi pembangunan pemerintah orde baru. Kedua, penekanan stabilitas politik dalam pencapaian tujuan pembangunan ekonomi dipandang sebagai

persyaratan bagi terlaksananya program kebijakan pemerintah. 88

87 SuaraMerdeka, Senin 9 Maret 1998.

88 Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, 1998, Petani dan Konflik Agraria, Bandung: Yayasan Akatiga, hal. 99.

Kebijakan ekonomi, termasuk kebijakan agraria yang dipilih adalah kebijakan yang membuka peluang seluas-luasnaya bagi pemodal besar dalam upaya mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kebijakan ini mendorong pihak swasta agar berperan lebih besar dalam upaya pengembangan ekonomi dengan menggunakan teknologi yang maju dan efisien. Salah satu cara yang ditempuh adalah penggunaan lahan yang beralih dari penanaman sumber pangan untuk kelangsungan hidup petani menjadi sumber

penumpukan kapital untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi. 89 Hal ini terlihat dari sikap pemerintah yang memberikan dukungan kepada pemilik modal dalam membangun

perkebunan-perkebunan besar dengan tanah-tanah yang luas akibatnya jumlah petani yang tidak bertanah semakin besar. Selain itu secara tidak sadar kebijakan yang dipilih ini telah meminggirkan petani.

Akibat dari konteks seperti itu, Inpres No 9 Tahun 1975 tentang TRI muncul. TRI dipandang sebagai solusi bagi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas produksi gula secara cepat. Ide ini timbul karena pada dekade tahun 1960-an terjadi pergeseran dalam konsumsi gula nasional yang terus meningkat sedangkan produksi gula mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari tabel berikut:

89 Gunawan Wiradi, 2000, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, Yogyakrta: INSIST, KPA dan Pustaka Pelajar, hal. 160-162.

Table. 2. Produksi Gula, Konsumsi, Impor dan Ekspor Indonesia 1960-2007 Tahun

Ekspor (ribuan (ribuan ton)

(ribuan ton)

(ribuan ton)

Sumber: *Budjono Wiroatmojo, Pergulaan di Indonesia dan Prospeknya di Masa Depan: BP3GI, Pasuruan.

** Kliping Agribisnis MMA-IPB

Dari table di atasa terlihat bahwa produksi gula Nasional mengalami penurunan secara naik turun setiap tahunnya sedangkan konsumsi gula mengalami peningkatan terus-menerus. Puncak dari peningkatan konsumsi gula nasional terjadi pada tahun 1967. Hal ini terlihat dari produksi gula yang lebih kecil dibandingkan dengan konsumsi gula karena itu pemerintah melakukan impor gula untuk pertama kalinya dengan kapasitas yang besar bila dibandingkan dengan tahun 1960. Sejak itu impor gula terus meningkat

dan berakhirlah posisi gula sebagai komoditas ekspor. 90 Setelah itu kebijakan pergulaan berubah secara fundamental yang dahulu kebijakan diarahkan pada ekspor, maka sejak

tahun 1967 kebijakan pergulaan lebih diarahkan untuk stabilisasi harga dalam negeri dan untuk mengurangi volume impor. 91

Awal program TRI tahun 1975, luas areal lahan tanaman tebu sekitar 104.777 ha dan mengalami peningkatan yang luas biasa pada 10 tahun kemudian mencapai 277.615

ha. 92 Peningkatan luas lahan tidak lepas dari faktor pemberian kredit yang berupa uang tunai kepada petani. Bagi petani kecil, uang tunai merupakan “benda” yang langka

sehingga menarik minat petani untuk menjadi peserta TRI sedangkan bagi petani kaya, tanaman tebu merupakan komuditas yang menjajikan apalagi secara teknis hasil

produksinya dipastikan laku dipasaran karena PG akan membelinya. 93

90 Disbun Jatim, ” Dinamika Kebijakan Pergulaan Nasional ”, http: www.Disbunjatim.co.cc .

91 Ibid.

92 M. Zainal dan Uji Saptono,” Kebijakan Gula Habis Manis Sepah Dibuang ”, Agrimedia Volume 5 No 2, Juli 1999, hal 48.

93 Sarimin yang sejak awal mengikuti program TRI mengatakan dengan lus lahan yang hanya 0,2 Ha dirinya mendapat kredit yang besarnya ratusan ribu rupiah. Uang yang diterima digunakan untuk

mencukupi kebutuhannya.

Selain itu, petani kaya merupakan pihak pertama yang diberitahu pemerintah setempat dalam upaya mengembangkan sistem TRI. Faktor lain yang mendukung perluasan lahan TRI adalah keseganan atau ketakutan petani terhadap pamong desa atau tokoh-tokoh masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena pola patronase yang kuat pada masyarakat desa menyebabkan petani mengikuti apa yang dilakukan elite desa, termasuk mengikuti program TRI. Sistem politik pada masa ini otoriter sehingga mengharuskan pegawai pemerintah di tingkat bawah mau tidak mau melaksanakan program pemerintah.

Perjalanan dari sistem TRI pada kenyataannya adalah paksaan kepada petani untuk ikut serta dalam program dengan jalan menanam tebu di tanah mereka. Paksaan ini bertujuan untuk pencapaian target yang ditetapkan setiap tahunnya, baik dalam luas lahan areal maupun jumlah produksinya. Selain itu paksaan ini mendorong pemimpin daerah

agar mampu mencapai target yang telah ditentukan agar posisinya terasa “ aman “. 94 Untuk mengamankan target capaian produksi seringkali cara-cara yang bersifat

memaksa digunakan agar petani terlibat dalam penanaman tebu. Cara tersebut biasanya berupa pemangilan kepada petani yang lahannya tidak mau atau menolak ditanami tebu untuk bertemu Kepala Desa atau Pamong Desa yang di sertai pegawai Kecamatan. Cara

ini efektif karena petani merasa enggan atau takut berurusan dengan aparat Desa. 95 Awal pelaksanaan TRI di Colomadu dapat berjalan dengan baik karena hubungan

patronase yang kuat diantara petani dan elit desa. Hubungan ini dapat berjalan dengan baik karena elite desa yang ditunjuk oleh pemerintah selalu memberikan tauladan kepada

94 Disetiap level program TRI mendapat capaian, bila luas lahan maupun hasil produksi. Apabila target capaian gagal, kedudukannya akan terancam. Seorang mantan Kepala Desa MalangJiwan

menceritakan bahwa ketika dirinya menjabat Kades memiliki tugas menyiapkan lahan di desanya dalam luas tertentu sebagaimana yang ditugaskan oleh Camat. Setiap tahun, dirinya mendapat target beberapa hektar dan harus dapat terpenuhi. Wawancara, Sabtu 14 November 2009.

95 Wawancara dengan Suyamto, Rabu 15 Juli 2009.

petani. Tauladan yang diberikan kepada petani adalah pemberikan penyuluhan- penyuluhan tentang menanam tebu yang baik dan benar. Usaha yang dilakukan oleh elite

desa ini telah mendorong petani memperluas lahan penanaman tebu di Colomadu. 96 Hal ini terlihat dari tabel luas areal TRI sebagai berikut:

Table 3. Luas Areal Tebu Rakyat Intensifikasi PG Colomadu ( Ha ) Luas Areal ( Ha )

Tahun Boyolali

Sumber: * Data Statistik Tanaman PG Colomadu Tahun 1981-1990

96 Wawancara dengan Suyamto, Rabu 15 Juli 2009.

** Data Rkap MG. 1993-1997

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 1981 program TRI di PG Colomadu baru berjalan di Kabupaten Karanganyar sehingga peningkatan luas areal TRI tidak besar. Setelah memasuki tahun 1983 areal TRI di PG Colomadu mengalami peningkatan karena ketiga kabupaten telah melaksanakan program TRI yang meliputi Kabupaten Sukoharjo, Boyolali, dan Karanganyar. Program TRI di PG Colomadu mengalami penurunan setelah tahun 1990-an, hal ini terjadi karena adanya bentuk perlawanan petani. Menurut Scott, sebagai everday form of peasent resistance atau bentuk perlawanan sehari-hari dari kaum tani merupakan hal yang harus menjadi

perhatian. 97 Bentuk perlawanan petani tebu itu lebih tepat disebut sebagai pembangkangan,

antara lain adalah petani tidak bersedia terlibat atau ikut dalam proses produksi tebu mulai dari pratanam sampai pascapanen sehingga petani menyerahkan tanggung jawab proses produksi kepada ketua kelompok sebagai sikap ketidakpedulian. Kondisi itu merupakan kesempatan bagi petani untuk menyiasati wajib tanam tebu dengan memindahkan ke petak yang kurang subur. Selain itu petani juga bisa membiarkan tebu terbakar atau membakarnya sendiri.

Pembakaran ini terjadi di daerah Singopuran, Malangjiwan, Paulan dan Gajahan. Walaupun dalam skala kecil atau tidak luas, namun terbakarnya areal tebu selalu di jumpai tiap tahun. Menurut salah satu petani, pembakaran itu disebabkan karena adanya keterlambatan dalam penebangan. Pembakaran tebu itu paling sering terjadi pada lahan

97 James C. Scott, 1993, Perlawanan Kaum Tani, Jakarta: Yayasan Obor.

yang diusahakan oleh petani tebu kaya atau para cukong. Bagi petani gurem yang lahannya terpaksa disewakan, keterlambatan penebangan berarti perpanjangan masa sewa

tanpa pendapatan. 98 Bentuk lain dari perlawanan petani adalah pencurian terhadap batang-batang tebu

yang ditanam pabrik dan lahan yang dikuasi petani kaya. Pencurian tebu dilakukan secara sporadis, dan dalam jumlah yang tidak banyak. Kebiasaan pencurian ini merupakan salah satu bentuk rasa kecewa yang muncul karena kehidupan subsisten petani mulai terancam. Sebagai bentuk perlawanan, pembangkangan petani tebu bukanlah suatu bentuk pemberontakan, karena tidak diikat oleh kesadaran kelas tetapi dipersatukan oleh kesadaran pengalaman yang disebabkan proses marginalisasi dalam sistem produksi

TRI. 99 Setiap tindakan perlawanan dari petani selalu dilakukan secara diam-diam dan

sembuyi-sembuyi. Dengan tujuan agar aturan-aturan tradisional yang menjamin keamanan ekonomi petani segera dikembalikan karena secara moral hak tersebut menjamin kebutuhan-kebutuhan fisik manusia atas kelangsungan hidupnya. TRI dipandang sebagai ancaman atas kelangsungan hidup petani, karena kebutuhan subsistennya digusur oleh tanaman komoditas. Sikap petani menolak menanam tebu dan lebih memilih tanaman pangan. Menurut Popkin, dipandang sebagai suatu sikap rasionalitas dari petani. Selain itu dikatakan, petani homo oekonomicos yang akan terus

berusaha memaksimalkan sumber daya dan kemakmuran bagi dirinya sendiri. 100

98 Wawancara dengan Sumadi, Hadi Suwarto, dan Mujito, Sabtu 25 Juli 2009 .

99 Wawancara dengan Irsad, Rabu 20 Juli 2009

Samuel L Popkin, 1986, Petani Rasional, Jakarta: Yayasan Padamu Negeri.

Besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menanam tebu dibandingkan dengan hasil setoran ke PG membuat sebagian besar petani menolak TRI. Keberatan petani untuk terlibat secara aktif dalam program TRI terutama didasarkan pada tingkat keuntungan yang diperoleh dari tanaman tebu yang lebih kecil dari pada dari jenis tanaman lain.

Secara psikologis petani benar-benar merasa kehilangan kebebasan untuk mengolah lahan pertanian sendiri. Petani lebih memilih menanam padi dari pada menanam tebu, karena akan lebih banyak memberi penghasilan bagi para petani. "Kalau kami boleh memilih, tentu akan lebih memilih menanam padi," ungkap rata-rata petani TRI di

Colomadu. 101 Keegganan petani menanam tebu karena sebelum masa panen tiba petani sudah punya utang kepada PG. Utang itu meliputi, penjagaan lahan pertanian, pupuk,

bibit, dan obat-obatan yang harus dibayar setelah panen. Sementara ongkos giling dan ongkos angkutan masih juga dibebankan kepada petani. Alasan yang dikemukakan di atas membuat perjalanan sistem TRI di PG Colomadu tidak berhasil.

Ketidakberhasilan ini terlihat dari PG Colomadu dalam mendapatkan bahan baku merasa kesulitan. Kesulitan dalam mendapatkan bahan baku terjadi karena pada tahun

1998 pemerintah mencabut Inpres No. 9 Tahun 1975 tentang TRI. 102 Penghentian inpres ini membuat penanaman tanaman tebu semakin berkurang dan mendorong petani tebu

kurang bergairah menanam tebu dan beralih menanam tanaman alternatif ( padi dan palawija) sehingga pada tanggal 1 Mei 1998 PTPN IX secara resmi menidurkan PG Colomadu. Peniduran PG Colomadu pada tahun ini membuat kegiatan produksi berhenti

101 Wawancara dengan Beberapa Petani TRI di Colomadu.

102 Khudori, 2004, Neoliberalisme Menumpas Petani, Yogyakarta: ResistBook, hal 241 102 Khudori, 2004, Neoliberalisme Menumpas Petani, Yogyakarta: ResistBook, hal 241

Penanaman yang dilakukan PG Colomadu setelah peniduran tidak dilaksanakan di sekitar PG Colomadu. Hal ini terjadi karena harga sewa tanah di daerah ini mahal dan kebanyakan petani di sekitar daerah ini telah beralih menaman padi. Selain itu lahan di sekitar pabrik juga telah beralih fungsi sebagai tempat pemukiman penduduk.

2. Perkembangan Ekonomi Yang Mendorong Pengalihan Fungsi Lahan Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar pada sepuluh tahun terakhir ini telah mengalami perkembangan. Perkembangan ini akibat dari interaksi antara desa dan kota. Hubungan ini timbul karena adanya kemajuan-kemajuan di bidang perhubungan dan lalu lintas di daerah ini. Akibatnya penduduk di desa telah banyak mendapat pengaruh kota, sehingga persentase penduduk desa yang bertani mulai berkurang dan menceburkan diri

dengan pekerjaan yang nonagraris. 104 Dampak dari hal itu membuat pembangunan semakin berkembang dan tuntutan kebutuhan masyarakat akan pemukiman dan fasilitas kehidupan

meningkat. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan di Kecamatan Colomadu. Lahan pertanian di sekitar PG Colomadu yang luas secara drastis menjelma

menjadi rumah-rumah. 105 Perubahan ini terjadi karena sawah makin jarang memberi kepastian hidup dalam kalkulasi pendapatan, dan kebutuhan. Akibatnya generasi muda

memandang profesi sebagai petani dianggap pekerjaan yang kotor, sengsara, dan kurang bergengsi. Perubahan cara pandang tersebut, membuat citra petani dibenak mereka semakin

103 Wawancara dengan Marwanto, Kamis 15 Juli 2009. 104

Bintarto R, 1983, Interksi Desa Kota dan Permasalahannya, Jakarta : Ghalia Indonesia, hal. 61.

105 Wawancara dengan Pegawai Kecamatan Colomadu.

menurun. Dengan demikian lahan pertanian bukan lagi merupakan aset sosial semata, tetapi lebih diandalkan sebagai aset ekonomi atau modal kerja bila mereka beralih profesi di luar bidang pertanian. 106

Mereka tidak akan keberatan melepaskan lahan pertaniannya untuk di alih-fungsikan pada penggunaan non pertanian. Keadaan tersebut semakin diperburuk dengan kondisi ekonomi di sekitar pabrik gula Colomadu yang sedang mengubah lahan pertanian menuju lingkungan kota yang dinamis. 107 Hal ini terlihat dari penurunan lahan pertanian di daerah Colomadu sebagai berikut:

Tabel 4. Macam Penggunaan Lahan dan Luas Perubahannya di Daerah Colomadu

Tahun 1999-2007

Tahun Luas Lahan Menurut Peggunaannya (Ha) Jumlah Sawah

Bagunan/Perkampungan

Sumber: Monografi Kecamatan Colomadu Tahun 1999-2007 Dari tabel di atas terlihat bahwa setelah peniduran PG Colomadu penurunan lahan pertanian dari tahun ke tahun terus menurun sedangkan pembangunan perkampungan atau pemukiman baru terus meningkat setiap tahun. Perubahan ini menyebabkan semakin bertambahnya bangunan atau perkampungan di Kecamatan Colomadu karena pada tahun

106 Raldi Hendro Koestoer, 1997, Perspektif Lingkungan Desa-Kota, Jakarta: UI-PRESS, hal. 26-35.

107 Wawancara dengan Sunarto, Rabu 5 Agustus 2009

1999 jumlah bangunan/perkampungan hanya sebesar 621,3 ha, tetapi pada Tahun 2007 bertambah menjadi 778,6 ha.

Penurunan pengalihan fungsi lahan di Kecamatan Colomadu tidak lepas dari perkembangan Kota Solo yang semakin luas. Hal ini berdampak pada masuknya penduduk Solo ke daerah Colomadu terutama di daerah tepian yang berbatasan dengan Kota Solo. Banyak daerah yang dulu untuk tanaman tebu telah berubah menjadi

pemukiman penduduk. 108 Perubahan ini terjadi karena petani diarahkan ke model pertanian yang mengejar produktivitas dari pada mencukupi kebutuhan subsintensinya.

Akibatnya moral petani seperti gotong-royong telah digantikan dengan pola hubungan pasar yang mendorong terjadinya proses industrialisasi dan modernisasi. 109

Perubahan lingkungan di pabrik gula Colomadu membuat persepsi masyarakat tentang tanah dianggap sebagai sumber kekayaan yang dapat mengubah hidup mereka. Colomadu adalah Daerah pinggiran dari Kota Solo, karena itu dengan semakin berkembangnya Kota Solo membuat pelebaran kota pinggiran tidak terelakan lagi. Perubahan makna ini adalah tanda seru dari arus masyarakat modern yang menganggap

sawah tidak untuk menanam padi, jagung, atau tebu tetapi untuk menanam modal. Selain itu sawah memiliki arti uang, bukan untuk mendapatkan hasil panen dari tanaman. 110

Selanjutnya pabrik gula Colomadu mengalami kesulitan dalam pemenuhan bahan baku dalam proses produksi. Suara-suara mesin-mesin pabrik dan troli tebu yang sepuluh tahun yang lalu masih terdengar sekarang sudah tidak terdengar.

Solopos, 9 Mei 2009.

109 Robert Redfiled, 1985, Masyarakat Petan dan Kebudayaani, Jakarta: Rajawali, hal 95.

110 Raharjo, 1999, Pengantar SosiologiPedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: UGM Press, hal 192.

Hamparan sawah dengan tanaman tebu sudah tidak terlihat lagi. Sekarang bila melewati sekitar pabrik gula Colomadu hanya akan terlihat perumahan-perumahan penduduk dan tanaman padi. Kenyataan ini terlihat dari anggapan masyarakat sekitar pabrik gula Colomadu bahwa menjadi petani tebu, dan menggarap sawah adalah suatu jenis pekerjaan yang dianggap tidak memberikan keuntungan yang besar dalam memenuhi kebutuhan hidup. Keadaan ini menjadikan citra Colomadu sebagai penghasil gula sudah terlupakan oleh masyarakatnya.

B. Reaksi Pekerja Dalam Menghadapi Peniduran Pabrik Gula Colomadu

Peniduran pabrik gula Colomadu tidak lepas dari peranan masyarakat di sekitar pabrik gula Colomadu. Salah satu yang menjadi alasan peniduran PG Colomadu adalah kekurangan bahan baku untuk mengiling. Kekurangan bahan baku ini disebabakan oleh pengalihan fungsi lahan pertanian di sekitar pabrik gula Colomadu. Lahan-lahan pertanian yang dulu digunakan untuk tanaman tebu telah berubah menjadi hamparan perumahan penduduk. Pengalihan fungsi lahan secara besar-besaran membuat

kelangsungan produksi pabrik gula Colomadu tidak bisa dipertahanakan lagi. 111 Pada tahun 1997 Direksi PTPN IX mengeluarkan kebijakan tentang amalganasi

lima pabrik gula di Jawa Tengah, yaitu Pabrik Gula Colomadu, PG Ceper Baru, PG Kalibagor, PG Banjeratma dan PG Cepiring. Dari kebijakan itu PG Colomadu secara

resmi ditutup tanggal 1 mei 1998. 112 Awal peniduran pabrik gula Colomadu menghadapi tentangan dari para pekerja pabrik gula baik tenaga tetap, musiman,dan boronga.

Berbagai elemen karyawan pabrik gula Colomadu dibuat resah dengan kebijakan yang

111 Wawancara dengan Widodo, Rabu 15 Juli 2009.

112 Lampiran 3.

dibuat oleh Direksi PTPN IX. Keresahan para karyawan PG timbul karena sebagian dari karyawan PG akan dipercepat pensiunnya dan sisanya dipindahkan ke PG Tasikmadu sehingga mendorong pekerja pabrik gula Colomadu mengadakan protes kepada pihak

Direksi PTPN IX. 113 Protes dilakukan oleh para tenaga kerja PG Colomadu yang telah bekerja di atas 20

tahun. Menurut para pekerja percepatan pensiun dini dianggap tidak adil karena untuk memperoleh pekerjaan baru akan terasa sulit serta dalam proses pensiun dini pihak Direksi PTPN IX dianggap tebang pilih. Keluhan para pekerja PG Colomadu yang disampaikan kepada Direksi PTPN IX tidak didengar. Terbukti Direksi Mengeluarkan daftar nama-nama pegawai pabrik gula Colomadu yang di percepat pensiunnya. Kebanyakan pegawai yang dipercepat pensiunnya adalah bagian Intalasi. Hal ini dilakukan Direksi PTPN IX karena setelah PG tidak beroperasi tenaga yang tidak diperlukan adalah bagian Intalasi. Fungsi bagian Instalasi adalah memperbaiki dan merawat mesin-mesin pabrik gula. Dengan alasan ini pensiun dini bagi karyawan yang

berasal dari bagaian Instalasi tidak bisa dihindarkan. 114 Untuk menyelesaikan masalah hak-hak karyawan dan tali asih, maka Direksi PTPN

IX mengeluarkan daftar tunjangan yang diterima oleh karyawan sesuai masa kerja dan jabatan. Posisi yang tidak menguntungkan juga harus dihadapi oleh para buruh PG Colomadu baik buruh harian atau borongan. Para buruh sebelum peniduran PG Colomadu mendapatkan hasil dari pekerjaan untuk membuka tanah, menanam, dan akhirnya menebang tebu. Buruh–buruh ini didatangkan dari lingkungan pabrik gula

113 Wawancara dengan Jumadi, Senin 10 Agustus 2009.

114 Wawancara dengan Jumadi, Senin 10 Agustus 2009.

Colomadu sedangkan buruh borongan didatangkan dari daerah lain. Kenyataan yang pahit harus dihadapi oleh para buruh PG Colomadu karena ladang kehidupan yang biasa mereka kerjakan sudah tidak beroperasi lagi sehingga penghasilan mereka berkurang

dengan demikian angka penggaguran di Colomadu meningkat. 115