TINJAUAN PUSTAKA

2.6.1 Serangan Iskmeik Transient (TIA)

  Suatu stroke mungkin didahului oleh serangan iskemik transien (TIA) yang serupa dengan angina pada serangan jantung. TIA adalah serangan-serangan defisit neurologis yang mendadak dan singkat akibat iskemia otak fokal yang cenderung

  dalam 24 jam. Istilah ini merupakan istilah klinis dan tidak mengisyaratkan penyebab. Serangan serangan ini menimbulkan beragam gejala, bergantung pada lokasi jaringan otak yang terkena, dan disebabkan oleh gangguan vascular yang sama dengan yang menyebabkan stroke. TIA merupakan hal penting karena merupakan peringatan dini akan kemungkinan infark serebrum di masa mendatang. TIA mendahului stroke trombotik pada sekitar 50 sampai 75 pasien. Dengan demikian, orang yang mengalami TIA memerlukan pemeriksaan medis dan neurologis yang lengkap. Tindakan ini penting untuk mencegah stroke, karena sering dijumpai penyebab penyebab yang dapat diobatai seperti fibrilasi atrium. Pemeriksaan klinis yang paling sederhana adalah hitung darah lengkap (HDL), panel metabolic dasar, faktor pembekuan, elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan Doppler karotis (non invasive). Istilah yang sekarang menjadi jarang digunakan adalah Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND). RIND yang kadang-kadang disebut “stroke ringan” (small stroke), adalah TIA dengan tanda-tanda yang berlangsung lebih dari 24 jam. Biasanya penyebabnya adalah stenosis aterosklerosis sebuah arteri karotis. Pasien yang jelas memperlihatkan bising karotis di sisi yang terkena seyogyanya menjalani pemeriksaan Doppler karotis dan angiografi. Pemeriksaan-pemeriksaan ini sangat penting untuk mendiagnosis lesi yang dapat diperbaiki secara bedah. Bahkan tanpa terdengar bruit, prosedur-prosedur diagnostic tetap harus dilakukan apabila terdapat gejala deficit di sirkulasi karotis (anterior), terutama apabila disertai emboli pada arteriol retina (Wiederholt, 2000)

  Identifikasi bagian otak yang terkena TIA tidaklah selalu mudah dilakukan. Namun, timbulnya kebutaan satu mata dengan atau tanpa kelemahan atau baal kontralateral selalu mengisyaratkan sistem karotis, demikian juga afasia reseptif atau sensorik. Meredup atau menghilangnya penglihatan secara transien di satu mata (amaurosis fugaks) disebabkan oleh terhentinya aliran darah oleh arteri oftalmika (cabang arteri karotis interna) yang memperdarahi arteri arteri retina. Stenosis karotis yang disebabkan oleh plak aterosklerotik, mikroembolus dari plak aterosklerotik, atau menurunya curah jantung dapat menyebabkan kurang adekuatnya perfusi ke otak sehingga timbul gejala-gejala tersebut. Tanda utama keterlibatan sistem vertebrobasiler adalah kelemahan bilateral, gangguan penglihatan,pusing bergoyang, sering jatuh mendadak, rasa baal, atau kombinasinya Semakin sering frekuensi TIA, semakin besar probabilitas terjadinya stroke dikemudian hari.

  Subclavian steal syndrome adalah suatu bentuk TIA yang merupakan contoh klasik obstruksi arteri ekstrakranium yang mengganggu aliran darah melalui sistem arteria vertebrobasilaris. Apabila arteria subklavia tersumbat dekat pangkalnya, aliran darah ke arteria vertebralis dapat berbalik sehingga aliran darah mengalir menjauhi (“tercuri”) dari arteria basilaris dan sirkulasi Willisi untuk memperdarahi lengan dengan mengorbankan sirkulasi otak. Tempat tersering obstruksi (biasanya disebabkan oleh aterosklerosis) adalah di arteria subklavia sinistra, dekat pangkal arteria vertebralis sinistra. Saat lengan kiri beraktifitas,darah dialirkan dari dari arteria Subclavian steal syndrome adalah suatu bentuk TIA yang merupakan contoh klasik obstruksi arteri ekstrakranium yang mengganggu aliran darah melalui sistem arteria vertebrobasilaris. Apabila arteria subklavia tersumbat dekat pangkalnya, aliran darah ke arteria vertebralis dapat berbalik sehingga aliran darah mengalir menjauhi (“tercuri”) dari arteria basilaris dan sirkulasi Willisi untuk memperdarahi lengan dengan mengorbankan sirkulasi otak. Tempat tersering obstruksi (biasanya disebabkan oleh aterosklerosis) adalah di arteria subklavia sinistra, dekat pangkal arteria vertebralis sinistra. Saat lengan kiri beraktifitas,darah dialirkan dari dari arteria

  dijumpai perbedaan amplitudo denyut dan tekanan darah (>20 mmHg) diantara kedua lengan. Diagnosis dipastikan dengan angiografi dan penyakit ini dapat diperbaiki secara bedah dengan endarterektomi atau okulasi pintas.

2.6.2 Stroke Iskemik (Price, 2006)

  Sekitar 80—85 stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (thrombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh organ distal. Pada thrombus vascular distal, bekuan dapat terlepas, atau mungkin terbentuk di dalam suatu organ seperti jantung, dan kemudian dibawa melalui sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus. Terdapat beragam penyab stroke trombotik dan embolik primer, termasuk aterosklerosis, arterititis, keadaan hiperkoagulasi, dan penyakit jantung structural. Namun, trombosis yang menjadi penyulit aterosklerosis merupakan penyabab pada sebagian besar kasus stroke trombotik, dan embolus dari pembuluh besar atau jantung merupakan penyebab tersering stroke embolik (Smith et.al 2011)

  Selama tahun 1990an para peneliti membuat kemajuan besar dalam mengungkapkan mengapa sel-sel neuron mati selama stroke iskemik. Sebagian besar stroke berakhir dengan kematian sel-sel di daerah pusat lesi (infark) tempat aliran darah mengalami penurunan drastis sehingga sel-sel tersebut biasanya tidak dapat pulih. Ambang perfusi ini biasanya terjadi apabila CBF hanya 20 dari normal atau kurang. CBF normal adalah sekitar 50 ml100 gr jaringan otak menit. The National Stroke Association (2001) telah meringkas mekanisme cedera sel akibat stroke sebagai berikut:

  1. Tanpa obat-obatan neuroprotektif, sel-sel yang mengalami iskemia 80 atau lebih (CBF 10 ml100 gr jaringan otak menit) akan mengalami kerusakan ireversibel dalam beberapa menit. Daerah ini disebut pusat iskemik. Pusat iskemik dikelilingi oleh daerah lain jaringan yang disebut penumbra iskemik atau “zona transisi” dengan CBF antara 20 dan 50 normal (10—25 ml100 gr jaringan otak menit. Sel-sel neuron di daerah ini berada dalam bahaya tetapi belum rusak secara ireversibel. Terdapat bukti bahwa jendela waktu untuk timbulnya penumbra pada stroke dapat bervariasi dari 12 sampai 24 jam.

  Penumbra Iskemik: CBF = 10-25 ml100g jaringan otakmenit

  (hilangnya autoregulasi dan responsivitas CO 2 )

  A

  Pusat Iskemik:

  B CBF = < 10 ml100g jaringan otakmenit (infark jaringan otak)

  Otak Sehat: CBF = ≥ 50 ml100g jaringan otakmenit

  (Autoregulasi dan responsivitas CO 2 utuh)

  Gambar 2.1 Skematik perbandingan area infark, penumbra, dan sehat (Price, 2006)

  2. Secara cepat di dalam pusat infark, dan setelah beberapa saat di daerah penumbra iskemik, cedera dan kematian sel otak berkembang sebagai berikut:

  - Tanpa pasokan darah yang memadai, sel-sel otak kehilangan kemampuan untuk menghasilkan energi—terutama adenosine trifosfat (ATP)

  - Apabila kekurangan energi ini, pompa natrium-kalium sel berhenti berfungsi sehingga neuron neuron membengkak.

  - Salah satu cara sel otak berespons terhadap kekurangan energi ini adalah dengan meningkatkan konsentrasi kalsium intrasel. Yang memperparah masalah, dan mendorong konsentrasi ke tingkat yang membahayakan adalah proses eksitotoksisitas, yaitu sel-sel otak melepaskan neurotransmitter eksitatorik glutamate dalam jumlah berlebihan. Glutamat yang dibebaskan ini merangsang aktivitas kimiawi dan listrik di sel otak lain dengan melekat ke suatu molekukl di neuron lain, Resptor N-metil-D-aspartat (NMDA). Pengikatan reseptor ini memicu pengaktivan enzim nitrat oksida sintase (NOS), yang menyebabkan terbentuknya molekul gas, nitrat oksida (NO). Pembentukan NO dapat terjadi secara cepat dalam jumlah besar sehingga terjadi penguraian dan kerusakan struktur-struktur sel yang vital. Proses ini terjadi melalui perlemahan asam deoksiribonukleat (DNA) neuron, yang pada giliranya, mengaktifkan enzim, poli (adenosin difosfat—[ADP] ribose) polymerase (PARP). PARP adalah suatu enzim nukleus yang mengenali kerusakan pada untai DNA dan sangat penting dalam perbaikan DNA (Mandir.et.al 2001). Namun, PARP diperkirakan menyebabkan dan mempercepat eksitokisistas setelah iskemia serebrum, sehingga terjadi deplesi energi sel yang hebat dan kematian sel (apoptosis).

  - NO terdapat secara alami di tubuh dan meningkatkan banyak fungsi fisiologik yang bergantung pada vasodilatasi, zat ini juga merupakan bahan

  Namun, dalam jumlah berlebihan, NO dapat menyebabkan kerusakan dan kematian neuron. Obat yang dapat menghambat NOS dan produksi NO atau menghambat kerja enzim PARP mungkin akan bermanfaat untuk mengurangi kerusakan otak akibat stroke.

  - Sel-sel otak akhirnya mati akibat kerja berbagai protease (enzim yang mencerna protein sel) yang diaktifkan oleh kalsium, lipase (enzim yang mencerna membrane sel), dan radikal bebas yang terbentuk akibat jenjang iskemik.

  - Akhirnya, jaringan otak yang mengalami infark membengkak dan dapat menimbulkan tekanan dan distorsi serta merusak batang otak.

  Setelah episode iskemik permulaan, faktor mekanis dan kimiawi menyebabkan kerusakan sekunder. Faktor yang paling banyak menimbulkan cedera adalah (1) rusaknya sawar darah-otak dan sawar darah-CSS akibat terpajan zat-zat toksik, (2) edema interstisium otak akibat meningkatnya permeabilitas vascular di arteri yang terkena, (3) zona hiperperfusi yang mengelilingi jaringan iskemik yang dapat mengalihkan aliran darah dari dan mempercepat infark neuron-neuron yang sudah mengalami iskemia. Dan (4) hilangnya autoregulasi otak sehingga CBF menjadi tidak responsive terhadap perbedaan tekanan dan kebutuhan metabolik.

  Hilangnya autoregulasi adalah penyulit stroke yang sangat berbahaya dan dapat memicu lingkaran setan berupa meningkatnya edema otak, meningkatnya TIK, dan semakin luasnya keruaskan neuron. Dengan hilangnya autoregulasi, arteriol- arteriol tidak lagi mampu mengendalikan CBF sesuai kebutuhan metabolik. Arteriol- arteriol tersebut juga tidak dapat melindungi kapiler otak dari peningaktan atau penurunan mendadak tekanan darah. Aliran darah otak sekarang dikendalikan semata- mata oleh tekanan arteri sistemik rata-rata (MAP). Pada hipotensi berat, tekanan perfusi serebrum menurun sehingga terjadi iskemia. Akhirnya, karena iskemia menimbulkan perubahan kimiawi di dalam sel, akan terjadi kerusakan akibat meningkatnya edema serebrum, yang semakin menurunkan aliran darah ke otak dalam suatu sistem beraliran lambat. Sayangnya, dengan menghilangnya autoregulasi, hipertensi arteri sistemik yang tidak terkendali dapat menimbulkan akibat yang sama. Serupa dengan keadaan tekanan darah yang sangat rendah, pada keadaan tekanan tinggi CBF mengikuti MAP sitemik. Dengan demikian CBF meningkat, TIK meningkat, sehingga kapiler-kapiler otak mengalami distenis dan menjadi permeable. Proses ini, tentu saja menimbulkan lingkaran setan jenis lain, berupa hilangnya tekanan onkotik di kapiler serebrum dan terjadinya edema di jaringan interstisum otak.

  iskemia

  Glutamat release

  Reseptor NMDA

  Reseptor AMPA

  Reseptor Metabotropic

  Peningkatan Ca ++ Depolarisasi

  Gen Pemrogram

  Intraseluler

  kematikan selsurvival

  Peningkatan + Peningkatan Na

  Sel Membengkak

  nNOS

  intraseluler

  Radikal Bebas

  Infark Otak

  Mitokondria

  Bagan Alur Neurodegeneratif. Sumber: Patricia Ann Blissit (2013)

2.6.3 Stroke Hemoragik

  Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15—20 dari semua stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskuler intraserebrum mengalami rupture sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskuler yang dapat menyebabkan perdarahan subaraknoid (PSA) adalah aneurisma sakular (Berry) dan malformasi arteriovena (MAV). Mekanisme lain pada stroke hemoragik adalah pemakaian kokain atau amfetamin, karena zat-zat ini dapat menyebabkan hipertensi berat dan perdarahan intraserebrum atau subaraknoid.

  Perdarahan dapat dengan cepat menimbulkan gejala neurologic karena tekanan pada struktur-sturktur saraf di dalam tengkorak. Iskemia adalah konsekuensi sekunder dari perdarahan baik yang spontan maupun traumatik. Mekanisme terjadinya iskemia tersebut ada dua: (1) tekanan pada pembuluh darah akibat ekstravasasi darah ke dalam tengkorak yang volumenya tetap, (2) vasospasme reaktif pembuluh-pembuluh darah yang terpajan ke darah bebas di dalam ruang antara lapisan araknoid dan piaatter meningen. Biasanya stroke hemoragik secara cepat menyebabkan kerusakan fungsi otak dan kehilangan kesadaran. Namun, apabila perdarahan berlangsung lambat, pasien kemungkinan besar mengalami nyeri kepala hebat, yang merupakan skenario khas perdarahan subaraknoid (PSA). Tindakan pencegahan utama untuk perdarahan otak adalah mencegah cedera kepala dan mengendalikan tekanan darah.

2.7 Manifestasi Klinis

  Anatomi dan Korelasi Klinis: Circle of Willis ; Sumber Patricia Ann Blissitt dalam AACN (2013)

  Area

  Presentasi Klinis

1. Sirkulasi Anterior (Lobus frontal, lobus temporal, lobus parietal, lobus oksipital)

  Arteri karotis internal (ICA)

  Kelemahanparalisis dan kehilangan sensori dari Lengan dan kaki kontralateral; homonim hemianopsia kontalateral; ekspresif dan reseptif aphasiadiphasia

  Arteri Serebral Anterior (ACA)

  Kelemahanparalisis kaki kontralateral dan kehilangan sensori (kaki lebih buruk daripada lengan); abnormalitas pada lobus frontal pengatur perilaku; homonim hemianopsia kontalateral; hemineglect kontralateral jika lesi pada sisi tidak dominan

  Arteri serebral tengah (MCA)

  Kelemahanparalisis lengan kontralateral dan kehilangan sensori (lengan lebih buruk dibanding kaki); abnormalitas lobus frontal pengatur perilaku; homonim hemianopsia kontalateral; Kehilangan sensori dan motorik wajah bagian bawah kontralateral; Dispasia ekspresifreseptif pada bagian dominan

2. Sirkulasi Posterior (Lobus oksipital, Serebellum, dan batang otak)

  Arteri serebral posterior (PCA)

  Hemiplegi kontralateral dan kehilangan senosri; hemianopsia homonim

  Arteri Basiler Vertebral (VB)

  Hemiplegia, kelemahanmati rasa pada ipsilateral wajah; dysarthria, dysphagia, vertigo, mual, muntah, pusing, gaya berjalan ataksia, syndrome locked-in

  Arteri Serebral Posterior inferior (PICA)

  Sindrom Wallenberg: ataksia, vertigo, mual dan muntah; nyeri badan kontralateral dan penurunan suhu; nyeri wajah ipsilateral dan penurunan suhu; nistagmus, dysarthria, dysphagia, dysphonia, sindrom horner

  Cerebellum

  Ataksia, dysarthria, tatapan kosong (diconjugate gaze), nistagmus

  Batang otak

  Kuadriplegia dan Kehilangan sensori; Ataksia, dysarthria, tatapan kosong (diconjugate gaze), nistagmus

  3. Sindrom Lacunar

  Penurunan motorik saja atau sensori saja yang terbatas hanya pada satu sisi tubuh

  Gambar 1.2. Arteri ekstrakranium dan intrakranium darah ke otak. Sirkulasi Willisi dan cabang-cabang utamanya juga diperlihatkan. Tempat-tempat aterosklerosis di pembuluh darah otak diberi tanda (bagian yang gelap), dengan lokasi utama adalah bifurkasio karotis dan pangkal dari cabang-cabang aorta, arteria inominata, dan arteri subklavia. Ini adalah temapt temapat yang dapat menjalani pembedahan (Price, 2006)

  Gejala klinis yang timbul juga tergantung dari jenis stroke.

  1) Gejala klinis pada stoke hemoragik berupa :

  a) defisit neurologis mendadak, didahului gejala prodromal yang terjadi pada saat istirahat atau bangun pagi,

  b) kadang tidak terjadi penurunan kesadaran,

  c) terjadi terutama pada usia >50 tahun,

  d) gejala neurologis yang timbul bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya.

  2) Gejala klinis pada stroke akut berupa :

  a) Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis) yang timbul mendadak,

  b) gangguan sensibilitas pada salah satu anggota badan (gangguan hemisensorik),

  c) perubahan mendadak pada status mental (konfusi, delirium, letargi, stupor atau koma),

  d) afasia (tidak lancar atau tidak dapat bicara),

  e. disartria (tidak lancar atau tidak dapat bicara),

  f) ataksia (tungkai atau anggota badan tidak tepat pada sasaran),

  g) vertigo (mual dan muntah atau nyeri kepala).

2.7 Diagnosis Banding dan Perbandingan Manifestasi Klinis Stroke

  Kriteria

  Stroke Hemoragik

  Stroke Iskemik

  Perbedaan

  Parenchymatous Subarachnoid

  Thrombosis of

  Embolism of

  Haemorrhage

  Haemorrhage cerebral vessels cerebral vessels

  Usia

  45-60 th

  20-40 th

  50 th

  Tidak berpengaruh

  Tanda awal

  Sakit kepala

  Sakit kepala

  Serangan TIA

  Tidak sakit

  Hiperemi pada

  Hiperemi pada Pucat

  wajah

  wajah, tampak

  konjungtiva

  blefarospasme

  Saat timbulnya Mendadak, kadang Mendadak,

  Secara perlahan, Mendadak

  penyakit

  pada saat

  merasa ada

  sering pada

  melakukanaktifitas tiupan di kepala malam hari atau adanya tekanan

  menjelang pagi

  Sering pada awal

  kesadaran

  kesadaran

  kesadaran yang menurunnya

  kejadian atau

  mendadak

  reversible

  sesuai dengan

  perubahan yang

  memberatnya

  terjadi sesuai terjadi sesuai

  Sakit kepala

  Kadang-kadang

  Kadang-kadang Jarang

  Jarang

  Motor exitation Kadang-kadang

  Kadang-kadang Jarang

  Jarang 2-5

  Kadang-kadang (25-30)

  Pernafasan

  Ireguler, snooring Kadang Cheyne- Jarang terjadi

  Jarang terjadi

  Stokes,

  gangguan pada gangguan pada

  kemungkinan

  kasus proses

  kasus proses

  Nadi (pulse)

  Tegang, bradikardi Kecepatan nadi Mungkin cepat Bergantung pada lebih sering

  80-100xmnt

  dan halus

  etiologi penyakit

  Jantung (heart) Batas jantung

  Patologi jantung Lebih sering

  Alat jantung,

  mengalami

  jarang

  kardiosklerosis, endokarditis,

  dilatasi, tekanan

  tanda hipertonik aritmia kardiak

  aorta terdengar

  jantung

  pada bunyi jantung II

  Tekanan darah Hipertensi arteri Jarang

  Bervariasi

  meningkat (mungkin menetap tak berubah)

  Paresis atau

  Hemiplegia

  Bisa tidak ada. Hemiparesis

  Hemiparesis,

  plegia

  dengan aktifitas

  lebih prominen kelemahan di

  ekstremitas

  berlebih, ekstensi

  pada salah satu salah satu

  abnormal

  ekstremitas bisa ekstremitas lebih mengarah ke

  tampak daripada

  hemiplegia

  yang lainnya. Kadang-kadang mengarah ke hemiplegia

  Tanda patologi Kadang-kadang

  Kadang-kadang Unilateral

  bilateral, tampak mengarah ke lesi pada salah

  bilateral

  satu sisi cerebral

  Rata-rata

  Cepat

  Secara perlahan Cepat

  perkembangan penyakit

  Tanda awal

  Kadang-kadang

  Hampir selalu

  Jarang

  Jarang pada

  iritasi meningeal

  gejala awal penyakit

  Pergerakan mata Kadang-kadang

  Kadang-kadang Kadang-kadang Jarang

  Cairan

  Berdarah atau

  Kadang-kadang Tidak berwarna Tidak berwarna

  dan jernih

  dan jernih

  dengan peningkatan tekanan

  Fundus mata

  perdarahan dan

  pembuluh darah pembuluh darah

  pembuluh darah

  (atherosklerosis dan vaskulitis)

  Echo-EG

  Terdapat tanda

  Tidak terdapat

  Tidak terdapat

  Tidak terdapat

  pergantian M-echo tanda pergantian tanda pergantian tanda pergantian dan hematoma

  M-echo di edema M-echo atau

  M-echo atau

  otak dan

  pergantian hingga pergantian hingga

  intrakranial

  2 mm keutuhan

  2 mm keutuhan

  hemisfer pada

  hemisfer pada

  hari pertama

  hari pertama serangan stroke serangan stroke

2.8 Pemeriksaan Diagnostik

  Menurut Wiwit, 2010 bukanlah hal yang mudah menentukan seseorang terkena stroke atau tidak. Dalam hal ini harus melewati berbegai prosedur sebelum menyatakan seseorang terkena stroke. Langkah-langkah yang ditempuh antara lain pemeriksaan darah, pemeriksaaan dengan alat pemindai, seperti MRI (magnetik resonance imaging) atau CT Scan (computerized tomography scanning). Selain itu, dibutuhan juga wawancara (anamnesa) dan pemeriksaan fisik dengan seseorang yang diduga menderita stroke.

2.8.1 Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik Neurologis

  Wawancara dilakukan untuk mendapatkan gambaran klinis seseorang. Dengan berbicara langsung dengan pasien, akan dapat memperkirakan tingat keparahan penyakit yang diderita pasien. Dalam wawancara ini, ada beberapa hal yang perlu Wawancara dilakukan untuk mendapatkan gambaran klinis seseorang. Dengan berbicara langsung dengan pasien, akan dapat memperkirakan tingat keparahan penyakit yang diderita pasien. Dalam wawancara ini, ada beberapa hal yang perlu

  Pemeriksaan neurologi terdiri atas :

  1) Tingkat kesadaran, dibagi menjadi 2 yaitu kualitatif dan kuantitatif

  a) Kualitatif  Komposmentis (kesadaran yang normal)  Somnolen, adalah keadaan mengantuk. Kesadaran dapat oulih penuh bila

  dirangsang. Biasa disebut juga letargi. Penderita mudah dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.

   Sopor (stupor), adalah kantuk yang mendalam. Masih dapat dibangunkan

  dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun kembali. Masih mengikuti suruhan singkat, terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri penderita tidak dapat dibangunkan sempurna. Tidak diperoleh jawaban verbal dari penderita tetapi gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.

   Koma ringan adalah tidak ada respon terhadap rangsang verbal. Reflek kornea,

  pupil masih baik. Gerakan timbul sebagai respon dari rangsang nyeri tetapi tidak terorganisasi. Penderita sama sekali tidak dapat dibangunkan.

   Koma dalam atau komplit. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang

  nyeri yang bagaimanapun kuatnya.

  b) Kuantitatif (glasgow coma scale)  Membuka Mata

  Terhadap bicara

  Dengan rangsang

  Tidak ada reaksi

   Respon Verbal

  Baik, tidak ada disorientasi

  Kacau (confused- dapat bicara

  dalam kalimat, namun ada disorientasi waktu dan tempat)

  Tidak tepat (dapat mengucapkan

  kata-kata namun tidak berupa kalimat)

  Tidak ada jawaban

   Respon Motorik

  Menurut perintah

  Mengetahui lokasi nyeri

  Reaksi menghindar

  Reaksi fleksi (dekortikasi)

  Reaksi ekstensi (deserebrasi)

  Tidak ada reaksi

  2) Rangsang Selaput Otak Rangsang selaput otak dapat memberikan beberapa gejala, diantaranya:

  a) Kaku kuduk

  Merupakan gejala yang sering dijumpai pada kelainan rangsang selaput otak. Cara pemeriksaan:

   Tempatkan tangan pemeriksa dibawah kepala pasien yang sedang berbaring  Kepala ditekukan (fleksi), usahakan dagu mencapai dada  Untuk mengurangi salah tafsir, penekukan kepala dilakukan saat klien ekspirasi  Kaku kuduk(+), jika kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada

  b) Tanda Lasegue, cara pemeriksaan:

   Luruskan kedua tungkai pada pasien yang sedang berbaring  Satu tungkai diangkat lurus, dibengkokan (fleksi) pada persendian panggul  Tungkai yang lain harus selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus)  Tanda lasegue (+), jika timbul rasa sakit dan tahanan sebelum kita

  menacapai sudut 70 derajat, normalnya kita dapat mencapai sudur 70 derajat tanpa rasa sakit dan tahahan, kecuali pada usila diambil patokan 60 derajat.

  c) Tanda kernig, cara pemeriksaan:  Fleksikan paha pada persendian panggul sampai sudut 90 derajat, dengan posisi

  berbaring  Tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut  Biasanya kita dapat melakukan ekstensi ini sampai sudut 135 derjat antara tungkai

  bawah dan tungkai atas  Tanda kernig (+), jika terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum mencapai sudut ini

  d) Tanda Brudzinski I, cara pemeriksaan:

   Tempatkan tangan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring  Tangan yang lain sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah

  diangkatnya badan  Tekukan kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada  Brudzinski I (+), jika mengakibatkan fleksi kedua tungkai. Sebelumnya

  kaji dulu apakah ada kelumpuhan pada tungkai.

  e) Tanda Brudzinski II, cara pemeriksaan:

   Pada posisi berbaring, fleksikan satu tungkai pada persendian

  panggul  Tungkai yang lain berada dalam keadaan lurus (ekstensi)  Brudzinski II (+), jika tungkai yang satu ini ikut pula terfleksi.

  Sebelumnya kaji dulu apakah ada kelumpuhan pada tungkai

  3) Saraf otak

  a) Saraf otak 1 (Nervus Olfaktorius)

  Merupakan saraf sensorik yang fungsinya untuk mencium bau, menghidu. Cara pemeriksaan:

   Pemeriksaan lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan setempat, contoh:

  ingusan, polip  Dengan satu lubang hidung pasien disuruh untuk menghidu zat yang tidak

  merangsang, seperti: teh, kopi, tembakau  Periksa masing-masing hidung secara bergantian dengan menutup lubang hidung

  yang lainnya.

  b) Saraf otak II (Nervus optikus)

  Jika pasien tidak mempunyai keluhan yang berhubungan dengan nervus II dan pemeriksa juga tidak mencurigai adanya gangguan maka biasanya dilakukan pemeriksaan nervus II (ketajaman penglihatan dan lapang pandang) secara kasar. Jika ditemukan kelainan harus dilakukan pemeriksaan yang lebih teliti. Selain itu dilakukan pemeriksaan oftalmoskopik sebagai pemeriksaan rutin neurologi. Cara pemeriksaan: - Ketajaman penglihatan

  Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya jauh (misalnya jam dinnding dan diminta menyatakan jam berapa) dan membaca huruf yang ada dibuku atau koran. Bila ketajaman mata pasien sama dengan pemeriksa, maka hal ini dianggap normal. - Lapangan pandang

  Klien disuruh duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak kira- kira 1 meter. Jika kita hendak memeriksa mata kanan, maka mata kiri penderita harus ditutup sedangkan pemeriksa harus menutup mata kananya. Pasien tetap melihat kemata kiri pemeriksa begitupun pemeriksa harus tetap melihat mata kanan penderita. Gerakan tangan dari satu sisi, jika pasien sudah melihat gerakan tangan pasien hendaknya memberi tanda. Hal ini dibandingkan dengan pemeriksa apakah iapun telah melihatnya.

  c) Saraf III, IV, VI (Nervus okulomotorus, troklearis, dan abdusen)

  Ketiga saraf otak ini diperiksa bersama-sama, karena kesatuan fungsinya, yaitu mengurus otot-otot ekstrinsik dan instrinsik bola mata

   Saraf III : Mengatur kontraksi pupil dan mengatur lensa mata

   Saraf IV : Kerjanya menyebabkan mata dapat melirik kearah bawah dan nasal  Saraf VI : Kerjanya menyebabkan lirik mata kearah temporal

  Cara pemeriksaan dengan menggunakan senter, periksa pupil apakah miosis atau midriasis lalu suruh pasien mengikuti gerakan cahaya yang digerakan pemeriksa sesuai dengan arah fungsi masing-masing saraf.

  d) Saraf V (Nervus Trigeminus)

  Nervus Trigeminus terdiri dari 2 bagian yaitu: bagian motorik dan sensorik Motorik (mengurus otot-otot mengunyah). Cara pemeriksaan:

   Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kemudian kita raba M.

  masseter dan M.temporalis  Pasien disuruh membuka mulut dan perhatikan apakah ada deviasi rahang bawah,

  bila ada parease, maka rahang bawah akan berdeviasi kearah yang lumpuh  Nilai kekuatan otot saat menutup mulut dengan cara menyuruh pasien

  mengginggit suatu benda, misal: tong spatel. Sensorik (mengurus sensibilitas dari muka). Diperiksa denganmenyelidiki rasa raba, rasa nyeri dan suhu daerah-daerah yang dipersarafinya (wajah). Cara pemeriksaan :

   Rasa raba

  Sebagai perangsang dapat digunakan sepotong kapas, kertas atau kain dan ujungnya diusahakan sekecil mungkin. Sentuhkan ke area wajah klien. Bandingkan antara wajah kiri dan kanan.

   Rasa nyeri

  Dilakukan dengan menggunakan jarum atau peniti. Tusukan hendaknya cukup keras sehingga betul-betul dirasakan rasa nyeri bukan rasa raba atau sentuh. Tusukkan ke area wajah lalu tanyakan apakah klien merasakannya.

   Rasa suhu

  Ada 2 macam rasa suhu yaitu panas dan dingin. Dengan menggunakanbotol yang berisi air dingines atau air panas. Dengan cara yang sama suruh pasien menyebutkan apakah panas atau dingin.

  e) Saraf VII (Nervus Fasialis)

  Terutama merupakan saraf motorik, yang menginervasi otot-otot ekspresi wajah. Cara pemeriksaan :

  Fungsi Motorik

   Suruh penderita mengangkat alis dan mengerutkan dahi, apakah hal ini

  dapat dilakukan dan apakah asimetrissimetris.  Suruh penderita memejamkan mata. Dinilai dengan jalan mengangkat

  kelopak mata dengan tangan pemeriksa sedangkan pasien disuruh tetap memejamkan mata.Suruh pula pasien memejamkan mata satu persatu. Jika lumpuh berat, penderita tidak mampi memejamkan mata.

   Suruh penderita menyeringai, mengembungkan pipi.

  Fungsi Pengecapan

   Sebelumnya pasien disuruh untuk menutup kedua matanya  Suruh pasien untuk menjulurkan lidahnya  Letakkan zat seperti gula, garam dan kina di bagian 23 lidah bagian

  depan.  Suruhpenderita menyebutkan rasa yang dirasakannya dengan isyarat,

  misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin.

  f) Nervus VIII (Nervus Akustikus)

  Saraf ini terdiri atas 2 bagian, yaitu saraf koklearis mengurus pendengaran dan saraf vestibularis mengurus keseimbangan. - Ketajaman Pendengaran

   Suruh penderita mendengarkan suara bisikan pada jarak tertentu dan

  membandingkannya dengan orang tuanya.  Perhatikan adanya perbedaan pendengaran antara telinga kiri dan kanan.  Jika ketajaman pendengaran kurang atau ada perbedaan antara kiri dan

  kanan maka lakukan pemeriksaan Swabach, Rinne dan Weber. - Keseimbangan

   Tes Romberg yang dipertajam.

  Penderita berdiri dengan kaki kaki yang satu di depan yang lainnya.Tumit kaki yang satu berada di depan jari kaki yang lainnya.

   Tes melangkah ditempat

  Penderita disuruh berjalan di tempat dengan mata tertutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa.Sebelumnya pasien diberitahu bahwa dia harus berusahaagar tetap agar tetap ditempat selama tes ini. Tes ini dianggap abnormal jika kedudukan akhir penderita beranjak lebih dari 1 meterdari tempat semula atau badan berputar lebih dari derajat.

  g) Saraf IX dan X (Nervus Glosofaringeus dan Vagus)

  Kedua nervus ini diperiksa berbarengan karena berhubungan erat satu sama lain. Cara pemeriksaan :

   Penderita disuruh membuka mulut, suruh penderita menyebut “aaaa” perhatikan palatum mole dan faring serata apakah uvula ada di tengah atau miring.

   Waktu penderita membuka mulut kita rangsang (tekan) dinding faring atau

  pangkal lidah dengan tong spatel. Rangsangan tersebut akan membangkitkan reflek muntah.

  h) Saraf XI (Nervus Aksesorius)

  Cara pemeriksaan :

   Tempetkan tangan kita diatas bahu penderita.  Kemudian penderita disuruh mengangkat bahunya dan kita tahan maka

  dapat kita nilai kekuatan ototnya.  Bandingkan otot yang kanan dan kiri.

  i) Saraf XII (Nervus Hipoglosus). Cara pemeriksaan :

   Suruh pasien membuka mulut dan menjulurkan lidahnya.  Penderita disuruh menekankan lidahnya pada pipinya. Kita nilai daya

  tekannya ini dengan jalan menetapkan jari kita tapi pada pipi sebelah luar. Jika terjadi parese lidah bagian kiri, lidah tidak dapat ditekankan ke pipi sebelah kanan tetapi ke sebelah kiri dapat melakukannya.

  4) Kekuatan otot Tenaga otot dinyatakan dengan menggunakan angka 0-5 (0 berarti lumpuh sama sekali dan 5 normal).

  0 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total.

  1 : Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan pada persendian yang harus digerakkan oleh otot tersebut.

  2 : Didapatkan gerakan, tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya gravitasi.

  3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat.

  4 : Disampin dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi sedikit tahanan yang diberikan.

  5 : Tidak ada kelumpuhan (normal).

2.8.2 Pemeriksaan Laboratorium

  Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendapatkan informasi faktor-faktor risiko tersebut. Pemeriksaan laboratorium meliputi :

  a) Pemeriksaan darah lengkap berupa jumlah sel darah merah dan putih, trombosit, dam lain-lain. Hasil pemeriksaan ini akan memberikan informasi kesehatan pasien, misalnya jika jumlah sel darah putih diatas normal, hal itu mengindikasikan terjadinya penyalit atau infeksi yang sedang menyerang pasien.

  b) Tes darah koagulasi, yang terdiri atas 4 tes, yaitu :

   Prothrombin time  Partial thromboplastin time (PTT)  International normalized ratio (INR); dan  Agregasi trombosit

  Tes ini digunakan untuk mengetahui seberapa cepat darah menggumpal dan menyebabkan perdarahan atau pembekuan darah.

  c) Tes kimia darah Tes ini digunakan untuk melihat kadar gula darah, kolesterol, asam urat, dan lain-lain yang merupakan pencetus stroke.

  d) Tes lipid darah Tes ini digunakan untuk mengetahui kadar kolesterol baik (HDL) dan kadar kolesterol jahat (LDL), trigliserida, dan total kolesterol. Faktor kolesterol ini dianggap sebagai faktor yang berperan penting dalam kasus stroke dan penyakit jantung.

  e) Tes darah dalam situasi tertentu.

  Kasus stroke yang tidak diketahui penyebabkan memerlukan tes ini. Tes ini terutama diperlukan pada penderita yang berusia muda atau anak-anak. Tes ini meliputi homosistein darah, enzim kardiak, dan lopus koagulasi.

2.8.3 Pemeriksaan dengan Pemandaian

  Pemeriksaan ini dilakukan pada otak dan kepala, biasanya menggunakan CT- scan dan MRI atau alat pemindai lain, seperti SPECT ( single photon emission), cerebral angioplasty, USG (carotid ultrasound), echocardiogram, dan EKG.

  a) CT-Scan (Computer Tomography-Scan)

  Pemeriksaan ini dilakukan oleh oleh dokter ahli radiologi. Biasanya pemriksaan ini dilakukan atas perintah dokter saraf atau bedah saraf. Pada dasarnya, CT scan menggunakan sinar X untuk mengambil gambar otak dan kepala. Karena tulang lebih banyak menyerap sinar X, saat pemindaian biasanya menggunakan warna putih. Sedangkan cairan otak menghasilkan warna hitam. Pada kasus stroke iskemik, warna otak akan lebih banyak hitam, sedangkan pada stroke hemoragik akan lebih banyak menghasilkan warna putih. Selain itu, untuk mengetahui adanya trombosis, emboli serebral maupun adanya peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan TIK dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya perdarahan subarakhnoid ataupun intrakranial. Pada beberapa kasus trombosis disertai proses inflamasi.

  b) MRI (Magnetic Resonance Imaging)

  Alat ini memberikan hasil lebih akurat dari pada CT-Scan karena mampu mendeteksi berbagai berbagai kelainan otak dan pembuluh darah otak yang sangat kecil dan tidak mungkin di jangkau oleh CT-Scan, seperti daerah spesifik yang mengalami infark, perdarahan maupun Malformasi Arteriovena.

  c) SPECT

  Alat ini menggunakan isotop dengan sinar gamma, dari jenis sel radio isotop xenon 133. Alat ini digunakan untuk mendeteksi wilayah otak yang tidak terganggu dan dapat mendeteksi serangan (dalam waktu empat jam setelah serangan).

  d) PET-Scan

  Alat ini digunakan untuk memantau gangguan fisiologi, seperti metabolisme gula dalam otak. Alat yang satu ini tidak begitu popular karena selain harganya yang cukup tinggi, alat ini membutuhkan waktu yang lama sehingga membuat pasien mengeluh.

  e) Cerebral Angiography

  Alat yang biasanya digunakan sesudah pemeriksaan menggunakan CT-Scan ini digunakan untuk mendeteksi abnormalitas di dalam pembuluh darah otak (menyempit atau tersumbat, adanya aneurisma maupun AVM dan mengetahui tingkat penyempitan dan penyumbatan).

  f) Ultrasonografi

  Carotid USG digunakan untuk meneliti penyumbatan pembuluh darah di leher pasien yang sudah terkena serangan stroke ketika dilakukan pemindaian awal. Penyempitan pembuluh darah akibat menumpuknya kolesterol, penggumpalan darah, Carotid USG digunakan untuk meneliti penyumbatan pembuluh darah di leher pasien yang sudah terkena serangan stroke ketika dilakukan pemindaian awal. Penyempitan pembuluh darah akibat menumpuknya kolesterol, penggumpalan darah,

  g) EKG (Electrocardiogram)

  Alat ini digunakan untuk memantau denyut jantung. Alat ini juga bisa memberikan gambaran irama denyut jantung yang bisa memicu serangan stroke, juga bisa digunakan sebagai alat evaluasi stroke.

  h) EEG (Electro Encephalogram)

  Mengidentifikasi masalah pada gelombang otak dan memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.

  i) Rontgen tengkorakskull

  Menggambarkan kalsifikasi karotis interna yang terdapat pada trombosis serebral, kalifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan subarakhnoid.

2.9 Komplikasi Stroke

  Menurut BrunnerSuddarth (2002), komplikasi stroke meliputi:

  1) Hipoksia Serebral

  Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.

  2) Aliran darah serebral

  Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena) harus menjamin penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.

  3) Embolisme Serebral

  Embolisme serebral dapat terjadi setelah stroke infark miokard atau fibrilasi atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan penghentikan trombus lokal. Selain itu, disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki.

2.10 Penatalaksanaan Stroke

  Berdasarkan Guideline Stroke AHA 2011, Perdossi membagi penatalaksanaan stroke akut menjadi penanganan stroke prahospital, penanganan di ruang gawat darurat, penatalaksanaan umum di ruang rawat stroke dan penatalaksanaan komplikasi medik stroke akut.

  Tujuan dari penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan morbiditas danmenurunkan tingkat kematian serta menurunnya angka kecacatan. Filosofi yang harus dipegang adalah time is brain dan the golden hour.

2.10.1 Penanganan Stroke Akut Prahospital

  a) Deteksi

  Pengenalan cepat dan reaksi terhadap tanda-tanda stroke dan TIA. Keluhan pertamakebanyakan pasien (95) mulai sejak di luar rumah sakit. Konsep Time is brain berarti pengobatan stroke merupakan keadaan gawat darurat. Jadi, keterlambatan pertolongan pada fase prahospital harus dihindari dengan pengenalan keluhan dan gejala stroke bagi pasien dan orang terdekat. Beberapa gejala atau tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak, diplopia, vertigo, afasia, disfagia, disatria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang kesemuanya terjadi secara rnendadak. Untuk memudahkan digunakan istilah FAST (Facial movement, Arm movement Speech, Test all three).

  FAST yang merupakan singkatan dari istilah Face, Arms, Speech, dan Time. Melalui metode FAST, serangan stroke lebih cepat terdeteksi, sehingga memungkinkan untuk dilakukan pertolongan segera, dan dibawa ke UGD rumah sakit terdekat, untuk mendapatkan penanganan secara cepat dan tepat, terutama yang memiliki pelayanan stroke terpadu.

  Tiga jam pertama setelah seseorang mengalami serangan stroke merupakan golden periode, dimana waktu ini merupakan saat yang paling tepat bagi pasien untuk mendapatkan penanganan agar tidak terjadi kondisi yang lebih parah yang akan menyebabkan cacat bagi pasien.

  1) Face (wajah)

  Gejala stroke dini dapat kita kenali dengan cara pertama, yaitu membaca wajah. Jika terdapat keanehan pada wajah seperti kekakuan atau kelumpuhan, dapat kita indikasikan sebagai gejala stroke mini. Fungsi metode ini adalah untuk mengetahui apakah telah terjadi stroke terhadap seseorang melalui wajah. Caranya mintalah kepada pasien yang dicurigai mengalami stroke untuk tersenyum, jika wajahnya terlihat tidak simetris maka hal tersebut merupakan indikasi bahwa yang bersangkutan telah mengalami stroke.

  2) Arms (lengan)

  Tes kedua dapat kita lakukan pada lengan dan tangan kita. Biasanya, tangan atau lengan yang secara tiba-tiba tidak dapat digerakkan merupakan salah satu gejala stroke ringan. Fungsi metode ini adalah untuk mengetahui terjadinya Tes kedua dapat kita lakukan pada lengan dan tangan kita. Biasanya, tangan atau lengan yang secara tiba-tiba tidak dapat digerakkan merupakan salah satu gejala stroke ringan. Fungsi metode ini adalah untuk mengetahui terjadinya

  3) Speech (bicara)

  Gejala stroke ringan dapat dikenali dari gaya bicara kita. Karena, stroke menyerang saraf alat bicara yang membuat kita berbicara gagap atau lidah kelu. Metode ini berfungsi untuk mengetahui serangan stroke melalui kemampuan seseorang untuk mengingat atau mengucapkan sebuah kalimat atau kata-kata. Caranya: Mintalah orang yang diduga mengalami stroke untuk mengucapkan beberapa kata dengan cara mengulangnya beberapa kali, apakah suaranya terdengan cadel atau pelo. Gunakan kata-kata yang mengandung banyak konsonan huruf R seperti "ular melingkar diatas pagar" dan lain sebagainya. Jika suara yang bersangkutan terdengar cadel atau pelo maka hal tersebut adalah indikasi terjadinya serangan stroke.

  4) Time (waktu)

  Jika setelah diperiksa beberapa tanda dan gejala di atas, terdapat satu atau beberapa tanda pada diri seseorang, maka jangan ditunda lagi untuk segera membawanya ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut agar tidak terjadi kondisi yang lebih parah.

  b) Pengiriman pasien Bila seseorang dicurigai terkena serangan stroke, maka segera panggil ambulans gawat darurat.

  c) Tranportasi ambulans Fasilitas ideal yang harus ada dalam ambulans sebagai berikut:

   Personil yang terlatih  Mesin EKG  Peralatan dan obat-obatan resusitasi dan gawat darurat  Obat-obat neuroprotektan  Telemedisin  Ambulans yang dilengkapi dengan peralatan gawat darurat, antara lain,

  pemeriksaan glukosa (glucometer), kadar saturasi 02 (pulse oximeter). Personil pada ambulans gawat darurat yang terlatih mampu mengerjakan:

   Memeriksa dan menilai tanda-tanda vital  Tindakan stabilisasi dan resusitasi (Airway Breathing CirculationABC).

  Intubasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan koma yang dalam, hipoventilasi, dan aspirasi.

   Bila kardiopulmuner stabil, pasien diposisikan setengah duduk

   Memeriksa dan menilai gejala dan tanda stroke  Pemasangan kateter intravena, memantau tanda-tanda vital dan keadaan

  jantung  Berikan oksigen untuk menjamin saturasi > 95  Memeriksa kadar gula darah  Menghubungi unit gawat darurat secepatnya (stroke is emergency)  Transportasi secepatnya (time is brain)

  Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh petugas pelayanan ambulans:

   Jangan terlambat membawa ke rumah sakit yang tepat.  Jangan memberikan cairan berlebihan kecuali pada pasien syok dan

  hipotensi.  Hindari pemberian cairan glukosadekstrose kecuali pada pasien

  hipoglikemia.  Jangan menurunkan tekanan darah, kecuali pada kondisi khusus (lihat Bab

  V.A  Penatalaksanaan Tekanan Darah pada Stroke Akut). Hindari hipotensi,

  hipoventilasi, atau anoksia.  Catat waktu onset serangan.  Memanfaatkan jaringan pelayanan stroke komprehensif yaitu unit gawat

  darurat, stroke unit atau ICU sebagai tempat tujuan penanganan definitif pasien stroke.

2.10.2 Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat

  a) Evaluasi cepat dan diagnosis

  Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat . Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi:

   Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas

  penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan, gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor risiko stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-lain).

   Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan

  suhu tubuh.  Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat

  kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.

   Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis terutama

  pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan cara jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS (National Institutes of Health Stroke pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan cara jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS (National Institutes of Health Stroke

  1) Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan

   Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan

  darah, suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan defisit neurologis yang nyata.

   Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95  Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang

  tidak sadar.  Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran

  atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas.

   Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia.  Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan terapi

  oksigen.  Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway)

  diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.

   Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa

  terpasang lebih dari 2 minggu, maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.

  2) Stabilisasi Hemodinamik

   Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan

  hipotonik seperti glukosa).

   Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan

  untuk memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk rnemasukkan cairan dan nutrisi.

   Usahakan CVC 5 -12 mmHg.  Optimalisasi tekanan darah  Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, maka

  obat-obat vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis sedang tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140 mmHg.

   Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam

  pertama setelah serangan stroke iskemik.  Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsultasi

  Kardiologi).  Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia

  harus dikoreksi dengan larutan satin normal dan aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan curah jantung sekuncup harus dikoreksi.

  3) Pemeriksaan Awal Fisik Umum, meliputi pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan jantung, pemeriksaan neurologi umum awal (derajat kesadaran, pemeriksaan pupil dan okulomotor, keparahan hemiparesis).

  4) Pengendalian Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)

   Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus

  dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis pada hari-hari pertama setelah serangan stroke.

   Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita

  yang mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan TIK.  Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg.  Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial

  meliputi :

  i. Tinggikan posisi kepala 20º-30º,

  ii. Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular,

  iii. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik, iv. Hindari hipertermia, v. Jaga normovolernia, vi. Osmoterapi atas indikasi:

   Manitol 0.25 - 0.50 grkgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4 - 6 jam

  dengan target ≤ 310 mOsrnL. Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian osmoterapi.

   Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mgkgBB i.v.

  vii. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg). Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif.

  viii.

  Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction, bucking ventilator. Agen nondepolarized seperti vencuronium atau pancuronium yang sedikit berefek pada histamine dan blok pada ganglion lebih baik digunakan. Pasien dengan kenaikan krtitis TIK sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum suctioning atau lidokain sebagai alternative. 3

  ix. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak dan

  tekanan tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi dapat diberikan kalau diyakini tidak ada kontraindikasi.

  x. Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik serebelar xi. Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal yang

  menimbulkan efek masa, merupakan tindakan yang dapat menyelamatkan nyawa dan memberikan hasil yang baik.

  5) Penanganan Transformasi Hemoragik

  Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan asimptomatik. Terapi transformasi perdarahan simtomatik sama dengan terapi stroke perdarahan, antara lain dengan memperbaiki perfusi serebral dengan mengendalikan tekanan darah arterial secara hati-hati.

  6) Pengendalian Kejang

   Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti  Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti

   Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.  Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa

  kejang  tidak dianjurkan.  Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis dapat

  diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan bila tidak ada kejang selama pengobatan.

  7) Pengendalian Suhu Tubuh

   Setiap pederita stroke yang disertai demam harus diobati dengan

  antipiretika dan diatasi penyebabnya  Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5º C (AHAASA

  Guideline) atau 37,5º C (ESO Guideline).  Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan

  hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai kateter ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis.

   Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotic.

2.10.3 Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat Stroke

  a) Cairan

   Berikan cairan isotonis seperti 0,9 salin dengan tujuan menjaga euvolemi.

  Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.  Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 mlkgBBhari (parenteral maupun

  enteral).  Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari

  ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin sehari ditambah 500ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat Celcius pada penderita panas).

   Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu diperiksa

  dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal.  Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas

  darah.  Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari

  kecuali pada keadaan hipoglikemia.

  b) Nutrisi

   Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi

  oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.  Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan, nutrisi

  diberikan melalui pipa nasogastrik.  Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkalkghari.

  pertimbangkan untuk gastrostomi.  Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan,

  dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.  Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang

  diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang banyak mengandung vitamin K pada pasien yang mendapat warfarin.

  c) Penatalaksanaan Medis Lain

   Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia (kadar

  glukosa darah >180 mgdl) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi insulin. Target yang harus dicapai adalah normoglikemia. Hipoglikemia berat (<50 mgdl) harus diobati dengan dekstrosa 40 intravena atau infuse glukosa 10-20.

   Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan mayor

  tranquilizer seperti benzodiazepine short acting atau propofol bias digunakan.

   Analgesik dan antimuntah sesuai indikasi.  Berikan H 2 antagonis, apabila ada indikasi (perdarahan lambung).  Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lender, atau memandikan

  pasien karena dapat mempengaruhi PTIK.  Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil.  Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi

  intermiten.  Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemerikssan laboratorium, MRI,

  Dupleks Carotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE, TEE, dan lain- lain sesuai dengan indikasi.

   Rehabilitasi.  Edukasi.  Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah sakit).

2.10.4 Kedaruratan Medik Stroke Akut

  a) Penatalaksanaan Hipertensi Sebagian besar (70-94) pasien stroke akut mengalami peningkatan tekanan darah sistolik >140 mmHg. Penelitian di Indonesia didapatkan kejadian hipertensi pada pasien stroke akut sekitar 73,9. Sebesar 22,5- 27,6 diantaranya mengalami peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg (BASC: Blood Preassure in Acute Stroke Collaboration 201; IST: International Stroke Trial 2002). Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluarga neurologis. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke.

  b) Penatalaksanaan Hipotensi Pada Stroke Akut Hipotensi arterial pada stroke akut berhubungan dengan buruknya keluaran b) Penatalaksanaan Hipotensi Pada Stroke Akut Hipotensi arterial pada stroke akut berhubungan dengan buruknya keluaran

  c) Penatalaksanaan Gula Darah pada Stroke Akut Hiperglikemia terjadi pada hampir 60 pasien stroke akut nondiabetes. Hiperglikemia setelah stroke akut berhubungan dengan luasnya volume infark dan gangguan kortikal dan berhubungan dengan buruknya keluaran. Tidak banyak data penelitian yang menyebutkan bahwa dengan menurunkan kadar gula darah secara aktif akan mernperbaiki keluaran. Hindari kadar gula darah melebihi 180 mgdl, disarankan dengan infus salin dan menghindari larutan glukosa dalam 24 jam pertama setelah serangan stroke akan berperan dalam rnengendalikan kadar gula darah. Hipoglikemia (< 50 mgdl) mungkin akan memperlihatkan gejala mirip dengan stroke infark, dan dapat diatasi dengan pemberian bolus dekstrose atau infus glukosa 10-20 sampai kadar gula darah 80-110 mgdL. Indikasi dan syarat-syarat pemberian insulin :

   Stroke hemoragik dan non hemoragik dengan IDDM atau NIDDM  Bukan stroke lakunar dengan diabetes mellitus.

2.10.5 Penatalaksanaan Komplikasi Medik Stroke Akut

  a) Infeksi Saluran Kemih (ISK)

   ISK harus dihindari dengan mengatur cairan masukdan kelura secara

  adekuat.  Hindari pemasangan kateter urine, bila tidak ada indikasi kuat. Bila

  dipasang kateter , perlu diperhatikan tindakan aseptik. Pilih kateter yang dimodifikasi (modified catheter coated) dengan anti mikroba seperti nitrofurazone-coated silicone atau silver-coated latex.

   Dianjurkan untuk mendapat nutrisi yang cukup, penting dalam menigkatkan

  daya tahan tubuh pasien.  Pengasaman urine dengan menambahkan cairan seperti jus stroberi yang

  banyak mengandung Vit C atau dengan menambahkan Vit C 500 mg pada diit

   Antibiotik profilaksis dapat menurunkan risiko infeksi pada pasien stroke.  Antibiotik profilaksis tidak direkomendasikan untuk pencegahan ISK

  simtomatik pada pasien terpasang kateter urine.

  b) Bronchopneumonia

   Pemberian antibiotik profilaks tidak dianjurkan karena dapat memperburuk  Pemberian antibiotik profilaks tidak dianjurkan karena dapat memperburuk

  hubungannya dengan aspirasi penumonia. Oleh karena itu, tes refleks batuk perlu dilakukan untuk mengidentifikasi risiko pneumonia.

   Pemberian pipa nasogastrik segera (dalam 48 jam) dianjurkan pada pasien

  dengan gangguan menelan.  Pencegahan aspirasi pneumonia dapat dilakukan dengan:

  i. Elevasi kepala 30-45º

  ii. Menghindari sedasi berlebihan

  iii. Mempertahankan tekanan endotracheal cuff yang tepat pada pasien dengan intubasi dan trakeostomi. iv. Memonitor volume residual lambung selama pemberian makanan secara

  enteral v. Menghindari pemakaian pipa nasogastrik yang lama vi. Seleksi diit yang tepat untuk pasien dengan disfagia vii. Mengaspirasi sekresi subglotis secara teratu viii. Rehabilitasi fungsi menelan ix. Merubah posisi pasien saat berbaring dan terapi fisik. x. Oleh karena disfagi dapat beresiko terjadi pneumonia aspirasi, maka

  untuk mencegah komplikasi pneumonia dan memperbaiki fungsi menelan dilakukan modifikasi diit serta latihan otot-otot menelan dan stimulasi struktur mulut dan faring.

   Penatalaksanaan melalui fisioterapi (chest therapy) dan pemberian

  antibiotik sesuai indikasi.

  c) Stress Ulcer

   Untuk semua penderita stroke, pemberian obat-obatan seperti NSAID dan

  kortikosteroid, serta makananminuman yang bersifat iritatif terhadap lambung (alkohol,rokok,cuka) perlu dihindari.

   Pasien dipuasakan  Pasien dengan stress ulcer harus dilakukan penatalaksanaan ABC adekuat.

  Petugas yang terlatih diperlukan dalam mengenali tanda gagal nafas dan mampu melakukan bantuan dasar untuk jalan nafas.

   Pada perdarahan yang banyak (lebih dari 30 dari volume sirkulasi),

  penggantian dengan transfusi darah perlu dilakukan. Untuk mengganti kehilangan volume sirkulasi cairan pengganti berupa koloid atau kristaloid dapat diberikan sebelum transfusi. Infusion line: Infus NaCl 0,9, RL atau plasma expander.

   Pasang pipa nasogastrik dan lakukan irigasi dengan air es tiap 6 jam sampai

  darah berhenti.  Hentikan pemakaian aspirin atau klopidogrel. Pemakaian aspirin dapat

  diteruskan bila terdapat indikasi yang jelas.  Pemberian nutrisi makanan cair jernih diit pasca hematemesis sangat diteruskan bila terdapat indikasi yang jelas.  Pemberian nutrisi makanan cair jernih diit pasca hematemesis sangat

  d) Ulkus Dekubitus

   Memposisikan dan mereposisi tubuh bertujuan untuk menghindari tekanan

  langsung pada tonjolan tulang dan permukaan tubuh.  Pemberian dua suplemen nutrisi oral tiap hari pada pasien yang lebih tua

  melindungi dari penyakit akut dan mengurangi terjadinya ulkus dekubitus.  Skala Braden digunakan untuk menilai risiko ulkus dekubitus.  Manajemen optimal yang komprehensif dan akurat dalam menentukan

  riwayat luka, penyebab lokasi, derajat, ukuran, dasar, eksudat dan kondisi kulit sekitar ulkus. (SIGN, Grade B). Periksa semua pasien apakah mereka mempunyai factor risiko terjadinya ulkus dekubitus. Pada pasien dengan factor risiko dipertimbangkan pemakaian tempat tidur tekanan rendah.

   Membuat jadwal reposisi dan menghindari pasien dari posisi ulkus.  Pasien dengan ulkus derajat 1-2 (eritema dan kehilangan kulit parsial) harus

  diposisikan pada matras atau bantalan dengan menurunkan tekanan.  Pasien dengan ulkus derajat 3-4 (full-thicknes skin loss dan extensive

  destruction) diposisikan pada keadaan dengan tekanan rendah yang konstan (Constan Low Pressure). Disarankan memakai tempat low-air-loss atau air- fluidized bed.

   Mempertahankan posisi kepala tempat tidur tetap elevasi serendah mungkin

  dengan memperhatikan kebutuhan medis dan pembatasan lain.  Batasi sesingkat mungkin bahwa elevasi kepala hanya dilakukan apabila

  ada kebutuhan medis.  Permukaan dukungan statis cocok untuk pasien dengan ulkus dekubitus

  yang dapat diasumsikan berbagai posisi tanpa adanya tekanan pada ulkus.  Tidak ada perbedaan ulkus dekubitus pada alat dukungan statis.  Permukaan dukungan dinamis mungkin cocok untuk pasien dengan ulkus

  dekubitus yang tidak dapat dimanipulasikan berbagai posisi di tempat tidur.  Pasien yang berisiko untuk mendapat ulkus dekubitus harus menghindari

  posisi duduk yang berkepanjangan. Postural alignment, distribusi bobot, keseimbangan, stabilitas, dan pengurangan tekanan harus dipertimbangkan pada orang duduk.

   Gunakan bantalan kursi berdasarkan kebutuhan individu yang memerlukan

  penurunan tekanan dalam posisi duduk. Hindari menggunakan alat doughnut-type.

   Membalut luka seperti dengan cairan hidrokoloid dan membuat lingkungan

  yang optimal untuk penyembuhan luka.  Mobilisasi aktif dan perubahan posisi secara mandiri atau reposisi dengan

  indikasi klinis.  Penilaian gizi harus dilakuka pada saat pasien masuk ke pusat kesehatan

  dan kapan pun ada perubahan kondisi yang meningkatkan risiko ulkus

   Meningkatkan asupan makanan atau suplemen pada pasien kurang gizi

  yang berisiko mendapatkan ulkus dekubitus.  Pastikan asupan makanan yang cukup untuk mencegah kekurangan gizi

  yang sesuai dengan keadaan individu.  Jika asupan makanan terus menjadi memadai, tidak praktis atau mungkin,

  dukungan nutrisi (biasanya makan tabung) harus digunakan untuk menempatkan pasien ke keseimbangan nitrogen positif (sekitar 30-35 kalorikghari dan 1,25-1,50 g proteinkghari) sesuai dengan tujuan perawatan.

   Berikan suplemen vitamin dan mineral jika diduga terdapat kekurangan

  gizi.  Penatalaksanaan infeksi dengsn pemberian antibiotik tepat dan mengatasi

  jaringan nekrotik dan devitalisasi jaringan yang rusak.

  e) Hiponatremi

   Bila natrium dibawah 120 mEqL, berikan NaCL 0,9 2-3 Lhari. Berikan

  NaCl hipertonik 3 50 ml 3 kali sehari bila perlu. Praktik di Indonesia maksimal 0,5 mEqLjam, sehingga kadar natrium diharapkan dapat terkoreksi 0,5-1 mEqLjam dan tidak melebihi 130 mEqL dalam 48 jam pertama.

   Hindari pemberian cairan hipotonik dan kontraksi volume intravaskular

  pada pasien perdarahan subarakhnoid.  Pantau status volume cairan pada pasien PSA dengan kombinasi tekanan

  vena sentral, tekanan arteri pulmoner, balans cairan. Terapi untuk kontraksi volume cairan adalah dengan cairan isotonik.

   Pemberian fludrocortisone acetate dan cairan hipertonik berguna untuk

  mengoreksi hiponatremia intravena 2 kali sehari.  Pada keadaan tertentu, restriksi cairan dapat dilakukan untuk

  mempertahankan keadaan euvolemik.

  f) DVT

   Pemakaian Stoking dilakukanpada pasien kelemahan tungkai.  Mobilisasi dan hidrasi optimal harus dipertahankan sesering mungkin.  Pemberian Heparin diberikan sebagai profilaksis pada pasien stroke

  iskemik akut yang beresiko tinggi mengalamai trombossis vena dalam.  Pemakaian stoking ketat diatas lutut tidak banyak bermanfaat dan resikonya

  pada pasien stroke iskemik akut. Tidak dianjurkan pemakaian stoking ketat secara rutin untuk pencegahan thrombosis vena dalam pada pasien stroke. Pada keadaan tertentu pemakaian stoking bisa bermanfaat.

   Mobilisasi segera dapat membantu mencegah terjadinya thrombosis vena

  dalam.

  g) Spastisitas

   Terapi Spastisitas pada Ekstermitas Atas i.

  Pemakaian splinting secara rutin untuk mengurangi spastisitas tidak Pemakaian splinting secara rutin untuk mengurangi spastisitas tidak

  ii. Program regangan yang dibimbing oleh fisioterapis dapat meningkatkan range of motion (ROM) pada ekstremtias atas dan mengurangi nyeri pada stroke lama.

   Terapi Spastisitas pada Ekstremitas Bawah

  i. Tilt table dan night splint mencegah kontraktur pergelangan kaki.

  ii. Stimulasi elektrik mengurangi spastisitas plantar fleksi kaki pascastroke.

  iii. Terapi ultrasonografi mengurangi eksitabilitas alpha motorneuron yang berkaitan dengan spastisitas plantar fleksi kaki.

  h) Disfagia

   Terapi Menelan

  i. Compensatory techniques: teknik ini mengajarkan pasien merubah posisi (postural maneuver) untuk mengimbangi kesulitan menelan. Dengan teknik yang intensif akan memberikan hasil lebih baik.

  ii. Indirect swallow therapy: teknik ini mengajarkan pasien untuk latihan memperkuat otot yang lemah (otot suprahyoid)

  iii. Direct swallow therapy: teknik ini mengajarkan pasien untuk melakukan latihan menelan secara langsung.  Modifikasi Diit

  i. Modifikasi diit merupakan standar manajemen pada pasien stroke dengan disfagia dan memiliki efek yang menguntungkan.

  ii. Teknik ini digunakan jika pasien hanya mengalami aspirasi ketika menelan. Tes ini akan menunjukkan konsistensi makanan apa saja yang ditoleransi dengan baik.

  iii. Pada kasus disfagia yang berat, ketika pasien stroke mengalami kurang gizi atau dehidrasi akan digunakan pipa nasogatrik atau gastrotomi endoskopi perkutan (PEG), yang dimasukkan melalui kulit secara langsung. Risiko PEG lebih sedikit dari pada pipa nasogastric karena bersifat invasive, dapat terjadi infeksi local dan peritonitis. Pasien yang mendapat terapi enteral lebih dari 4 minggu dianjurkan memakai PEG dan harus dilakukan follow up berkala.  Penatalaksanaan Disfagia

  i. Semua pasien stroke harus dilakukan skrining disfagia sebelum diberikan diit melalui mulut.

  ii. Identifikasi faktor risiko dan komorbiditas terhadap pneumonia aspirasi berupa kebiasaan merokok dan penyakit pernafasan.

  iii. Pasien dengan disfagia harus dimonitor tiap hari dalam 1 minggu pertama. iv. Skrining awal gangguan menelanberupa: penilaian derajat kesadaran pasien dan

  kontrol postural v. Pasien dengan disfagia persisten harus dievaluasi teratur . vi. Kebersihan mulut harus diperhaikan pada pasien dengan disfagia, terutama

  pada pasien dengan PEG atau pipa nasogastric.

  i) Disfungsi Kandung Kemih dan Pencernaan

   Inkontinesia urin  Inkontinesia urin

  ii. Manajemen yan dilakukan, antara lain:  Intervensi perilaku. (mengatur waktu miksi dan pelvic floor training)  Asupan cairan kira-kira 1500-18000 ml dalam 24 jam  Bladder Training  Pasien disuruh miksi tiap 2-4 jam atau kurang dari 2 jam bila pasien merasa

  ingin kencing. Hal ini dilakukan karena pasien pascastroke cortical awareness terhadap bladder yang penuh menjadi berkurang.

  iii. Terapi farmakologi hanya diberikan apabila intervensi perilaku dan Bladder training gagal dilakukan.

   Retensi Urin

  i. Penggunaan kateter jika dibutuhkan

  ii. Terapi farmakologi.  Konstipasi dan Inkontinensia Alvi

  i. Mengkonsumsi makanan berserat tinggi dan asupan cairan yang cukup.

  ii. Terapi farmakologi  Terapi Inkontinen

  i. Jika penyebabnya adalah kelemahan otot spinkter maka dilakukan pelvicstrehtening exercise

2.11 Pencegahan

  Menurut Perdossi(2011), pencegahan primer pada stroke meliputi upaya perbaikan gaya hidup dan pengendalian berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat dan kelompok risiko tinggi yang belum pernah terserang stroke.

2.11.1 Mengatur Pola Makan yang Sehat

  Konsumsi makanan tinggi lemak dan kolesterol dapat meningkatkan risiko terkena serangan stroke, sebaliknya risiko konsumsi makanan rendah lemak dan kolesterol dapat mencegah terjadinya stroke. Beberapa jenis makan yang di anjurkan untuk pencegahan primer terhadap stroke adalah:

   Makanan kolesterol yang membantu menurunkan kadar kolesterol

  a) Serat larut yang terdapat dalam biji-bijian seperti beras merah, bulgur, jagung dan gandum.

  b) Oat (beta glucan) akan menurunkan kadar kolesterol total dan LDL, menurunkan tekanan darah, dan menekan nafsu makan bila dimakan dipagi hari (memperlambat pengosongan usus).

  c) Kacang kedelai beserta produk olahannya dapat menurunkan lipid serum, menurunkan kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida tetapi tidak mempengaruhi kadar kolesterol HDL.

  d) Kacang-kacangan termasuk biji kenari dan kacang mede menurunkan kolesterol LDL dan mencegah arterrosklerosis.

  estrogen dan isoflavon, memperbaiki elastisitas arteri dan meningkatkan aktifitas antioksidan

  yang

  menghalangi oksidasi LDL.  Makanan lain yang berpengaruh terhadap prevensi stroke

  a) Makananzat yang membantu mencegah peningkatan homosistein seperti asam folat,vitamin B6, B12, dan riboflavin.

  b) Susu yang mengandung protein, kalsium, seng(Zn), dan B12, mempunyai efek proteksi terhadap stroke.

  c) Beberapa jenis seperti ikan tuna dan ikan salmon mengandung omega-3, eicosapperitenoic acid (EPA) dan docosahexonoic acid (DHA) yang merupakan pelindung jantung mencegah risiko kematian mendadak, mengurangi risiko aritmia, menurunkan kadar trigliserida, menurunkan kecenderungan adhesi platelet, sebagai precursor prostaglandin, inhibisi sitokin, antiinflamasi dan stimulasi Nitric oxide (NO) endothelial. Makanan jenis ini sebaiknya dikonsumsi dua kali seminggu.

  d) Makanan yang kaya vitamin dan antioksidan (vitamin C,E, dan betakaroten) seperti yang banyak terdapat pada sayur-sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian.

  e. Buah-buahan dan sayur-sayuran - Kebiasaanmembudaya diit kaya buah-buahan dan sayuran bervariasi minimal

  5 porsi setiap hari.

  - Sayuran hijau dan jeruk yang menurunkan risiko stroke - Sumber kalium yang merupakan predictor yang kuat untuk mencegah mortalitas akibat stroke, terutama buah pisang. - Apel yang mengandung quercetin dan phytonutrient dapat menurunkan risiko

  stroke.

  f. Teh hitam dan teh hijau yang mengandung antioksidan.  Anjuran lain tentang makanan:

  a) Menambah asupan kalium dan mengurangi asupan antrium (<6 gramhari). Bahan-bahan yang mengandung natrium seperti monosodium glutamate dan sodium nitrat, sebaiknya dikurangi. Makanan sebaiknya harus segar. Pada penderita hipertensi, asupan natrium yang dianjurkan ≤2,3 gramhari dan asupan kalium ≥4,7 gramhari.

  b) Meminimalkan makanan tinggi lemak jenuh dan mengurangi asupan trans fatty acid seperti kue-kue, crackers, telur, makanan yang digoreng, dan mentega.

  c) Mengutamakan makanan yang mengandung polyunsaturated fatty acid, monounsaturated fatty acid, makanan berserat dan protein nabati.

  d) Nutrient harus diperoleh dari makanan bukan suplemen.

  e) Jangan makan berlebihan dan perhatikan menu makanan seimbang

  f) Makanan sebaiknya bervariasi dan tidak tunggal.

  g) Hindari makanan dengan densitas kalori tinggi dan kualitas nutrisi rendah

  h) Sumber lemak sebaiknya berasal dari sayuran, ikan bauh polong dan kacang- h) Sumber lemak sebaiknya berasal dari sayuran, ikan bauh polong dan kacang-

2.11.2 Penanganan Stress dan Beristirahat yang Cukup

  a) Istirahat cukup dan tidur teratur antara 6-8 jam sehari

  b) Mengendalikan stress dengan cara berpikir positif sesuai dengan jiwa sehat menurut WHO, menyelesaikan pekerjaan satu demi satu, bersikap ramah dan mendekatkan diri pada Tuhan yang maha esa dan mensyukuri hidup yang ada.

  Stress kronis dapat meningkatkan tekanan darah. Penanganan stress menghasilkan respon relaksasi yang menurunkan denyut jantung dan tekanan darah.

2.11.3 Pemeriksaan Kesehatan Secara Teratur dan Taat Anjuran Dokter dalam Hal

  a)Diet dan Obat

   Faktor-faktor resiko seperti penyakit jantung, hipertensi, dislipidemia, diabetes

  mellitus (DM) harus dipantau secara teratur.  Faktor-faktor resiko ini dapat dikoreksi dengan pengobatan teratur, diet dan

  gaya hidup sehat.  Pengendalian hipertensi dilakukan dengan target tekanan darah ,14090 mmHg.  Jika menderita diabetes mellitus atau penyakit ginjal kronis, target tekanan

  darah ,13080 mmHg.  Pengendalian kadar gula darah pada penderita diabetes mellitus dengan target

  HbA1C <7.  Pengendalian kadar kolesterol pada penderita dislipidemia dengan diet dan obat

  penurun lemak. Target kadar kolesterol LDL <100 mgDl penderita yang beresiko tinggi stroke sebaiknya target kolesterol LDL sebaiknya <70 mgDl.

   Terdapat bukti-bukti tentang faktor resiko yang bersifat infeksiinflamasi

  misalnya infeksi gigi. Kesehatan gigi dan mulut sebaiknya diperhatikan secara teratur.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25