Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007.
USU Repository © 2009
2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya
seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan
perbuatan pidana.
30
Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakan dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala
dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis “tidak
dipidana jika tidak ada kesalahan “ merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat
Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana.
31
Nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah siterdakwa
tercela atau tidak karena telah melakukan tindak pidana . Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu
dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan yang ojektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada siterdakwa.
32
30
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana , Jakarta, Rineka Cipta, 1993, Hal.155
31
Prof. Mr. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta, Aksara Baru, 1983, Hal.75
32
Ibid hal. 76 . Oleh karena itu
dikatakan bahwa dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas legaliteit, yaitu
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007.
USU Repository © 2009
asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada
dipidananya sipembuat adalah asas “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dapat dikatakan orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana
kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan
tindak pidana akan dipidana, apabila dia mempunyai kesalahan. Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat
liability based on fault, dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor
penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.
33
Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common
law sistem. Sejak abad kedua belas, dalam hukum pidana negara-negara common law sistem, berlaku maksim latin yaitu actus non est reus, nisi mens sit rea.
34
Dengan demikian, mens rea yang dalam hal ini disinonimkan dengan quilty of mind atau vicious will, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawaban
Suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa kehendak jahat, pada satu sisi doktrin ini menyebabkan adanya mens rea merupakan suatu
keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi, lain hal ini menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana,
sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut.
33
Dr. Chairul Huda, S.H, M.H., Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta,
Prenada Media, 2006, Hal.4
34
Ibid hal 5
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007.
USU Repository © 2009
pembuat pidana. Dilihat dari sisi ini, penggunaan doktrin mens rea dalam common law system, pada hakikatnya sejalan dengan penerapan asas tiada pidana tanpa
kesalahan dalam civil law system. Berpangkal tolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno
mengemukakan suatu pandangan yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis
35
Dipisahkannya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur tindak pidana dan ditempatkan sebagai faktor
yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana. Namun demikian, bagaimana konsepsi ini diterapkan dalam praktik hukum perlu pengkajian lebih
, pada pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menyangkut persoalan
“perbuatan” sedangkan masalah apakan orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah persoalan lain.
Dalam banyak kejadian, tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan terhadapnya. Dengan kata lain,
walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak diliputi kesalahan dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Melakukan suatu
tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu. Untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan syarat-
syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntut ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan.
35
Ibid hal. 6
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007.
USU Repository © 2009
lanjut. Pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Oleh karena itu, pengkajian mengenai teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, pertama-tama dilakukan dengan menelusuri
penerapan dan perkembangannya dalam putusan pengadilan. Dengan kata lain, konkretisasi sesungguhnya dari penerapan dari teori tersebut terdapat dalam
putusan pengadilan. Seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan
pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain jika memang tidak ingin berbuat demikian. Dilihat
dari segi masyarakat, ini menunjukan pandangan yang normatif mengenai kesalahan. Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang berpandangan
psychologisch. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan
bagaimana dalam keadaan senyatanya batin daripada terdakwa, tetapi bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai keadaan batinnya itu, apakah
dinilai ada atau tidak ada kesalahan. Pompe menyingkat kesalahan ini dengan dapat dicela verwijtbaarheid dan
dapat dihindari vermijdbaarheid perbuatan yang dilakukan.
36
36
Prof. Mr. Roeslan Saleh, op.cit, Hal.77 Pompe
mengatakan, menurut akibatnya, hal ini adalah dapat dicela, menurut hakikatnya dia adalah dapat dihindarinya kelakuan yang melawan hukum itu. Karena
kehendak si pembuat itu terlihat pada kelakuan yang bersifat melawan hukum, maka ini dapat dicelakan padanya. Sampai sekian jauh, maka kesalahan
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007.
USU Repository © 2009
menyebabkan atau mempunyai akibat dapat dicela. Celaan ini dimungkinkan karena si pembuat itu bisa berusaha, agar dia tidak berbuat berlawanan dengan
hukum oleh karena dia juga dapat berbuat sesuai dengan hukum. Pelanggaran atas norma itu bergantung pada kehendaknya, itu dapat dihindari. Berarti kesalahan
pada hakikatnya dapat dihindari. Menurut Pompe, kelakuan adalah suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang yang nampak keluar dan yang diarahkan kepada
tujuan yang menjadi obyek hukum. Simons mengatakan bahwa kesalahan adalah keadaan psychis orang yang
melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi.
37
a. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu
Jadi yang harus diperhatikan adalah:
b.Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan. Dua hal inilah yang harus diperhatikan, dimana diantara keduanya terjalin erat
satu dengan yang lainnya, yang kemudian dinamakan kesalahan. Hal yang merupakan kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan.
Mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan persoalan yang lazim disebut dengan kemampuan
bertanggung jawab. Sedangkan mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan, merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alas
an pemaaf, sehingga mampu bertanggung jawab, mempunyai kesengajaan atau kelapaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan.
Tiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang satu
37
Ibid, hal. 78
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007.
USU Repository © 2009
bergantung pada yang lain, dalam arti demikianlah urut-urutannya dan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu. Konkritnya
tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau kealpaan, apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab. Begitu pula tidak dapat
dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu bertanggung jawab dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan.
Selanjutnya, tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan
hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus
dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa
haruslah: a.
Melakukan perbuatan pidana b.Mampu bertanggung jawab
c. Dengan kesengajaan atau kealpaan
d.Tidak adanya alasan pemaaf Telah dikatakan diatas bahwa mengenai keadaan batin dari si terdakwa
dalam ilmu hukum pidana merupakan masalah kemampuan bertanggung jawab, apakah yang menyebabkan maka hal ini merupakan suatu masalah?
Dalam hukum positif kita, yaitu dalam pasal 44 KUHP dinyatan bahwa: “Apabila yang melakukan perbuatan pidana itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan disebabkan karena pertumbuhan yang cacat atau adanya gangguan karena penyakit daripada jiwanya maka orang itu tidak dipidana.”
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007.
USU Repository © 2009
Jadi seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam pasal 44 KUHP,
maka tidak dapat dipidana. Ketentuan dalam hukum positif ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan
dalam teori, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak diinginkan. Demikian yang disebut mengenai orang yang
mampu bertanggung jawab. Orang yang tidak mampu bertanggung jawab tentu saja tidak sepantasnya dianggap dapat berbuat seperti yang diharapkan oleh
hukum ataupun pikiran yang sehat. Prof. Mr. Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu bertanggung
jawab itu harus memenuhi tiga syarat, yaitu
38
a. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya
:
b.Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat
c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi yaitu
faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, orang yang akalnya
tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan
menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum. Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas
38
Ibid, hal. 80
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007.
USU Repository © 2009
mana diperbolehkan dan mana yang tidak.
3. Pengertian Dan Jenis-jenis Senjata Api Yang Digunakan Oleh Aparat