Latar Belakang Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengadaan kepolisian oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia menurut Ali Subur dkk, sebenarnya lebih didasari adanya kepentingan untuk mengamankan tanah jajahan yang semakin meluas, dimana aparat kepolisian bertugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum untuk mengamankan kerja-kerja pemerintah kolonial. 1 Di bawah kekuasaan gubernur jenderal, kepolisian kolonial barangkali dapat dianggap “sudah bekerja” secara profesional dimana mereka difungsikan untuk menumpas kerusuhan, kriminalitas, dan ancaman dalam negeri dengan perintah dan otoritas penuh gubernur jenderal. Tidak ada keterangan yang cukup jelas mengenai kinerja kepolisian kolonial di Indonesia, terutama berkaitan dengan kerja-kerja polisionilnya. 2 Pada masa penjajahan Jepang, kepolisian dimasukkan dalam salah satu Departemen yang dipimpin oleh seorang Direktur Jepang, setelah sebelumnya terjadi penangkapan besar-besaran terhadap kepolisian berkebangsaan Belanda. Dalam administrasi pemerintah Kolonial, kepolisian ditempatkan di bawah Departemen Pemerintah Dalam Negeri Departement van Binnenlandsch Bestuur sebagai Dinas Kepolisian Umum Dienst der Algemene Politie. 1 Ali Subur dkk, Pergulatan Profesionalisme Dan Watak Pretorian Catatan Kontras Terhadap Kepolisian, Kontras, 2007, Hal.4 2 Ibid Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 Sistem kepolisian yang berlaku sepenuhnya merupakan sistem pemerintahan Militer Jepang. Beberapa waktu setelah Proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan memutuskan untuk menempatkan kepolisian sebagai bagian dari Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, sebagaimana kepolisian berada di dalam Departemen Dalam Negeri Pemerintah Hindia Belanda sebelum pemerintah Jepang berkuasa. Pembentukan lembaga kepolisian dua hari setelah proklamasi kemerdekaan ini tampaknya berangkat dari kesadaran para pendiri negara akan pentingnya lembaga kepolisian dalam suatu negara yang mengemban tugas untuk menjaga ketertiban masyarakat, mengayomi masyarakat dan menegakkan hukum dalam suatu negara yang merdeka dan berdaulat. 3 Pada tanggal 1 Juli 1946 Jawatan Kepolisian Negara berdiri sendiri dan langsung bertanggung jawab kepada kepala Pemerintahan yaitu Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Perubahan ini didasari semakin meluasnya tuntutan peran dan tugas Kepolisian Negara, terutama dalam rangka penggalangan kekuatan menghadapi agresi militer Belanda sehingga tidak mungkin untuk tetap dipertahankan berada di bawah Departemen Dalam Negeri. 4 Awal tahun 1960, MPRS menetapkan Kepolisian Negara diintegrasikan ke dalam wadah Angkatan Bersenjata, bersama-sama dengan TNI AD, TNI AL dan Sejak saat itu tanggal 1 Juli diperingati sebagai Hari Bhayangkara, dengan mengambil momentum penempatan Kepolisian berada di bawah Pemerintahan Sipil Perdana Menteri sebagai hari bersejarahnya. 3 Ibid, Hal.6 4 Ibid, Hal.7 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 TNI AU. Keputusan ini kemudian dipertegas dengan keluarnya Undang undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1961.Dengan demikian, upaya untuk menciptakan Kepolisian yang berwatak militeristik sebenarnya telah terjadi sejak masa awal kemerdekaan, meskipun dengan alasan darurat perang kemerdekaan menghadapi agresi militer Belanda, sebab ternyata setelah masa darurat berakhir, keberadaan kepolisian sebagai bagian dari kekuatan militer justru semakin dikukuhkan. Pemerintahan Orde Baru di bawah jenderal Soeharto sampai dengan tumbangnya tidak melakukan perubahan yang signifikan di tubuh Polri baik pada tingkat struktural maupun instrumental. Keppres No.52 tahun 1969 tentang perubahan lembaga kepolisian justru tetap membiarkan atau mengukuhkan kedudukan kepolisian sebagai komponen dari Angkatan Bersenjata. Konsekuensi kedudukan Polri sebagai salah satu komponen ABRI adalah sistem-sistem yang berlaku di Polri merupakan sub sistem dari sistem yang berlaku di ABRI, meliputi sistem pembinaan personil, sistem pendidikan, sistem anggaran, sistem operasional dan sistem-sistem lainnya. Lebih jauh lagi, panglima ABRI memiliki kewenangan untuk mengendalikan langsung Polri di bawah payung ABRI. Secara esensial fungsi Kepolisian adalah sebagai aparat penegak hukum, yang termasuk di dalamnya adalah aspek perlindungan HAM. Sementara sebagaimana kita ketahui, banyak tindakan operasional ABRI yang jelas-jelas melanggar HAM yang juga melibatkan Polri. Tindakan Polri yang melanggar HAM tersebut akan menjadi sah dengan alasan menjalankan tugas sebagai bagian dari ABRI sehingga menjadi mustahil untuk menuntut aparat kepolisian terlibat Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 melakukan penyidikan pelanggaran hukum tersebut. Tindak kekerasan yang dilakukan ABRI sejak awal Orde Baru dengan berpegang pada doktrin Dwifungsi menunjukan bahwa ABRI telah berpolitik dengan menggunakan “tekanan” senjata. Ketika keahlian militer adalah menggunakan senjata, maka keahlian itulah yang akan digunakan saat militer berpolitik. Militer tidak membutuhkan dukungan rakyat melalui politik, tetapi senjata. Di sinilah pelanggaran HAM dan “tekanan” senjata dianggap sebagai sebuah kewajaran. Akibat ketidakmandirian secara kelembagaan, aparat kepolisian menjadi kehilangan profesionalisme dimana tugas-tugas penegakan hukum menjadi bias kepentingan melindungi “institusi payungnya” dalam banyak kasus pada masa Orde Baru 5 Kedudukan Kapolri menjadi setingkat menteri negara seperti halnya Jaksa . Dalam kasus yang melibatkan institusi kepolisian secara langsung sebagai pelaku, apakah mungkin jika kepolisian untuk dibebani tanggung jawab penyidikan terhadap diri mereka sendiri, sementara secara institusional kepolisian seringkali berkelit dengan menyatakan bahwa tindakan mereka sudah sesuai dengan prosedur. Padahal, masyarakat tengah membutuhkan kehadiran sosok polisi yang baik, profesional dan mandiri dengan kemandirian personil, doktrin, dan sistem operasional, tanpa tekanan pihak manapun. Secara resmi, Kepolisian Republik Indonesia Polri mulai 1 Januari 2001 tidak lagi di bawah Departemen Pertahanan, tetapi langsung berada di bawah Presiden. Perubahan struktur organisasi Kepolisian yang tidak lagi di bawan organisasi militer ini, diakui atau tidak diakui, adalah merupakan hasil dari perubahan politik yang didorong oleh elemen-elemen civil society. 5 Ibid, Hal. 9 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 Agung. Perubahan ini juga disertai dengan perubahan struktur kepangkatan Polri, yang tidak lagi menggunakan sistem kepangkatan militer tapi sistem kepolisian yang berlaku umum di dunia, dimana hal ini melahirkan harapan bahwa Polri dalam menjalankan tugasnya tidak lagi berwatak militeristik. Namun, sampai saat ini hal tersebut belum dapat dilaksanakan dan dipenuhi oleh kepolisian Republik Indonesia. Dimana dalam menjalankan tugas dan fungsinya aparat kepolisian masih memakai sistem militerisme. Hal ini dapat lihat dari beberapa peristiwa yang terjadi, aparat lebih sering melakukan penembakan ketika berhadapan dengan masyarakat sipil dan dalam setiap peristiwa, masyarakat sipil selalu menjadi korban. Meski demikian, polisi berkeras menyatakan bahwa mereka telah menerapkan standar prosedur penggunaan senjata api sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Juru bicara Mabes Polri, Sisno Adiwinoto berdalih, kasus-kasus penyalahgunaan senjata api yang dilakukan oleh anggotanya adalah murni masalah pribadi 6 Kinerja Polisi Republik Indonesia Polri sebagai instansi negara belum berubah, sepanjang tahun 2006 Kontras mencatat 92 kasus yang melibatkan Polri, . Menurut pengamat polisi, Rudi Satria kasus penembakan yang dilakukan oleh polisi terjadi akibat longgarnya pengawasan senjata api di kalangan kepolisian. Hal ini juga dapat terjadi karena tidak tegasnya prosedur kepemilikan senjata api bagi aparat kepolisian atau bahkan tidak dipenuhinya prosedur kepemilikan senjata api yang berlaku dikalangan kepolisian. 6 http:www.indo media.comMenatap Sosok Polri Sipil, dikunjungi tanggal 25 Agustus 2007. Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 keterlibatannya mulai dari pelaku tunggal hingga berkelompok. 7 Fakta historis yang mengarah pada perumusan jati diri yang militeristik tidak secara serta merta mampu direduksi oleh Polri dengan keluarnya Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang pemisahan POLRI dan TNI serta TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang peran TNI dan POLRI, yang kemudian dikuatkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Kenyataannya perubahan yang ada belum memenuhi harapan, sampai akhir 2005, Polri masih menggunakan watak, ideologi, dan sikap yang militeristik dalam menjalankan tugasnya. Dalam operasional banyak tindakan polisi yang secara kasat mata melanggar HAM. Memang tidak dapat disangkal bahwa dunia polisi penuh dengan kekerasan. Seperti dikatakan oleh Sutherland, seorang kriminolog Amerika Serikat, bahwa polisi dalam pekerjaan sehari-harinya sering bergaul dengan dunia kekerasan. Kasus yang paling menonjol adalah penganiayaan sebanyak 36 kasus dan kasus penembakan menempati posisi kedua yaitu sebanyak 18 kasus, dari hal ini dapat dilihat bahwa kultur militerisme belum hilang dari tubuh Polisi Republik Indonesia. Keadaan ini mencerminkan bahwa Polri belum membangun jati dirinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, bahkan masyarakat dihantui oleh tindak militerisme dari aparat kepolisian. 8 7 www.Kontras.org Polisi dan Senjata Api, dikunjungi tanggal 06 Juni 2007 8 M.Khoidin Sadjijono, Mengenal Figur Polisi Kita, Yogyakarta, Laksbang Pressindo, 2007, Hal.97 Dalam bertugas memelihara Kamtibmas, polisi selalu bergulat dengan sosok perilaku manusia yang namanya kekerasan dan kejahatan. Di tengah maraknya aksi kejahatan sekarang ini tugas polisi tidaklah ringan. Setelah dipisah dari TNI, maka tanggung jawab Kamtibmas dalam negeri Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 sepenuhnya berada di pundak Polri. Munculnya deviasi akibat beratnya tugas yang diemban polisi adalah hal wajar. Namun institusi Polri tetap tidak boleh membiarkan penyimpangan yang dilakukan oleh anggotanya, karena dapat melukai hati rakyat. Seperti yang diketahui, akhir-akhir ini aparat seringkali melakukan penembakan di dalam menjalankan tugasnya, padahal di dalam menggunakan senjata api, terdapat aturan-aturan tertentu yang harus dipenuhi oleh aparat, dimana senjata api hanya boleh digunakan dalam keadaan yang sangat ekstrim 9 David L. Carter mengungkapkan bahwa penyimpangan polisi, dengan menyalahgunakan wewenang dan kepercayaan yang diberikan kepadanya, akan mendorong terjadinya pemudaran wibawa polisi. . Apabila masih dapat dilakukan cara-cara yang lebih manusiawi, aparat kepolisian tidak dibenarkan menggunakan kekerasan dan senjata api. 10 Penyimpangan prilaku anggota Polri bukan saja disebabkan karena keterbatasan materi dan kurangnya kesejahteraan anggota, melainkan lebih dari itu, penanaman watak dan budaya militeristik pada pendidikan dasar menjadi satu Memudarnya wibawa polisi akan mengarah kepada suatu instabilitas keamanan, akan mendorong tindakan anarkis dari masyarakat. Memudarnya wibawa polisi ini sama artinya menyeret Polri kembali ke dalam situasi tidak menguntungkan. Dalam konteks kekinian memudarnya pencitraan dan wibawa polisi salah satunya disebabkan oleh prilaku militeristk dalam menjalankan tugasnya. Hal ini terkait dengan masih bercokolnya buda ya militeristik dalam rahim pendidikan Polri. 9 Sem Karoba, Standar HAM Internasional Untuk Penegak Hukum, Yogyakarta, Galangpress, 2007, Hal. 30 10 hhtp: www.Indo Media.ComUpaya Mereduksi Budaya Militerisme Dalam Pendidikan Polri, dikunjungi tanggal 6 Maret 2007 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 sumber dari prilaku menyimpang anggota Polri, khususnya pada tindakan kekerasan yang melawan prinsip dasar demokrasi dan HAM. Internalisasi demokrasi dan HAM dalam pendidikan Polri mengacu pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya pada pasal 4 yang menyebutkan diantaranya bahwa dalam melaksanakan tugas, Polri harus menjunjung tinggi HAM, serta esensi dari nilai dan prinsip demokrasi. Hal yang melatarbelakangi penulis mengangkat skripsi yang berjudul Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur adalah: 1. Dewasa ini banyak terjadi kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan yang menjadi korban, sebagian besar adalah dari pihak masyarakat sipil. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Kontras, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang Hak Asasi Manusia, dimana di Provinsi Sumatera Utara ditemukan sebanyak 11 sebelas kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian. 2. Dari 11 sebelas kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh aparat kepolisian di Sumatera Utara hanya 1 satu kasus yang sudah diproses di pengadilan, hal ini menunjukkan sulitnya untuk melakukan proses hukum terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindakan sewenang-wenang dalam menggunakan senjata api. Sebagaimana dikemukakan oleh M.Khoidin Sadjijono, yang menyatakan bahwa segala penyimpangan dan perbuatan nista yang dilakukan oleh segelintir oknum kepolisian terjadi akibat ketidak tegasan dari pimpinan Polri, yang senantiasa Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 berusaha menutupi dan berkelit dengan mencari berbagai alasan atas tindakan bawahannya yang tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. 11 3. Dari penelitian yang penulis lakukan, penulis dapat menyimpulkan bahwa terjadinya penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian disebabkan oleh tidak adanya peraturan nasional kita yang mengatur secara khusus dan tegas tentang prosedur penggunaan senjata api bagi aparat kepolisian. Seharusnya pemerintah meratifikasi Resolusi 34168 Dewan umum PBB ke dalam perundang-undangan nasional. Apabila hal ini tidak segera diatasi oleh pemerintah dan oleh lembaga kepolisian khususnya, maka aparat kepolisian akan semakin sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya khususnya dalam menggunakan senjata api. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bahaya dari penggunaan senjata api tanpa prosedur adalah: a. Penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur merupakan masalah yang kompleks karena selain bertentangan dengan peraturan yang berlaku dalam penggunaan senjata api, penggunaan senjata api tanpa prosedur juga melanggar Hak Asasi Manusia, yaitu hak hidup seseorang sekalipun orang tersebut merupakan seorang pelaku kejahatan atau tersangka. b. Seperti yang diketahui dan patut direnungkan oleh aparat bahwa mereka memiliki fungsi sebagai pelindung masyarakat. Jadi apabila penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur ini tidak segera dibenahi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia maka rakyat tidak akan pernah mempercayai kinerja aparat. Dimana tindakan aparat yang overacting terhadap 11 M.Khoidin Sadjijono, Mengenal FigurPolisi kita, Yogyakarta, LaksBang Pressindo, 2007, Hal.6 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 kekuasaan yang dimiliki akan membekas dihati masyarakat sehingga menimbulkan sikap apriori dan penilaian sama rata bahwa semua polisi berperilaku jelek, masyarakat menutup mata bahwa masih banyak polisi yang berprilaku baik. 12 Kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian banyak terjadi di Sumatera Utara, salah satunya adalah kasus penembakan yang terjadi di Binjai. 13 1. Bagaimanakah pengaturan kepemilikan dan penggunaan senjata api bagi anggota Polisi Republik Indonesia? Dimana, aparat kepolisian Binjai yang tengah melaksanakan tugas menangkap beberapa orang yang dicurigaididuga sebagai pelaku perampokan, melakukan penembakan. Akibat peristiwa tersebut seorang masyarakat sipil menjadi korban karena terkena tembakan dari aparat kepolisian. Berdasarkan hal ini maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang berkaitan dengan penggunaan senjata api tanpa prosedur.

B. Perumusan Masalah