Keaslian Penulisan Metode Penelitian

Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 aparat jera. 2. Adapun manfaat praktis dari penulisan skripsi ini adalah: 2.1 Untuk dapat mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana penggunaan senjata api tanpa prosedur oleh aparat kepolisian, agar pihak Polisi Republik Indonesia Polri melalui Polisi Daerah Polda masing- masing lebih peka terhadap situasi dan perkembangan yang terjadi. 2.2 Agar Polisi Republik Indonesia melaksanakan peraturan yang berlaku dalam prosedur kepemilikan dan penggunaan senjata api oleh anggotanya. 2.3 Agar Polisi Republik Indonesia mengawasi anggotanya dalam menggunakan senjata api, menindak dengan tegas anggota Polisi Republik Indonesia yang menggunakan senjata api tidak sesuai dengan prosedur.

E. Keaslian Penulisan

Skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur” sepengetahuan penulis belum ada penulis lain yang mengemukakannya, dan penulis telah mengkonfirmasikannya kepada Sekretariat Departemen Pidana.

F. Tinjauan Kepustakaan 1.

Pengertian Dan Unsur-unsur Tindak Pidana A. Pengertian tindak pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “Strafbaar Feit”. Strafbaar Feit terdiri dari 3 tiga kata yakni Straf, Baar dan Feit. Straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, perkataan baar Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan kata feit diterjemahkan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Istilah tindak pidana telah lazim digunakan dan merupakan istilah resmi dalam perundang-undangan. 14 Tindak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif handelen. Padahal pengertian yang sebenarnaya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif. Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, walaupun masih diperdebatkan ketepatannya. 15 Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak ditemukan definisi tindak pidana. Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk mengenai pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya melakukan suau perbuatan, yang kemudian apakah orang yang telah melakukan Perbuatan aktif maksudnya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan atau disyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil sebagimana diatur dalam pasal 362 KUHP atau merusak yang diatur dalam pasal 406 KUHP. Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun, dimana seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misal perbuatan tidak menolong sebagaimana diatur dalam pasal 531 KUHP atau perbuatan membiarkan yang diatur dalam pasal 304 KUHP. 14 Drs. Adami Chazawi, S.H, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2002, Hal. 67 15 Ibid, Hal. 70 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 perbuatan tersebut dapat dipidana atau tidak. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum. Simon mengatakan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. 16 Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. 17 Menurut ahli hukum pidana Indonesia, Komariah E.Saprdjaja bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu. 18 Para ahli hukum umumnya mengidentifikasi adanya tiga persoalan mendasar Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana. Seperti sebelumnya telah disinggung dalam pembahasan tentang pertanggungjawaban pidana, terdapat pemisahan antara pertanggungjawaban pidana dan tindak pidana, yang dikenal dengan paham dualisme yang memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana. 16 Chairul Huda, op.cit, Hal. 25 17 Ibid 18 Ibid, Hal. 26 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 dalam hukum pidana. Saner, berpendapat bahwa hal itu berkaitan dengan, onrecht, schuld, dan strafe. Sementara itu, Packer menyebut ketiga masalah tersebut berkenaan dengan crime, responsibility, dan punishment. Menurut Soedarto, persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu, dan pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu. Dengan kata lain, masalah mendasar dalam hukum pidana berhubungan dengan persoalan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Pembedaan ini, menimbulkan konsepsi yang bukan hanya perlu memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, tetapi lebih jauh memisahkan pertanggungjawaban pidana dengan pengenaan pidana. Berdasarkan hal ini pengkajian juga diarahkan untuk mendalami bagaimana teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seharusnya diterapkan dalam mempertanggungjawabkan dan mengenakan pidana terhadap pembuat tindak pidana. Dengan kata lain, perlu pengkajian untuk menemukan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana. Teori yang memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana bertitik tolak dari pandangan bahwa, unsur tindak pidana hanyalah perbuatan, dengan demikian aturan mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang dalam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain diluar kategori tersebut. Dengan adanya aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali perbuatan- perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain, Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 the rules which tell all of us what we can and cannot do. Aturan tersebut menentukan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu, ditinjau dari tujuan-tujuan prevensi, aturan hukum yang memuat rumusan tindak pidana juga berfungsi sebagai peringatan bagi masyarakat untuk sejauh mungkin menghindar dari melakukan perbuatan tersebut, mengingat ancaman pidana yang dilekatkan padanya. Aturan tersebut berisi pedoman bertingkah laku bagi masyarakat, sehingga dilihat dari segi represif tekanannya lebih banyak pada fungsi perlindungan individu dari kesewenang-wenengan penguasa. Sedangkan aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorang sehingga sah jika dijatuhi pidana. Tekanannya justru pada fungsi melegitimasi tindakan penegak hukum untuk menimpakan nestapa pada pembuat tindak pidana. Dengan keharusan untuk tetap menjaga keseimbangan antara tingkat ketercelaan seseorang karena melakukan tindak pidana dan penentuan berat ringannya nestapa yang menjadi konsekuensinya. Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan saringan pengenaan pidana, yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki kesalahan dan pidana yang dikenakan sebatas kesalahannya tersebut. Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, apabila dilihat dari konsep sistem hukum sebagaimana dikemukakan Hart, juga menyebabkan kedua hal tersebut berada pada struktur aturan yang terpisah. Dikatakannya “primary laws setting standards for behavior and secondary laws specifying what officials must or may do when they are broken. 19 19 Ibid, hal. 28 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 Suatu tindak pidana adalah suatu perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hokum yang berlaku. Dalam definisi-definisi tersebut, unsur kesalahan telah dikeluarkan, sehingga tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan saja. Perbuatan disini berisi kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau kelakuan dan akibatnya. Kelakuan juga terdiri dari melakukan sesuatu komisi dan tidak melakukan sesuatu omisi. Dengan demikian, tindak pidana merupakan perbuatan melakukan sesuatu, perbuatan tidak melakukan sesuatu, dan menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang. Pengertian tersebut di atas, dalam pasal 11 Rancangan KUHP dirumuskan dengan “tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. 20 Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana di negara-negara civil law lainnya, tindak pidana umumnya dirumuskan dalam kodifikasi. Namun demikian, sejauh ini tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perundang- undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara bagaimana merumuskan suatu tindak pidana. Tidak mengherankan apabila terdapat berbagai rumusan tindak pidana yang memuat hal-hal diluar karakteristik perbuatan dan sanksi atas perbuatan tersebut. Dalam hal ini, berbagai tindak pidana terutama Dapat ditegaskan, sepanjang berkenaan dengan perumusan definisi tindak pidana, pikiran-pikiran untuk memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana telah menjadi bagian pembaruan hukum pidana Indonesia, dengan diadopsi dalam Rancangan KUHP. 20 Ibid Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 yang terdapat dalam KUHP, perumusannya tidak sejalan dengan teori pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana pertama-tama berisi larangan terhadap perbuatan. Dengan demikian, pertama-tama suatu tindak pidana berisi larangan terhadap kelakuan- kelakuan tertentu. Dengan delik-delik omisi, larangan ditujukan kepada tidak diturutinya perintah. Dengan demikian, norma hukum pidana berisi rumusan tentang suruhan untuk melakukan sesuatu. Dalam hal tindak pidana materil, larangan ditujukan kepada penimbulan akibat. Tindak pidana berisi rumusan tentang akibat-akibat yang terlarang untuk diwujudkan. Ketika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu omisi, maka pada hakikatnya undang-undang jusrtu memerintahkan setiap orang melakukan sesuatu, apabila mendapati keadaan-keadaan yang juga ditentukan dalam undang- undang tersebut. Dengan demikian, rumusan tentang tindak pidana berisi tentang kewajiban, yang apabila tidak dilaksanakan pembuatnya diancam dengan pidana. Kewajiban disini, menurut Wilson bukan hanya bersumber dari ketentuan undang- undang, dapat kewajiban tersebut timbul dari suatu perjanjian ataupun kewajiban yang timbul di luar perjanjian, atau kewajiban yang timbul dari hubungan- hubungan yang khusus, atau kewajiban untuk mencegah keadaan bahaya akibat perbuatannya, bahkan kewajiban-kewajiban lain yang timbul dalam hubungan sosial. 21 B. Unsur-unsur tindak pidana Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari dua sudut pandang yaitu: a. Unsur tindak pidana dari sudut teoritis 21 Ibid hal. 30 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah 22 1. Perbuatan 2.Yang dilarang oleh aturan hukum 3. Ancaman pidana bagi yang melanggar larangan Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan hukum. Ancaman diancam dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataan benar-benar dipidana. Pengertian diancam adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Tresna menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah: 23 1. Perbuatan atau rangkaian perbuatan 2. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan 3. Diadakan tindakan penghukuman Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman pemidanaan. Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan dengan demikian dijatuhi pidana. Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat subyektif yang melekat pada orangnya untuk dijatuhkannya pidana. Sedangkan menurut Vos unsur-unsur tindak pidana adalah: 24 1. Kelakuan manusia 22 Adami Chazawi, Op.cit, Hal. 79 23 Ibid 24 Ibid, Hal. 80 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 2. Diancam dengan pidana 3. Dalam peraturan perundang-undangan b. Unsur-unsur tindak pidana dalam undang-undang Dari rumusan-rumusan tindak pidana dalam KUHP itu, maka dapat diketahui adanya 8 delapan unsur tindak pidana, yaitu: 1. Unsur tingkah laku Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat, oleh karena itu perbuatan atau tingkah laku harus disebutkan dalam rumusan. Tingkah laku unsur mutlak tindak pidana. Jika ada rumusan tindak pidana tanpa mencantumkan unsur tingkah laku, misalnya pasal 351 KUHP tentang penganiayaan adalah suatu pengecualian dengan alasan tertentu dan tidak berarti tindak pidana itu tidak terdapat unsur perbuatan, unsur itu telah ada dengan sendirinya didalamnya, dan wujudnya tetap harus dibuktikan di sidang pengadilan untuk menetapkan telah terjadinya penganiayaan. 2. Unsur sifat melawan hukum Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada Undang-undang melawan hukum formil dan dapat bersumber pada masyarakat melawan hukum materil. Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat, maka sifat tercela tersebut tidak tertulis. Seringkali sifat tercela dari suatu perbuatan itu terletak pada kedua- duanya, seperti perbuatan menghilangkan nyawa orang lain pada pembunuhan, adalah dilarang baik dalam undang-undang maupun menurut masyarakat. Dari sudut undang-undang, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang wederrechtelijk dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundang-undangan. Berpegang pada pendirian ini, maka setiap perbuatan yang ditetapkan sebagai dilarang dengan mencantumkannya dalam peraturan perundang-undangan menjadi tindak pidana, tanpa melihat apakah unsur melawan hukum itu dicantumkan ataukah tidak dalam rumusan maka dengan demikian tindak pidana itu sudah mempunyai sifat melawan hukum, artinya melawan hukum adalah unsur mutlak dari tindak pidana. Mencantumkan secara tegas unsur sifat melawan hukum dalam suatu rumusan tindak pidana didasarkan pada suatu alasan tertentu, sebagaimana tercermin dalam keterangan risalah penjelasan Wvs Belanda, ialah adanya kekhawatiran bagi pembentuk Undang-undang, jika tidak dimuatnya unsur melawan hukum, akan dapat dipidananya pula perbuatan lain yang sama namun tidak bersifat melawan hukum. Adalah wajar dan dapat dimengerti pendirian pembentuk Undang-undang ini, mengingat hukum pidana menganut sifat melawan hukum formil dalam hal pemidanaan dalam arti positif sebagaimana termuat secara tegas dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Sifat terlarang yang bagaimana yang harus dibuktikan tidak sama bagi setiap tindak pidana, dan bergantung pada redaksi rumusan dan paham yang dianut, contohnya sifat terlarang dalam perbuatan mengambil pada pencurian, bagi paham sifat melawan hukum obyektif adalah terletak pada tidak ada izin dari sipemilik benda, dan inilah yang harus dibuktikan. Tetapi bagi paham melawan hukum subyektif, melihat dari rumusan maksud untuk memiliki dengan melawan Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 hukum, yang harus dibuktikan ialah keadaan batin ketika sebelum berbuat, ialah berupa kesadaran bahwa mengambil barang milik orang lain itu adalah terlarang atau tercela. Unsur batinlah yang menyebabkan perbuatan mengambil tersebut menjadi bersifat melawan hukum, karena selain tercela menurut masyarakat juga tercela menurut undang-undang. 3. Unsur kesalahan Kesalahan schuld adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif. Dalam hal ini berbeda dengan unsur melawan hukum yang dapat bersifat obyektif dan dapat bersifat subyektif, bergantung pada redaksi rumusan dan sudut pandang terhadap rumusan tindak pidana tersebut. Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah berupa unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum perbuatan dengan si pelaku. Hanya dengan adanya hubungan antara ketiga unsur tadi dengan keadaan batin pembuatnya inilah, pertanggungjawaban dapat dibebankan pada pelaku. Dengan demikian maka terhadap pelaku tadi dijatuhi pidana. Adapun yang termasuk kesalahan dalam arti luas adalah: a. Kesengajaan Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai kesengajaan. Didalam Memori van Toelichting MvT WvS Belanda ada sedikit keterangan mengenai kesengajaan, yang menurut Moeljatno menyatakan “Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui” 25 Kesengajaan ada 3 tiga bentuk, yaitu . 26  Kesengajaan sebagai maksud, : Sama artinya dengan menghendaki untuk mewujudkan suatu perbuatan tindak pidana aktif, menghendaki untuk tidak berbuatmelalaikan kewajiban hukm tindak pidana pasif, dan juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu tindak pidana materil.  Kesengajaan sebagai kepastian, Adalah berupa kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbuatan tertentu.  Kesengajaan sebagai kemungkinan Ialah kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan itu. b.Kelalaian Undang-undang juga tidak memberikan definisi apakah kelalaian itu. Hanya dalam Memori Penjelasan MvT menyatakan, bahwa kelalaian terletak antara sengaja dan kebetulan 27 25 Adil Matogu, Kajian Hukum Lingkungan Terhadap Perusakan Hutan di Kawasan Hutan Lindung Tormatutung Kisaran Sumatera Utara Skripsi, 2007 26 Ibid 27 Ibid, Hal.55 . Meskipun demikian, kelalaian itu dipandang lebih ringan dibandingkan dengan sengaja. Kelalaian ini merupakan unsur batin, bisa Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 berupa kehendak, pengetahuan, perasaan dan lain sebagainya yang dapat menggambarkan perihal keadaan batin manusia. Apabila kemampuan berpikir, berperasaan itu tidak digunakan sebagaimana mestinya maka disebut sebagai kelalaian. 28 4.Unsur akibat konstitutif Unsur akibat konstitutif terdapat pada: a. Tindak pidana materil atau tindak pidana dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana. Dalam tindak pidana materil, timbulnya akibat itu bukan untuk memberatkan pertanggungjawaban pidana, dalam arti berupa alasan pemberat pidana, tetapi menjadi syarat selesainya tindak pidana. Perbedaan lain, ialah unsur akibat konstitutif pada tindak pidana materil adalah berupa unsur pokok tindak pidana, artinya jika unsur ini tidak timbul, maka tindak pidananya tidak terjadi hanyalah percobaan. b.Tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana Unsur akibat sebagai syarat memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok tindak pidana, artinya jika syarat ini tidak timbul, tidak terjadi percobaan, melainkan terjadinya tindak pidana selesai. c. Tindak pidana dimana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat Tanpa timbulnya akibat dari perbuatan yang dirumuskan dalam undang- undang tidak pidana, baru dapat dipidana apabila akibat terlarang itu telah timbul. 28 Ibid Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 Tindak pidana materil dimana unsur akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana, berbeda dengan tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai pemberat pidana atau tindak pidana yang dikualifiser oleh akibatnya. Perbedaan itu adalah dalam tindak pidana materil, jika akibat itu tidak timbul, maka tindak pidana itu tersebut tidak terjadi, yang terjadi adalah percobaan. Tetapi jika akibat tidak timbul pada tindak pidana dimana akibat sebagai syarat pemberat pidana, maka tidak terjadi percobaan, tetapi yang terjadi adalah tindak pidana selesai yang lain. 5. Unsur keadaan yang menyertai Unsur keadaan yang menyertai, adalah unsur tindak pidana yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan. Unsur keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat berupa: 29 a. Mengenai cara melakukan perbuatan b. Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan c. Mengenai obyek tindak pidana d. Mengenai subyek tindak pidana e. Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana f. Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana 6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari yang berhak mengadu. Pengaduan substansinya adalah sama dengan laporan, 29 Ibid, Hal. 106 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 ialah berupa keterangan atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana yang disampaikan kepada pejabat penyelidik atau penyidik yakni kepolisian, atau dalam hal tindak pidana khusus ke kantor kejaksaan negeri. 7. Syarat tambahan untuk memperberat pidana Mengenai syarat ini telah disinggung pada saat membicarakan unsur akibat konstitutif. Unsur adalah berupa alasan untuk diperberatnya pidana, dan bukan unsur syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana sebagaimana pada tindak pidana materil. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut dapat terjadi tanpa adanya unsur ini. 8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah berupa unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan, yang menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan. Artinya bila setelah perbuatan dilakukan keadaan ini tidak timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum dan karenanya si pembuat tidak dapat dipidana. Sifat melawan hukumnya dan patutnya dipidana perbuatan itu sepenuhnya digantungkan pada timbulnya unsur ini. Nilai bahayanya bagi kepentingan hukum dari perbuatan itu adalah terletak pada timbulnya unsur syarat tambahan, bukan semata-mata pada perbuatan. Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009

2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. 30 Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakan dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan “ merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana. 31 Nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena telah melakukan tindak pidana . Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan yang ojektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada siterdakwa. 32 30 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana , Jakarta, Rineka Cipta, 1993, Hal.155 31 Prof. Mr. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta, Aksara Baru, 1983, Hal.75 32 Ibid hal. 76 . Oleh karena itu dikatakan bahwa dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas legaliteit, yaitu Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidananya sipembuat adalah asas “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dapat dikatakan orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia mempunyai kesalahan. Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat liability based on fault, dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana. 33 Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law sistem. Sejak abad kedua belas, dalam hukum pidana negara-negara common law sistem, berlaku maksim latin yaitu actus non est reus, nisi mens sit rea. 34 Dengan demikian, mens rea yang dalam hal ini disinonimkan dengan quilty of mind atau vicious will, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawaban Suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa kehendak jahat, pada satu sisi doktrin ini menyebabkan adanya mens rea merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi, lain hal ini menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut. 33 Dr. Chairul Huda, S.H, M.H., Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta, Prenada Media, 2006, Hal.4 34 Ibid hal 5 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 pembuat pidana. Dilihat dari sisi ini, penggunaan doktrin mens rea dalam common law system, pada hakikatnya sejalan dengan penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam civil law system. Berpangkal tolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno mengemukakan suatu pandangan yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis 35 Dipisahkannya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur tindak pidana dan ditempatkan sebagai faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana. Namun demikian, bagaimana konsepsi ini diterapkan dalam praktik hukum perlu pengkajian lebih , pada pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menyangkut persoalan “perbuatan” sedangkan masalah apakan orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah persoalan lain. Dalam banyak kejadian, tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan terhadapnya. Dengan kata lain, walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak diliputi kesalahan dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu. Untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan syarat- syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntut ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan. 35 Ibid hal. 6 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 lanjut. Pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena itu, pengkajian mengenai teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, pertama-tama dilakukan dengan menelusuri penerapan dan perkembangannya dalam putusan pengadilan. Dengan kata lain, konkretisasi sesungguhnya dari penerapan dari teori tersebut terdapat dalam putusan pengadilan. Seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain jika memang tidak ingin berbuat demikian. Dilihat dari segi masyarakat, ini menunjukan pandangan yang normatif mengenai kesalahan. Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang berpandangan psychologisch. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin daripada terdakwa, tetapi bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai keadaan batinnya itu, apakah dinilai ada atau tidak ada kesalahan. Pompe menyingkat kesalahan ini dengan dapat dicela verwijtbaarheid dan dapat dihindari vermijdbaarheid perbuatan yang dilakukan. 36 36 Prof. Mr. Roeslan Saleh, op.cit, Hal.77 Pompe mengatakan, menurut akibatnya, hal ini adalah dapat dicela, menurut hakikatnya dia adalah dapat dihindarinya kelakuan yang melawan hukum itu. Karena kehendak si pembuat itu terlihat pada kelakuan yang bersifat melawan hukum, maka ini dapat dicelakan padanya. Sampai sekian jauh, maka kesalahan Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 menyebabkan atau mempunyai akibat dapat dicela. Celaan ini dimungkinkan karena si pembuat itu bisa berusaha, agar dia tidak berbuat berlawanan dengan hukum oleh karena dia juga dapat berbuat sesuai dengan hukum. Pelanggaran atas norma itu bergantung pada kehendaknya, itu dapat dihindari. Berarti kesalahan pada hakikatnya dapat dihindari. Menurut Pompe, kelakuan adalah suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang yang nampak keluar dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi obyek hukum. Simons mengatakan bahwa kesalahan adalah keadaan psychis orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi. 37 a. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu Jadi yang harus diperhatikan adalah: b.Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan. Dua hal inilah yang harus diperhatikan, dimana diantara keduanya terjalin erat satu dengan yang lainnya, yang kemudian dinamakan kesalahan. Hal yang merupakan kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan persoalan yang lazim disebut dengan kemampuan bertanggung jawab. Sedangkan mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan, merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alas an pemaaf, sehingga mampu bertanggung jawab, mempunyai kesengajaan atau kelapaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan. Tiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang satu 37 Ibid, hal. 78 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 bergantung pada yang lain, dalam arti demikianlah urut-urutannya dan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu. Konkritnya tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau kealpaan, apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu bertanggung jawab dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan. Selanjutnya, tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah: a. Melakukan perbuatan pidana b.Mampu bertanggung jawab c. Dengan kesengajaan atau kealpaan d.Tidak adanya alasan pemaaf Telah dikatakan diatas bahwa mengenai keadaan batin dari si terdakwa dalam ilmu hukum pidana merupakan masalah kemampuan bertanggung jawab, apakah yang menyebabkan maka hal ini merupakan suatu masalah? Dalam hukum positif kita, yaitu dalam pasal 44 KUHP dinyatan bahwa: “Apabila yang melakukan perbuatan pidana itu tidak dapat dipertanggungjawabkan disebabkan karena pertumbuhan yang cacat atau adanya gangguan karena penyakit daripada jiwanya maka orang itu tidak dipidana.” Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 Jadi seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam pasal 44 KUHP, maka tidak dapat dipidana. Ketentuan dalam hukum positif ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam teori, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak diinginkan. Demikian yang disebut mengenai orang yang mampu bertanggung jawab. Orang yang tidak mampu bertanggung jawab tentu saja tidak sepantasnya dianggap dapat berbuat seperti yang diharapkan oleh hukum ataupun pikiran yang sehat. Prof. Mr. Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu bertanggung jawab itu harus memenuhi tiga syarat, yaitu 38 a. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya : b.Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum. Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas 38 Ibid, hal. 80 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 mana diperbolehkan dan mana yang tidak.

3. Pengertian Dan Jenis-jenis Senjata Api Yang Digunakan Oleh Aparat

Kepolisian A. Pengertian senjata api Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1976, senjata api adalah salah satu alat untuk melaksanakan tugas pokok angkatan bersenjata di bidang pertahanan dan keamanan, sedangkan bagi instansi pemerintah di luar angkatan bersenjata , senjata api merupakan alat khusus yang penggunaannya diatur melalui ketentuan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1976, yang menginstruksikan agar para menteri pimpinan lembaga pemerintah dan non pemerintah membantu pertahanan dan keamanan agar dapat mencapai sasaran tugasnya. Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 pasal I ayat 2 memberikan pengertian senjata api dan amunisi yaitu termasuk juga segala barang sebagaimana diterangkan dalam pasal I ayat 1 dari peraturan senjata api 1936 Stb 1937 Nomor 170, yang telah diubah dengan ordonantie tanggal 30 Mei 1939 Stb Nomor 278, tetapi tidak termasuk dalam pengertian itu senjata “yang nyata” mempunyai tujuan sebagai barang kuno atau barang yang ajaib dan bukan pula sesuatu senjata yang tetap tidak dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa sehingga tidak dapat digunakan. B. Jenis-jenis senjata api yang digunakan oleh aparat kepolisian Berdasarkan hasil wawancara penulis di Polda Sumut dengan salah seorang anggota kepolisian, Briptu. M. Jasri, yang bertugas di bagian Denma Denta Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 Semen Markas yang memiliki peranan sebagai pemberi izin dan pengawas pemakaian senjata api oleh aparat kepolisian, maka jenis-jenis senjata api yang digunakan oleh aparat kepolisian Indonesia adalah: A. Senjata Genggam 1. S W Smith Wilson kaliber volt 38 2. Detektif 3. Komando 4. C O P 5. Cobra 6. Taurus 7. Pindat 8. N S I B. Senjata Bahu 1. P.2 2. Rogermini 3. S K S 4. Mauser 5. L E 6. Medsen 7. S S I, dipakai oleh TNI dan Brimob untuk perang.

4. Pengertian Anggota Polisi Negara Republik Indonesia

Pengertian Anggota Polisi Negara Republik Indonesia diatur dalam Bab I ketentuan umum pasal 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, yaitu Anggota Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 Polisi Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indoinesia. Pasal 20 ayat I Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa pegawai negeri sipil pada kepolisian Negara Republik Indonesia terdiri atas: a. Anggota Kepolisian republik Indonesia b. Pegawai negeri sipil Terhadap pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat I huruf b, berlaku ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang kepegawaian. Akan tetapi yang menjadi subjek pada penulisan skripsi ini adalah anggota kepolisian republik indonesia yang bertugas sebagai aparat penegak hukum dan diberi wewenang untuk menggunakan senjata api dalam menjalankan tugasnya.

G. Metode Penelitian

Sudah merupakan ketentuan dalam hal penyusunan serta penulisan karya ilmiah atau skripsi diperlukan metode penelitian dalam pengerjaannya. Metode penelitian sebagai suatu hal yang mempunyai cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan dan untuk menghasilkan karya tulis ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, maka harus didukung dengan fakta-faktadalil-dalil yang akurat yang diperoleh dari penelitian. Sehubungan dengan itu, untuk memperoleh data dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menggunakan metode: 1. Penelitian Kepustakaan Library Research Penelitian kepustakaan atau penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan berdasarkan bahan-bahan bacaan, dengan cara membaca buku-buku, Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 literature-literatur serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan materi yang akan dibahas dalam skripsi ini. Data yang diperoleh dari bahan pustaka ini dinamakan dengan data sekunder. 39 2. penelitian Lapangan Field Research Data sekunder ini mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah pendapat sarjana, hasil penelitian yang berwujud laporan majalah, artikel dan juga berita dari internet yang bertujuan untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori atau asas atau doktri yang berkenaan dengan kepolisian dan pertanggungjawaban pidana. Yang kesemuanya ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang sifatnya teoritis yang digunakan sebagai pedoman dalam penelitian dan menganalisa permasalahan yang dihadapi. Selain penelitian kepustakaan, penulis juga mengadakan penelitian secara langsung ke lapangan yaitu dengan mendatangi objek penelitian untuk mengadakan wawancara terhadap beberapa aparat kepolisian di lingkungan Polda Sumut, untuk mendapatkan data-data, informasi dan keterangan- keterangan yang diperlukan dalam penulisan skripsi. Wawancara interview adalah situasi peran antar pribadi bertatap muda face to face, ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang responden. Penelitian lapangan dalam penulisan skripsi ini bersifat melengkapi data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Terhadap data yang diperoleh, akan dianalisa secara kualitatif. Menurut Bogan dan Biklena analisa data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan 39 Soerjono Soekanto, Jakarta Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,1986, Hal.12 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. 40 BAB II: PENGATURAN KEPEMILIKAN SENJATA API BAGI H. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa tahapan yang disebut dengan bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Secara sistematis, menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 5 lima bab yang diperinci sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Pada bab ini menggambarkan hal-hal yang bersifat umum Sebagai langkah awal dalam penulisan skripsi ini. Pada bab ini penulis menguraikan alas an yang menjadi latar belakang. Kemudian agar tulisan ini tidak lari dari tujuannya dalam memahami tulisan ini, maka penulis menetapkan apa saja yang menjadi permasalahan dan apa saja tujuan dan manfaat dari tulisan ini. Dalam bab ini, penulis juga menerangkan tentang keaslian penulisan, dimana tulisan ini ditulis dan dibuat sendiri oleh penulis. Akhirnya bab ini ditutup dengan sistematika penulisan yang menerangkan bagian- bagian dari keseluruhan bab secara ringkas atau sepintas. 40 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualilatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2007, Hal.248 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 ANGGOTA POLRI Pada bagian ini, penulis akan menguraikan gambaran tentang pengaturan kepemilikan senjata api bagi anggota Polisi Republik Indonesia, yang mengulas tentang anggota Polri yang berhak memiliki senjata api menurut peraturan yang berlaku, prosedur kepemilikan senjata api bagi anggota Polri, dan prosedur penggunaan senjata api bagi anggo ta Polri. BAB III: PENGGUNAAN SENJATA API YANG TIDAK SESUAI DENGAN PROSEDUR SEBAGAI SUATU TINDAK PIDANA Pada bagian ini, penulis akan membahas tentang penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur sebagai suatu tindak pidana dan tindak pidana yang ditimbulkan oleh penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur. BAB IV: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGGUNAAN SENJATA API YANG TIDAK SESUAI DENGAN PROSEDUR Pada bab ini penulis membahas mengenai pertanggungjawaban pidana penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian yang meliputi pihak yang berwenang melakukan penyidikan terhadap penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur. Selanjutnya menguraikan tentang kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan penyidikan, sanksi pidana bagi pelaku penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur serta tanggapan terhadap kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 dengan prosedur. BAB V: PENUTUP Bab ini merupakan inti dari permasalahan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Inti pembahasan ini dikemukakan dan dirumuskan ke dalam bentuk kesimpulan. Dengan membaca kesimpulan ini, penulis berharap para pembaca sudah dapat menangkap dan memahami isi yang terkandung di dalam skripsi ini. Sebagai penutup, bab ini diakhiri dengan beberapa saran yang diajukan dalam rangka meningkatkan kesadaran anggota kepolisian Republik Indonesia agar dalam melaksanakan tugasnya terkhusus dalam penggunaan senjata api, harus berdasarkan prosedur yang berlaku dan harus tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239Pid.B2007PN-Binjai, 2007. USU Repository © 2009 BAB II PENGATURAN KEPEMILIKAN SENJATA API BAGI ANGGOTA POLRI

A. Anggota Polri Yang Berhak Memiliki Senjata Api Menurut Peraturan