BAB II KETENTUAN HUKUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK DAN
PROSEDUR PENGANGKATAN ANAK
A. Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Per Undang -Undangan
Sampai saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang pengangkatan anak, namun praktik pengangkatan anak ditengah-tengah
kehidupan sosial masyarakat telah melembaga dan menajdi bagian dari budaya yang hidup ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Sejak zaman dahulu
masyarakat Indonesia telah melakukan pengangkatan anak dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda, sesuai dengan sistem hukum adat dan perasaan
hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan. Pemerintah melalui Menteri sosial menyatakan bahwa, dalam kenyataan
kehidupan sosial tidak semua orang tua mempunyai kesanggupan dan kemampuan penuh untuk memenuhi kebutuhan pokok anak dalam rangka mewujudkan
kesajahteraan anak. Kenyataan yang demikian mengakibatkan anak menjadi terlantar baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Sambil menunggu
dikeluarkannya undang-undang pengangkatan anak telah ditetapkan beberapa kebijaksanaan. Hal ini menunjukkan bahwa sejak tahun 1984 proses kearah
lahirnya undang-undang yang khusus membahas pengangkatan anak telah sedang berjalan, dan yang mengatur ketertiban praktik pengangkatan anak dilakukan
dengan beberapa aturan kebijakan-kebijakan pemerintah dan lembaga yudikatif.
14
14
Ahmad Kamil dan Fauzan, op.cit., hal. 50
Universitas Sumatera Utara
Meskipun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengangkatan anak belum mencukupi telah ada garis hukum bahwa ”Pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”, bahkan Pasal 22 AB algemene Bepalingen van wetgeving vor Indonesia secar tegas menentukan bahwa hakim
yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak
lengkap, maka ia dapat dituntut untukk dihukum karena menolak diadili. Asas hukum tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia juga
menjunjung tinggi sistem hukum dalam common law yang menghargai hakim sebagai makhluk mulia dan memiliki hati nurani serta kemampuan untuk
menangkap sinyal nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagai hukum riil yang oleh hakim dapat digali sebagai ramuan untuk
menciptakan hukum yurisprudensi
15
dalam menangani kasus yang hukum tertulisnya belum mencukupi seperti hukum pengangkatan anak di Indonesia.
Temuan hukum oleh hakim yurisprudensi tersebut, kedepannya akan menjadi sumber hukum dalam praktik peradilan.
16
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW yang merupakan warisan dari pemerintahan Belanda tidak mengenal peraturan mengenai lembaga
1. Staatblad 1917 Nomor 129
15
Hukum yurisprudensi adalah semua putusan hakim terhadap suatu perkara yang dasarnya hukumnya tidak ada atau kurang jelas, yang telah berkekuatan hukum tetap, diikuti oleh
hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan kasus yang sama dalam waktu lama secara berulang- ulang
16
Ahmad Kamil dan Fauzan, op.cit., hal. 49
Universitas Sumatera Utara
pengangkatan anak. Oleh karena itu bagi golongan Tionghoa diadakan pengaturannya secara tertulis di dalam Stb. 1917 Nomor 129, yang mulai berlaku
tanggal 1 Mei 1919, sedangkan untuk golongan Pribumi berlaku hukum adatnya masing-masing. Baru pada tahun 1956 Negeri Belanda memasukkan ketentuan
adopsi dalam BW.
17
Dari Stb.1917 No 129 ini, Bahwa pengangkatan anak hanya boleh dilakukan oleh sepasang suami isteri yang tidak mempunyai anak laki-laki,
seorang duda yang tidak mempunyai anak laki-laki, atau seorang janda yang tidak mempunyai anak laki-laki sepanjang almarhum suaminya tidak meninggalkan
surat wasiat yang isinya tidak menghendaki jandanya melakukan pengangkatan anak
18
Jadi yang dapat diadopsi ialah seorang anak Tionghoa yang laki-laki, anak itu haruslah tidak kawin, tidak mempunyai anak dan tidak pula telah diadopsi oleh
orang lain. Beda usia itu haruslah sekurang-kurang 18 tahun. Dan dengan Ibu yang yang mengadopsinya beda usia itu haruslah sekurang-kurangnya 15 tahun.
Bila anak yang diadopsi itu adalah seorang anggota keluarga, sah atau tidak sah artinya diluar nikah, maka hubungan keturunannya haruslah sama sederajatnya
seperti hubungan dalam adopsi. Untuk dapat mengadopsi harus ada persetujuan terlebih dahulu antara suami-isteri yang hendak melakukannya. Bila yang hendak
diadopsi adalah seorang anak yang sah, maka diperlukan persetujuan orang tua kandungnya. Kalau salah seorang dari padanya telah meninggal dunia kecuali bila
17
Ali, Affandi, Hukum Keluarga Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW, Yayasan Badan Penerbit GaJah Mada, Yogyakarta, 1997, hal. 57
18
Soedharyo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
yang masih hidup itu adalah seorang ibu yang telah menikah kembali dengan laki- laki lain; dalam hal itu bagi anak yang masih dibawah umur yang memberikan
persetujuannya ialah walinya dan Balai harta Peninggalan. Demikian pula bila kedua orang tua kandungnya telah meninggal dunia, wali dan balai harta
Peninggalan memberikan persetujuannya.
19
a. Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan
memelihara kelak kemudian dihari tua Dalam stb. 1917 Nomor 129 ini tidak mengatur mengapa orang melakukan
adopsi. Tetapi jika dihubungkan dengan sistem kepercayaan masyarakat Tionghoa, bahwa anak laki-laki yang meneruskan keturunan, maka dapat
diketahui bahwa alasan pengangkatan anak menurut stb ini adalah untuk melanjutkanmeneruskan keturunan. Hal ini dipertegas lagi oleh pasal 12 1 stb.
1917 Nomor 129, berbunyi: Jika suami Isteri mengadopsi anak laki-laki, maka anak itu dianggap telah dilahirkan dari perkawinan mereka. Selanjutnya dapat
ditambahkan, alasan melakukan adopsi adalah:
b. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan atau kebahagiaan keluarga
c. Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak dirumah maka akan dapat
mempunyai anak sendiri d.
Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu memeliharanya atau demi kemanusiaan
e. Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada
f. Untuk mendapatkan menambahkan tenaga kerja, dll
19
B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat serta akibat-akibat hukumnya di kemudian hari, Rajawali, Jakarta, 1983, hal. 149
Universitas Sumatera Utara
lalu kemudian, ada 2 dua ketentuan lagi yang menarik untuk diperhatikan, yaitu Pasal 11 dan Pasal 14. Pasal 11 stb. 1917 No 129, menyatakan bahwa adopsi
karena hukum menyebabkan orang yang diadopsi memakai nama keluarga orang tua angkatnya. Kemudian Pasal 14, menyatakan bahwa adopsi karena hukum
menyebabkan putusnya keperdataan antara anak yang bersangkutan dengan orang tua kandungnya
20
Surojo Wignjodipuro menyebutkan bahwa adopsi dalam hal ini harus terang, artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala
adat. Kedudukan hukum naka yang diangkat demikian ini adalah sama dengan .
2. Hukum Adat Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adat adalah terang dan
tunai. Terang ialah suatu prinsip legalitas, yang berarti bahwa perbuatan hukum itu dilakukan di hadapan dan diumumkan didepan orang banyak degan resmi dan
secara formal, dan telah dianggap semua orang mengetahuinya. Sedangkan Tunai, berarti perbuatan itu akan selesai seketika pada saat itu juga, tidak mungkin ditari
kembali, sebagaimana dikutip oleh Bushar Muhammad, Teer Haar menyatakan: “Pertama-tama harus dikemukakan mengambil anak dari lingkungan
keluarga kedalam lingkungan suatu klan atau kerabat tertentu, anak itu dilepaskan dari lingkungan yang lama dengan serentak diberi imbalannya, penggantinya
berupa benda magis. Setelah penggantian dan penukaran itu berlangsung, anak yang dipungut itu masuk kedalam lingkungan kerabat yang emngambilnya
sebagai suatu perbuata tunai.
20
Djaja S, Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang Dan Hukum Keluarga, Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hal. 117
Universitas Sumatera Utara
anak kandung dari pada suami isteri yang mengangkatnya, sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara adat putus, seperti yang terdapat
didaerah Gayo, Lampung, Pulau Nias, dan Kalimantan.
21
Di daerah yang mengikuti garis keibuan matrilineal terutama Minangkabau. Hal ini ditegaskan oleh Mr. B. Ter Haar tidak mengenal lembaga
pengangkatan anak. Karena menurut hukum adat yang berlaku di daerah Minangkabau harta warisan seorang ayah bapak tidak akan jatuh diwarisi oleh
anak-anak keturunannya, melainkan diwarisi oeh saudara-saudara sekandung beserta saudara perempuan yang berasal dari satu ibu. Dengan demikian di
Minangkabau yang perempuan tidak mendesak untuk melakukan perbuatan Berdasarkan pembagian Hukum adat di Indonesia, di beberapa daerah,
hukum adat tersebut mengalami adanya pengangkatan anak, walaupun tidak ada keseragaman karena berkaitan dengan hukum keluarga.
Di daerah-daerah yang mengikuti garis keturunan dari pihak laki-laki kebapakan antara lain terdapat di Tapanuli, Nias, gayo, Lampung, Bali dan
Kepulauan Timor, dimana pengangkatan anak hanya dilakukan terhadap anak laki-laki saja, dengan tujuan adalah untuk meneruskan garis keturunan dari pihak
bapak. Mengenai kewenangan anak angkat pada umumnya dapat dikatakan sama dengan kewenangan anak kandung, dalam arti anak angkat sama seperti kandung.
Mempunyai kewenangan dalam pengurusan hari tua orangtua angkat. Ia menjadi generasi penerus bagi orangtua angkatnya.
21
Ahmad kamil dan Fauzan, op.cit. hal. 32
Universitas Sumatera Utara
pengangkatan anak karena yang mewarisi adalah anak-anak dari saudaranya yang perempuan.
Didaerah yang mengikuti garis keturunan keibu-bapakan Parental seperti Jawa dan Sulawesi, dimana pengangkatan anak laki-lai perempuan pada
umumnya dilakukan terhadap anak keponakannya sendiri dengan maksud dan tujuan untuk:
a. Memperkuat pertalian kekeluargaan
b. Suatu kepercayaan, dengan mengangkat anak itu, kedua orangtua angkat akan
dikarunia anak c.
Menolong anak yang diangkat karena belas kasihan
22
Pengangkatan anak di Jawa dan Madura, dan didaerah Jakarta Raya orang lazim mengangkat anak angkat adalah anak pungut. Didaerah tebet disebut
Kukutan, sedangkan didaerah Rawasani, Senen, dan Grogol keponakan dari ayah angkat yang diambil menjadi anak piara. Anak angkat anak pungut selama
masih hidup tetap dengan orangtua angkat. Anak angkat yang dijadikan anak angkat tidak ada ketentuan batas umur, pada umumnya adalah anak-anak yang
masih hidup dibawah umur, ketentuan-ketentuan anak di madura umumnya tidak berbeda dengan hukum adat di Jawa.
23
Pengangkatan anak di Sumatera, seperti Di Aceh disebut “ancuk geuteung” disekitar aceh timur di langsa, kuala simpang, disebut “anak Bela” dan di
Selanjutnya B. Bastian Tafal menyatakan bahwa:
22
R, Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, hal. 15
23
B. Bastian Tafal op.cit. hal. 104
Universitas Sumatera Utara
meulaboh dengan “anak pungut” anak Seubut. Sifatnya hanya memelihara saja dan tidak mempunyai akibat hukum. Didaerah kuala simpang penyerahan anak
bela dilakukan dihadapan kepala-kepala adat, datuk, iman kampung dan keluarga. Walaupun hubungan yang timbul karena pengangkatan anak itu adalah akrab,
akan tetapi tidak menimbulkan hak mewaris. Malahan anak angkat dapat dikawinkan dengan anak kandung sendiri, hal mana seseuai dan tidak
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Didaerah aceh Tengah, dimana yang diangkat adalah seorang anak laki-laki. Istilah adatnya adalah luten aneuk ni jema
menajdi aneuk te isahan mengangkat anak orang lain menjadi anak sendiri dengan disahkan yang boleh diangkat hanyalah seorang laki-laki dan dilakukan
dengan upacara yang dihadiri oleh sarek opat dan ahli famili anak angkat mendapat bagian warisan dari orang tua angkat berupa kenangan Kero sejuk
artinya memakan nasi dingin. Hal ini karena dalam kewarisan selaku anak kandung yang diutamakan, sedangkan anak angkat menerima sekedar hibah dari
orangtua angkatnya. Disamping itu si anak angkat mendapat warisan dari orangtua kandung.
24
Pengangkatan anak dapat dilakukan dengan cara yang berlaku sesuai hukum adat masing-masing daerah tetapi sebaiknya dibuat akta otentik, walaupun
Didaerah Aceh umumnya hal ini dilukiskan dengan kata-kata: euoh, geseutot, gadoh geumita, udep gepeujahan, mate geupeuhgafah, artinya jauh
disusul, hilang dicari, hidup dibimbing, mati dikafan.
24
Ibid., hal. 104
Universitas Sumatera Utara
tidak dilakukan oleh seorang notaris, cukup hanya keterangan kepala desalurah yang diketahui camat.
3. Hukum Islam Dalam hukum Islam memperkenankan dilakukannya pengangkatan anak
sepanjang tidak diangkat sebagai anak kandung. Hukum Islam mengenal pengangkatan anak dalam arti terbatas. Maksud
terbatas pada pemberian nafkah, pendidikan, dan memenuhi segala kebutuhannya tidak boleh memutuskan hubungan anak yang bersangkutan dengan orang tua
kandungnya. Disinilah letak perbedaan hukum adat dibeberapa daerah dengan Huku m Islam.
25
a. pengangkatan anak angkat menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan
dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak Perbedaan Prinsip inilah yang melatar belakangi diaturnya mengenai
pengangkatan anak dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1979 Undang-Undang Tentang Kesejahteraan anak. Hanya dalam Pasal 12 UU No 4 Tahun 1979
dikatakan:
b. kepentingan kesejahteraan anak yang termasuk dalam ayat 12 1 diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. c.
pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan diluar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan
25
Djaja, S, Meliala, op.cit, hal. 86
Universitas Sumatera Utara
4. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia SEMA No. 2 Tahun
1979 tertanggal 7 April 1979, tentang pengangkatan anak yang mengatur tentang prosedur hukum mengajukan permohonan pengesahan danatau permohonana
pengangkatan anak, memeriksa dan mengadilinya.
5. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia SEMA No. 6 tahun 1983 Tentang penyempurnaan SEMA RI No. 2 Tahun 1979 Mengenai Tata Cara
Pengangkatan Anak Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia SEMA No. 6
Tahun 1983 Tentang penyempurnaan SEMA RI No. 2 Tahun 1979 Mengenai Tata Cara Pengangkatan Anak ditegaskan bahwa pengangkatan anak Warga Negara
Indonesia, supaya ada jaminan dan memperoleh kepastian hukum anak tersebut, maka pengangkatannya harus melalui suatu keputusan pengadilan. Mahkamah
agung lewat suratnya edarannya ingin menegaskan bahwa penetapan dan keputusan pengadilan merupakan syarat bagi sahnya pengangkatan anak. Belum
belum dari kata pengangkatan anak hanya sah sifatnya apabila diberikan oleh badan pengadilan harus melalui suatu keputusan pengadilan
6. Keputusan Menteri Sosial RI NO 41HUKKEPVII1984 tentang pelaksanaan perizinan pengangkatan anak, yang mulai berlaku sejak Tgl 14 Juni 1984
7. Bab VIII, bagian Kedua dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, yang mulai berlaku sejak Tanggal 22 Oktober 2002 dalam
Pasal 39 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 berbunyi sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
2. Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dengan ayat 1 tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orangtua kandungnya
3. Calon orangtua angkat harus seagama dengan agama yang dianut
oleh calon anak angkat 4.
Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir
5. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak tersebut
disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat Pasal 40 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 :
a. Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya
mengenai asal-usulnya dan orang tua kandungnya b.
Pemberitahuan asal-usul orangtua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan memperhatikan kesiapan
anak yang bersangkutan.
8. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia SEMA No. 3 Tahun 2005, Tentang Pedoman bagi Hakim dalam melaksanakan Pengangkatan
anak harus berpedoman Kepada SEMA No. 6 tahun 1983 Tentang penyempurnaan SEMA RI No. 2 Tahun 1979 Mengenai Tata Cara Pengangkatan
Anak yang berlaku mulai 8 Februari 2005 Setelah terjadinya bencana alam gempa dan gelombang tsunami yang
melanda Aceh dan Nias, yang menimbulkan masalah sosial; berupa banyaknya anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan adanya keinginan sukarelawan asing
untuk mengangkatnya sebagai anak angkat oleh Lembaga Swada Masyarakat dan Badan Sosial Keagamaan lainnya yang sangat membahayakan akidah agama anak
tersebut. 9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, Tentang Perubahan Atas Undang-
undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada Pasal 49 huruf a, angka
Universitas Sumatera Utara
20. menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang “…. Penetapan asal-usul seorang anak dalam penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam” .
11. Beberapa yurisprudensi Mahkamah agung dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktik peradilan telah diikuti oleh hakim-
hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara yang sama, secara berulang-ulang, dalam waktu yang lama sampai sekarang.
B. Akibat Hukum Tentang Pengangkatan Anak