54
Keputusan Pembatalan Perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a.
Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad; b.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; c.
Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.
6
Dari pasal 75 point b Kompilasi Hukum Islam KHI yang disebutkan di atas, jelas bahwa status anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang
batal masih disebut sebagai anak sah, sebab keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut bagi anak-anak yang dilahirkannya meskipun
keputusan pembatalan perkawinan tersebut untuk selamanya dan tidak berkesempatan untuk rujuk kembali.
2. Status Anak Menurut Hadits Nabi Tentang Nasab
Berketurunan merupakan tujuan pokok diantara tujuan pernikahan. Hal ini merupakan kecintaan laki-laki sebagai akar rumah tangga, begitu juga bagi
perempuan. Karena setiap manusia ingin namanya tetap ada dan berlanjut pengaruhnya.
7
Dalam Hukum Islam, berketurunan biasa disebut dengan istilah nasab. Secara bahasa Nasab berarti al-qarabah atau kedekatan dalam hubungan
6
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hal. 131
7
Ali Yusuf as-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam,Penerjemah Nurkhozin, Nidzomul Usroh fi al-Islami Jakarta: Amzah, 2010 cet. I, Hal. 251
55
keluarga. Kedekatan tersebut baik hubungan darah atau karena adanya perkawinan.
8
54
Dan Dia pula yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu punya keturunan nasab dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha
Kuasa. Q.S. Al-Furqan: 54.
Nasab seperti yang disebutkan al- Farra’, diartikan sebagai hubungan
dimana terdapat larangan perkawinan diantaranya. Akar suatu nasab dalam pandangan Ulama Fikih adalah mulai dari bapak dan ibu sampai ke atas dan
dari anak sampai ke bawahnya. Sedangkan secara istilah, terdapat beberapa pendapat yang menguraikan pengertian nasab secara istilah, seperti yang
dicatat oleh Jumni Nelli, yaitu: a.
Nasab adalah keturunan ahli waris atau keluarga yang berhak menerima harta warisan karena adanya pertalian darah atau keturunan;
b. Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai
salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Dan nasab merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah tangga
yang bisa mengikat pribadi berdasarkan kesatuan darah;
8
Sa’d abu Jubab, Qamus al-Fiqh: Lughatan wa Istilahan, Damaskus: Dar al-Fikr, 1993. Cet III, hal. 350.
56
c. Menurut Wahbah al-Zuhailiy nasab didefinisikan sebagai suatu sandaran
yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah. Misalnya seorang anak adalah bagian dari ayahnya, dan
seorang ayah adalah bagian dari kakeknya. Dengan demikian orang-orang yang serumpun nasab adalah orang-orang yang satu pertalian darah;
d. Sedangkan menurut Ibn Arabi nasab didefinisikan sebagai ibarat dari hasil
percampuran air antara seorang laki-laki dengan seorang wanita menurut keturunan-
keturunan syar’i.
9
Dalam perspektif Fikih proses penetapan nasab tidak pernah memberikan suatu definisi yang jelas tentang nasab yang sah, namun dari
berbagai sumber terutama yang dinukilkan dari al-Quran dan Al-Sunnah, dapat diketahui bahwa Islam sangat memberikan batasan yang jelas tentang
nasab tersebut.
10
Dalam Syariat Islam diakui bahwa hanya nasab yang sah saja yang berhak dijadikan ukuran suatu hubungan darah dalam keluarga yaitu ketika
melalui proses akad perkawinan yang sah pula. Dalam al-Quran disebutkan secara implisit tentang kesucian nasab dalam Islam, yaitu:
9
Jumni Nelli, Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional, h. 6, diakses dari
www.uinsuka.infosyariahattachments145_jumni20Nelli.pdf , pada
3 Januari 2011.
10
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2006, cet III, H. 277.
57
.
6 5
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya; kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki,; Maka sesungguhnya mereka dalam
hal ini tiada tercela. Q.S. Al-Mukminun: 5-6.
Dalam ayat lain juga disebutkan bahwa Allah melarang manusia untuk mendekati zina, perbuatan yang akhirnya juga akan melahirkan anak yang
berstatus anak zina. Demikian ayat ini menyebutkan :
32:17
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk Q.S. Al-
Isra’17: 32.
Oleh karena itu, nasab menjadi suatu pondasi yang kuat dalam membangun keluarga yang kokoh, di dalamnya terikat sebuah ikatan darah
yang kuat, kesatuan benih dan keturunan. Seorang anak menjadi bagian dari bapaknya dan seorang bapak menjadi bagian dari anaknya. Nasab menjadi
sebuah jejaring yang menguatkan hubungan keluarga, dan menjadi nikmat mulia yang dikaruniakan Allah kepada manusia, karena jika tidak maka akan
kacau hubungan darah dan akan hancur kemaslahatan yang ada di dalamnya. Demikian itu pula, tidak akan tercapai hubungan yang harmonis, kasih
58
sayang, dan rahmat di antara para individu di dalamnya. Maka dari itu, Allah sangat menjaga dan memelihara kelanggengan nasab manusia.
11
12
Selain dari hadits di atas, dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-
Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan Abi Bakrah. Rasulullah menyebutkan bahwa barang siapa yang
menasabkan keturunannya kepada seorang yang bukan bapaknya, sedangkan ia mengetahui bahwa ia bukan bapaknya yang sah, maka haram baginya
surge di hari akhirat kelak. Dalam konteks inilah, meskipun dilakukan pula oleh Rasulullah dan banyak umat Islam, sistem pengangkatan anak tidak dapat
memberikan nasab kepada sesorang.
13
11
Wahbah al-Zuhailiy, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, tth, juz 10. H. 1
12
Sulaiman ibn Asy’ab Abu Daud al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abu Daud, Beirut: Dar al- Fikr, tth, Juz I, h. 688, hadits no. 2262
13
Wahbah al-Zuhaility, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 10, h. 2.
59
Perkawinan yang sah akan melahirkan anak yang sah pula, jika pembuahan dan kelahirannya dilakukan pada saat berlangsungnya perkawinan
yang sah. Lain halnya anak zina yang diartikan oleh para ahli Fikih sebagai anak yang lahir dari hubungan badan antara laki-laki dan perempuan tanpa
dengan status perkawinan yang sah.
14
Dalam suatu hadits disebutkan :
15
Dalam konteks hadits ini, menurut al-Syaukani dalam nail al-Authar,
bahwa penentuan keturunan nasab seseorang hanya dihubungkan kepada bapak, setelah adanya kepastian antara kedua suami istri telah melakukan
hubungan badan, serta dengan akad pernikahan yang sah. Menurut Ibnu Qayyim, seperti dikutip al-
Syaukani, kata “firasy” dalam hadits ini menjadi dasar pembuktian nasab dalam Islam.
16
14
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h 279
15
ي خ ظف يف :
شا ف ا ص .
Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar, subbab Anna Al-Walad li al-firasy. Dalam Shahih Muslim
Hadits ini disebutkan: ئ ع نع ع نع ش ي ا نع ثي ا ن خا
ن د ث د ثي ث د ديعس ن يتف ثد
ت ق نا :
د ع ق ي ا ن تع يخا ن ا ها س يا دعس قف اغ يف ع د ع ق ي ا ن دعس صتخا ها س ظ ف تدي ن ي ا ش ا ف ي ع د ها س ي يخا ا ع ن د ع ق ش ي ا ظنا ا ع ي ا
ا ع شا ف د ا د ع ي ك قف تع ش يا ف ش ي ا س ي ع ها ي ص Muslim al-Hujjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Beirut: Dar
al-Ihya al-Turats al-arabi, tth, Tahqiq Muhammad Fuad Baqiy, Jilid II, hal. 1079. Hadits nomor 1457. Lihat Pula, Muhammad ibn Isa al-Turmizi al-Salami, al-Jami al-shahih Sunan al-Turmizi,
Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Islami, tth, Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, dkk, Juz III, h. 462, hadits nomor 1156.
16
Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al- Akhbar, subbab Anna al-walad li al-firasy. Kitab elektronik diakses dari
infoomelketab.net .
60
Menurut Wahbah al-Zuhailiy, hadits ini menunjukkan bahwa nasab hanya diambil dari bapak dan ibu yang menjalin hubungan perkawinan yang
sah. Firasy diartikan sebagai perempuan yang telah diketahui oleh khayalak umum, bahwa ia adalah isteri dari lelaki yang sah.
17
Dari penjelasan di atas, bila dibandingkan dengan uraian dalam Shahih Muslim,
18
dapat diambil benang merah, bahwa dalam Islam pengakuan atas anak oleh orang tua termasuk pula dengan nasabnya yang sah hanya bisa
dilakukan ketika perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang melahirkan telah terikat hubungan yang sah sebagai suami istri. Dengan kata lain, anak
sah hanya boleh diakui dengan akad pernikahan yang sah pula. Oleh karena itu, jelaslah bahwa anak-anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan
yang sah tetap berkedudukan sebagai anak sah, meskipun suatu saat terjadi pembatalan perkawinan. Sebab kata Firasy dalam hadits di atas dapat
dipahami yaitu mereka yang mempunyai alas tidur. Dengan kata lain pemilik alas tidur tersebut setelah adanya perkawinan yang sah adalah laki-laki yang
menjadi suaminya. Selain itu dalam pandangan ulama Fikih dikenal juga istilah anak
syubhat. Menurut Jawad al-Mughniyyah, mengutip dari berbagai pandangan Ulama, anak syubhat yaitu anak yang dilahirkan dari percampuran
persetubuhan syubhat, hal ini terjadi manakala seorang laki-laki mencampuri
17
Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, tth, juz 10, h. 3
18
Lihat, Muslim al-Hujjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim. Penjelasan hadits nomor 1457, jilid II, h. 1079
61
seorang wanita lantaran tidak tahu bahwa wanita tersebut haram untuk dicampuri, baik karena haram untuk selamanya atau bersifat sementara.
Syubhat terbagi dua yaitu syubhat dalam akad, dan syubhat dalam tindakan.
19
a. Syubhat dalam Akad adalah manakala seorang laki-laki melaksanakan
akad nikah dengan seorang wanita seperti biasa, tapi ternyata akadnya tersebut fasid.
b. Syubhat dalam tindakan, yaitu manakala seorang laki-laki mencampuri
seorang wanita tanpa adanya akad antara keduanya, baik sah maupun fasid, semata-mata karena tidak sadar melakukannya bahwa wanita
tersebut tidak halal dicampurinya. Nasab hasil persetubuhan syubhat ini dianggap sah oleh para ulama,
sehingga seorang anak dapat ditetapkan pada bapaknya. Kalaupun seorang lelaki tersebut tidak mengakuinya, maka tidak akan menafikan adanya nasab
secara hakiki, bahkan lelaki tersebut dipaksa untuk mengakui.
3. Status Anak Menurut Hukum Perdata