16
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Perbedaan Pembatalan Perkawinan dan Fasakh
Pembatalan Perkawinan yaitu rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu rukun atau salah satu syaratnya, atau sebab lain yang
dilarang atau diharamkan oleh agama. Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan dapat juga dikenal dengan fasakh. Yang di maksud dengan fasakh
nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami dan istri. Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika
berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.
1
Secara bahasa, menurut pendapat Ibnu Manzur dalam Lisan a-Arab, menyatakan bahwa fasakh berarti batal naqada atau bubar faraqa.
2
Secara istilah fasakh ialah :
, .
“faskhul aqdi adalah membatalkan aqad, dan melepaskan tali ikatan perkawinan suami istri.
3
1
Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003. Hal. 141-142
2
Ibnu Manzur, Lisan al- „arab Juz III, Qatar: Dar al-Fikr, 1994, hal. 45
3
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam Tentang NTCR II, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, Jakarta,
1985, hlm. 23.
17
Sesuai dengan artinya menghapus dan membatalkan, maka pemutusan ikatan perkawinan dengan cara fasakh melibatkan tidak hanya dua pihak
pengakad yaitu suami istri saja tetapi termasuk pihak ketiga. Sehingga ada kemungkinan fasakh itu terjadi karena kehendak suami, kehendak istri, dan
kehendak orang lain yang berhak. Sedangkan hal-hal yang bisa dijadikan sebab untuk memfasakh berkisar pada dua kelompok sebab yakni sebelum akad nikah
dan setelah akad nikah.
4
Sayyid Sabiq, dalam kitabnya Fiqh Sunnah Jilid 8, menjelaskan bahwa memfasakh aqad nikah berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian
antara suami istri. Fasakh bisa terjadi karena syarat - syarat yang tidak terpenuhi pada aqad nikah atau karena hal - hal lain yang datang kemudian yang
membatalkan kelangsungannya perkawinan.
5
Menurut pendapat Imam Muhammad Abu Zahroh dalam kitabnya Al- Ahwal Al- Syakhsiyyah
menyebutkan “fasakh hakikatnya adalah sesuatu yang diketahui atau terjadi belakangan, bahwa terdapat sebab yang menghalangi
langgengnya pernikahan, atau merupakan konsekuensi dari diketahuinya sesuatu yang mengiringi aqad, yang menjadikan aqad tersebut tidak sah.
6
4
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Hal. 141
5
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 8, Terj Judul Asli Fiqhu al-Sunnah, Bandung: Al - Maarif, 1980 Cet. I ,hlm. 124
– 125
6
Abu Zahroh, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, Beirut: Darul Fikr Al-Arabi, 1950, hlm. 324
18
Menurut Muhammad Yahya Harahap, secara teoritis dalam Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menganut prinsip bahwa tidak
ada suatu perkawinan yang dianggap sendirinya batal menurut hukum sampai adanya ikut campur tangan pengadilan.
7
Hal ini dapat diketahui dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975, dimana dikatakan bahwa batalnya
suatu perkawinan hanya dapat diputus oleh pengadilan.
8
Dalam UU Perkawinan, tidak disebutkan pula tentang istilah fasakh, melainkan pembatalan perkawinan. Pada BAB IV Pasal 22 UU Perkawinan No 1
Tahun 1974, disebutkan, “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
9
Pengertian kata “dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, yakni tergantung pada sebab-sebab yang timbul kemudian. Sebagai contoh
dalam agama Islam salah satu rukun perkawinan adalah adanya wali nikah, tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam bab IV tentang “Rukun dan Syarat
Perkawinan” pasal 14 c. kemudian dilanjutkan penjelasannya pada pasal 20 Kompilasi Hukum Islam mengenai syarat wali nikah, yaitu pada
ayat 1 “yang
7
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,Medan: CV. Zahir Trading Co,
1975. Cet. 1. hal.74
8
R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata :BW dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: PT.
Pradnya Paramita, 2007 cet. Ke-38. Hal. 572
9
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen
Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam, 2002, hlm. 18
19
bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.
” Ayat 2 berbunyi “wali nikah terdiri dari : a. wali nasab, b. wali hakim. Jika dalam suatu pernikahan yang dilaksanakan
menurut hukum Islam, syarat diatas tidak terpenuhi, maka pada masa mendatang perkawinan tersebut dapat dibatalkan.
10
Sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 dan UU Perkawinan, dalam Kompilasi Hukum Islam KHI juga tidak disebutkan sama
sekali tentang istilah fasakh, melainkan pembatalan perkawinan. Dalam KHI juga tidak diberikan pengertian secara rinci mengenai definisi pembatalan perkawinan,
Akan tetapi, dari penjelasan-penjelasan yang penulis baca pada BAB XI pasal 70 KHI, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa pembatalan perkawinan adalah
batalnya suatu perkawinan yang penyebab batalnya baru diketahui atau baru terjadi setelah setelah perkawinan tersebut sah diakui menurut hukum agama
Islam maupun oleh hukum Negara Indonesia. Pembatalan Perkawinan yang biasa kita kenal dengan istilah fasakh,
tentunya memiliki beberapa faktor yang menyebabkan perkawinannya ini batal. Faktor-faktor penyebabnya tersebut antara lain sebagai berikut:
11
10
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, Pedoman PelaksanaanPenyuluhan Hukum, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Jakarta: Departemen Agama, 2006. Hal. 20-21.
11
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat, dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006. Hal. 253
20
1. Syiqaq, yaitu adanya pertengkaran antara suami istri secara terus menerus.
Ketentuan syiqaq ini terdapat dalam QS. An-Nisa ayat 35, 2.
Adanya cacat, yaitu cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik cacat jasmani atau rohani atau jiwa. Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum
perkawinan namun tidak diketahui oleh pihak lain atau cacat yang berlaku setelah terjadi akad perkawinan baik ketahuan atau terjadinya setelah suami
istri bergaul atau belum. 3.
ketidakmampuan suami memberi nafkah 4.
suami gaib al-mafqud 5.
dilanggarnya perjanjian dalam perkawinan Sedangkan menurut ulama empat mazhab, faktor-faktor penyebab
perkawinan dapat difasakh adalah sebagai berikut :
12
Menurut mazhab Hanafi, hal-hal yang mengakibatkan fasakh nikah adalah pisah karena suami atau istri murtad, perceraian karena perkawinannya
fasidrusak, dan karena keduanya tidak sekufu. Sedangkan fasakh menurut Syafi‟I
dan Hanbali adalah adanya cacat, karena adanya kesulitan yang dialami suami, karena li‟an, salah seorang suami istri itu murtad, perkawinan itu rusak, dan tidak
ada kesamaan status kufu. Adapun fasakh berdasarkan mazhab Maliki adalah terjadinya li‟an, fasadnya perkawinan, salah seorang pasangan itu murtad.
12
A. Rahman I Doi, Syariah 1 Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996 Hal. 309-310
21
Apabila terjadi pembatalan perkawinan, baik dalam bentuk pelanggaran terhadap hukum perkawinan, atau terdapatnya halangan
yang tidak diperbolehkannya suami rujuk kepada mantan istrinya selama istri itu menjalani
masa iddah. Akan tetapi apabila keduanya berkeinginan untuk melanjutkan perkawinan, mereka harus melakukan akad nikah baru. Akibat lainnya ialah
pembatalan perkawinan tersebut tidak menghalangi bilangan thalaq.
13
Dalam Kompilasi Hukum Islam KHI permasalahan pembatalan perkawinan dijelaskan secara rinci pada pasal 70 sampai 76. Dalam pasal 70 KHI
dinyatakan bahwa perkawinan batal batal demi hukum apabila:
14
1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah
karena sudah mempunyai empat orang istri sekali pun salah satu dari keempatnya sedang dalam masa iddah
2. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di li‟annya
3. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dijatuhi 3 kali talak oleh
dirinya. kecuali jika bekas istrinya sudah menikah lagi dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba‟da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa
iddahnya 4.
Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, sesusuan, sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan
13
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat, dan Undang-undang Perkawinan. Hal. 253
14
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1995, hal. 129-130
22
menurut pasal 8 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu : berhubungan darah dalam garis lurus kebawah atau keatas, berhubungan darah dalam garis
lurus keturunan menyamping, bersemenda yaitu mertua, anak tiri, dan ibu atau ayah tiri, berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, dan bibi
atau paman susuan, istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.
Selanjutnya pada pasal 71 dijelaskan perkawinan yang dapat dibatalkan apabila : a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama, b.
perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria yang mafqud, c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari
suuami lian, d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan pasal 7 Undang-undang nomor 1 Tahun 1974, e.
perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak, f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
15
Berkenaan dengan pihak-pihak yang dapat membatalkan perkawinan diatur dalam KHI pasal 73 yaitu para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas,
kebawah baik dari pihak suami atau pun istri; suami istri; pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang; para pihak yang
berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan
15
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1995, hal. 130
23
sebagaimana tersebut dalam pasal 67. Adapun menyangkut saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan yaitu setelah keputusan pengadilan Agama yang
mempunyai ketetapan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan KHI Pasal 74 ayat 2.
Pembatalan perkawinan tentunya mempunyai akibat hukum yang ditimbulkan setelahnya. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 28
ayat 2 dinyatakan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, b. suami atau
istri yang bertindak dengan beriktikad baik kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan adanya perkawinan lain yang lebih dahulu,
dan c. orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam huruf a, dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan Iktikad baik sebelum keputusan tentang
pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
16
Adapun dalam KHI akibatnya tersebut disebutkan dalam pasal 75 dan 76. Dalam pasal 75 disebutkan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak
berlaku surut terhadap perkawinan yang batal karena salah satu dari suami istri murtad, anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, pihak ketiga
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan dalam
16
Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 11974 Sampai KHI, Jakarta:
Kencana, 2006, cet ke-III, Hal. 113
24
pasal 76 KHI disebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
B. Nasab Dalam Hukum Islam