Status Anak Menurut Hukum Perdata

61 seorang wanita lantaran tidak tahu bahwa wanita tersebut haram untuk dicampuri, baik karena haram untuk selamanya atau bersifat sementara. Syubhat terbagi dua yaitu syubhat dalam akad, dan syubhat dalam tindakan. 19 a. Syubhat dalam Akad adalah manakala seorang laki-laki melaksanakan akad nikah dengan seorang wanita seperti biasa, tapi ternyata akadnya tersebut fasid. b. Syubhat dalam tindakan, yaitu manakala seorang laki-laki mencampuri seorang wanita tanpa adanya akad antara keduanya, baik sah maupun fasid, semata-mata karena tidak sadar melakukannya bahwa wanita tersebut tidak halal dicampurinya. Nasab hasil persetubuhan syubhat ini dianggap sah oleh para ulama, sehingga seorang anak dapat ditetapkan pada bapaknya. Kalaupun seorang lelaki tersebut tidak mengakuinya, maka tidak akan menafikan adanya nasab secara hakiki, bahkan lelaki tersebut dipaksa untuk mengakui.

3. Status Anak Menurut Hukum Perdata

Anak mengandung banyak arti apalagi bila kata anak diikuti dengan kata lain misalnya anak turunan, anak kecil, anak sungai, anak negeri, dan lain sebagainya. 20 Anak adalah putra putri kehidupan, masa depan bangsa dan 19 Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhhab, penerjemah Masykur AB, dkk. Jakarta: Lentera, 2001 cet VII, H. 389 20 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, 1992. Hal. 83 62 negara. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan agar dapat berkembang mental dan spiritualnya secara maksimal. 21 Pengertian anak dalam hukum perdata tidak diatur secara eksplisit. Pengertian anak selalu dihubungkan dengan kedewasaan sedangkan kedewasaan tidak ada keseragaman dalam berbagai peraturan perundang- undangan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW anak belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin, UU No 1 tahun 1974 tidak lugas mengatur mengenai kapan seorang digolongkan sebagai anak, Secara tersirat dalam Pasal 6 ayat 2 yang menyatakan bahwa syarat perkawinan bagi seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin orang tuanya, Pasal 7 ayat 1 UU No 1 tahun 1974 menyatakan bahwa minimal usia anak dapat kawin pria 19 tahun dan wanita 16 tahun. Di sisi lain, Pasal 47 ayat 1 UU No 1 tahun 1974 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak mencabut kekuasaan orang tuanya, Dalam Inpres RI No 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum islam batas usia dewasa diatur dalam Pasal 98 ayat 1 dinyatakan 21 Imam Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, tth, h. 52 21 Darwin Prints dalam Iman Jauhari 1, Hak-hak Anak Dalam Hukum Islam Jakarta: Pustaka Bangsa Pres, 2003. Hal. 80 63 bahwa dewasa adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental ataupun belum pernah melakukan perkawinan. 22 Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dianggap dewasa, Menurut penelitian Supomo tentang Hukum Perdata adat di Jawa Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi : a. Dapat bekerja sendiri b. Cakap untuk melakukan apa yang di syaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab. c. Dapat mengurus harta kekayaannya sendiri Dalam K.U.H.Perdata dan juga dalam UUP berlaku prinsip bahwa keturunan yang sah didasarkan atas suatu perkawinan yang sah. 23 Hal ini menjelaskan bahwa keturunan yang sah yang di maksud di atas adalah anak sah termasuk dari anak dan seterusnya ke bawah. Pasal 250 K.U.H.Perdata mengemukakan bahwa “ Tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Dari pasal di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: 22 Nizam, Kewajiban Orang Tua Laki-laki Ayah Atas Biaya Nafkah Anak Sah Setelah Terjadinya Perceraian Kajian Putusan Pengadilan Agama Semarang, Semarang: Tesis Program Magister Kenotariatan Universitas Dipenogoro, 2005. Hal 32 23 Prinsip yang sama berlaku juga dalam hukum di Amerika Serikat, “Legitimacy is defined primariliy by reference to the marital status of the child’s parents’. 64 Kata “sepanjang perkawinan”, artinya sejak perkawinan itu ada sampai perkawinan itu putus. Perkawinan ada, sejak perkawinan dilangsungkan secara sah sampai perkawinan itu putus karena perceraian, baik cerai mati maupun cerai hidup. 24 Kemudian pada kata”ditumbuhkan” merupakan terjemahan dari kata verwekt yang bisa juga diberikan arti “dibenihkan”. Kata suami dalam rangkaian kata-kata memperoleh si suami sebagai ayahnya, mempunyai arti suami dari perempuan yang melahirkan anak tersebut. 25 Dari penjelasan di atas, terdapat dua ukuran yang dipakai oleh pembuat Undang-undang untuk menetapkan siapa ayah seorang anak, jika anak tersebut lahir dalam suatu keluarga, yang orang tuanya menikah secara sah. Selanjutnya, dari bunyi ketentuan pasal 250 tersebut di atas, orang menyimpulkan bahwa “anak yang lahir sepanjang perkawinan bapak-ibunya, dan anak yang dibenihkan di dalam perkawinan bapak-ibunya adalah anak sah dari kedua orang tuanya artinya ukuran pertama ayah dari seorang anak tersebut adalah bapakayah yang membuahi perempuan yang melahirkan anak tersebut di dalam perkawinan. 24 Pasal 199 KUHPer dan pasal 38 UUP. 25 J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang Edisi Revisi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005, cet II, hal. 19. 65 Sedangkan ukuran kedua siapa ayah dari anak yang dilahirkan dalam perkawinan orang tua mereka adalah berangkat dari anggapan bahwa yang membuahi sesuai dengan umumnya terjadi yaitu suami si perempuan yang melahirkan itu adalah ayahnya. Akan tetapi jika kenyataannya berbeda, maka ayah dari seorang anak tersebut adalah suami si perempuan yang melahirkan anak tersebut meskipun suami tersebut tidak pernah membuahi si perempuan tersebut. 26 Sehubungan dengan penjelasan di atas, perlu dicermati juga bunyi anak kalimat terakhir pasal 199 sub 4 K.U.H.Perdata berkata tentang “karena perceraian sesuai dengan ketentuan dalam bagian ketiga bab ini” adalah agar kita memperhatikan ketentuan pasal 221 K.U.H.Perdata yang berbunyi “Perkawinan bubar karena perceraian dan pembukuan perceraian itu dalam register catatan sipil”. Dalam pasal 221 K.U.H.Perdata di atas dapat dipahami bahwa perkawinan dapat dikatakan bubar atau putus disebabkan karena adanya keputusan perceraian dari pengadilan dan juga harus didaftarkan keputusan perceraian itu di kantor catatan sipil. Kemudian lain halnya dengan bunyi pasal 38 UUP mengatakan bahwa perkawinan dapat diputus karena : kematian, perceraian, dan atas keputusan peradilan. Jadi, menurut UUP, pencatatan dalam register di kantor pencatat nikah bukan merupakan syarat 26 J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang Edisi Revisi, hal 24. 66 putusnya perkawinan. Dalam pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dengan tegas menyebutkan “Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan” Oleh karena itu, apabila pemutusan perceraian itu hanya ada keputusan perceraian dari pengadilan saja, tanpa adanya pendaftaran di kantor Catatan Sipil dalam jangka waktu enam bulan, konsekuensinya adalah semua anak yang dilahirkan dalam masa enam bulan 6 bulan sejak keputusan perceraian yang tidak didaftarkan lahir di dalamsepanjang perkawinan orang tuanya maka anak tersebut dikatakan sebagai anak sah. 27 Sebagaimana yang telah diketahui bahwa anak-anak yang tumbuh atau dilahirkan sepanjang perkawinan ayah dan ibunya disebut anak sah. Oleh karena itu, manakala anak-anak yang dilahirkan dari ayah dan ibu yang tidak terikat dalam suatu perkawinan disebut anak-anak tidak sah atau anak-anak luar kawin onwettige, onechte, natuurlijke kinderen. Anak-anak yang tidak sah atau anak luar kawin dibedakan menjadi dua golongan yaitu: a. Anak-anak luar kawin yang bukan anak zina overspelig atau anak sumbang bloed schennis maksudnya adalah anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah 27 J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang Edisi Revisi, hal. 19-20 67 b. Anak-anak luar kawin hasil zina overspelige kinderen, artinya anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar perkawinan yang sah. 28 Pengertian anak luar kawin dalam undang-undang digunakan dua arti yaitu: Pertama, dalam arti luas, adalah anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan termasuk didalamnya anak-anak zina dan anak sumbang; Kedua, dalam arti sempit ialah anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang bukan anak zina dan anak sumbang. Sejak tahun 1947, B.W. Belanda telah mengalami perubahan dan dewasa ini telah dimasukkan kedalam pasal 221 ayat 1 B.W.N. yang berbunyi :”Anak-anak tidak sah mempunyai kedudukan sebagai anak alami ibunya. Ia m emperoleh kedudukan sebagai anak sah setelah diakui ayahnya”. B.W. di Indonesia mengatur tentang pengesahan anak luar kawin dalam bagian II, sedangkan pengakuan anak diatur dalam bagian III bab XII. Undang-undang mengenal dua jenis pengakuan anak, yaitu : a. Pengakuan dengan sukarela Pengakuan adalah suatu pernyataan kehendak yang dilakukan oleh seseorang menurut cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang bahwa ia adalah ayah ibu dari seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Dengan pengakuan tersebut, maka timbul hubungan perdata antara anak dengan ayah ibu yang telah mengakuinya pasal 280 B.W.. 28 R. Soetojo Prawirohamidjojo, dan Marthaena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga Personen en femilie-recht, Surabaya: Airlangga University Press, 1991, Hal 164-165 68 b. Pengakuan dengan paksaan Pengakuan dengan paksaan yang di maksud di sini, adalah keputusan Pengadilan yang menetapkan perihal ibu atau ayah seorang anak luar kawin. 29 Oleh karena itu, anak-anak luar kawin yang tidak diakui oleh bapaknya, akan tetapi setelah adanya pengakuan maka ia dinasabkan kepada ayah yang mengakuinya. Akan tetapi, lain halnya dengan seorang anak luar kawin yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, meskipun sudah mendapatkan pengakuan dari ayah yang mengawini ibunya, tetap saja nasabya di hubungkan kepada ibunya. Dengan demikian, anak tersebut tidak berhak mendapat hak atas ayah suami ibunya.

B. Pandangan Majelis Hakim Tentang Status Anak Akibat Pembatalan

Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN SEBAGAI AKIBAT SALAH SANGKA TERHADAP STATUS SUAMI (Studi Putusan Pengadilan Agama Ketapang Nomor 198/Pdt.G/2011/PA.Ktp)

0 18 17

Putusan verstek pengadilan agama depok dalam perkara cerai gugat : analisa putusan pengadilan agama depok perkara no. 1227/pdt.g/2008/pa.dpk

4 21 94

Pencabutan hak asuh anak dari Ibu : Studi analisis putusan pengadilan agama Depok Nomor 430/Pdt.G/2006/PA.Dpk

1 15 74

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN PERKAWINAN SEPERSUSUAN DAN AKIBAT HUKUM TERHADAP ANAK YANG DILAHIRKAN Proses Penyelesaian Perkara Pembatalan Perkawinan Sepersusuan Dan Akibat Hukum Terhadap Anak Yang Dilahirkan (Analisis Putusan Pengadilan Agama S

0 4 19

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN PERKAWINAN Proses Penyelesaian Perkara Pembatalan Perkawinan Sepersusuan Dan Akibat Hukum Terhadap Anak Yang Dilahirkan (Analisis Putusan Pengadilan Agama Surakarta).

0 3 12

PENDAHULUAN Proses Penyelesaian Perkara Pembatalan Perkawinan Sepersusuan Dan Akibat Hukum Terhadap Anak Yang Dilahirkan (Analisis Putusan Pengadilan Agama Surakarta).

0 3 13

PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN IDENTITAS DALAM PERKAWINAN POLIGAMI (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor : 1624/Pdt.G/2009/PA.SDA).

0 2 77

PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN IDENTITAS DALAM PERKAWINAN POLIGAMI (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor : 1624/Pdt.G/2009/PA.SDA).

0 0 77

Analisis yuridis terhadap status perwalian anak akibat pembatalan nikah : studi putusan pengadilan agama Probolinggo No.154/Pdt.G/2015/PA.Prob.

0 2 77

PEMBATALAN PERKAWINAN DI PENGADILAN AGAMA (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Sumber No.3512/Pdt.G/2009) - IAIN Syekh Nurjati Cirebon

0 0 99