Manusia Pandangan Filosof Yunani Kuno

D. Manusia Pandangan Filosof Yunani Kuno

Pandangan yang berkembang pada masa Yunani Kuno telah menjadi peran tersendiri di kala menjadi rumusan besar pada pemikiran Filsafat Patrestik Skolastik dan Filsafat Islam, hingga Filsafat Barat mengembangkan arah pemikiran yang arah perkembangan rasio dapat dijadikan alasan. Di zaman Yunani Kuno lah seorang dapat mengelurkan pemikiran tersebut dengan terbuka. Hal itu bisa lihat karya Andrew Gregory, Eureka Lahirnya Ilmu Pengetahuan, yang diterjemahkan oleh Syafruddin Hasani, bahwa banyak sesuatu lahir pada masa itu Yunani Kuno kita tidak dapati di zaman Kekaisaran Romawi Barat, serta kebangkitan Kristen awal telah menjatuhkan ilmu pengetahuan yang sudah berkembang. 41

1. Protagoras

Relativisme dalam bahasa Latin, relativus, yang berarti ’nisbi, relativ’. 42 Pandangan penganut pemikiran ini akan memberi penilaian relativ pada apa saja. Bila ditanyakan mana yang dapat bisa dikatakan hukum yang pasti? Mereka akan mengatakan kepastian adalah semuanya dalam hukum yang relativ. Tiada yang sanggup menyamakan kebenaran yang satu dengan yang lain. Ini selaras dengan pandangan Protagoras berazazkan nilai relativ yang menilai tak menentu untuk 41 Andrew Gregory, Eureka Lahirnya Ilmu Pengetahuan, penerjemah Syafruddin Hasani, cet-1, Jendela, Yogyakarta: 2002, h. 166. 42 A. Mangunhardjana, Isme-Isme Dalam Etika dari A sampai Z, cet-8, Kanisius, Yogyakarta:2006, h. 203 menjawab kebenaran pada diri manusia, dan lebih jauh lagi ia menilai relavisme adalah manusia menentukan sendiri nilai dari kebenaran. Dalam memaknai manusia yang sangat tinggi sekali adalah Protagoras sebagai tokoh sofis abad ke-5 masehi dalam sejarah ialah dianggap pertama kali dengan pernyataannya bahwa Manusia ukuran segalanya. Walau pun ia terbilang sofis dikarenakan bisa mengambil pertimbangan sosiolog dan antropolog, 43 namun telah memaknai manusia sebagai kekuatan yang sangat bebas sekali untuk menilai dengan persepsi apapun. Dia mengambil jalur relativme untuk menilai etika pula. Mungkin hal tersebut bukanlah menilai manusia secara subtansi tentang keberadaan manusia berasal dari mana, namun hanya berdasarkan bagaimana etika itu sebenarnya bersifat relativ dan bebas nilai, maka pandangannya tentang manusia bebas menentukan nilai.

2. Socrates

Socrates +470-399 SM 44 lahir di Athena dan hidup hingga mati mempertaruhkan pendapatnya mengenai eksistensi jiwa yang kekal, ini terdokumentasi oleh Phaedo yang menceritakan saat-saat Sokrates membela keabasian jiwa. 45 Pada saat keadaan yang penting juga tokoh filosof dari Yunani mucul dengan warna yang berlawanan. Ini penting sebagai penentuan keabsolutan pada 43 Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika, penerjemah Zaimul Am, Serambi dan ICAS, Jakarta:2005, h. 45. 44 Linda SmithWilliam Raeper, dan Agama, Dulu dan Sekarang, penerjemah P. Hadono Hadi, cet-5, Kanisius, Yogyakarta: 2004, h. 11. 45 Linda SmithWilliam Raeper, Ide-Ide Filsafat, h. 13. diri manusia yaitu, manusia menginginkan kebenaran. Hal semakin jelas lagi ketika pemikiran antara keabsolutan dan kerelativan terhadap menilai obyek menjadi berlawan sekali. Bila ditanyakan tentang bagaimana tentang kebenaran, maka Socrates dengan jelas mengatakan kebenaran adalah ada pada diri manusia. Sedangkan bila ditanyakan kembali tentang tanggapan yang berbeda-beda manusia menyikapinya, Socrates pun menganggapnya mereka mengatakan kebenaran yang mereka ketahui dan semua manusia mencari kebenaran. Jadi dalam diri manusia menginginkan kebenaran dan Sokrates menganggapnya hal ini penting, berarti keabsolutan kebenaran itu ada, dan jauh bersifat relativ. Melalui jalan diskusi-diskusi dan teknik kebidanan maieutikê tekhnê . Ia mencari idea-idea umum yang terdapat dalam jiwa. ”Kenalilah dirimu sendiri” gnôthi seauton, demikian semboyannya. 46

3. Plato

Sebagai pemikiran yang sangat ideal sekali Plato sebagai murid meniru Socrates sebagai guru memandang manusia hingga negara. Hal ini wajar, bila mengambil rumusan bahwa kebenaran merupakan keabsolutan, dan ini berkembang sampai kepada rumusan yang lebih melebar ketataran yang terdalam pada diri manusia. Plato melihat bagaimana keadilan yang bertitik tolak pada manusia lalu merumuskan pembagian jiwa atas tiga fungsi, epithymia: bagian keinginan, 46 P.A. van der Weij, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, penerjemah K. Bertens., cet 2, Gramedia, Jakarta:1991, h. 15. thymos: bagian energik, logos: rasional sebagai puncak segala lingkup. 47 Namun jauh dari itu Plato mensistematiskan dari manusia yang terbagi menjadi tiga bagian tersebut yang pertama epithymia adalah golongan produktif yang terdiri dari buruh, petani dan pedagang. Kedua thymos adalah golongan penjaga terdiri prajurit-prajurit. Dan ketiga logos adalah pejabat yang memegang pucuk pimpinan. 48

E. Manusia Pandangan Kitab Suci