BAB I PENDAHULUAN
Kesalahan pemikiran tersebut membuat kaum muda serba mempunyai pola pikir yang cenderung kepada tidak percaya lagi kepada Tuhan. Paryana
sebagai dokter yang melihat keadaan yang pemikiran manusia yang multi krisis. Inilah yang menjadi pemikiran Paryana sebagai dokter ternyata tak puas akan
pandangan saintis yang masih belum final. A. Creassy pun melihat betapa hebatnya menyelidiki adanya ketuhanan diberikan The Royal of Great Britain
sebesar 48,000.-.
2
Hal itu sangat luar biasa perkembangan di dunia Barat serta mempengaruhi Indonesia pada masa itu dengan paham materialistis hingga ateis.
Kita bisa perhatikan pemikiran Indonesia tersebut dengan adanya tulisan Soekarno, Di bawah Bendera Revolusi. Tulisan tersebut mengawali dengan
penjelasan buku tersebut dengan Nasionalisme, Islamisme, Komunisme.
3
Bagaimana perkembangan pemikiran Pancasila? Alisjahbana mengungkapkan: ”Kesukaran lain dengan Pancasila pada masa ini ialah bahwa
Soekarno telah merumuskan Pancasila dan mengembangkannya dengan diperinci secara amat jauh, seperti Nasakom, sosialisme Indonesia, dan
lain-lain, dan ini yang kita tolak. Kita belum mempunyai rumusan mitos Pancasila yang baru. ... .”
4
1
A. Creassy Morrison, Menjingkapkan Dunia Modern, penerjemah Hilman Madewa dan Mr. Muchtar Kusumaatmadja, cet-1, Kebangsaan, Djakarta: 1958, h. 9.
2
A. Creassy Morrison, Menjingkapkan Dunia Modern, h. 8.
3
Soekarno, Di bawah Bendera Revolusi, Djakarta:1963, h. 1.
4
Harsja W. Bachtiar, Percakapan dengan Sidney Hook, cet, 1, Djambatan, Jakarta: 1976, h. 99.
5
Alexis Carrel, Mesteri Manusia, penerjemah Kurnia Roesli dkk, Remaja Karya, Bandung: 1987, h. 121-120.
6
R. Paryana Suryadipura, Alam Pikiran, Cet-2, Sumur Bandung, Bandung: 1961, h. 286.
Skeptisisme terhadap agama di kaum pelajar serta mahasiswa berkembang dikarenakan adanya lapangan pengetahuan saintis yang serba jelas ketimbang
agama, spritual, dan filsafat. Bila pemuda saat itu sedang meninggikan saintis ketimbang spiritualitas, religiusitas, filsafat maka Paryana mengambil jalan
penghubung antara saintis dan dunia metafisik. Sebab, pemikiran pemuda saat masa itu kontras dengan efek-efek materialisme, positivisme, dan rasionalisme,
dengan begitu Paryana pun merekonstruksi pemikiran yang ada dan mengangkat apa yang ada di dalam saintis itu supaya keluar menuju dunia metafisis yaitu
ruhani, jiwa, atau yang lebih tinggi lagi sadar akan Tuhan. Dalam merekonstruksi pemikiran yang telah ada Paryana ingin
menunjukan ada benang merah antara kitab suci al-Quran, Injil, Regveda, serta pemikiran para filosof Yunani Kuno, para filosof China, filosof Islam, sufi,
hingga filsafat Barat, dan saintis yang telah berkembang pesat, lalu ia membuat garis penghubung yang sangat jelas bahwa semua mengemukakan sesuatu yang
metafisis, yaitu hubungan antara fisis dan metasis atau hubungan tubuh dan jiwa, antara otak dan akal, antara manusia dan Tuhan.
Dikarenakan pemikiran Paryana terbilang mendaur pemikiran apa yang tersirat supaya dapat kembali menjadi bangunan pemikiran yang saintis dan tidak
melupakan spiritualitas kepada Tuhan maka Paryana adalah seorang yang yakin
7
R. Paryana Suryadipura, Alam Pikiran, h. 286.
akan Tuhan dengan landasan yang sangat rinci melalui pembahasan otak manusia sampai kesadaran yang sesungguhnya.
Hampir satu abad di Indonesia, ternyata karya Paryana belum ada menandingi untuk bisa dijadikan acuan saintik dan metafisik. Landasan yang
spekulatifnya pun menjadikan tulisannya kepada landasan filosofis dalam menilai karya-karya saintik yang memiliki kelebihan tersendiri. Karena Paryana berdiri
pada dunia saintik dan metafisik, maka kodrat manusia adalah antara jasmani dan ruhani. Spekulatif tersebut terlihat seorang Paryana sangguh untuk
mengkomplasikan semua gagasan yang bersifat saintis dan juga gagasan filosofis. Gagasan itu di sambut dari banyak penulis, yaitu A.Seno-Sastroamidjojo, Harun
Hadiwijono, Rahnip, Suwarno Imam. Walau pun demikian dari buku-buku mereka masih belum koridor penulis deskripsi dan kritikus. Dan hasilnya mereka
hanya melihat sisi luarnya saja dari pemikiran Paryana. Ini terbukti tulisan buku Harun Hadiwijono, Konsep tentang Manusia
dalam Kebatinan Jawa. Terlihat sangat meringkas, dan hanya mengartikan dari
sisi kebatinan saja dalam mengartikan pemikiran manusia menurut Paryana dan itu hanya sebatas kesimpulan.
Rahnip, melihat Paryana selalu dari sisi religius keislaman melulu, bila untuk menganggapnya pemikiran filsafat Rahnip mengakui namun pemikiran
filsafatnya di luar dari Islam. Yang lebih baik dari penulis itu adalah A.Seno-Sastroamidjojo, walaupun
mengkritik Paryana dikarenakan belum menuntaskan masalah Hakekat Hidup yang sebenarnya dalam bukunya Hakekat Hidup:
”Menurut dokter Paryana Suryadipura, ”mengerti rahasia hidup itu berarti mengerti kehidupan yang sejati”. Sayang sekali, bahwa tidak
diterangkan lebih jauh apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan” kehidupan, mengkritik tujuan dari manusia yang belum dijabarkan sebagai
sejati manusia hidup yang belum dijelaskannya.”
8
Di luar dari tanggapan penulisan terhadap Pemikiran Paryana, kita bisa melihat argumentasi untuk melihat Islam dari banyak aspeknya. Terutama untuk
mengkoreksi pemikiran Rahnip atas Paryana yang selalu dibenturkan kepada al- Quran. Maka kita dapat melihat pendapat Harun Nasution dalam buku, Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, yaitu:
”Jadi Islam, berlainan dengan apa yang umum diketahui, bukan hanya mempunyai satu-dua aspek, tetapi mempunyai berbagai aspek.
Islam sebenarnya mempunyai aspek teologi, aspek ibadat, aspek moral, aspek mistisisme, aspek falsafah, aspek sejarah, aspek kebudayaan dan
lain sebagainya.”
9
Berarti bila membicarakan Islam masih sangat luas sekali dalam menganalisa pemikiran, dan disesuaikan aspek mana yang akan dikaji. Bagaimana
J.W.M. Bakker menulis tentang kebudayaan itu dapat diarahkan kepada tingkatan yang sudah dirumuskan karena ilmu filsafat pun sampai kepada menyelidiki
hakikat kebudayaan.
10
Dengan begitu kita harus mengkaji pemikiran Paryana dari segi filsafat yang memang berlandasan pemikiran yang sangat universal.
8
A.Seno-Sastroamidjojo, Hakekat Hidup, Suatu Tafsiran, Timun Mas, Djakarta: 1963, h.72.
9
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid I, cet 5, UI Press, Jakarta:1985, h. 27.
10
J.W.M. Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan, Sebuah pengatar, cet-15, Kanisius, BPK Gunung Mulia, Yogyakata:2005, h. 27
+ ,
-
.
.
Dukungan tersebut ditambah lagi dengan tulisan Suwarno Imam S. Dengan menulis buku Konsep Tuhan Manusia, Mistik dalam berbagai Kebatinan
Jawa, dan ini menambah jelas bahwa Paryana merupakan termasuk aliran
kebatinan Jawa. Walau pun demikian apa yang dimaksud Suwarno Imam bukan sesuatu yang negatif dalam penjelasan arti dari kebatinan.
12
Namun dari pengungkapan tersebut telah mengundang titik kotras yang berlawanan dengan
definisi kebatinan menurut Kamil Kartapradja yang berdasarkan pada Departeman Agama.
13
Sebab, perkembangan kebatinan sudah masuk kedalam mitos dan tingkatannya tidak pernah sistematiskan menjadi nilai filosofis, dan dalam tulisan
Kamil Kartapradja, tersebut Paryana tidak dianggap termasuk aliran kebatinan.
11
Rahnip, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan, Pustaka Progresif, Surabaya: 1997, h. 155.
12
Suwarno Imam, Konsep Tuhan Manusia, Mistik dalam berbagai Kebatinan Jawa, Rajagrafindo, Jakarta:2005, h. V.
13
Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan dan Kepecayaan di Indonesia, cet-1, .Masagung, Jakarta:1985, h. 212.
Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, yang di tulis oleh Kamil
Kartapradja, ada dua golongan besar yaitu: ”Pertama, golongan kepercayaan yang animistis tradisional tidak
terdapat filosofinya dan tidak ada mistiknya, misalnya: Kaharingan kepercayaan suku Dayak di Kalimantan, Pelbegu dan Perlamin
kepercayaan rakyat di Tapanuli, kepercayaan-kepercayaan rakyat di Irian di Lembah x dan sebagainya, dan masih banyak lagi di beberapa pulau di
Indonesia ini.
Kedua, golongan kepercayaan rakyat yang ada filosofinya disertai
ajaran mistik yang memuat ajaran-ajaran bagaimana caranya agar manusia dapat bersatu dengan Tuhan atau sedikitnya dapat sedekat mungkin.
Ajarannya selalu membicarakan yang ada sangkut pautnya dengan batin atau hal-hal yang gaib. Oleh karena itu golongan kepercayaan ini disebut
golongan kebatinan, bahkan pada beberapa tahun yang lalu ada badan koordinasinya yang dipimpin oleh Mr. Wongsonegoro, dengan nama
BKKI singkatan dari kata-kata ”Badan Kongres Kebatinan Indonesia” dan sekarang badan tersebut menjelma dengan nama Sekretariat Kerjasama
Kepercayaan Indonesia.
Dari Aliran Kepercayaan yang dulunya berkumandang dengan nama Aliran Kebatinan, seperti PANGESTU, paguyuban Sumarah, Sapta
Darma dan lain-lain... .”
14
Berarti penjelasan dari Kamil Kartapradja menegaskan Paryana tidak ada hubungan dengan aliran kebatinan yang berkembang di Indonesia.
Pada akhirnya kita memang masih belum terbiasa dengan tradisi kebudayaan berbeda pendapat mengenai adanya berkeyakinan ataupun
menganalisa pemikiran mengenai apa mengenai hal yang metafisika. Dengan begitu pemikiran filsafat masih belum berkembang pada tingkat mahasiswa dan
pada penulis di Indonesia untuk patut dicermati. Dengan demikian kita bisa melihat aliran yang merupakan kebatinan
tersebut banyak di Indonesia menurut Kamil tiada nama Paryana Suryadipura di
14
Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan, h. 212-213.
ikut sertakan termasuk aliran kebatinan. Namun, tidak bisa dielakkan bahwa Paryana memang mengarahkan dari kehidupan manusia berakhir dengan masa
kebatinan geestelijke periode.
15
Yang berbeda antara kebatinan dengan yang dipahami sebagai sekte kebatinan.
Menurut Paryana adalah ’masa kebatinan’ adalah waktu disaat pemuda berumur dua puluh tahun, dan disaat itu pemuda sedang berada di Perguruan
Tinggi, yang di dalamnya memiliki kesulitan dengan pelajaran, kesukaran di dalam bidang politiek, moral dan kemasyarakatan, kesukaran dengan ekonomi dan
kehidupan, kesukaran dilapangan keasmaraan, maka pada masa itu dibutuhkan pendidikan kebatinan dan pendidikan kemasyarakatan: religi, filsafat, ilmu jiwa
dan sosiologi.
16
Dengan begitu kaum muda yang dicetak oleh universitas dan fakultas bukan menghasilkan ”homo economicus” yang terutama adalah ”animal
metaphysicum”.
17
Dikarenakan untuk memahami manusia sebagai makhluk yang biologis dengan logika, rasio, lalu di seimbangkan dengan manusia sebagai
makluk ruhani dengan intuisi, kesadaran akan dunia spiritual.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah