Bahasa Hukuman Bahasa kepemimpinan nabi Muhammad SAW

adalah kufur, dan sesuatu yang menyebabkan kekufuran adalah kufur. Adapun jumhur ulama mengatakan bahwa pelakunya tidak dihukumi kafir kecuali ia meyakini kehalalan sesuatu yang haram tadi. Kedua, dusta terhadap Nabi Saw. adalah termasuk perbuatan dosa besar, sedangkan dusta terhadap selainnya termasuk dosa kecil. Untuk itu ancaman keduanya tidaklah sama, demikian juga dengan lamanya berada dalam neraka sebagaimana yang diisyaratkan dalam kata falyatabawwa’. Bahkan secara jelas pelakunya tidak akan keluar dari neraka, karena dia tidak mempunyai tempat selain neraka. Hanya saja dalil yang qa ṭʻī mengatakan bahwa yang kekal dalam neraka adalah khusus orang-orang kafir, maka Nabi Saw. membedakan antara dusta kepadanya dengan dusta kepada selainnya. 13 Ibn ajar al- „Asqalānī 852 H menyebutkan bahwa berdusta atas nama Nabi Saw. baik dalam keadaan sadar atau tidur adalah sama hukumnya. Dusta adalah sebuah kemaksiatan, kecuali dusta yang bertujuan untuk memperbaiki dan lainnya, dan kita mengetahui bahwa kemaksiatan akan mendapat ancaman neraka. 14

2. Hadis tentang Memutus Tali Silaturahim

لاق ع ها يضر معطم نب ربُج نع : ي لا لاق ﷺ : « ٍم ِحَر ُعِطاَق َةََاا ُلُخْدَي َا » . يراخبلا اور . 15 Artinya: 13 Al- „Aynī, ‘Umdat al-Qārī Syarḥ Saḥīḥ al-Bukhārī, vol. II, h. 146. 14 Al- ʻAsqalānī, Fatḥ al-Bārī Syarḥ aḥīḥ al-Bukhārī, vol. I, h. 382. 15 Al- Bukhārī, aḥīḥ al-Bukhārī, vol. VIII, h. 5. “Dari Jubayr ibn Muṭʻim r.a berkata: Nabi Saw. bersabda: Tidak akan masuk surga orang yang memutus tali silaturrahmi.” HR. al-Bukhārī. Lewat hadis ini, Nabi Saw. memperingati kepada umatnya agar tidak memutuskan tali silaturahim. Dengan begini, umat Nabi Saw. bisa terhindar dari ancaman yang telah ditetapkan Allah Swt. Maksud dari hadis ini ialah memutuskan hubungan kekeluargaan. Al- Bukhārī 256 H menyebutkan dalam kitab al-Adab al-Mufrad dari Ab ī Aufā 86 H yang dinisbatkan kepada Nabi Saw. sesungguhnya rahmat tidak turun kepada kaum yang di antara mereka ada orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan. Al- Ṭībī menjelaskan bahwa kemungkinan maksud kaum di sini adalah mereka yang membantu si pelaku dan tidak mengingkarinya. Namun, mungkin juga maksud „rahmat‟ di sini adalah hujan. Hujan tidak diturunkan kepada manusia secara umum akibat buruknya perbuatan memutuskan hubungan kekeluargaan. 16

3. Hadis tentang Menyiksa Hewan

َمَلَسَو ِْيَلَع ُها ىَلَص ِيَلا ِلْوَقِل : « اوُب رَغ ْوَأ اوُق رَش ْنِكَلَو ، ٍلْوَِب ْوَأ ٍطِئاَغِب َةَلِْبِقلا اوُلِبْقَِتْسَت َا » . اور يراخبلا . 17 Artinya: “Nabi Saw bersabda: Janganlah kalian menghadap kiblat saat buang air besar atau kecil, akan tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat. ” HR. al-Bukhārī. 16 Al- Asqalānī, Fatḥ al-Bārī Syarḥ aḥīḥ al-Bukhārī, vol. XIX, h. 54. 17 Al- Bukhārī, vol. I, h. 88. Hadis ini menunjukkan dalil yang jelas tentang adanya larangan yang diberikan oleh Nabi Saw. Letak pelarangan tersebut tampak pada lafal lā tastaqbilū yang mengandung unsur lā nahi. Ibn ajar al-ʻAsqalānī mengatakan bahwa lafal tersebut khusus bagi penduduk Madinah serta penduduk negeri-negeri yang apabila mereka menghadap timur atau barat tidak membelakanginya atau menghadap kiblat. Adapun mereka yang berada di timur maka kiblatnya berada di arah barat, demikian pula sebaliknya. 18

C. Bahasa Legitimasi

Bahasa legitimasi Nabi Saw. yang terdapat dalam kitab a ḥīḥ al-Bukhārī sebanyak 56 hadis. 19 Saya akan menampilkan tiga hadis yang dianggap bisa mewakili penjelasan hadis-hadis lainnya, sebagaimana berikut:

1. Hadis tentang Mencintai Nabi Saw.

َلاَق ، ٍسَنَأ ْنَع : ُِيَلا َلاَق ﷺ : « ِساَلاَو ِِدَلَوَو ِِدِلاَو ْنِم ِْيَلِإ َبَحَأ َنوُكَأ َََح ،ْمُكُدَحَأ ُنِمْؤُِي َا َ ِعَْمَأ » . يراخبلا اور . 20 Artinya: “Dari Anas ra., berkata: Nabi Saw. bersabda: “Tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orangtuanya, anaknya dan dari manusia seluruhnya.” HR. al-Bukhārī. Dengan ketentuan yang ditetapkan lewat hadis tersebut memberikan informasi bahwa hal ini menjadikan sebuah legitimasi Nabi Saw. untuk dicintai. Menurut al- 18 Al- ʻAsqalānī, Fatḥ al-Bārī Syarḥ aḥīḥ al-Bukhārī, vol. III, h. 94. 19 Lihat lampiran 3, h. 82. 20 Al- Bukhārī, aḥīḥ al-Bukhārī, vol. I, h. 12. Naw āwī 676 H, hadis ini mengisyaratkan masalah nafsu amarah nafsu yang cenderung melakukan hal-hal yang dilarang dan nafsu mu ṭmainnah nafsu yang cenderung melakukan hal-hal yang baik dan dapat menenangkan hati. Maka orang yang nafsu mu ṭmainnahnya lebih dominan dalam dirinya, ia akan lebih mencintai Nabi Saw. demikian juga sebaliknya dengan orang yang dikuasai oleh nafsu mu ṭmainnah. 21 Hadis ini juga mengisyaratkan keutamaan berfikir, sebab cinta yang telah disebutkan dapat diketahui dengan berfikir. Hal itu dikarenakan apa yang dicintai dari manusia dapat berupa dirinya atau hal-hal lain. Adapun apa yang dicintai dari dirinya, maka ia akan menginginkan keselamatannya dari berbagai macam penyakit dan bencana, dan itulah sebenarnya hakikat yang diinginkan, sedangkan apa yang dicintai dari selain dirinya, adalah tercapai suatu manfaat yang diinginkannya. Untuk itu orang yang memikirkan manfaat yang diperoleh dari Nabi Saw. yang telah mengeluarkan dari gelapnya kekufuran menuju terangnya cahaya keimanan, maka ia akan mengetahui bahwa manfaat yang diperoleh dari Nabi Saw. akan lebih besar daripada manfaat yang diperoleh dari selainnya. Al-Qur ubī 671 H mengatakan, “Setiap orang yang beriman kepada Nabi Saw. dengan sebenar-benarnya iman, maka dirinya tidak akan pernah hampa dari rasa cinta kepadanya, meskipun kecintaan mereka berbeda- beda”. 22 21 Zayd al- Dīn ʻAbd al-Raḥmān ibn Aḥmad ibn Rajab ibn al- asan, Fatḥ al-Bārī Syarḥ aḥīḥ al- Bukhārī. Muḥaqqiq: Maḥmūd ibn Syuʻbān ibn ʻAbd al-Maqṣūd, vol. I Madinah: Maktabah al- Ghurabā‟ al-Atsariyah, 1996, h. 48. 22 Al- „Aynī,‘Umdat al-Qārī Syaraḥ Saḥīḥ al-Bukhārī, vol. I, h. 145.

2. Hadis tentang Ucapan Nabi Saw. Sebagai Rasul

ِيَلا ِنَع ،َةَرِْيَرُ َِِأ ْنَع ﷺ َلاَق ، : « ،َنَمآ ْوَأ ،َنِموُأ ُُلِْثِم اَم ِتاَيآا َنِم َيِطْعُأ َاِإ ٌِيَن ِءاَيِبْنَأا َنِم اَم ِةَماَيِقلا َمْوَِي اًعِباَت ْمُُرَِثْكَأ اَأ وُجْرَأَف ،ََ ِإ ها ُاَحْوَأ اًيْحَو ُتيِتوُأ يِذَلا َناَك اََمِإَو ،ُرَشَبلا ِْيَلَع » . اور يراخبلا . 23 Artinya: “Dari Abū Hurayrah dari Nabi Saw. bersabda: “Tidak ada seorang nabi pun di antara para nabi, melainkan diberikan tanda-tanda seperti merasa aman atau manusia beriman atasnya. Adapun yang diberikan kepadaku hanyalah berupa wahyu yang Allah wahyukan kepadaku, maka aku berharap menjadi manusia yang paling banyak pengikutnya di hari kiamat.” HR. al-Bukhārī. Hadis ini merupakan sebuah legitimasi mukjizat Nabi Saw. yang paling agung yakni al- Qur‟an. Hadis ini menjelaskan bahwa al-Qur‟an merupakan mukjizat paling agung, paling bermanfaat, dan paling abadi. Ia mengandung dakwah, dalil, serta manfaat berkesinambungan hingga akhir masa. Oleh karena tidak ada yang mendekatinya apalagi menyamainya, maka mukjizat lainnya dibanding dengannya seperti tidak pernah ada. 24

3. Hadis tentang Beriman kepada Nabi Saw

ي لا َنَأ ،َرَمُع ِنْبا ِنَع ﷺ َلاَق : « اًدَمَُُ َنَأَو ،ها َاِإ ََلِإ َا ْنَأ اوُدَهْشَي َََح َساَلا َلِتاَقُأ ْنَأ ُتْرِمُأ قَِِ َاِإ ْمََُاَوْمَأَو ْمَُءاَمِد ِم اوُمَصَع َكِلَذ اوُلَعَِف اَذِإَف ،َةاَكَزلا اوُتْؤُِيَو ،َةَاَصلا اوُميِقُيَو ،ها ُلوُسَر ها ىَلَع ْمُهُِباَسِحَو ،ِمَاْسِإا » . يراخبلا اور . 25 Artinya: 23 Al- Bukhārī, aḥīḥ al-Bukhārī, vol. IX, h. 92. 24 Ibn Ba āl, Syarḥ aḥīḥ al-Bukhārī, vol. X, h. 329. 25 Al- Bukhārī, aḥīḥ al-Bukhārī, vol. I, h. 14.