Bahasa Rujukan Bahasa kepemimpinan nabi Muhammad SAW

sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian.” HR. al-Bukhārī. Hadis ini memberikan informasi bahwa Nabi Saw. mempunyai sebuah kekuasaan untuk dijadikan rujukan terhadap apa yang diperintah dan apa yang dilarangnya sebagai seorang pemimpin. Kalimat Apa yang aku tinggalkan untuk kalian, maksudnya adalah perintah meninggalkan bertanya tentang sesuatu yang belum terjadi karena khawatir benar-benar turun kewajibannya atau pengharamannya. Begitu pula dilarang banyak bertanya karena hanya akan mempersulit diri sendiri. Dikhawatirkan jawaban pertanyaan itu akan memberatkan sehingga menyebabkan seseorang tidak mampu melakukannya dan berakibat terjadinya penyelisihan. 38 Ibn Faraj 365 H berpendapat bahwa maksud perkataan tersebut adalah jangan banyak meminta perincian atas masalah-masalah meskipun cukup bagus ditinjau dari satu sisi, seperti halnya mengerjakan haji adalah bagus untuk diulang-ulang namun sepatutnya dicukupkan kepada cakupan redaksi secara umum, yaitu satu kali. Karena pada dasarnya dipahami untuk sekali saja tanpa ada tambahan. Jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah. Larangan ini bersifat umum untuk semua jenis larangan. Namun tidak termasuk segala sesuatu yang dipaksakan kepada seorang mukallaf, seperti minum khamer. Ini berdasarkan pendapat jumhur. Sebagian orang menyelisihinya dengan berpegang kepada cakupan 38 Al- ʻAynī, ʻUmdat al-Qārī Syarḥ aḥīḥ al-Bukhārī, vol. XXV, h. 31. umum dan menyatakan bahwa paksaan melakukan kemaksiatan tidak menjadikan perbuatan itu mubah. 39 Perintah menjauhi larangan berlaku secara umum selama tidak bertentangan dengan izin melakukannya seperti makan bangkai ketika terpaksa. Al- Fākihanī berkata, “Komitmen dalam rangka menjauhi larangan tidak bisa dibayangkan kecuali bila ditinggalkan seluruhnya. Apabila dijauhi sebagiannya maka belum ada komitmen. Berbeda dengan perintah, siapa yang melakukan bagian minimal darinya maka bisa dikatakan memiliki komitmen. Hadis ini dijadikan sebagai dalil yang menyatakan bahwa barangsiapa diperintahkan untuk mengerjakan sesuatu dan dia tidak mampu mengerjakan sebagiannya lalu dia mengerjakan yang dia mampu tersebut, maka apa yang dia tidak mampu dilakukan menjadi gugur. Hal ini didukung oleh al- Muzannī yang berdalil bahwa apa-apa yang wajib ditunaikan tidaklah wajib untuk diganti. Selain itu, hadis ini d ijadikan sebagai dalil yang menyatakan bahwa perhatian syariʻat terhadap larangan melebihi perhatiaannya terhadap perintah, sebab syariʻat memerintahkan menjauhi larangan meski disertai kesulitan meninggalkannya. Namun dalam hal perintah dikaitkan dengan kadar kemampuan. 40 39 Al- ʻAynī, ʻUmdat al-Qārī Syarḥ aḥīḥ al-Bukhārī, vol. XXV, h. 32. 40 Al- „Asqalānī, Fatḥ al-Bārī Syarḥ aḥīḥ al-Bukhārī, vol. IX, h. 90.

3. Hadis tentang Keutamaan Nabi Saw.

ها َلوُسَر َنَأ ،َةَرِْيَرُ َِِأ ْنَع ﷺ َلاَق : « َِِوْعَد َئِبَتْخَأ ْنَأ ُديِرُأَو ،اَِه وُعْدَي ٌةَباَجَتْسُم ٌةَوْعَد ٍِيَن لُكِل ِةَرِخآا ِِ ِ َمُِأ ًةَعاَفَش » . يراخبلا اور . 41 Artinya: “Dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Setiap Nabi mempunyai do’a yang telah dikabulkan, sedang aku ingin menyimpan do’aku sebagai syafa’at untuk umatku di akhirat nanti.” HR. al-Bukhārī. Dari sini bisa di lihat jelas cara Nabi Saw. mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang pemimpin yang bisa sebagai rujukan para umatnya. Maksud dari hadis ini adalah sesungguhnya Allah Swt memberikan kepada setiap Nabi do‟a yang dikabulkan dan Allah selalu menepati janji-Nya. Hadis ini juga menjelaskan tentang keutaman Nabi Saw. dari para Nabi terhadap umatnya. 42 Berdasarkan analisa hadis-hadis yang saya dapat sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, diperoleh sebanyak 159 hadis dari 815 hadis ṣaḥīḥ yang menggunakan gaya bahasa kepemimpinan. Hadis-hadis tersebut mencakup lima gaya bahasa dalam teori. Masing-masing jumlah kalimat dari tiap jenis gaya bahasa di dapat: reward sebanyak 54 tempat 34, coercive sebanyak 32 tempat 20, legitimate sebanyak 56 tempat 35, expert sebanyak 6 tempat 4, dan referent sebanyak 11 tempat 7. Dari 159 hadis dengan lima gaya bahasa yang ada, gaya bahasa yang paling dominan digunakan yaitu reward dan legitimate. Hal yang memengaruhi banyaknya 41 Al- Bukhārī, aḥīḥ al-Bukhārī, vol. VIII, h. 67. 42 amzah Mu ḥammad Qāsim, Manār al-Qārī Syarḥ Mukhtaṣar aḥīḥ al-Bukhārī, vol. V Damaskus: Maktabah Dār al-Bayān, 1990, h. 267. penggunaan gaya bahasa ini karena gaya Nabi Saw. identik dengan ajakan yang disertai imbalan dengan membuat ketentuan agar taat dan yakin terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Saw. Sehingga dari sini bisa saya simpulkan dalam diagram sebagai berikut: Diagram 2. Bahasa Kepemimpinan Nabi Reward Legitimate Coercive Expert Referent 72 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Bahasa kepemimpinan yang ditemukan dalam bahasa Nabi Saw. memenuhi kriteria dari teori bahasa kepemimpinan yang telah dicetuskan oleh pakar kepemimpinan di abad modern ini. Dengan demikian di ambil kesimpulan bahwa Nabi Saw. adalah benar seorang pemimpin dengan bisa dibuktikan melalui bahasa yang digunakan. Berdasarkan penelitian yang saya lakukan, maka bahasa yang digunakan Nabi Saw. ketika menjadi seorang pemimpin lebih dominan menggunakan gaya ketika memberikan penghargaan reward dan ketentuan peraturan legitimate yang dibuat daripada memberikan sebuah ancaman atau hukuman. Gaya bahasa tersebut secara keseluruhan mencakup: reward sebanyak 54 tempat 34, coercive sebanyak 32 tempat 20, legitimate sebanyak 56 tempat 35, expert sebanyak 6 tempat 4, dan referent sebanyak 11 tempat 7. Kajian terhadap pola bahasa Nabi Saw. ini telah memunculkan paradigma bahwa maqāṣid bahasa Nabi Saw. bisa dipahami secara berbeda, salah satunya dengan mengidentifikasi melalui gaya bahasa yang digunakan. Permasalahan mendasar yang menjadi perdebatan adalah dalam menentukan serta memisahkan posisi Nabi Saw. ketika sebagai seorang Nabi Saw. pemimpin dan sebagai manusia biasa. Ketika posisi Nabi Saw. dibuat longgar, yaitu cukup hanya dengan melihat motif serta tujuan ketika bersabda, maka Nabi Saw. berarti sebuah acuan atau pedoman, bukan sekedar sosok atau individu biasa. Berbeda halnya, jika sosok tersebut didefinisikan hanya sebagai sebuah nama “Muḥammad”, maka sudah jelas sikap para orientalis memandang sebelah mata dan hanya mengatakan bahwa Muhammad hanyalah manusia biasa bukan sosok pemimpin yang agung.

B. Rekomendasi

Berangkat dari pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa ada beberapa hal yang belum bisa dikemukakan, di antaranya adalah ketika bahasa Nabi Saw. dipahami dari segi shighat, keindahan ushlubnya atau mengidentifikasi bahasa Nabi Saw. ketika berada di Mekah dengan berada di Madinah. Padahal sebagian besar riwayat berbentuk riwayah bi al-ma ʻna. Karenanya, dalam melakukan penelitian lanjutan, saya merekomendasikan agar masalah tersebut dapat ditelusuri dan kemudian diteliti. 74 DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Akhtar, Shabir. Mengungkap Kelicikan Barat Sekuler Dengan Kasus Ayat-ayat Setan Salman Rushdie. Jakarta: CV. Firdaus, 1992. Al- ʻAynī, Abū Muḥammad Maḥmūd ibn Aḥmad ibn Mūsā ibn Aḥmad ibn usayn al- Ghītābī al- anafī Badr al-Dīn. ʻUmdah al-Qārī Syarḥ aḥīḥ al- Bukhārī. Beirut: Dār Iḥyā‟ al-Turāts al-ʻArabī, t.th. Amstrong, Karen. Muhammad Prophet for Our Time. Bandung: Mizan, 2007. Antonio, Muhammad Syafii. Ensiklopedia Leadership Manajemen Muhammad Saw: The Super Leader Super Manager. Jakarta: Tazkia, 2009. Applebaum, Marc H. A Phenomenological Psychological Study of Muslim Leaders Attitudes Toward Connection with The Prophet Muhammad. Disertasi: Saybrook Graduate School and Research Center, 2009. Arifin, Syamsul. Leadership Ilmu dan Seni Kepemimpinan. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012. Badawi, Rafik Issa Beekun dan Jamal A. Leadership an Islamic Perspective. Amana Publications, 1999 Al-Banjari, Rachmat Ramadhana. Prophetic Leadership. Bandung: Diva Press, t.th. Brantas. Dasar-dasar Manajemen . Bandung: Alfabeta, 2009. Al- Bukhārī, Abū ʻAbd Allāh Muḥammad ibn Ismāʻīl. al-Jāmiʻ al- aḥīḥ min Umūr Rasūl Allāh ṣallā Allāh ‘alayh wa sallam wa Sunanih wa Ayyāmih. Mu ḥaqqiq: Muḥammad Zahīr ibn Nāṣir al-Nāṣir, Damaskus: Dār Ṭuq al- Najāh, 1422.