Hubungan Self-Efficacy Dengan Komitmen Guru Sekolah Bilingual Di Kota Medan

(1)

HUBUNGAN SELF-EFFICACY DENGAN KOMITMEN GURU

SEKOLAH BILINGUAL DI KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

EQI MARDHANI

NIM : 041301015

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2007/2008


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan merupakan jembatan menuju kesuksesan. Siapapun yang hidup di dunia ini, berhak untuk mendapatkan pendidikan terbaik. Oleh sebab itu tidak salah rasanya jika setiap orangtua menjadi sangat hati-hati dalam menentukan sekolah untuk buah hatinya (Republika, 2007). Salah satu pilihan orangtua saat ini adalah sekolah bertaraf internasional. Sekolah bertaraf internasional yang tepat dengan era globalisasi saat ini adalah sekolah yang menyelenggarakan pendidikan dengan kurikulum berstandar internasional, namun juga menekankan nilai-nilai akhlak yang mulia kepada anak didiknya. Sehingga dihasilkan insan cendekia dengan akhlak yang terpuji (Ronny Preslysia-Public Relations Officer dikutip dari Republika, 2007).

Sekolah bertaraf internasional biasanya menggunakan dua bahasa dalam proses belajar dan mengajarnya, hal ini biasa disebut dengan sekolah bilingual. Sekolah bilingual merupakan suatu bentuk pengajaran dimana semua komponen di dalam sekolah itu diterapkan atau dijalankan dalam dua bahasa yang berbeda satu sama lainnya. Biasanya bahasa mayoritas dan bahasa minoritas (Wikipedia, 2005).

Sekarang ini ada banyak sekolah bilingual di Indonesia, yaitu sekolah yang menggunakan dua bahasa (bilingual) sebagai bahasa pengantar dalam proses


(3)

bilingual tersebut adalah karena pendidikan sudah dijadikan sebagai bisnis yang

bisa mendatangkan keuntungan. Bisnis francise sekolah cepat mendatangkan keuntungan, tidak pernah rugi, dan cepat balik modal. Untuk menarik minat masyarakat maka ditambahkanlah kurikulum dari luar negeri dan penggunaan bahasa Inggris di sekolah tersebut. Hal ini akan melambungkan harga yang harus dibayar oleh orangtua yang ingin anaknya sekolah di sekolah bilingual. Sehingga sekolah jenis ini terkenal dengan sekolah yang mahal (Netto, 2007).

Menjamurnya sekolah bilingual disebabkan banyaknya peminat, sehingga kepentingan bisnis lebih diutamakan. Pihak sekolah berupaya keras mendatangkan tenaga pengajar warga negara asing agar orangtua siswa yakin anaknya telah masuk ke sekolah bilingual (Netto, 2007).

Harga yang mahal untuk masuk sekolah bilingual ini tidak serta merta diiringi dengan kualitas yang bagus pula. Banyak sekolah bilingual yang ada di Indonesia yang kualitas para pengajarnya masih diragukan. Banyak pihak sekolah yang asal saja dalam memilih guru, asalkan guru tersebut warga negara asing, maka dia bisa menjadi guru, walaupun tidak punya latar belakang bidang pendidikan sekalipun. Tidak jarang guru diambil dari warga negara asing yang kehabisan uang di Jakarta, tidak jarang yang mengajar di kursus-kursus bahasa Inggris, atau turis yang tinggal di Jalan Jaksa Jakarta. Mereka pun banyak yang hanya tamatan SMA saja (Netto, 2007).

Banyaknya sekolah bilingual yang bermunculan juga terjadi di Kota Medan. Sejak beberapa tahun belakangan ini banyak sekolah yang menawarkan sistem


(4)

adalah Chandra Kusuma School. Sekolah ini mempekerjakan guru-guru yang bisa berbahasa Inggris. Guru-guru tersebut tidak harus memiliki latar belakang ilmu pendidikan, asalkan sesuai dengan kriteria yang diajukan oleh pihak sekolah. Selain guru-guru yang bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris, Chandra Kusuma School juga mendatangkan beberapa guru asing dari beberapa negara, seperti Belanda.

Guru adalah orang yang profesional, artinya secara formal mereka disiapkan oleh lembaga atau institusi pendidikan yang berwenang. Mereka dididik secara khusus untuk memperoleh kompetensi seorang guru yang meliputi pengetahuan, keterampilan, kepribadian, serta pengalaman dalam bidang pendidikan. Keadaan yang ada di Chandra Kusuma School ini sesungguhnya belumlah ideal, karena masih adanya guru-guru yang tidak memiliki latar belakang ilmu pendidikan (Wibowo, 2002).

Guru-guru sekolah bilingual yang tidak memiliki pengalaman dalam bidang pendidikan akan mengalami hambatan dalam menghadapi siswanya, terutama dalam pemilihan dan penggunaan kata-kata dalam mengajar. Banyak siswa yang lambat dalam belajar dan mengerjakan tugas di kelas disebabkan siswa tersebut tidak mengerti kalimat yang diucapkan oleh gurunya. Siswa seperti mendengar kata-kata asing yang tidak jelas dan hanya beberapa kata yang mereka mengerti. Guru yang melihat siswanya lambat mengerjakan tugas langsung menganggap siswanya tersebut pemalas. Keadaan ini menunjukkan bahwa guru tersebut tidak mampu menghadapi siswanya. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan guru


(5)

mengenai keadaan dan lingkungan pendidikan, khususnya pendidikan untuk siswanya (Netto, 2007).

Kemampuan seorang guru untuk bisa menghadapi siswa-siswanya berhubungan dengan self-efficacy yang dimiliki oleh guru tersebut (Hoy & Woolfolk dalam Pintrich, 2002). Self-efficacy merupakan kepercayaan pada satu kemampuan untuk mengatur dan melaksanakan bagian dari aktivitas yang dibutuhkan untuk menghasilkan tujuan yang diinginkan (Bandura, 1997).

Self-efficacy merupakan suatu keyakinan dalam diri seseorang bahwa ia mampu

melakukan tugas tertentu. Keyakinan akan self-efficacy mempengaruhi pemilihan perilaku, usaha, dan ketekunan seseorang. Self-efficacy dapat menentukan bagaimana perasaan seseorang, cara berfikir, dan berperilaku (Bandura, 1997).

Self-efficacy guru merupakan pendorong bagi siswa yang akan terlihat dari

prestasi yang diterima siswa dan juga akan mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar (Pajares, dalam Pintrich, 2002). Self-efficacy guru merupakan prediktor yang signifikan bagi prestasi siswa. Self-efficacy guru akan meningkat ketika siswanya menunjukkan peningkatan dalam pelajaran. (Tschannen-Moran, Woolfolk Hoy, & Hoy, dalam Pintrich, 2002).

Self-efficacy adalah kemampuan seseorang untuk mengatur dan memutuskan

tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Self-efficacy merupakan mediator terbesar untuk tingkah laku manusia dan perubahan tingkah laku. Kepercayaan individu memberikan pengaruh pada tingkah laku, motivasi, kesuksesan ataupun kegagalannya (Bandura, dalam Henson, 2001).


(6)

Selanjutnya, Bandura (1997) juga menyatakan bahwa self-efficacy berguna untuk melatih kontrol terhadap stressor. Hal ini berhubungan dengan profesi guru yang seringkali menimbulkan ketegangan. Banyaknya waktu yang dihabiskan untuk menangani masalah-masalah siswa membuat guru frustasi dan depresi (Santrock, 2004).

Seorang guru yang efektif memiliki kepercayaan diri akan self-efficacy yang dimilikinya dan tidak membiarkan emosi negatif mengurangi motivasinya dalam mengajar. Guru yang efektif menunjukkan sikap yang positif dan antusias dalam kelas. Sikap ini akan menularkan pada siswa dan akan membantu mereka merasakan bahwa kelas adalah tempat yang mereka inginkan (Santrock, 2004).

Self-efficacy yang dimiliki seorang guru disebut sebagai self-efficacy guru

(teacher efficacy). Self-efficacy guru merupakan penilaian seorang guru terhadap kemampuannya untuk menghasilkan suatu hasrat bagi siswa untuk mencapai tujuan pelajaran, meskipun diantara siswanya ada yang mengalami kesulitan dalam belajar atau tidak termotivasi untuk belajar (Tschannen-Moran & Woolfolk Hoy, dalam Henson, 2001).

Kemudian Ashton dan Webb (dalam Pintrich, 2002) menyatakan bahwa

self-efficacy guru merupakan kepercayaan seorang guru mengenai kemampuannya

untuk membantu siswanya dalam belajar. Self-efficacy guru akan mempengaruhi

self-efficacy tipe yang sama dari aktivitas yang memberikan dampak pada siswa,

misalnya pemilihan aktivitas, usaha, ketahanan, dan prestasi. Hoy dan Woolfolk (dalam Pintrich, 2002) menyatakan bahwa self-efficacy guru merupakan kepercayaan guru bahwa ia mampu menghadapi siswa yang mengalami kesulitan


(7)

belajar untuk bisa belajar, hal ini merupakan salah satu karakteristik personal dari guru yang berhubungan dengan prestasi siswa.

Guru dengan self-efficacy yang tinggi cenderung untuk mencoba metode-metode instruksi, mencari metode-metode mengajar tambahan, dan melakukan percobaan dengan materi instruksional (Allinder, dalam Henson, 2001). Guru yang memiliki

self-efficacy yang tinggi juga akan lebih mengembangkan aktivitas yang

menantang, membantu siswa untuk sukses, dan bertahan dengan siswa yang mengalami masalah dalam belajar. Guru dengan self-efficacy yang tinggi menyukai lingkungan kelas yang positif, mendukung ide-ide siswa, dan menanyakan hal-hal yang dibutuhkan oleh siswa (Ashton & Webb, dalam Pintrich, 2002). Teori efficacy memprediksikan bahwa guru dengan

self-efficacy tinggi bekerja lebih keras dan bertahan lebih lama ketika menghadapi

siswa yang mengalami kesulitan belajar. Hal ini karena guru percaya pada dirinya dan siswa-siswanya.

Ashton dan Webb (dalam Pintrich, 2002) mengungkapkan bahwa guru dengan

self-efficacy yang rendah mungkin menghindari untuk merencanakan aktivitas

yang mereka yakini melampaui kemampuan mereka, tidak bertahan dengan siswa yang mengalami kesulitan, melakukan sedikit usaha untuk menemukan materi-materi pengajaran, dan tidak mengulang pelajaran dengan cara yang bisa membuat siswa lebih mengerti.

Namun demikian hasil yang dicapai siswa di sekolah dipengaruhi juga oleh komitmen guru di sekolah tersebut. Hal ini sesuai dengan dengan pendapat Firestone, dkk (dalam Teacher Commitment and Engagemant, 2007) yang


(8)

menyatakan bahwa komitmen seorang guru berdampak pada penampilan kerjanya, jumlah kehadiran, burnout dan turnover, yang juga berpengaruh terhadap prestasi siswa, serta perilaku siswa di sekolah. Huberman dan Nias (dalam Teacher Commitment and Engagemant, 2007) berpendapat bahwa komitmen guru merupakan salah satu faktor penting yang menentukan dalam kesuksesan dan kelangsungan pendidikan di masa depan.

Louis dan Coladarci (dalam Jeffros & Haughey, 2001) menyatakan bahwa

self-efficacy guru secara langsung mempengaruhi komitmen guru. Komitmen guru

mengalami perubahan dan pengurangan ketika guru merasa tidak sukses, dimana ketika mereka merasa self-efficacy yang dimilikinya rendah. Perasaan tersebut mendukung berkembangnya ketidakmampuan guru untuk memengaruhi proses belajar siswa, untuk menghidupkan perasaan mereka akan misi dan standar internal profesional, untuk melanjutkan belajar dan tumbuh, dan untuk berprestasi mencapai tujuan (Joffres & Haughey, 2001).

Nias (1981, dalam Teacher Commitment and Engagemant, 2007) menyatakan bahwa komitmen merupakan suatu bagian yang digunakan seseorang untuk menjelaskan dirinya dan orang lain. Komitmen menunjukkan siapa yang peduli, berdedikasi, dan siapa yang mengerjakan pekerjaan dengan serius. Beberapa guru melihat komitmen mereka sebagai bagian dari identitas profesionalnya, hal ini menjelaskan mereka dan pekerjaannya dimana mereka menikmati pekerjaannya itu (Elliot & Crosswell, 2001). Sebagian guru lainnya menganggap bahwa kegiatan mengajar akan menghabiskan waktu hidupnya (Nias, 1981, dalam


(9)

komitmen mereka dengan sekolah, seperti hanya untuk bertahan di sekolah tersebut. Hal ini tidak menutup kemungkinan bagi guru untuk meninggalkan profesinya tersebut (Teacher Commitment and Engagemant, 2007).

Pergerakan naik dan turunnya komitmen guru terlihat dari pengertian guru akan pengalaman negatif mereka. Komitmen menurun dalam fungsi atribusi kausal guru dari penerimaan akan kegagalan ketika guru mengatribusikan ketidakmampuan mereka untuk mempengaruhi proses belajar siswa (Joffres & Haughey, 2001).

Komitmen guru bisa dipertinggi atau dikurangi dari beberapa faktor seperti tingkah laku siswa, kolega dan dukungan administratif, dukungan orang tua siswa, dan undang-undang pendidikan nasional (Day, 2000; Louis, 1998; Riehl & Sipple, 1996; Tsui & Cheng, 1999). Tingkat komitmen guru ini merupakan faktor penentu dari kesuksesan pendidikan.

Fresko, dkk (dalam Joffres & Haughey, 2001) menyatakan bahwa komitmen guru merupakan hal yang penting dalam menentukan keefektifan sekolah dan kepuasan guru. Penelitian menemukan bahwa tingkat komitmen yang rendah akan mengakibatkan penurunan prestasi siswa, tingkat absensi yang tinggi, dan meningkatnya turnover guru (Kushman, Reyes & Fuller, Rosenholtz, dalam Joffres & Haughey, 2001).

Menurut Wibowo (2002) seorang guru harus mempunyai komitmen tinggi untuk dapat meningkatkan keterampilan yang memungkinkan, yaitu keterampilan dalam mengidentifikasi dan mengatasi masalah, berpikir kreatif, kritis, produktif, dan kecermatan mengolah informasi yang semakin canggih. Knobloch dan


(10)

Whittington (2003) dalam penelitiannya menemukan bahwa komitmen seorang guru merupakan sumber dari self-efficacy dirinya dalam mengajar, dimana hal ini berhubungan dengan harapan dari efikasinya akan keberhasilannya dalam mengajar. Pajares (dalam Henson, 2001) menyatakan bahwa self-efficacy mempengaruhi pilihan, usaha, dan ketahanan individu ketika berhadapan dengan masalah, serta mempengaruhi emosi individu juga. Keadaan di sekolah bilingual memerlukan usaha yang lebih dari sekolah biasa. Di sekolah bilingual guru diwajibkan menguasai bahasa Inggris karena proses belajar mengajar disampaikan dalam bahasa Inggris. Siswa yang dihadapi juga terkadang berasal dari negara lain, sehingga hal tersebut menjadi tantangan bagi guru dan mungkin akan mempengaruhi emosi dan ketahanan guru dalam menghadapi siswanya.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melihat apakah ada hubungan antara

self-efficacy guru dengan komitmen guru sekolah bilingual di Kota Medan.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara self efficacy dengan komitmen guru sekolah bilingual di Kota Medan.

C. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat praktis dan manfaat teoritis.


(11)

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dalam bidang psikologi, khususnya psikologi pendidikan, mengenai self-efficacy dan komitmen guru, serta memberi sumbangan pemikiran bagi penelitian selanjutnya

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca, guru dan orangtua tentang sekolah bilingual berkaitan dengan

self-efficacy dan komitmen guru di sekolah bilingual yang diharapkan dapat berguna

untuk membantu dalam membina para guru sekolah bilingual di Kota Medan.

D. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I : Pendahuluan, berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, tujuan, manfaat dan sistematika penelitian.

Bab II : Landasan teori, berisi teori dan hasil penelitian yang digunakan menjadi landasan penelitian. Dalam penelitian ini akan digunakan teori self-efficacy dari Bandura (1997) dan teori komitmen guru dalam Pugach (2006). Pada bab ini akan dijelaskan juga mengenai sekolah bilingual dan hubungan antara self-efficacy dengan komitmen guru pada sekolah bilingual.

Bab III : Metode penelitian, berisi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel yang akan diteliti, metode penentuan sampel, alat ukur yang akan digunakan, prosedur pelaksanaan, dan metode analisis data yang digunakan.


(12)

Bab IV : Analisa dan interpretasi hasil penelitian, berisi tentang hasil penelitian, pengolahan data, dan interpretasi hasil penelitian.

Bab V : Kesimpulan, diskusi dan saran, berisi kesimpulan yang berusaha menjawab masalah yang dikemukakan berdasarkan hasil penelitian. Kemudian berdasarkan kesimpulan dan diskusi akan diajukan saran bagi penelitian selanjutnya.


(13)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KOMITMEN GURU 1. Pengertian komitmen guru

Komitmen guru merupakan penafsiran internal seorang guru tentang bagaimana mereka menyerap dan memaknai pengalaman kerja mereka (Solomon, 2007). Secara umum komitmen mengacu pada satu tingkatan penerimaan dalam organisasi. Komitmen menjelaskan hasil yang disetujui dari sebuah keputusan atau meminta dan membuat sebuah usaha yang baik untuk menjalankan keputusan tersebut secara efektif (Yulk, 2002 dalam Solomon, 2007).

Rosenholtz (dalam Solomon, 2007), menyatakan bahwa komitmen lebih mengacu kepada pengaturan dan manajemen tugas dan perputaran di dalam organisasi daripada kualitas personal seseorang dalam lingkungan kerja. Komitmen merupakan subjek dari ketertarikan dalam organisasi yang membuat pekerja lebih suka menetap di dalam organisasi (Reichers, 1985 dalam Solomon, 2007).

Menurut Riehl dan Sipple (dalam Solomon, 2007) komitmen guru memiliki efek positif terhadap prestasi siswa di sekolah. Pengertian tentang komitmen guru berbeda-beda berdasarkan konteks analisanya. Komitmen merupakan keadaan psikologis yang mengidentifikasikan suatu keterbukaan individual yang diasosiasikan dengan hasrat untuk melibatkan diri (Leithwood, Menzies, & Jantzi,


(14)

Komitmen guru dimaknai sebagai komitmen guru merupakan faktor penentu yang mempengaruhi proses pengajaran dan belajar siswa (Reyes & Rosenholtz, dalam Solomon, 2007).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan komitmen guru adalah penafsiran internal seorang guru tentang bagaimana mereka menyerap dan memaknai pengalaman kerja mereka yang ditandai dengan keinginan untuk menetap di dalam organisasi dan terlibat dalam pekerjaan, serta keinginan untuk mempengaruhi proses belajar siswa.

2. Aspek-aspek komitmen guru

Pugach (2006) menjelaskan lima aspek dari komitmen guru, yaitu sebagai berikut :

a. Belajar dari berbagai sumber ilmu pengetahuan

Apa yang didapatkan selama seorang guru menjalankan pendidikannya akan memberikan dasar bagi guru tersebut untuk mengajar, dimana hal tersebut diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan diri guru untuk memulainya. Tetapi apapun profesinya tidaklah mungkin untuk mempelajari semua hal yang berkaitan. Tidak mungkin seorang guru mendapatkan semua informasi dari pendidikan formal yang dijalaninya. Seorang guru diharapkan bisa memulai dengan tingkat kompetensi yang pasti dalam menciptakan kelas, menyusun instruksi, dan bekerja bersama siswa untuk mendukung pelajaran mereka. Untuk unggul dalam profesi ini, untuk menunjukkan bahwa seorang guru mengerjakan tugasnya dengan serius dan sungguh-sungguh, dan untuk menantang diri guru itu sendiri untuk meningkatkan keahliannya, penting untuk mengetahui bahwa


(15)

mengajar merupakan pengalaman belajar yang berkelanjutan selama masa perjalanan karir guru tersebut.

Seorang guru telah memiliki pengalaman tentang mengajar selama ia menjadi siswa dulu, tetapi pengalaman itu sangat berbeda jika dilihat dari perspektif profesional. Guru belajar mengajar dari latar belakang personal dan pengalamannya, dari persiapan profesionalnya, dari pengalaman mengajarnya, dari saran orang lain tentang mengajar, dari pendidikan formal untuk guru, dan dari program pengembangan profesional.

Pendidikan formal yang diterima seorang guru hanya permulaan dari pertumbuhan dan perkembangan kehidupan profesinya. Seorang guru yang berpengalaman tahu bahwa belajar bagaimana mengajar tidak berawal dan berakhir ketika mereka menyelesaikan program pendidikan gurunya. Mereka tahu bahwa mereka tidak mengetahui segalanya dan bekerja dengan banyak siswa yang saling berbeda dengan kebutuhan yang berbeda-beda pula yang memberikan tantangan tanpa henti. Untuk menjadi guru yang bisa menghadapi tantangan tersebut guru diharapkan untuk terus belajar.

Untuk menambah pengetahuannya guru hendaknya juga belajar dari praktek mengajarnya dan dari interaksi dengan orang lain, berhubungan dengan proses mengajar mereka (Donovan, 2000 dalam Pugach, 2006).

Tinjauan kritis yang akan dihadapi dengan sumber ilmu pengetahuan dari pertumbuhan profesional seorang guru dan mengembangkan ilmu tersebut dalam karirnya :


(16)

1) Pertama, guru yang melihat diri mereka sebagai pelajar yang siap belajar dari para siswanya. Siswa memiliki banyak hal yang bisa diajarkan kepada guru tentang kehidupan mereka di dalam maupun di luar sekolah, tentang bagaimana mereka belajar, tentang kehidupan mereka, dan tentang sebaik apa guru telah mengajar berdasarkan pengertian guru tentang tugas yang telah dikerjakan oleh siswanya.

2) Kedua, guru yang melihat diri mereka sebagai model pembelajaran yang penting bagi siswa-siswa mereka. Mengenal bahwa ada hal baru dalam belajar, dimana belajar memiliki nilai, dan bersama dengan siswa-siswa mereka guru bisa mencoba pendekatan baru dalam mengajar sebagai cara dalam belajar.

3) Pada akhirnya, guru membuat pilihan mengenai apa yang mereka lakukan untuk belajar pada tempat pertama. Apakah seorang guru tertarik untuk fokus pada isi pelajaran baru, metode mengajarnya, apakah guru akan bersikap fleksibel dalam mengajar, semua ini berhubungan dengan penempatan rangkaian pelajaran sepanjang karir seorang guru dan menggambarkannya dalam sumber ilmu pengetahuan yang beragam.

b. Menjalankan kurikulum dengan bertanggung jawab

Kurikulum merupakan salah satu hal yang utama dimana tujuan yang berbeda dari setiap sekolah terletak. Seorang guru harus memiliki akses dengan kurikulum formal, dengan materi instruktusional formal dan buku panduan dalam bekerja. Tetapi walaupun seorang guru telah mengetahui dan menjalankan kurikulum, tetap saja guru tersebut harus membuat banyak pilihan mengenai apa dan


(17)

bagaimana mengajar. Dengan kata lain, ketika guru menjalankan materi dari kurikulum, guru tidak mengetahui cara untuk mengajar.

Seorang guru harus bisa menjalankan kurikulum dengan menyeluruh dan mendalam, guru bisa nyaman dengan kurikulum tersebut, kurikulum tersebut menarik bagi siswa sehingga mereka termotivasi untuk belajar.

Komitmen profesional untuk menggunakan kurikulum secara bertanggung jawab mengandung arti bahwa guru tidak hanya mengetahui apa yang ada di dalam kurikulum tersebut, tetapi juga berpikir secara aktif mengenai cara terbaik dalam mengajar dengan kurikulum tersebut yang bertujuan untuk menbuat siswa menjadi mandiri. Sepanjang karir seorang guru, mereka menghadapi tantangan yang belum pernah dihadapi sebelumnya dengan menyeimbangkan isi kurikulum dengan memberi kuasa pada siswa mereka. Guru yang dihadapkan dengan pilihan tentang apakah mudah menjalani kurikulum atau melakukan pekerjaan dengan menghubungkan kurikulum dengan kehidupan siswa, dengan memberikan pengertian dan alasan untuk belajar topik dan tantangan yang baru.

c. Menggantikan batasan-batasan yang dimiliki dengan batasan umum yang lebih beranekaragam

Ketika seorang guru tidak terbiasa dengan bahasa dan budaya siswanya atau ketika guru tersebut bertempat tinggal di luar komunitas para siswa yang diajarnya, maka gur tersebut harus menjebatani budaya dan berbedaan ekonomi sosial tidak hanya dengan siswa tetapi juga dengan keluarga siswa.

Tidak hanya masalah budaya yang harus diperhatikan oleh guru, tetapi guru juga harus belajar untuk bekerja dengan siswa yang mengalami hambatan dan


(18)

siswa yang mengalami disorientasi seksual. Masing-masing dari perbedaan sangatlah unik, menuntut guru untuk keluar dari kenyamanan hidupnya selama ini untuk menantang kepercayaannya dan potensial bias, dan untuk menciptakan ruangan kelas dimana tidak ada siswa yang dikucilkan.

Tindakan yang dipilih guru di dalam kelas untuk menghormati perbedaan yang ada dapat mempengaruhi kesuksesan ataupun kegagalan yang akan diterima siswa. Apakah guru akan melihat perbedaan sebagai aset yang akan memperkaya kelas mereka atau guru akan menghargai perbedaan yang dihadapinya. Apakah mereka akan komit sebagai guru untuk mempercayai potensi dari masing-masing siswanya, untuk memberikan kepada setiap siswa dengan tantangan pengalaman sekolah dan kemungkinan untuk tumbuh, daripada hanya memnyukai siswa yang memiliki latar belakang yang sama dengan dirinya.

d. Membicarakan kebutuhan pribadi siswa dalam lingkungan kelas dan sekolah Pada bagian komitmen ini, guru harus mengerti bahwa mengajar bukan hanya terdiri dari kegiatan pasif yang terjadi di dalam kelas, membuka buku, dan membaca petunjuk untuk kegiatan selanjutnya di depan kelas. Terampil, menjalankan pekerjaan sebagai guru dengan aktif untuk menjadi gambaran bagaimana memotivasi dan terlibat dalam proses belajar siswanya. Mereka dengan sukarela mencari dan mengimplementasikan metode mengajar yang akan memungkinkan guru untuk menjangkau seluruh siswanya. Hal ini sering diartikan sebagai sebuah kebijaksanaan yang menggabungkan seluruh kelas, kelas kecil, dan kerja individual. Mengajar yang hanya untuk merata-ratakan siswa tidak menjadi pilihan bagi guru yang memperhatikan kebutuhan siswanya.


(19)

Guru yang membicarakan dengan serius kebutuhan akan siswanya secara aktif membutuhkan seorang penasehat untuk mereka dan membuat pilihan untuk mencari sumber dan solusi dari masalah-masalah sehingga kesuksesan bisa menjadi nyata. Para guru mendapat nasehat bukan hanya secara individual tetapi juga mengenai kelas mereka secara keseluruhan, baik nasehat untuk sumber dayanya, untuk pengalamannya, dan untuk kesempatan yang memungkinkan siswa mereka mendalami pelajarannya.

e. Memberikan kontribusi secara aktif pada profesinya

Guru bisa memberikan kontribusinya terhadap profesi dengan berbagai cara yang berbeda. Sepanjang perjalanan karir, seorang guru perlu membuat pilihan mengenai tingkatan komitmen yang akan mereka capai. Akankah guru tersebut menjadi guru yang pasif yang hadir setiap hari, menghabiskan hari, pulang ke rumah, dan mengumpulkan bon gaji setiap bulannya? Atau menjadi guru yang aktif yang ikut berpartisipasi secara profesional, kehidupan intelektual dari mengajar untuk menambah apa yang akan diberikan di dalam kelas atau sekolah? Pada area apa kekuatan dari keahlian khusus seorang guru akan berkembang, dan bagaimana kekuatan itu akan digunakan untuk lebih baik menjangkau siswa dan membantu guru yang lain melakukan hal yang sama.

Kontribusi apa yang akan diberikan oleh seorang guru, apakah akan menjalankan peran kepemimpinan pada lingkungan sekitar sekolah, untuk membangun partisipasi dari pihak keluarga di dalam sekolah, atau akan membuat komitmen untuk menjalankan peraturan pendidikan atau bekerja dalam organisasi profesional yang menyediakan pengembangan mengajar dalam subjek utama atau


(20)

area yang khusus. Dalam merencanakan karirnya sebagai guru, penting untuk mengetahui bagaimana untuk bisa menjadi produktif dan menjadi anggota yang aktif dalam profesinya.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen guru

Banyak faktor yang mempengaruhi komitmen guru, diantaranya adalah : a. Kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan organisasi (Mowday, dkk,

dalam Solomon, 2007).

b. Tingkat keterlibatan dalam pengambilan keputusan (Kushman, 1992 dalam Solomon, 2007).

c. Menciptakan iklim yang kondusif untuk belajar (Kushman, 1992, dalam Solomon, 2007).

d. Prestasi siswa (Kushman, 1992 dalam Solomon, 2007).

e. Hadiah dan otonomi tugas (Rosenholtz 1989, dalam Solomon, 2007).

f. Feedback dari lingkungan atas tugas yang telah dilaksanakan (Solomon,

2007).

g. Pengertian guru terhadap tugas dan keahliannya (Firestone & Rosenblum, dalam Solomon, 2007).

h. Kepuasan kerja (Fresko, Kfir, & Nasser, 1997 dalam Solomon, 2002). i. Tingkatan tugas (Deci & Ryan, 1985 dalam Solomon, 2007).

j. Dukungan administratif (Firestone and Rosenblum, 1988 dalam Solomon, 2007).


(21)

k. Pengertian guru akan keunikan siswa (Louis, 1998 dalam Solomon, 2007). l. Pengabdian guru dalam membantu siswa untuk belajar (Dannetta, 2002 dalam

Solomon, 2007).

B. SELF-EFFICACY 1. Pengertian self-efficacy

Self-efficacy merupakan penilaian terhadap diri sendiri mengenai kemampuan,

efisiensi, dan kompetensi dalam menghadapi kehidupan. Bandura menjelaskan

self-efficacy sebagai persepsi terhadap kemampuan untuk menghasilkan dan

mengatur kejadian dalam hidup. Dengan membahas dan memelihara penampilan standar akan mempertinggi self-efficacy, dan sebaliknya kegagalan dalam hal tersebut akan mengurang self-efficacy (Schultz, 1994).

Bandura (dalam Schultz & Schultz, 1994) mengemukakan bahwa self-efficacy merupakan perasaan seseorang terhadap kecukupan, efisiensi, dan kompetensinya dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Dengan menemukan dan mempertahankan standar performansi, maka seseorang dapat meningkatkan

self-efficacy yang dimilikinya, dan kegagalan untuk menemukan dan mempertahankan

performasi tersebut akan mengurangi self-efficacy yang dimilikinya itu.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah kepercayaan individu atas kemampuannya dalam menghadapi dan mengatur kehidupannya yang berkaitan dengan penilaian individu atas kecukupan, efisiensi, kompetensinya dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.


(22)

2. Struktur self-efficacy

Self-efficacy bervariasi pada beberapa dimensi yang mempunyai implikasi

penampilan yang penting (Bandura, 1997), perbedaan itu diantaranya adalah : a. Tingkatan (Level)

Adanya perbedaan self-efficacy yang dihayati oleh masing-masing individu mungkin dikarenakan perbedaan tuntutan yang dihadapi. Tuntutan tugas merepresentasikan bermacam-macam tingkat kesulitan atau kesukaran untuk mencapai performansi optimal. Jika halangan untuk mencapai tuntutan itu sedikit, maka aktivitas lebih mudah untuk dilakukan, sehingga kemudian individu akan memiliki self-efficacy yang tinggi.

b. Keadaan Umum (Generality)

Individu mungkin akan menilai diri mereka merasa yakin melalui bermacam-macam aktivitas atau hanya dalam daerah fungsi tertentu. Keadaan umum bervariasi dalam jumlah dari dimensi yang berbeda-beda, diantaranya tingkat kesamaan aktivitas, perasaan dimana kemampuan ditunjukkan (tingkah laku, kognitif, afektif), ciri kualitatif dari situasi, dan karakteristik individu menuju kepada siapa perilaku itu ditujukan.

Pengukuran berhubungan dengan daerah aktivitas dan konteks situasi yang menampakkan pola dan tingkat generality dari kepercayaan terhadap self-efficacy mereka. Keyakinan diri yang paling mendasar berkisar tentang apa yang individu susun pada kehidupan mereka.


(23)

c. Kekuatan (Strength)

Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self-efficacy yang diyakini seseorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinannya pula. Individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuan mereka akan teguh dalam usaha untuk mengenyampingkan kesulitan yang dihadapi.

Berdasarkan uraian di atas maka self-efficacy pada setiap individu berbeda dalam beberapa dimensi, yaitu tingkat kesulitan tugas, keadaan umum suatu tugas, dan kekuatan dari keyakinan seseorang untuk menyelesaikan suatu tugas.

3. Sumber-sumber self-efficacy

Menurut Bandura (dalam Schultz & Schultz, 1994) penilaian seseorang mengenai tingkatan self-efficacy yang diyakininya berdasarkan empat sumber informasi, yaitu :

a. Pencapaian prestasi (Performance attainment)

Pencapaian prestasi merupakan bagian yang paling berpengaruh dalam penentuan self-efficacy. Pengalaman sukses sebelumnya memberikan indikasi langsung dari tingkatan kompetensi individu. Tingkah laku atau hasil sebelumnya menunjukkan kemampuan individu dan menguatkan penilaiannya atas

self-efficacy. Khususnya apabila kegagalan sebelumnya diulangi dengan kegagalan

lagi, maka hal ini akan menurunkan self-efficacy.

Individu dengan self-efficacy yang tinggi percaya bahwa mereka bisa berdamai secara efektif dengan kejadian yang mereka hadapi dalam kehidupannya. Mereka mengharapkan kesuksesan dalam rintangan yang akan dihadapi, oleh karena itu mereka gigih dalam tugas dan sering melakukan


(24)

performansi yang baik. Mereka memiliki kepercayaan diri yang baik dalam kemampuan mereka dibandingkan individu dengan self-efficacy yang rendah, dan mereka hanya sedikit memperlihatkan keragu-raguan. Individu dengan

self-efficacy yang tinggi melihat hal sulit sebagai tantangan dan aktif mencari situasi

yang baru.

b. Pengalaman orang lain (Vicarious experiences)

Melihat kesuksesan orang lain akan menguatkan perasaan akan self-efficacy, khususnya jika seseorang yang menjadi objek observasi memiliki kemampuan yang sama dengan individu yang melakukan observasi. Sebaliknya jika individu melihat orang lain yang dianggap memiliki kesamaan tersebut mengalami kegagalan, maka hal ini akan menurunkan self-efficacy.

Individu yang memiliki standar penampilan tinggi yang mengambil standar tersebut dari hasil mengobservasi model yang sukses akan memiliki harapan yang tinggi, namun jika kemudian gagal, maka individu tersebut akan menghukum dirinya sendiri dengan perasaan tidak berharga dan depresi.

Jadi, hal yang terpenting adalah menentukan orang yang tepat kemampuan dan kompetensinya untuk dijadikan model. Model yang dipilih juga akan menunjukkan strategi dan teknik yang mungkin dilakukan pada situasi yang sulit. c. Persuasi lisan (Verbal persuasion)

Mengatakan kemampuan yang dimiliki dan prestasi apa yang ingin dicapai dapat meningkatkan self-efficacy seseorang. Hal ini mungkin yang paling umum dari keempat sumber penilaian self-efficacy lainnya. Persuasi lisan ini sering


(25)

dilakukan oleh orang tua, guru, suami/istri, teman, dan terapis. Agar efektif, persuasi haruslah realistik.

d. Keterbangkitan psikologis (Psychological arousal)

Keterbangkitan psikologis ini meliputi perasaan tenang atau ketakutan pada situasi yang membuat stres. Keterbangkitan psikologis ini biasa digunakan untuk melihat kemampuan individu dalam mengatasi masalah.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat empat sumber informasi mengenai tingkatan self-efficacy, yaitu pencapaian prestasi, pengalaman orang lain, persuasi lisan, dan keterbangkitan psikologis.

4. Perkembangan self-efficacy

Bandura (1997) menyatakan bahwa self-efficacy berkembang sejak bayi. Bayi mulai mengembangkan self-efficacy sebagai usaha untuk melatih pengaruh lingkungan fisik dan sosial. Bayi cenderung mempelajari penyebab tindakan melalui pengamatan yang berulang dari suatu kesatuan peristiwa dimana tindakan orang lain membuat itu terjadi. Mereka mulai belajar mengenai kemampuan dirinya, kecakapan fisik, kemampuan sosial, dan kecakapan berbahasa yang hampir secara konstan digunakan dan ditujukan pada lingkungan. Perubahan sebagai perluasan pengalaman dunia anak dipengaruhi oleh saudara kandung, teman sebaya, dan individu dewasa lainnya.

Pengalaman transisi remaja meliputi tuntutan untuk mengatasi tuntutan dan tekanan baru, dari kesadaran seks sampai memilih bidang pelajaran dan karir. Dalam hal ini remaja harus menetapkan kemampuan baru, yaitu penilaian baru terhadap diri mereka. Self-efficacy pada individu dewasa meliputi penyesuaian


(26)

pada masalah perkawinan dan peningkatan karir. Sedangkan self-efficacy pada individu yang sudah lanjut usia sangat sulit terbentuk sebab pada tahapan perkembangan ini terjadi penurunan mental dan fisik, pensiun kerja, dan penarikan diri dari lingkungan sosial

Berdasarkan penjelasan di atas terlihat bahwa self-efficacy mengalami perkembangan terus-menerus dari bayi hingga dewasa. Self-efficacy berubah seiring dengan perubahan yang dialami oleh individu. Perubahan tersebut meliputi perubahan fisik, lingkungan sosial, kecakapan dan tuntutan tugas yang dihadapi.

5. Proses yang memengaruhi self-efficacy

Bandura (1997) mengemukakan bahwa terdapat empat proses psikologis dalam self-efficacy yang turut berperan dalam diri manusia, yaitu :

a. Proses kognitif

Proses kognitif merupakan proses berfikir, termasuk didalamnya adalah pemerolehan, pengorganisasian, penggunaan informasi. Dampak dari self-efficacy pada proses kognitif sangat bervariasi. Seseorang akan membentuk suatu tujuan tertentu sebelum ia melakukan pendekatan untuk mencapai tujuan tersebut.

Bentuk tujuan personal juga dipengaruhi oleh penilaian akan kemampuan diri. Semakin seseorang mempersepsikan dirinya mampu, maka individu akan semakin membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannya dan semakin kuat komitmen individu terhadap tujuannya (Bandura, 1997). Kebanyakan tindakan manusia bermula dari sesuatu yang dipikirkan terlebih dahulu. Individu yang memiliki


(27)

individu dengan self-efficacy yang rendah lebih banyak membayangkan kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambat tercapainya kesuksesan (Bandura, 1997).

Fungsi utama pikiran adalah memungkinkan individu untuk memprediksi suatu kejadian dan mengembangkan cara untuk mengontrol hal-hal yang dapat memengaruhi kehidupan mereka. Untuk dapat memprediksi dan mengembangkan cara tersebut diperlukan pemrosesan informasi melalui kognitif.

Proses kognitif ini juga dipengaruhi oleh bagaimana kepribadian yang dimiliki oleh seseorang. Bagaimana cara pandangnya, baik itu terhadap dirinya maupun orang lain dan kejadian disekitarnya berhubungan dengan self-efficacy seseorang dalam suatu aktivitas tertentu melalui mekanisme self regulatory (Bandura, 1997). b. Proses motivasi

Kebanyakan motivasi manusia dibangkitkan melalui kognitif atau pikiran. Individu memberi motivasi atau dorongan bagi diri mereka sendiri dan mengarahkan tindakan melalui tahap-tahap pemikiran sebelumnya. Mereka membentuk suatu keyakinan tentang apa yang dapat mereka lakukan, mengantisipasi hasil dari suatu tindakan, membentuk tujuan bagi diri mereka sendiri dan merencanakan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam mencapai tujuan (Bandura, 1997).

c. Proses afeksi

Proses afektif merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan reaksi emosional. Menurut Bandura (1997), keyakinan individu akan kemampuan coping mereka turut mempengaruhi tingkatan stres dan depresi seseorang saat mereka menghadapi situasi yang sulit.


(28)

Individu dengan self-efficacy yang rendah merasa tidak berdaya, tidak bisa memberikan pengaruh dalam kehidupannya. Mereka percaya bahwa usaha mereka sia-sia, mereka seperti akan mengalami peningkatan kesedihan, apatis, dan kecemasan. Mereka cepat menyerah dalam menghadapi masalah dalam hidupnya dan merasa usahanya tidak efektif. Individu dengan self-efficacy yang sangat rendah tidak akan mencoba untuk mengatasi masalahnya, karena mereka percaya apa yang mereka lakukan tidak akan membawa perbedaan (Schultz, 1994).

d. Proses seleksi

Manusia merupakan bagian dari lingkungan tempat dimana mereka berada. Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi tertentu, turut mempengaruhi dampak dari suatu kejadian. Individu cenderung menghindari aktivitas dan situasi yang di luar batas kemampuan mereka. Bila individu merasa yakin bahwa mereka mampu menangani suatu situasi, maka mereka cenderung tidak menghindari situasi tersebut. Dengan adanya pilihan yang dibuat, individu kemudian meningkatkan kemampuan, minat dan hubungan sosial mereka yang lainnya (Bandura, 1997).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat empat proses psikologis yang mempengaruhi self-efficacy seseorang, yaitu proses kognitif yang menggunakan pikiran, proses motivasi yang dapat menguatkan keyakinan individu, proses afeksi yang memengaruhi tingkat stres dari suatu tugas dan proses seleksi yang mempengaruhi pemilihan individu terhadap situasi dan perilaku tertentu.


(29)

6. Faktor-faktor yang memengaruhi self-efficacy

Menurut Bandura (1997), ada beberapa faktor yang mempengaruhi

self-efficacy, yaitu :

a. Jenis kelamin

Pada beberapa bidang pekerjaan tertentu pria memiliki self-efficacy yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita, bagitu juga sebaliknya self-efficacy wanita unggul dalam beberapa pekerjaan dibandingkan dengan pria. Pria biasanya memiliki self-efficacy yang tinggi dengan pekerjaan yang menuntut keterampilan teknis matematis.

b. Usia

Self-efficacy terbentuk melalui proses belajar sosial yang dapat berlangsung

selama kehidupan. Individu yang lebih tua memiliki rentang waktu dan pengalaman yang lebih banyak dalam mengatasi suatu hal jika dibandingkan dengan individu yang lebih muda.

c. Tingkat pendidikan

Self-efficacy terbentuk melalui proses belajar sosial yang dapat terjadi pada

institusi pendidikan formal. Individu yang memiliki jenjang pendidikan tinggi biasanya memiliki self-efficacy yang lebih tinggi. Karena pada dasarnya mereka lebih banyak menerima pendidikan formal dan lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk belajar dan mengatasi suatu persoalan.

d. Pengalaman kerja

Self-efficacy terbentuk melalui proses belajar sosial yang dapat terjadi pada


(30)

adaptasi dan pembelajaran yang ada dalam perusahaan tersebut. Semakin lama seseorang bekerja maka semakin tinggi self-efficacy yang dimilikinya dalam bidang pekerjaan tertentu. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan self-efficacy orang tersebut justru cenderung tetap atau menurun. Hal ini tergantung bagaimana keberhasilan dan kegagalan mempengaruhinya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka diketahui bahwa terdapat empat faktor yang memengaruhi self-efficacy seseorang, yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan pengalaman kerja.

C. SELF-EFFICACY GURU 1. Pengertian self-efficacy guru

Bandura (1977, 1986, 1997, dalam Pintrinch, 2002) menyatakan bahwa

self-efficacy guru merupakan kepercayaan guru akan kemampuannya dalam

memutuskan cara terbaik yang diperlukan agar bisa memengaruhi siswanya secara positif dalam penampilan belajar siswanya tersebut. Self-efficacy guru atau juga sering disebut sebagai instructional self-efficacy merupakan kepercayaan seorang guru tentang kemampuannya untuk membantu siswanya dalam belajar (Pintrinch, 2002).

Hoy dan Woolfolk (1990, dalam Pintrinch 2002) menyatakan bahwa

self-efficacy guru merupakan kepercayaan guru bahwa ia mampu menghadapi siswa

yang mengalami kesulitan belajar untuk bisa belajar, hal ini merupakan salah satu karakteristik personal dari guru yang berhubungan dengan prestasi siswa.


(31)

Hackett (dalam Schultz, 1994) menyatakan bahwa self-efficacy memengaruhi banyaknya waktu yang seseorang habiskan untuk mencari pekerjaan, untuk mencapai kesuksesan kerja. Pekerja dengan self-efficacy yang tinggi melaporkan bahwa mereka memiliki tujuan kerja yang lebih tinggi dan memiliki komitmen kerja yang lebih baik dibandingkan dengan pekerja dengan self-efficacy yang rendah (Locke, dalam Schultz, 1994). Self-efficacy yang tinggi fokus pada analisis dan pemecahan masalah, dimana self-efficacy yang rendah fokus pada kekurangan orang lain dan takut gagal, yang dapat merusak produktivitas mereka dan kegunaan penuh kemampuan kognitif mereka dalam pekerjaan (Lazarus & Folkman, dalam Schultz, 1994).

Ashton dan Webb (dalam Pintrinch, 2002) mengungkapkan bahwa guru dengan self-efficacy yang rendah mungkin menghindari untuk merencanakan aktivitas yang mereka yakini melampaui kemampuan mereka, tidak bertahan dengan siswa yang mengalami kesulitan, menghabiskan usaha yang sedikit untuk menemukan materi-materi pengajaran, dan tidak mengulang pelajaran dengan cara yang bisa membuat siswa lebih mengerti.

Sedangkan guru dengan self-efficacy tinggi akan lebih tepat untuk mengembangkan aktivitas yang menantang, membantu siswa untuk sukses, dan bertahan dengan siswa yang mengalami masalah dalam belajar. Guru dengan

self-efficacy yang tinggi menyukai lingkungan kelas yang positif, mendukung ide-ide

siswa, dan menanyakan hal-hal yang dibutuhkan oleh siswa (Ashton & Webb, dalam Pintrich, 2002). Teori self-efficacy memprediksikan bahwa guru dengan


(32)

siswa yang mengalami kesulitan belajar. Hal ini karena guru percaya pada dirinya dan siswa-siswanya.

Self-efficacy guru akan meningkat ketika siswanya menunjukkan peningkatan

dalam pelajaran. Tetapi ketika sebagian kecil dari siswanya tidak menunjukkan peningkatan dalam belajar, guru tersebut tidak perlu berkecil hati jika ia percaya bahwa strategi pengajaran yang berbeda akan menghasilkan hasil yang lebih baik (Tschannen-Moran, Woolfolk Hoy, & Hoy, dalam Pintrich, 2002).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa self-efficacy guru adalah kepercayaan seorang guru akan kemampuannya untuk membantu siswanya dalam belajar, termasuk juga membantu siswanya yang mengalami kesulitan belajar.

D. GURU

1. Pengertian guru

Guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar (KBBI, 2001). Guru adalah orang yang profesional, artinya secara formal mereka disiapkan oleh lembaga atau institusi pendidikan yang berwenang. Mereka dididik secara khusus memperoleh kompetensi sebagai guru, yaitu meliputi pengetahuan, keterampilan, kepribadian, serta pengalaman dalam bidang pendidikan (Wibowo, 2002).

Guru merupakan profesi, yaitu pekerjaan yang menuntut keahlian. Artinya, pekerjaan sebagai guru tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan. Kegiatan pendidikan dan pembelajaran di sekolah terhadap


(33)

peserta didik tidak bisa dilakukan sembarang orang, karena untuk melakukan tersebut dituntut keahlian atau kompetensi sebagai guru (Wibowo, 2002).

Guru adalah tenaga profesional yang dituntut menguasai kemampuan selidik reflektif. Selalu bertanya, menjawab pertanyaan, mempertanyakan, termasuk mempertanyakan jawaban dan mempertanyakan pertanyaan mereka sendiri (Houston, dalam Wibowo, 2002). Sebagai profesi, guru harus dapat merebut kepercayaan publik melalui peningkatan kualitas guru dan pelayanan pendidikan dan pembelajaran. Kepercayaan menjadi faktor kunci dalam mengokohkan identitas guru. Seiring dengan upaya tersebut, sebagai profesi guru harus selalu melakukan profesionalisasi yaitu meningkatkan dirinya dan pelayanannya sesuai dengan tuntutan zaman (Wibowo, 2002).

Guru dengan komitmen yang tinggi akan selalu menggunakan kesempatan untuk belajar menjadi guru yang profesional. Belajar yang dimaksud adalah belajar menjalankan tugas-tugas profesional guru, yaitu melaksanakan pendidikan dan pembelajaran. Profesionalisme guru hendaknya dapat ditunjukkan oleh lima unjuk kerja, yaitu keinginan berperilaku standar ideal, memelihara profesi, mengembangkan profesionalitas serta meningkatkan kualitas pengetahuan dan keterampilannya. Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi, serta bangga terhadap profesinya (Wibowo, 2002).

Pada tahun 2005 telah disahkan Undang-Undang No. 14 tentang guru dan dosen. Di dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini


(34)

jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Dikdasdki, 2005).

Undang-Undang tersebut juga menjelaskan arti dari profesional berkaitan dengan profesi guru. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (Dikdasdki, 2005).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa guru merupakan suatu profesi yang memiliki tugas utama untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, dimana profesi tersebut menjadi sumber penghasilan yang memerlukan keahlian, kemahiran, kecakapan, dan pendidikan profesi.

2. Profesionalitas guru

Dalam menjalankan tugasnya, guru memiliki prinsip-prinsip profesionalitas yang harus dipenuhi dan dijalankannya (Dikdasdki, 2005). Prinsip-prinsip tersebut adalah :

a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme.

b. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.

c. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas.

d. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas. e. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan.


(35)

f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.

g. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat.

h. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.

i. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

Selain prinsip profesionalitas di atas, Dikdasdki (2005) juga menyatakan bahwa seorang guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi yang dimaksud di sini adalah kualifikasi akademik yang diperoleh dari pendidikan tinggi program sarjana atau diploma empat. Sedangkan yang dimaksud dengan kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi yang harus dimiliki seorang guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen juga menjabarkan hal-hal yang menjadi tanggung jawab seorang guru, yaitu :

a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran.


(36)

b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

c. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran.

d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika.

e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

E. SEKOLAH BILINGUAL 1. Pengertian sekolah bilingual

Pendidikan bilingual melibatkan pengajaran pada semua subjek dalam dua bahasa yang berbeda (Wikipedia, 2005). Pendidikan bilingual adalah sebuah penambahan program bilingual dan bicultural dalam waktu lama secara konsisten, menggunakan dua bahasa dalam instruksi, belajar, dan komunikasi, dengan jumlah siswa yang seimbang dari kelompok kedua bahasa tersebut, yang diintegrasikan pada seluruh atau setidaknya setengah dari hari sekolah tersebut untuk memenuhi kompetensi bilingual, bilateral, akademik, dan lintas budaya (Soltero, 2004).

2. Tujuan pendidikan bilingual

Pendidikan bilingual memiliki tiga dimensi, yaitu bahasa, akademik, dan sosial budaya (Christian & Lindholm, dalam Soltero, 2002). Kemudian sesuai


(37)

dengan dimensi tersebut, disusun empat tujuan dari pendidikan bilingual, yaitu perkembangan bahasa pokok (first language), perkembangan bahasa tambahan (second language), hasil akademik, dan kompetensi multikutural.

Penggunaan dua bahasa harus meliputi empat bagian dalam bahasa, yaitu mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Hal ini karena program bilingual yang efektif juga bertujuan untuk meningkatkan patokan belajar bagi siswa. Semua siswa memiliki harapan untuk memiliki prestasi akademik pada atau di atas patokan di kedua bagian bahasa tersebut.

Pada akhirnya pendidikan bilingual bertujuan untuk mengembangkan perspektif positif siswa terhadap lintas budaya, bakat intersosial, dan self-concept yang sehat (Cazahon, dalam Soltero, 2000).

3. Model pendidikan bilingual

Adapun model-model umum dari sekolah bilingual (Wikipedia, 2005) adalah sebagai berikut :

a. Pendidikan bilingual peralihan (Transitional bilingual education)

Pada model pendidikan ini siswa dibantu untuk melakukan transisi dari bahasa asli ke bahasa asing (Inggris). Tujuan dari pendidikan ini adalah membantu siswa agar tidak mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran yang disampaikan dalam bahasa Inggris.

b. Pendidikan bilingual dua bahasa (Two-way or dual language bilingual

education)

Pendidikan ini disusun untuk membantu anak yang bahasa ibunya bukan Inggris dan anak yang bahasa ibunya Inggris untuk menjadi bilingual dan


(38)

biliterate. Idealnya dalam satu kelas model pendidikan ini terdiri dari

masing-masing setengah dari kedua bahasa tersebut. Model ini merupakan model pendidikan bilingual yang paling berhasil karena guru tetap mengerti ketika siswanya berbicara dalam bahasa asli mereka dan kemudian guru bisa membalasnya dengan bahasa Inggris.

c. Pendidikan bilingual late-exit (Developmental bilingual education)

Pada model ini pendidikan bahasa asing hanya menjadi tambahan. Tujuan pendidikan ini adalah untuk mengembangkan bilingual dan biliterate dalam dua bahasa. Program pendidikan ini tersedia untuk siswa yang bahasa ibunya bukan Inggris dan juga untuk program transisi.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga model pendidikan bilingual, yaitu pendidikan bilingual peralihan, pendidikan bilingual dua bahasa, dan pendidikan bilingual late-exit.

F. HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN KOMITMEN GURU SEKOLAH BILINGUAL

Louis (1998, dalam Joffres & Haughey, 2001) dan Coladarci (1992, dalam effros & Haughey, 2001) menyatakan bahwa self-efficacy guru secara langsung mempengaruhi komitmen guru. Bandura (1997, dalam Joffres & Haughey,2001) menyatakan bahwa self-efficacy guru menunjukkan kepercayaan guru akan kemampuan personalnya untuk mempengaruhi cara belajar siswa. Kemudian Ebmeier dan Nicklaus (dalam Teacher Commitment and Engagemant, 2007)


(39)

bahwa komitmen guru merupakan bagian dari afeksi atau reaksi emosi seorang guru kepada pengalaman mereka di dalam lingkungan sekolah.

Self-efficacy guru merupakan pendorong bagi siswa yang akan terlihat dari

prestasi yang diterima siswa dan juga akan memengaruhi motivasi siswa dalam belajar (Pajares, dalam Pintrich, 2002). Self-efficacy guru merupakan prediktor yang signifikan bagi prestasi siswa. Self-efficacy guru akan meningkat ketika siswanya menunjukkan peningkatan dalam pelajaran. (Tschannen-Moran, Woolfolk Hoy, & Hoy, dalam Pintrich, 2002).

Rotter, dkk (1966, dalam Joffres & Haughey, 2001) menyimpulkan bahwa

self-efficacy guru tumbuh dalam dua bentuk kepercayaan, yaitu kepercayaan

mengenai kemampuan personal dalam mempengaruhi proses belajar siswa dan kepercayaan mengenai kemampuan guru (sebagai kelompok) untuk mempengaruhi cara belajar siswa secara keseluruhan. Self-efficacy guru akan menambah keefektifan guru dalam mengajar (Tschannen-Moran, Woolfolk Hoy, & Hoy, 1998, dalam Knobloch & Whittington, 2003), prestasi siswa (Armor, dkk, 1976, dalam Knobloch & Whittington, 2003), komitmen profesional (Coladarci, 1992, dalam Knobloch & Whittington, 2003), dan usia karir (Burley et al., 1991, dalam Knobloch & Whittington, 2003).

Self-efficacy guru yang rendah merupakan hal yang menentukan dalam

penurunan komitmen guru (Joffres & Haughey, 2001). Reyes dan Coladarci (1992, dalam Joffres & Haughey, 2001) menemukan bahwa self-efficacy berhubungan dengan komitmen guru di sekolah, baik itu komitmen guru terhadap organisasi, maupun komitmen guru dengan profesinya. Hal ini bergantung pada


(40)

pengertian guru tentang situasinya, dimana dirinya dipengaruhi oleh sejarah kerjanya dan kehadiran teman atau rekan sejawat dalam pekerjaannya.

Komitmen guru dalam mengajar memegang peranan penting dalam menentukan seberapa lama guru bisa bertahan pada profesinya (Chapman, 1982; Chapman & Lowther, 1983; McCracken & Etuk, 1986, dalam Knobloch & Whittington, 2003). Seorang guru yang memilih karir mereka berdasarkan motivasi intrinsik untuk melayani orang lain atau tujuan karir jangka panjang biasanya menunjukkan self-efficacy yang lebih tinggi dalam kegiatan mengajar mereka (Knobloch & Whittington, 2003).

Komitmen guru mengalami berubahan dan pengurangan ketika guru merasa tidak sukses, dimana ketika mereka merasa self-efficacy yang dimilikinya rendah. Perasaan tersebut mendukung berkembangnya ketidakmampuan guru untuk memengaruhi proses belajar siswa, untuk menghidupkan perasaan mereka akan misi dan standar internal profesional, untuk melanjutkan belajar dan tumbuh, dan untuk berprestasi mencapai tujuan (Joffres & Haughey, 2001).

Pergerakan naik dan turunnya komitmen guru terlihat dari pengertian guru akan pengalaman negatif mereka. Komitmen menurun dalam fungsi atribusi kausal guru dari penerimaan akan kegagalan ketika guru mengatribusikan ketidakmampuan mereka untuk memengaruhi proses belajar siswa (Joffres & Haughey, 2001). Joffres & Haughey (2001) menemukan bahwa kesesuaian, dukungan, dan kerja sama cenderung akan memudahkan timbulnya komitmen.

Menurut Tschannen-Moran, Woolfolk Hoy, dan Hoy (dalam Pintrinch, 2002)


(41)

dalam pelajaran. Kemudian hasil yang dicapai siswa di sekolah dipengaruhi juga oleh komitmen guru di sekolah tersebut. Hal ini sesuai dengan dengan pendapat Firestone, dkk (dalam Teacher Commitment and Engagemant, 2007) yang menyatakan bahwa komitmen seorang guru berdampak pada penampilan kerjanya, jumlah kehadiran, burnout dan turnover, yang juga berpengaruh terhadap prestasi siswa, serta perilaku siswa di sekolah. Huberman dan Nias (dalam Teacher Commitment and Engagemant, 2007) berpendapat bahwa komitmen guru merupakan salah satu faktor penting yang menentukan dalam kesuksesan dan kelangsungan pendidikan di masa depan.

Knobloch dan Whittington (2003) dalam penelitiannya menemukan bahwa komitmen seorang guru merupakan sumber dari self-efficacy dirinya dalam mengajar, dimana hal ini berhubungan dengan harapan dari efikasinya akan keberhasilannya dalam mengajar. Pajares (dalam Henson, 2001) menyatakan bahwa self-efficacy mempengaruhi pilihan, usaha, dan ketahanan individu ketika berhadapan dengan masalah, serta mempengaruhi emosi individu juga.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti berasumsi bahwa self-efficacy guru dan komitmen guru memiliki hubungan yang positif. Artinya semakin tinggi

self-efficacy yang dimiliki seorang guru ketika mengajar, maka semakin tinggi


(42)

G. HIPOTESIS PENELITIAN

Berdasarkan uraian teoritis di atas maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara self-efficacy dengan komitmen guru sekolah bilingual di Kota Medan.


(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Penelitian ini bersifat korelasional, yang akan melihat apakah terdapat hubugan antara self-efficacy dengan komitmen guru di sekolah

bilingual. Populasi yang digunakan adalah guru di suatu sekolah bilingual yang

terdapat di kota Medan. Data penelitian ini akan diolah secara kuantitatif menggunakan uji Pearson Product Moment dengan bantuan program SPSS versi

15.0 for Windows.

A. IDENTIFIKASI VARIABEL 1. Variabel bebas

Varibel bebas pada penelitian ini adalah self-efficacy guru.

2. Variabel tergantung

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah komitmen guru.

B. DEFINISI OPERASIONAL 1. Komitmen guru

Komitmen guru adalah penafsiran internal seorang guru tentang bagaimana mereka menyerap dan memaknai pengalaman kerja mereka yang ditandai dengan keinginan untuk menetap di dalam organisasi dan terlibat dalam pekerjaan, serta


(44)

dengan Skala Komitmen Guru yang dikembangkan dari lima aspek komitmen guru, yaitu belajar dari berbagai sumber ilmu pengetahuan, menggunakan kurikulum dengan bertanggung jawab, mengganti batasan yang diyakini dengan batasan yang lebih bersifat umum, membicarakan kebutuhan siswa di dalam lingkungan kelas dan sekolah, serta berkontribusi secara aktif terhadap profesi.

Skala Komitmen Guru akan diisi oleh guru. Skor total merupakan petunjuk tinggi rendahnya komitmen yang dimiliki seorang guru. Semakin tinggi skor yang dicapai seorang guru berarti semakin tinggi komitmen guru tersebut. Sebaliknya, semakin rendah skor yang dicapai seorang guru berarti semakin rendah komitmen guru tersebut.

2. Self-efficacy guru

Self-efficacy guru adalah kepercayaan seorang guru tentang kemampuannya

untuk membantu siswanya dalam belajar. Self-efficacy guru akan diukur dengan Skala Self-Efficacy Guru yang dikembangkan dari tiga struktur self-efficacy, yaitu tingkatan, keadaan umum, dan kekuatan.

Skala Self-Efficacy Guru akan diisi oleh guru. Skor total merupakan petunjuk tinggi rendahnya self-efficacy yang dimiliki oleh seorang guru. Semakin tinggi skor yang dicapai seorang guru berarti semakin tinggi self-efficacy guru tersebut. Sebaliknya, semakin rendah skor yang dicapai seorang guru berarti semakin rendah self-efficacy guru tersebut.

3. Sekolah bilingual

Sekolah bilingual adalah sekolah yang metode pendidikannya melibatkan pengajaran pada semua subjek dalam dua bahasa.


(45)

C. POPULASI DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL

Pada subbab ini akan dijelaskan mengenai karakteristik subjek penelitian, jumlah sampel, dan teknik pengambilan sampel,.

1. Karakteristik subjek penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi karakteristik atau ciri-ciri subjek penelitian adalah sebagai berikut :

a. Guru yang mengajar di sekolah bilingual, yaitu sekolah yang menggunakan dua bahasa sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Pada penelitian ini sekolah bilingual yang digunakan adalah Chandra Kusuma School Medan.

b. Guru yang mengajar pada tingkat SD (primary).

c. Guru sekolah bilingual yang telah mengajar selama satu tahun atau lebih. Hal ini karena menurut Chang dan Choi (2007) komitmen terhadap organisasi dan komitmen terhadap profesi jelas terlihat setelah bekerja selama 12 bulan atau satu tahun.

2. Jumlah sampel penelitian

Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 36 orang.

3. Teknik pengambilan sampel

Penelitian ini merupakan penelitian populasi, dimana semua anggota populasinya diukur. Populasi adalah seluruh individu atau penduduk yang dimaksudkan untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai jumlah penduduk atau individu yang paling sedikit mempunyai satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Pada


(46)

penelitian ini yang menjadi populasinya adalah guru SD (primary) di Sekolah Chandra Kusuma Medan.

D. INSTRUMEN/ALAT UKUR YANG DIGUNAKAN

Dalam penelitan ini peneliti menggunakan 2 alat pengumpulan data, yaitu Skala Komitmen Guru dan Skala Self-Efficacy guru. Skala Komitmen Guru dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan teori komitmen guru yang terdapat dalam Pugach (200). Skala Self-Efficacy guru juga dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan teori Bandura (1997).

Metode pengambilan data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode skala. Ada beberapa alasan dan pertimbangan dalam penggunaan metode skala (Hadi, 2000) :

a. Subjek adalah individu yang paling tahu tentang dirinya.

b. Apa yang dinyatakan subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya. c. Interpretasi subjek tentang peryataan-pernyataan yang diajukan kepadanya

cenderung sama dengan apa yang dimaksud oleh peneliti.

Metode skala yang digunakan adalah metode rating yang dijumlahkan atau dikenal dengan metode Likert (Azwar, 2000). Skala psikologi yang berbentuk skala Likert digunakan untuk mengukur komitmen guru dan self-efficacy guru, dengan menggunakan 4 opsi jawaban yang dilambangkan dengan angka, yaitu 1 untuk very appropriate (sangat sesuai), 2 untuk appropriate (sesuai), 3 untuk not


(47)

1. Skala Komitmen Guru

Skala Komitmen Guru belum ada yang telah dipublikasikan secara luas dan dapat dibeli ataupun digunakan oleh kalangan umum. Oleh karena itu peneliti mencoba membuat alat ukur sendiri, yang disusun berdasarkan lima aspek komitmen guru menurut Pugach (2006) yang terdiri dari belajar dari berbagai sumber ilmu pengetahuan, menggunakan kurikulum dengan bertanggung jawab, mengganti batasan yang diyakini dengan batasan yang lebih bersifat umum, membicarakan kebutuhan siswa di dalam lingkungan kelas dan sekolah, serta berkontribusi secara aktif terhadap profesi.

Tabel 1. Blue Print Skala Komitmen Guru

No. Kategori Item Favorable Item Unfavorable Jumlah 1. Belajar dari berbagai

sumber ilmu pengetahuan

1, 11, 22, 33, 45, 53.

6, 16, 27, 39, 49, 57.

12

2. Menggunakan kurikulum dengan bertanggung jawab

2, 12, 23, 34, 46, 54.

7, 17, 28, 40, 50, 58.

12

3. Mengganti batasan yang diyakini dengan batasan yang lebih umum

3, 13, 24, 35, 47, 55.

8, 18, 29, 41, 51, 59.

12

4. Membicarakan kebutuhan siswa di dalam lingkungan kelas dan sekolah

4, 14, 25, 36, 48, 56.

9, 19, 30, 42, 52, 60.

12

5. Berkontribusi secara aktif terhadap profesi

5, 15, 21, 26, 37, 38.

10, 20, 31, 32, 43, 44.

12


(48)

2. Skala Self-Efficacy Guru

Alat ukur self-efficacy guru juga belum ada yang telah dipublikasikan secara luas dan dapat dibeli ataupun digunakan oleh kalangan umum. Oleh karena itu peneliti mencoba membuat alat ukur sendiri, yang disusun berdasarkan tiga struktur self-efficacy menurut Bandura (1997), yaitu tingkatan, keadaan umum, dan kekuatan.

Tabel 2. Blue Print Skala Self-Efficacy Guru

No. Dimensi Item Favorable Item Unfavorable Jumlah 1. Tingkatan tugas

yang dikerjakan

1, 7, 13, 19, 25, 31, 37, 43, 49, 55.

4, 10, 16, 22, 28, 34, 40, 46, 52, 58.

20

2. Keadaan umum dalam

menyelesaikan tugas

2, 8, 14, 20, 26, 32, 38, 44, 50, 56.

5, 11, 17, 23, 29, 35, 41, 47, 53, 59.

20

3. Kekuatan dalam menghadapi

masalah

3, 9, 15, 21, 27, 33, 39, 45, 51, 57.

6, 12, 18, 24, 30, 36, 42, 48, 54, 60.

20

Jumlah 30 30 60

E. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2008 di sekolah yang telah ditentukan. Adapun tahapan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu mencari informasi dan koneksi untuk dapat memperoleh izin penelitian dari pihak sekolah.


(49)

2. Setelah mendapatkan sekolah yang akan diteliti, kemudian peneliti mengurus surat izin untuk penelitian dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara untuk melakukan penelitian ke sekolah tersebut.

3. Setelah tiba di sekolah tersebut, selanjutnya peneliti meminta izin kepada pihak sekolah untuk melakukan penelitian dengan menunjukkan surat jalan dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

4. Setelah mendapatkan izin dari pihak sekolah, kemudian peneliti melanjutkan dengan bertanya mengenai waktu yang tepat untuk melakukan penelitian.

5. Setelah waktu penelitian disepakati, kemudian peneliti kembali lagi ke sekolah tersebut dengan membawa alat penelitian (skala) yang akan diberikan kepada guru-gurunya.

6. Peneliti memerlukan waktu sekitar tiga minggu untuk mengumpulkan skala kembali.

F. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR

Validitas dan reliabilitas alat ukur yang digunakan dalam sebuah penelitian sangat menentukan keakuratan dan keobjektifan hasil penelitian yang dilakukan. Suatu alat ukur yang tidak valid dan tidak reliabel akan memberikan informasi yang tidak akurat mengenai keadaan subjek atau individu yang dikenai tes ini (Azwar, 2000).


(50)

1. Validitas

Validitas adalah derajat yang menyatakan suatu tes mengukur apa yang seharusnya diukur. Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity), yaitu berkaitan dengan apakah aitem mewakili pengukuran dalam area sasaran yang diukur. Validitas isi merupakan hal yang utama dalam suatu tes yang biasanya dinilai dengan menggunakan pertimbangan pakar (Azwar, 2000).

Setelah aspek-aspek yang diukur ditentukan, peneliti akan menyusun item-item mengacu pada blue print yang telah dibuat sebelumnya. Selanjutnya peneliti meminta pertimbangan professional judgement, dalam hal ini dosen pembimbing peneliti sebelum item-item dijadikan alat ukur.

Kemudian dilakukan seleksi item untuk memilih item-item mana yang dapat dijadikan alat ukur sesuai dengan blue print yang ada. Seleksi item dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi Pearson Product Moment yang dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 12.0 for windows. Prosedur pengujian ini menghasilkan koefisien item total yang dikenal dpengan indeks daya beda item dimana setiap butir aitem pada skala dikorelasikan dengan skor total skala (Azwar, 2000).

2. Reliabilitas alat ukur

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil pengukuran dari suatu alat ukur dapat dipercaya (Azwar, 2000). Reliabilitas adalah merupakan alat ukur yang menunjukkan derajat keajegan atau konsisitensi alat ukur yang bersangkutan bila diterapkan beberapa kali pada kesempatan yang berbeda (Hadi, 2000).


(51)

Pengujian reliabilitas untuk skala dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konsistensi internal (Internal consistency). Dalam pendekatan konsistensi internal prosedurnya hanya memerlukan satu kali pengenaan sebuah tes kepada sekelompok individu sebagai subjek (single trial administration), oleh karena itu pendekatan ini mempunyai nilai praktis dan efisiensi yang tinggi (Azwar, 2000).

Teknik analisis yang digunakan untuk menghitung reliabilitas dari alat ukur dalam penelitian ini adalah tehnik koefisien alpha cronbach formula. Penghitungan selanjutnya diolah dengan menggunakan aplikasi komputer SPSS

versi 15.0 for windows.

G. METODE ANALISA DATA

Analisis yang digunalan pada penelitian ini adalah analisis statistik dengan bantuan software SPSS versi 15.0 for windows. Alasan yang mendasari dipakainya analisis statistik adalah karena statistik dapat menunjukkan kesimpulan penelitian. Selain itu alasan penggunaan statistik adalah karena statistik bekerja dengan angka, statistik bersifat objektif, dan universal (Hadi, 2000).

Metode analisis penelitian ini adalah metode korasional untuk melihat hubungan antara kedua variabel, yaitu metode korelasi Pearson Product Moment.


(52)

Sebelum dilakukan analisis data terlebih dahulu dilakukan uji asumsi penelitian, yaitu :

1. Uji normalitas

Uji normalitas sebaran variabel penelitian dilakukan untuk mengetahui apakah data dari variabel dalam penelitian ini sebarannya normal. Normalitas dapat diuji dengan menggunakan kolmogorov-smirnov test dengan bantuan SPSS versi 15.0

for windows. Menurut Hadi (2000), sebaran sampel dinyatakan normal apabila

p>0.05 dan sebaliknya sampel tidak terdistribusi dengan normal apabila p<0.05.

2. Uji linieritas

Uji linieritas dilakukan untuk mengetahui status linier tidaknya suatu distribusi data penelitian (Winarsunu, 2004). Uji linieritas dilakukan dengan menggunakan diagram pencar (scatter plot).


(53)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI DATA

Pada bab ini akan diuraikan hasil dan analisa hasil sesuia dengan data yang diperoleh. Pembahasan diawali dengan memberikan gambaran umum subjek penelitian, hasil utama penelitian, dan hasil tambahan penelitian.

A. GAMBARAN SUBJEK PENELITIAN

Berdasarkan data yang diperoleh dari 36 orang guru SD Chandra Kusuma didapatkan gambaran subjek penelitian menurut jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir, lama bekerja, dan kewarganegaraan.

1. Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin

Subjek dalam penelitian ini dibedakan jenis kelaminnya yaitu pria dan wanita dengan penyebaran sebagai berikut :

Tabel 3. Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin

Jenis kelamin Jumlah 

Pria 4 11.11

Wanita 32 88.89

Total 36 100

Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa dari keseluruhan subjek yang berjumlah 36 orang, persentase terbesar sebanyak 34 (88.89%) orang adalah wanita. Sedangkan sebanyak 4 (11.11%) orang adalah pria.

2. Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia


(54)

Tabel 4. Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia

Usia Jumlah 

20-24 tahun 14 38.89

25-29 tahun 14 38.89

30-34 tahun 6 16.67

35-39 tahun 2 5.56

Total 36 100

Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa dari keseluruhan subjek yang berjumlah 36 orang, persentase terbesar adalah subjek berusia 20-24 tahun dan 25-29 tahun, masing-masing sebanyak 14 (38.89%) orang. Kemudian disusul oleh subjek berusia 30-34 tahun sebanyak 6 (16.67%) orang, dan terakhir dengan jumlah terkecil adalah subjek berusia 35-39 tahun sebanyak 2 (5.59%) orang.

3. Gambaran subjek penelitian berdasarkan pendidikan terakhir

Subjek penelitian ini memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut :

Tabel 5. Gambaran subjek penelitian berdasarkan pendidikan terakhir

Pendidikan terakhir Jumlah %

SMA 7 19.44 Diploma 7 19.44

Strata 22 61.12

Total 36 100

Pada tabel 5 dapat dilihat bahwa dari keseluruhan subjek yang berjumlah 36 orang, persentase terbesar adalah subjek yang pendidikan terakhirnya strata, sebanyak 22 (61.12%) orang. Kemudian subjek yang pendidikan terakhirnya SMA dan diploma masing-masing sebanyak 7 (19.44%) orang.


(55)

4. Gambaran subjek penelitian berdasarkan lama bekerja

Subjek penelitian ini memiliki pengalaman atau lamanya masa bekerja yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut :

Tabel 6. Gambaran subjek penelitian berdasarkan lama bekerja

Lama bekerja Jumlah %

1 tahun 8 22.22

2 tahun 12 33.33

3 tahun 16 44.44

Total 36 100

Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa subjek penelitian yang keseluruhannya berjumlah 36 orang, persentase terbesarnya sebanyak 16 (44.44%) orang adalah subjek yang telah bekerja selama 3 tahun. Kemudian subjek yang telah bekerja selama 2 tahun sebanyak 12 (33.33%) orang dan subjek yang telah bekerja selama 1 tahun sebanyak 8 (22.22%) orang.

B. HASIL UTAMA PENELITIAN

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada hubungan

antara self-efficacy dengan komitmen guru sekolah bilingual. Metode analsis data

yang digunakan adalah Pearson Product Moment. Sebelum hasil utama penelitian

dapat dianalisa, terlebih dahulu harus dilakukan uji asumsi penelitian yang mencakup uji normalitas sebaran dan uji linearitas.

1. Uji asumsi a. Uji normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian masing-masing variabel telah menyebar secara normal. Untuk mengukur


(56)

normalitas digunakan One Sample Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji normalitas

dengan menggunakan One SampleKolmogorov-Smirnov adalah sebagai berikut :

Tabel 7. Uji normalitas dengan One Sample Kolmogorov-Smirnov

Skala Self-Efficacy Guru Skala Komitmen Guru

Kolmogorov-Smirnov (Z) 0.712 0.756

Signifikansi (p) 0.692 0.616

Penelitian ini menggunakan taraf kepercayaan (α) 0.05. Apabila nilai p>α

maka masing-masing data penelitian telah terdistribusi dengan normal. Sedangkan

jika p<α maka masing-masing data penelitian tidak terdistribusi dengan normal.

Berdasarkan data pada tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai p pada Skala

Self-Efficacy Guru dan Skala Komitmen Guru masing-masing adalah 0.712 dan

0.756, yang artinya p>α, maka dapat disimpulkan bahwa data penelitian telah

terdistribusi dengan normal.

b. Uji linearitas

Uji linearitas digunakan untuk mengetahui apakah hubungan antara kedua variabel segaris atau searah. Untuk mengukur linearitas digunakan diagram pencar (scatter plot). Berikut ini adalah digram pencar dari hubungan self-efficacy guru dengan komitmen guru :


(57)

Diagram 1. Hubungan self-efficacy guru dengan komitmen guru

Observed Cum Prob

1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0

Expect

e

d

Cum Prob

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0

Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual

Dependent Variable: KG

Berdasarkan diagram 1 dapat dilihat bahwa persebaran aitem berada disekitar

garis. Hal ini menunjukkan hubungan yang linear antara self-efficacy guru dengan

komitmen guru.

2. Uji analisa data

a. Hubungan self-efficacy dengan komitmen guru

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada hubungan antara

self-efficacy yang dimiliki seorang guru dengan komitmennya sebagai guru.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi pearson product

moment dengan bantuan SPSS 15.0 for windows.

Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh p sebesar 0.000, sehingaa p<0.025 dan koefisien korelasi (R) sebesar 0.602, Hal ini menunjukkan adanya


(1)

62   

positif artinya peningkatan self-efficacy guru akan diikuti dengan peningkatan komitmen guru pula.

Pada penelitian ini subjek penelitian diberikan Skala Self-Efficacy Guru dan Skala Komitmen Guru. Kedua skala disajikan dalam bahasa Inggris. Hal ini dilakukana karena peneliti berasumsi bahwa di sekolah bilingual akan ada banyak guru asing yang tidak akan mengerti bahasa Indonesia. Dan jika ada pun guru pribumi (Indonesia) guru tersebut pasti memiliki kemampuan berkomunikasi dengan bahasa Inggris yang baik. Tetapi ternyata kenyataan di lapangan tidak demikian. Di SD Chandra Kusuma tidak banyak guru asing yang mengajar, kalaupun ada guru-guru tersebut tidak menjadi guru utama. Sehingga bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi masih didominasi oleh bahasa Indonesia. Hal ini menjadikan penggunaan skala dalam bahasa Inggris menjadi kurang tepat. Hal ini terlihat dari sikap guru-guru yang mengeluh ketika melihat skala yang diberikan dalam bahasa Inggris. Ada beberapa guru yang menanyakan arti dari kalimat yang dimaksud pada skala, dan ada pula guru yang menggunakan kamus untuk bisa mengartikan kalimat-kalimat di dalam skala.

Kekurangan lainnya dalam penelitian ini adalah jumlah subjek penelitian yang sangat kecil. Pada penelitian ini hanya melibatkan guru-guru dari satu sekolah, dan itupun hanya pada tingkat SD. Hal ini membuat penelitian tidak bisa melihat banyak fenomena yang terjadi pada banyak sekolah bilingual di kota Medan.

Waktu pelaksanaan penelitian juga harus diperhatikan. Pada penelitian ini waktu penelitian yang berdekatan dengan waktu ujian, bagi raport, dan libur sekolah menyebabkan adanya perubahan pada metode penelitian. Pada awal


(2)

63   

penelitian kedua skala yang masing-masing berjumlah 60 pernyataan telah diuji coba dengan melibatkan guru-guru di TK dan SD Chandra Kusuma. Setelah diuji coba terjadi penyusutan pada kedua skala karena adanya pengurangan pernyataan-pernyataan dalam skala yang memiliki reliabilitas di bawah 0.3.

Skala yang telah mengalami penyusutan tersebut rencananya akan disebar pada guru-guru SD di Singapore Piaget Academy, tetapi karena kurangnya koordinasi dan factor situasional, sehingga skala tersebut tidak bisa tersebar. Sehingga kemudian terjadi perubahan rancangan penelitian dan akhirnya data yang digunakan adalah data awal yang diambil di SD Chandra Kusuma, tetapi hanya melibatkan data yang berasal dari guru-guru SD. Dan pengambilan data dilanjutkan dengan memberikan skala awal yang berisi masing-masing 60 pernyataan kepada guru SD yang belum pernah mengisi skala tersebut.

C. SARAN

1. Untuk pengembangan penelitian

Berdasarkan hasil penelitian ini, bagi pihak-pihak yang berminat dengan penelitian sejenis atau untuk mengembangkan penelitian lebih jauh, hendaknya memperhatikan hal-hal berikut ini

a. Bagi penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan subjek penelitian dalam jumlah yang lebih besar, tidak hanya pada satu sekolah, tetapi bisa melakukan penelitian di beberapa sekolah bilingual laninnya di kota Medan. b. Disarankan agar penelitian direncanakan dengan matang, sehingga bisa

memprediksi hal-hal teknis yang mungkin terjadi pada saat pengambilan data.


(3)

64   

c. Disarankan peneliti memiliki koneksi yang cukup baik dengan pihak sekolah agar proses penelitian bisa berjalan dengan baik. Hubungan yang baik anatara peneliti dan pihak sekolah memungkinkan juga peneliti mendapatkan informasi lain yang mungkin dibuthkan dalam penelitian dan pelaksanaannya. d. Untuk penelitian selanjutnya dianjurkan untuk melakukan survey terhadap

subjek penelitian dan sekolah yang akan dituju, agar alat penelitian bisa disesuiakan dengan keadaan subjek penelitian dan sekolah tersebut.

2. Untuk sekolah

Penelitian ini dapat menjadi bahan perhatian bagi pihak sekolah bahwa

self-efficacy guru berhubungan dengan komitmen guru. Sehingga pihak sekolah bisa

berusaha melakukan peningkatan komitmen guru dengan cara meningkatkan

self-efficacy para gurunya. Komitmen guru adalah hal yang penting untuk diperhatikan

karena komitmen seorang guru menentukan apakah seorang guru akan tetap menjalani profesinya atau tidak. Sehingga alangkah baiknya jika hal-hal yang berhubungan dengan komitmen guru bisa diperhatikan oleh pihak sekolah, sehingga komitmen guru semakin hari akan semakin tinggi. Komitmen guru yang tinggi pada profesinya pastinya akan berdampak pada kualitas guru dalam mengajar. Sehingga peningkatan komitmen guru diharapkan bisa diikuti dengan peningkatan prestasi siswa.


(4)

65

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (2000). Metodologi Research. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. Azwar, S. (2003). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Offset.

Bandura, A. (1997). Self Efficacy : The Exercise of Control. New York : W.H. Freeman and Company.

Chang, J. Y., & Choi, J. N. (2007). The Dynamic Relation Between Organizational and Professional Commitment of Highly Educated Research and Development R&D) Professionals. The Journal of Social

Psychology, 2007, 147(3), 299-315.

Crosswell, Leane, & Elliot, Bob. (2007). Diambil dari http://72.14.235.104/search?q=cache:gMIFtKwPOC0J:www.aare.edu.au/0 4pap/cro04237.pdf+&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id pada tanggal 5 Desember 2007, pukul 16:49 WIB.

Dikdasdki. (2005). Undang-Undang Guru dan Dosen. Diambil dari http://66.218.69.11/search/cache?ei=UTF8&p=undang+undang+guru+dos

en&y=Search&rd=adv&meta=fl%3D0%26vc%3Did&fr=yfp-t-471s&fp_ip=ID&u=www.dikdasdki.go.id/download/kebijakan/uu%2520n o%252014%2520_2005_guru_dosen.pdf&w=undang+undang+guru+dose n&d=B217JfL9PqFy&icp=1&.intl=us. pada tanggal 12 November 2007, pukul 22:29 WIB.

Elliot, S. N., Kratochwill, T. R., Cook, J.L., & Travers, J. F. (2000) . Educational

Psychology Effective Teaching Effective Learning 3rd Edition. USA :

McGraw-Hill.

Hadi, S. (2000). Metodologi Research. Yogyakarta : Penerbit Andi.

Henson, Robin K. (2001). Teacher Self-Efficacy : Substantive Implications and

Measurement Dilemmas. Diambil dari

http://72.14.235.104/search?q=cache:sHRGT71BGuYJ:www.des.emory.ed u/mfp/EREkeynote.PDF+louis,+1998,+coladarci,+1992&hl=id&ct=clnk&c d=6&gl=id pada tanggal 26 September 2007, pukul 21:04 WIB.

Jewell, Linda N. (1998). Contemporary Industrial/Organization Psychology 3rd

Edition. USA : Brooks/Cole.


(5)

66

Joffres, Christine & Haughey, Margaret. (2001). Elementary Teachers’

Commitment Declines : Antecedents, Processes, and Outcomes. Diambil

dari

http://72.14.235.104/search?q=cache:Kj6sLHWgFawJ:www.nova.edu/ssss /QR/QR6-1/joffres.html+&hl=id&ct=clnk&cd=12&gl=id pada tanggal 5 Desember 2007, pukul 16:57 WIB.

Knobloch, Neil A., & Whittington, M.S. (2003). Differences in Teacher Efficacy Related to Career Commitment of Novice Agriculture Teachers. Journal

of Career and Technical Education Vol.20. No.1.

Netto, Gene. (2007). Sekolah Bilingual Ibarat Pisau Bermata Dua. Diambil dari http://genenetto.blogspot.com/2007/09/sekolah-bilingual-dwibahasa-ibarat.html Pada tanggal 20 Desember 2007, pukul 15:18 WIB.

Pintrich, Paul R. (2002). Motivation in Education Theory, Research, and

Application 2nd Edition. New Jersey : Merill Prentice Hall.

Pugach, M. C. (2006). Because Teaching Matters. USA : Willey/Jossey-Bass Education.

Rahman, N. M. A., & Hanafiah, M. H. (2002). Commitment to Organization versus Commitment to Profession : Conflict or Compatibility? Jurnal

Pengurusan 21 (2002) 77-94.

Republika. (2007). Moving Class di Sekolah berstandar Global. Diambil dari http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=279735&kat_id=151 pada tanggal 27 Oktober 2007, pukul 21:40 WIB.

Santrock, John W. (2004). Educational Psychology 2nd Edition. New York :

McGraw-Hill.

Solomon, C. B. (2007). The Relationships among Middle Level Leadership, Teacher Commitment, Teacher Collective Efficacy, and Student Achievement. Diambil dari

http://edt.missouri.edu/Winter2007/Dissertation/SolomonC-050407-D6620/research.pdf pada tanggal 26 Desember 2007, pukul 15:15 WIB. Soltero, Sonia W. (2004). Dual Language Teaching and Learning in Two

Languages. USA : Pearson.

Schultz, Duane. P., Schultz, Sydney Ellen. (1990). Psychology And Industry

Today (An Introduction To Industrial And Organizational Psychology 5th Edition). New York : Macmillan Publishing Company


(6)

67

Schultz, D., & Schultz, S.E. (1994). Theories of Personality 5th Edition. California

: Brooks/Cole.

Teacher Commitment and Engagement the Dimensions of Ideology and Practice Associated with Teacher Commitment and Engagement within an Australian.

(2007). Diambil dari http://www.aare.edu.au/02pap/cro02522.htm pada tanggal 1 Desember 2007, pukul 23:20 WIB.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed.

3. Jakarta : Balai Pustaka.

Tschannen-Moran, M., & Woolfolk Hoy, A. (2002). The Influence of Resources

and Support on Teacher’ Efficacy Belief. Diambil dari

http://www.coe.ohio-state.edu/ahoy/AERA%202002%20megan.pdf. pada tanggal 26 September 2007, pukul 20:37 WIB.

Woolfolk Hoy, A. (2004). Educational Psychology 9th Edition. USA : Pearson.

Wibowo, M. E. (2002). Peran Guru dalam Pasar Bebas. Diambil dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0211/25/kha2.htm pada tanggal 27 Desember 2007, pukul 00:06 WIB.

Wikipedia. 2005. Bilingual Education. Diambil dari

http://en.wikipedia.org/wiki/Bilingual_education pada tanggal 19 Oktober 2007, pukul 22:07 WIB.

Winarsunu, Tulus. (2004). Statistik Dalam Peneltian Psikologi dan Pendidikan. Malang : UMM Press.