Gambaran Self-Efficacy Konselor Sekolah Di Kota Medan

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

SONDANG PETRONICA SIPAYUNG

061301062

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2010/2011


(2)

Konselor sekolah adalah pelaksana pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah yang sebelumnya menggunakan istilah petugas BP, guru BP/BK dan guru pembimbing. Konselor sekolah memiliki tugas membantu peserta didik dalam pengembangan kehidupan pribadi, pengembangan kehidupan sosial, pengembangan kemampuan belajar dan pengembangan karir. Namun pada kenyataannya, khususnya di kota Medan banyak konselor sekolah yang tidak melaksanakan tugas ini. Agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan baik, seseorang konselor sekolah memerlukan keyakinan akan kemampuan yang dimilikinya atau yang disebut self-efficacy.

Penelitian ini merupakan penelitian dekriptif yang bertujuan untuk melihat bagaimanakah gambaran self-efficacy konselor sekolah di kota Medan. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 69 orang. Subjek diperoleh dengan teknik non probability secara quota sampling. Alat ukur yang digunakan berupa skala self-efficacy yang dikemukakan oleh Bandura (1997). Uji daya beda item dilakukan dengan menggunakan koefisien kolerasi Pearson Product Moment dan untuk mengetahui reabilitas alat ukur menggunakan teknik koefisien Alpha dari Conbrach. Berdasarkan hasil estimasi daya beda aitem dan reabilitas terhadap daya uji coba maka diperoleh koefisien alpha keseluruhan aitem 0,937.

Data yang diolah yaitu dalam penelitian ini yaitu skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa self-efficacy konselor sekolah di kota Medan yang tergolongkan rendah sebanyak 12 (17, 39 %) orang, self-efficacy konselor sekolah yang tergolong sedang 47 (68,12%) orang dan self-efficacy konselor sekolah yang tergolong tinggi sebanyak 10 (14,49%) orang. Maka beedasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas self-efficacy konselor sekolah di kota Medan berada pada katerori sedang.


(3)

sumber kebenaran dan ilmu pengetahuan yang senantiasa mengaruniakan kekuatan, kemampuan, kesehatan, kasih, dan hikmat serta senatiasa memelihara hidup penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu. Sedikit dari kebenaran dan ilmu pengetahuan yang Tuhan percayakan kepadaku, terimalah ini sebagai persembahanku pada-Mu sebagai pancaran kasih dan karya-Mu di dalam hidupku.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sangat mendalam kepada orang-orang yang Tuhan percayakan untuk mengisi hidupku. Terkhusus kepada kedua orang tuaku tercinta (bapak Wasinton Sipayung dan ibu Nurmiani Sidauruk) yang selama ini telah memberikan kasih sayang yang begitu luar biasa dalam hidupku dan atas segala dukungan, doa dan materi yang diberikan yang mungkin tak akan pernah bisa ku balas. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan, bimbingan, serta saran selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak dr. Chairul Yoel, Sp. A (K) selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Kak Fasti Rola, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing saya. Terima kasih untuk semua hal yang telah kakak berikan selama membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih untuk saran, komentar,


(4)

dan putus asa yang saya rasakan selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih kak atas semua yang telah kakak berikan pada saya.

3. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M. Si selaku dosen pembimbing akademik saya, terima kasih atas dukungan, bimbingan dan waktu yang ibu berikan kepada saya selama mengikuti perkuliahan.

4. Seluruh dosen-dosen yang ada di departemen pendidikan, ibu Desvi Yanti, M. Si, Psikolog, ibu Filia Dina Anggaraeni, M. Pd, ibu Rr. Lita Hadiati W, S. Psi, Psikolog, Ibu Sri Supriyantini, S. Psi, Psikolog, bapak Tarmidi, M. Psi, Psikolog, dan kak Dian Ulfa Sari, M. Psi, Psikolog. Terima kasih atas dukungan, waktu, masukan serta bimbingan yang diberikan kepada saya dalam menyelesaikan proposal ini.

5. Buat kakak saya yang tercinta Henry Sipayung dan Risbet Sipayung, adik saya tercinta David Putra Tumbor Sipayung dan Eni Dora Sipayung. Terima kasih atas segala dukungan, perhatian dan doa-doa yang kalian panjatkan.

6. Teman-temaku yang tercinta yang tergabung di Miracle Ninth: Herty Siahaan, Risky Aditya, Corry Sagala, Rina Guletta, Priska Silitonga, Yosepin PRS , Gokma Nafita, Corry JS. Terima kasih buat dukungan, diskusi, kebersamaan, canda, tawa dan tangis yang kita lakukan bersama


(5)

penelitian, Rina Gulleta, Corry JS, Yayik Novitriami, terima kasih buat kesediaan kalian karena sudah mau menemaniku untuk mencari subjek penelitian, maaf karena sudah membuat kalian capek, kena panas dan menghitam. Derwin Tambunan, Terima kasih banyak karena sudah mau bercapek-capek mencari sampel untukku di sela-sela kesibukanmu yang tak jelas, Yosephin Sihombing, terima kasih juga atas motivasi dan dukungan darimu dan terima kasih juga karena sudah mau mendengar ocehan dan curhatanku, ibu Mutia Nauly, M. Si , terima kasih karena ibu sudah membantu saya mencari subjek penelitian bantuan ibu sangat berarti, ibu Rr. Lita Hadiati W, S. Psi, Psikolog, terima kasih karena ibu sudah membantu saya mencari subjek dan terima kasih juga karena ibu sudah mau mendengar curhat saya, dan yang terakhir buat K’Ganda, diakhir perjuangan saya mencari sampel yang hampir putus asa saya menemukan kakak, terima kasih ya kak karena sudah mau membantu saya dan terima kasih juga buat waktu, masukan dan diskusi yang kakak berikan. Tekhir buat orang-orang yang berjasa secara tidak langsung dalam penelelitian ini, saya ucapkan juga terima kasih banyak.

8. Untuk orang-orang yang membantu peneliti dalam mengumpulkan data try out penelitian. Priska Silitinga, Rina G, K’Lisvina, K’Ika Corry, Mona


(6)

senang. Dia adalah Rizky Aditya (Dita)., tak bisa ku bayangkan apa yang akan terjadi jika kau tidak menemaniku setiap hari, bisa jadi penelitianku ini tidak selesai-selesai. Terima kasih atas semua yang kau berikan, terima kasih atas kesediaanmu yang tulus menemaniku menelusuri semua tempat yang ada di kota Medan walaupun capek, panas dan penolakan selalu datang tapi kau tetap selalu setia menemaniku. Terima kasih juga atas dukunganmu selama ini, ketika aku jatuh dan ingin mundur kau selalu ada mendukungku dan membangkitkan semangatku kembali untuk tetap berjuang, terima kasih atas semuanya aku sangat menyayangimu.

10.Seluruh teman-teman seperjuangan di Departemen Pendidikan Fakultas Psikologi USU. Terima kasih atas dukungan, diskusi dan bantuan yang kalian berikan selama pengerjaan skripsi ini.

11.Seluruh teman-teman yang ada di Fakultas Psikologi USU yang ikut membantu dalam pembuatan skripsi ini, maaf karena namanya tidak saya sebutkan satu per satu, terima kasih atas semua bantuan yang kalian berikan.

12.Seluruh teman-teman yang ada di Fakultas Psikologi USU yang membantu dan mendukung saya dalam menyelesaikan perkuliahan, terkhusus pada teman-teman stambuk 2006, maaf karena namanya tidak saya sebutkan satu per satu, terima kasih atas semua bantuan yang kalian


(7)

13.Buat pria yang saya cintai bang Sahala David Simorangkir yang selalu memberikan dukungan kepada saya. Terima kasih atas segala dukungan yang diberikan selama ini, walapun kita tidak bersama tapi dukungan darimu sangat berarti bagiku dan terima kasih juga atas segala masukan, kritikan dan doa-doa yang dipanjatkan.

14. Seluruh pihak-pihak sekolah yang membantu mengijinkan peneliti untuk melakukan pengambilan data. Dan juga tak lupa kepada seluruh konselor sekolah yang telah membantu mengisi skala penelitian, semoga note book

yang saya berikan dapat menjadi kenangan manis.

Sebagai manusia yang masih belajar, penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan oleh karena itu penulis mohon maaf bila terdapat kesalahan dalam skripsi ini. Penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi hasil yang lebih baik. Akhir kata penulis berharap somoga penelitian skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Medan, Agustus 2010


(8)

HALAMAN PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK

KATA PENGANTAR ……….i

DAFTAS ISI ………..vi

DAFTAR TABEL ………. .x

DAFTAR GRAFIK ………...xii

BAB I. PENDAHULUAN ………..1

A. Latar Belakang ………..…..1

B. Pertanyaan Penelitian ………..………...11

C. Tujuan Penelitian ……….……..11

D. Manfaat Penelitian ……….………12

1.Manfaat teoritis ……….……. ..12

2.Manfaat praktis ……….……. ..12

E. Sistematika Penulisan ...13

BAB II. LANDASAN TEORI ……….15

A. Self- Efficacy ……….15

1. Definisi self-efficacy ……….….. …15


(9)

6. Karakteristik individu yang memiliki self-efficacy tinggi dan

self-efficacy rendah ...25

B. Konselor Sekolah ………..26

1. Definisi konselor sekolah ….……….…..26

2. Tugas konselor sekolah ……..……….26

3 . Tanggung jawab konselor sekolah ……..………28

4. Jenis layanan konselor sekolah ………...………...…...31

C. Gambaran Self-Efficacy Konselor Sekolah di Kota Medan. ………32

BAB III. METODE PENELITIAN ……….37

A. Identifikasi Variabel Penelitian ……….38

B. Definisi Operasional ……….38

C. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel ………..40

1. Populasi dan sampel ……….…..40

2. Metode pengambilan sampel ……….…..41

3. Jumlah sampel ……….……….…..42

D. Alat Ukur yang Digunakan ………..42

E. Uji Coba Alat Ukur ………...45

1. Validitas alat ukur ...45


(10)

2.Tahapan pelaksanaan penelitian ...52

3.Tahapan pengolahan data penelitian ...52

H. Metode Analisa Data ………53

BAN IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ………..54

A. Analisa Data ……….54

1. Gambaran subjek penelitian ……….54

a. Gambaran subjek berdasarkan usia ………54

b. Gambaran subjek berdasarkan jenis kelamin ………..55

c. Gambaran subjek berdasarkan tingkat pendidikan ………….56

d. Gambaran subjek berdasarkan masa kerja………..………….57

e. Gambaran subjek berdasarkan latar belakang bidang pendidikan ………..58

f. Gambaran subjek berdasarkan status sekolah tempat bekerja ……….59

2. Hasil utama penelitian ………...60

a. Gambaran umum self-efficacy konselor sekolah ……….60

b. Gambaran dimensi-dimensi self-efficacy konselor sekolah ...62


(11)

kelamin subjek penelitian ………66

c. Gambaran self-efficacy konselor sekolah berdasarkan latar belakang tingkat pendidikan subjek penelitian ………..67

d. Gambaran self-efficacy konselor sekolah berdasarkan masa kerja subjek penelitian ………..69

e. Gambaran self-efficacy konselor sekolah berdasarkan latar belakang bidang pendidikan subjek penelitian ………..72

f. Gambaran self-efficacy konselor sekolah berdasarkan status sekolah tempat bekerja subjek penelitian ………...73

B. Pembahasan ………...76

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………..82

A. Kesimpulan ………..82

B. Saran ………..83

1. Saran motodologis ……….83

2. Saran praktis ………..84

DAFTAR PUSTAKA ………...85


(12)

Tabel 1. Blue print skala self-efficacy konselor sekolah sebelum uji coba …....44

Tabel 2. Kategorisasi norma nilai self-efficacy ...45

Tabel 3. Blue print skala self-efficacy konselor sekolah sebelum uji coba …....49

Tabel 4. Blue print skala self-efficay yang digunakan dalam penelitian ...50

Tabel 5. Penyebaran subjek berdasarkan usia ………..54

Tabel 6. Penyebaran subjek berdasarkan jenis kelamin ……….. 55

Tabel 7. Penyebaran subjek berdasarkan tingkat pendidikan ………. 56

Tabel 8. Penyebaran subjek berdasarkan masa kerja ……….. 57

Tabel 9. Penyebaran subjek berdasarkan latar belakang bidang pendidikan …...58

Tabel 10. Penyebaran subjek berdasarkan status sekolah tempat bekerja ………59

Tabel 11. Gambaran mean, skor minimum, skor maksimum, dan standar deviasi self-efficacy konselor sekolah (Empirik) ……… 60

Tabel 12. Kategorisasi Norma Nilai self-efficacy ……….61

Tabel 13. Penggolongan self-efficacy konselor sekolah berdasarkan skor skala self-efficacy……….61

Tabel 14. Gambaran mean, skor minimum, skor maksimum dan standar deviasi self-efficacy ……….63

Tabel 15. Kategorisasi Self-Efficacy Konselor Sekolah Berdasarkan Dimensi-Dimensinya ………. 63


(13)

……….66

Tabel 19. Gambaran dimensi-dimensi self-efficacy konselor sekolah berdasarkan

jenis kelamin ………...67

Tabel 20. Gambaran self-efficacy konselor sekolah berdasarkan latar belakang

tingkat pendidikan ………...68

Tabel 21. Gambaran dimensi-dimensi self-efficacy konselor sekolah berdasarkan

latar belakang tingkat pendidikan ……….. 69

Tabel 22. Gambaran self-efficacy konselor sekolah berdasarkan masa kerja ….70 Tabel 23. Gambaran self-efficacy konselor sekolah berdasarkan masa kerja ….71 Tabel 24. Gambaran self-efficacy konselor sekolah berdasarkan latar belakang

bidang pendidikan ………...72

Tabel 25. Gambaran dimensi-dimensi self-efficacy konselor sekolah berdasarkan

latar belakang bidang pendidikan ………73

Tabel 26. Gambaran self-efficacy konselor sekolah berdasarkan status sekolah

tempat bekerja ……….74

Tabel 27. Gambaran dimensi-dimensi self-efficacy konselor sekolah berdasarkan

status sekolah tempat bekerja ………..74

Tabel 28. Hasil analisa gambaran self-efficacy, gambaran dimensi-dimensi self-efficacy berdasarkan data kontrol ………..75


(14)

Penyebaran subjek berdasarkan usia ………..55

Grafik 2.

Penyebaran subjek berdasarkan jenis kelamin ………...56

Grafik 3.

Penyebaran subjek berdasarkan tingkat pendidikan ………..57

Grafik 4.

Penyebaran subjek berdasarkan masa kerja ………...58

Grafik 5.

Penyebaran subjek berdasarkan latar belakang bidang pendidikan ...59

Grafik 6.

Penyebaran subjek berdasarkan status sekolah tempat bekerja …….60

Grafik 7.

Penggolongan self-efficacy konselor sekolah berdasarkan skor skala self-efficacy………...62


(15)

Lampiran 2. Hasil pengolahan data Lampiran 3. Alat ukur penelitian


(16)

Konselor sekolah adalah pelaksana pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah yang sebelumnya menggunakan istilah petugas BP, guru BP/BK dan guru pembimbing. Konselor sekolah memiliki tugas membantu peserta didik dalam pengembangan kehidupan pribadi, pengembangan kehidupan sosial, pengembangan kemampuan belajar dan pengembangan karir. Namun pada kenyataannya, khususnya di kota Medan banyak konselor sekolah yang tidak melaksanakan tugas ini. Agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan baik, seseorang konselor sekolah memerlukan keyakinan akan kemampuan yang dimilikinya atau yang disebut self-efficacy.

Penelitian ini merupakan penelitian dekriptif yang bertujuan untuk melihat bagaimanakah gambaran self-efficacy konselor sekolah di kota Medan. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 69 orang. Subjek diperoleh dengan teknik non probability secara quota sampling. Alat ukur yang digunakan berupa skala self-efficacy yang dikemukakan oleh Bandura (1997). Uji daya beda item dilakukan dengan menggunakan koefisien kolerasi Pearson Product Moment dan untuk mengetahui reabilitas alat ukur menggunakan teknik koefisien Alpha dari Conbrach. Berdasarkan hasil estimasi daya beda aitem dan reabilitas terhadap daya uji coba maka diperoleh koefisien alpha keseluruhan aitem 0,937.

Data yang diolah yaitu dalam penelitian ini yaitu skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa self-efficacy konselor sekolah di kota Medan yang tergolongkan rendah sebanyak 12 (17, 39 %) orang, self-efficacy konselor sekolah yang tergolong sedang 47 (68,12%) orang dan self-efficacy konselor sekolah yang tergolong tinggi sebanyak 10 (14,49%) orang. Maka beedasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas self-efficacy konselor sekolah di kota Medan berada pada katerori sedang.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengemukakan bahwa: “Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Dalam sistem dan proses pendidikan, guru memegang peranan yang sangat penting. Salah satu peran penting tersebut adalah mewujudkan tujuan pembangunan nasional sehingga perlu dikembangkan tenaga profesi guru yang bermartabat dan profesional (Mulyasa, 2007).

Guru profesional tidak hanya dituntut untuk menguasai bidang ilmu, bahan ajar, metode pembelajaran, memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan, tetapi juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakikat manusia dan masyarakat (Mulyasa, 2007). Dari uraian tersebut dapat kita ketahui bahwa sebenarnya tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh seorang guru sangatlah besar (Djamarah, 2000). Agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab terhadap suatu hal dengan baik, seseorang memerlukan keyakinan akan kemampuan yang dimilikinya atau yang disebut self-efficacy (Bandura, 1997). Self-efficacy guru merupakan kepercayaan yang dimiliki oleh seorang guru terhadap kapasitasnya


(18)

untuk mempengaruhi peforma siswa dan juga dapat memberikan kinerja yang baik (Bandura, 1997).

Dalam mencapai kinerja dan proses pembelajaran yang baik di sekolah perlu diperkuat oleh tiga komponen guru yang memiliki fungsi berbeda, yakni guru mata pelajaran, guru praktek dan konselor sekolah (Laeis, 2009). Sejalan dengan pendapat Laeis, Prayitno (1991) juga menyatakan bahwa untuk mencapai kesuksesan sistem pendidikan di sekolah maka perlu dibutuhkan tiga bidang pemimpin di sekolah. Ketiga pemimpin tersebut adalah pimpinan sekolah yaitu kepala sekolah dan para staff pemimpin; pendidik meliputi guru-guru yang mengajar di kelas; bimbingan dan konseling yaitu konselor sekolah beserta staf yang berwewenang di bidang bimbingan dan konseling.

Berdasarkan pendapat dua tokoh di atas, terlihat bahwa keberadaan bidang bimbingan dan konseling di sekolah mendapatkan peranan yang sangat penting guna mencapai kesuksesan pendidikan. Sukma (2009) juga menyatakan bahwa peranan guru bimbingan konseling (BK) memiliki andil cukup besar terhadap laju pendidikan, sama pentingnya dengan guru-guru di bidang yang lain.

Melihat peran guru BK yang sangat penting maka sudah seharusnya unit Bimbingan dan konseling (BK) ada di setiap lembaga pendidikan. Guru BK yang lazim disebut sebagai guru BP bukanlah sebuah sistem yang berbeda dalam roda kependidikan yang digelar dan bukan lagi sebagai dua hal yang terpisah melainkan dua hal yang setara yang bersifat komplementer dan kolaboratif (Winkel & Hastuti, 2006).


(19)

Istilah konselor secara resmi digunakan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 dengan menyatakan “konselor adalah pendidik” (Himpunan UU RI No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional), selain itu dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2005 menyatakan bahwa “konselor sekolah adalah pelaksana pelayanan konseling di sekolah” yang sebelumnya menggunakan istilah petugas BP, guru BP/BK dan guru pembimbing (Dahlani, 2008). Konselor sekolah memiliki tugas membantu peserta didik dalam pengembangan kehidupan pribadi, pengembangan kehidupan sosial, pengembangan kemampuan belajar dan pengembangan karir (Laeis, 2009).

Menurut Hafid (dalam Anonimous, 2009) peran guru Bimbingan dan Konseling (BK) saat ini belum optimal. Hal ini terjadi disinyalir akibat masih ada pihak yang belum memahami arti penting konselor sekolah. Menurut Sukadji (2000) beberapa kepala sekolah menganggap tidak perlu ada petugas khusus untuk bimbingan. Selain itu masih banyak guru yang sebenarnya kurang memahami asas-asas bimbingan dan konseling di sekolah (Winkel, 1991).

Kurangnya pemahaman kepala sekolah dan guru akan arti pentingnya layanan bimbingan dan konseling di sekolah mengakibatkan tugas konselor semakin tidak jelas (Winkel, 1991). Wibowo (dalam Laeis, 2009) juga mengungkapkan bahwa dalam prakteknya banyak terjadi penyimpangan terhadap peran guru BK atau bisa juga disebut mal praktek, misalnya guru mata pelajaran yang menjadi guru BK atau sebaliknya justru guru BK yang mengajarkan pelajaran. Pengangkatan guru BK di sekolah-sekolah juga sering tidak diambil dari lulusan program studi bimbingan dan konseling di perguruan tinggi, namun


(20)

justru diambil dari disiplin ilmu lain. Selain itu posisi guru BK identik pada sosok guru senior, berpengalaman, atau minimal pernah menjadi kepala sekolah (Harian pendidikan, 2009). Hal ini juga dapat kita lihat dari hasil wawancara yang dilakukan pada ibu EP, salah satu guru BK di SMA swasta Medan:

“…saya sih bukan tamatan dari jurusan Bimbingan dan Konseling, saya memang tamatan dari IKIP tapi jurusan Bahasa Indonesia soalnya pas penerimaan guru BP di sekolah ini dulu gak harus dari jurusan Bimbingan dan Konseling jadi saya daftar saja, sebelumya juga saya pernah mengajar bahasa indonesia di sekolah ini …”

(Komunikasi personal, 8 Januari 2010)

Menurut Hafid (dalam Anonimous, 2009), latar belakang pendidikan yang

tidak sesuai mengakibatkan banyak peran konselor sekolah yang disalahfungsikan untuk menghukum anak semata. Pernyataan ini juga diperkuat oleh hasil wawancara yang dilakukan dengan Lia (bukan nama sebenarnya) seorang siswa di salah satu sekolah swasta Medan, mengenai peran guru BK di sekolahnya:

“…klo di sekolah kak biasanya guru BP kami hanya mengurusi keterlambatan siswa, klo ada siswa yang terlambat biasanya kena hukum sama guru BP trus klo ada yang gak menaati aturan gitu kak kena hukum juga sama kepala sekolah, misalnya bajunya keluar-keluar ato rok diatas lutut..gitu kak…”

(Komunikasi personal, 8 Januari 2010)

Menurut Wibowo (Laeis, 2009) pelaksanaan fungsi yang kurang tepat tersebut akan mempengaruhi jalannya proses pendidikan, sebab tugas dan fungsi tidak dilakukan oleh mereka yang memiliki kompetensi dan wewenang terhadap bidang tersebut. Pengangkatan konselor sekolah dari program studi BK diharapkan dapat mengoptimalkan fungsi konselor sekolah, karena mereka telah memahami secara tepat ruang lingkup dari bimbingan dan konseling tersebut


(21)

(Laeis, 2009). Hal ini juga didukung oleh wawancara yang dilakukan dengan ibu AG, salah satu Konselor Sekolah di SMA swasta Medan:

“….saya tamatan dari BK jadi saya tahu benar pelaksanaan BK itu, dan sekolah ini juga sangat mendukung kinerja saya sebagai konselor di sekolah ini dan kami juga telah menerapkan bimbingan pola 17….menurut saya guru BP sangat penting ada di sekolah dan tidak perlu ditakuti oleh siswa dan sudah selayaknya guru BK itu jadi sahabat siswa, dan saya ingin mengubah stigma yang mengatakan bahwa guru BP adalah polisi sekolah… selain itu siswa-siswa disini juga senang kepada saya, bahkan mereka terkadang ngantri di depan ruang BK hanya untuk curhat…” (Komunikasi personal, 1 Februari 2010)

Berbeda dengan hasil wawancara di atas, walaupun konselor telah diangkat dari program studi BK ternyata masih ada kegiatan BK yang dijalankan belum sesuai dengan semestinya. Hal ini diperkuat dengan wawancara yang dilakukan dengan bapak LM, salah satu Konselor Sekolah di SMA swasta Medan:

“…tugas saya disini hanya mengontrol perilaku siswa yang bermasalah…kalau untuk membimbing masalah akademik atau masalah keluarga anak-anak mungkin lebih terbuka pada wali kelasnya, belum pernah ada siswa yang mau curhat pada saya, kecuali karena saya panggil…saya memang tamatan dari jurusan bimbingan dan konseling…seharusnya tugas saya lebih dari itu tapi sejauh ini itulah yang terjadi, ya saya jalani ajalah..lagian pihak sekolah juga menugaskan saya hanya untuk melaksanakan hal tersebut... ”

(Komunikasi personal, 30 Januari 2010)

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti pada tangga 4 Februari 2010, ternyata beberapa sekolah di kota Medan juga tidak memiliki konselor sekolah, pihak sekolah menganggap bahwa konselor sekolah tidak terlalu dibutuhkan. Hal ini diperkuat oleh hasil wawancara dengan ibu ES salah seorang guru di sekolah swasta Medan:


(22)

“...disekolah ini tidak ada konselor atau guru BK...karena menurut kami guru BK itu tidak terlalu penting, kami masih bisa kok mengatasi masalah-masalah siswa, jd saya rasa juga memang tidak perlu...dan menurut saya kepala sekolah juga sangat cukup memperhatikan siswa, jadi gak perlu ada guru khusus untuk menangani siswa.. ”

(komunikasi personal, 4 Februari 2010)

Berdasarkan uraian data di atas dapat kita ketahui bahwa sebenarnya fungsi konselor sekolah di kota Medan belum optimal dimana hal ini dikarenakan dalam melaksanakan tugasnya konselor sekolah masih banyak mengalami rintangan. Untuk menghadapi rintangan tersebut maka seorang konselor sekolah diharapkan hendaknya memiliki self-efficacy (Maldonado, 2008), dimana jika seseorang memiliki self-efficacy yang tinggi maka seseorang akan menghadapi rintangan tersebut sebagai tantangan bukan sebagai ancaman (Bandura, 1997).

Dalam menghadapi rintangan, konselor sekolah harus memiliki keyakinan akan kemapuan dan keterampilan yang dia miliki untuk menghadapi segala situasi yang ada terutama ketika berhadapan dengan klien (siswa), keyakinan seperti inilah yang sering disebut self-efficacy oleh Bandura (dalam Maldonado, 2008). Ketika seorang konselor memiliki self-efficacy maka konselor akan mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik terutama ketika berhadapan dengan klien (Maldonado, 2008)

Dalam penelitiannya Runner dan Hokanson (2006) menemukan bahwa self-efficacy guru dipengaruhi oleh sistem sekolah dimana individu bekerja. Self-efficacy guru akan meningkat apabila lingkungannya memberikan dukungan positif. Selain itu menurut Wolfoolk (dalam Shaughnessy, 2004) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan kepala sekolah dan kualitas fasilitas yang diberikan


(23)

juga mempengaruhi Self-efficacy guru. Hal ini juga berlaku pada konselor sekolah, dimana Kaczmarek, dkk (dalam Henson, 2001) menemukan bahwa self-efficacy konselor juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana dia melakukan aktivitas. Selain itu dalam penelitiannya Maldonado (2008) juga menemukan bahwa respek dari orang tua dan murid juga memainkan peranan yang sangat penting dalam pembentukan self-efficacy konselor sekolah terutama ketika berhadapan dengan situasi pekerjaan yang sulit.

Menurut Ratna (2008) dalam kehidupan manusia, memiliki self-efficacy merupakan hal yang sangat penting dan self-efficacy dapat mendorong seseorang untuk memahami secara mendalam atas situasi yang dapat menerangkan tentang mengapa seseorang mengalami kegagalan dan keberhasilan. Pintrich, dkk (dalam Henson, 2001) menemukan bahwa dengan adanya self-efficacy maka motivasi seseorang dalam melaksanakan suatu tugas dapat meningkat. Selain itu self-efficacy juga merupakan cara pandang seseorang terhadap kualitas dirinya sendiri, baik atau buruk, dan self-efficacy tersebut dapat dibangun sesuai karakteristik seseorang dan bersifat khusus (Ratna , 2008).

Bandura (dalam Zulkaida, dkk., 2007) menjelaskan bahwa self-efficacy adalah keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk mengorganisasikan dan melakukan tindakan-tindakan yang perlu dalam mencapai tingkat kinerja tertentu. Myers (1996) mengatakan bahwa self-efficacy berkaitan dengan bagaimana seseorang merasa mampu untuk melakukan suatu hal. Sementara Schunk (dalam Komandyahrini & Hawadi, 2008) mengatakan bahwa self-efficacy sangat penting


(24)

perannya dalam mempengaruhi usaha yang dilakukan, seberapa kuat usahanya dan memprediksi keberhasilan yang akan dicapai.

Self-efficacy konselor sekolah merupakan kepercayaan yang dimiliki oleh seorang konselor terhadap kapasitasnya untuk mempengaruhi performa siswa (Maldonado, 2008). Larson dan Daniel (dalam Maldonado, 2008) juga menyatakan bahwa self-efficacy konselor dapat didefinisikan sebagai suatu kepercayaan tentang kemampuan dan keterampilan mereka untuk menghadapi klien secara efektif. Bandura (1997) menyatakan bahwa self-efficacy dapat menjembatani antara pengetahuan yang dimiliki dengan perilaku-perilaku tertentu.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa Self-efficacy yang dimiliki oleh konselor sekolah dapat mempengaruhi banyak hal. Dengan tingginya Self-efficacy yang dimiliki, seorang konselor sekolah dapat menampilkan kinerja yang baik, ia akan bertahan dalam membimbing terutama dalam menghadapi siswa yang bermasalah di sekolah (Bandura, 1997). Selain itu Self-efficacy yang dimiliki oleh konselor juga dapat mempengaruhi motivasi (Eggen & Kauchak, 2004) dan prestasi siswa dalam belajar (Ashton & Webb, 1986). Oleh karena itu, self-efficacy yang dimiliki oleh konselor sekolah sangatlah penting.

Bandura (1997) menyebutkan ada tiga dimensi self-efficacy, yaitu level, generality, and strength. Level berhungan dengan level kesulitan tugas yang diterima oleh seseorang untuk diselesaikan, individu yang memiliki level yang rendah hanya mampu mengerjakan tugas-tugas yang sederhana dan akan cenderung menghindari tugas yang memiliki kesulitan menengah dan tinggi (Hall,


(25)

2009). Generality berhubungan dengan sejauh mana individu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas dan bagaimana individu menginterpretasikan dirinya gagal atau sukses, individu yang memiliki generality yang rendah adalah individu yang sukses pada tugas-tugas yang sama yang biasa dilakukan dan akan cenderung gagal pada tugas-tugas yang lebih bervariasi. Strength berhubungan dengan kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki, individu yang memiliki Strength yang rendah akan cenderung cepat mengalah dalam menghadapi kesulitan dan tantangan (Hall, 2009).

Berdasarkan tiga dimensi yang diungkapkan oleh Bandura, maka perlu diketahui hal-hal yang mampu mempengaruhi tinggi rendahnya Self-efficacy khususnya self-efficacy konselor sekolah karena melihat betapa pentingnya self-efficacy pada konselor sekolah. Bandura (1994) menyatakan bahwa tingkat self-efficacy seseorang dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu tingkat pendidikan individu, jenis kelamin, usia, serta pengalaman yang dimiliki oleh individu tersebut. Dalam penelitiannnya Runner dan Hokanson (2006) menemukan lima faktor yang mempengaruhi Self-efficacy konselor yaitu umur, pendidikan, lama pengalaman kerja, total latihan untuk menyelesaikan pekerjaan dan gender.

Menurut Bandura (dalam Hall, 2009) faktor-faktor yang mempengaruhi self efficacy tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana individu tersebut berada. Self-efficacy konselor sekolah akan dipengaruhi oleh lingkungan sekolah dimana dia bekerja, misalnya sistem pendidikan, pekerjaan yang dihadapi, dan


(26)

bagaimana hubungannya dengan orang-orang yang terkait didalam sekolah tersebut.

Bardley dan Fiorini (dalam Maldonado, 2008) menemukan bahwa kemampuan konselor dalam mengidentifikasi kemampuan mereka dalam memberikan konseling sangat dipengaruhi oleh tempat dimana mereka melakukan aktivitas. Selain itu menurut Runner dan Hokanson (2006) ras merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi Self-efficacy. Self-efficacy seseorang akan cenderung meningkat ketika lingkungan juga memberikan dukungan terhadap tugas yang dia lakukan dan ketika individu memiliki self-efficacy yang tinggi maka dia akan bisa menghadapi tantangan dengan lebih baik (Bandura, 1997).

Berdasarkan dimensi-dimensi Self-efficacy maka Bandura (1997) menggambarkan karakteristik individu yang memiliki Self-efficacy yang tinggi adalah ketika individu tersebut merasa yakin bahwa mereka mampu menangani sesecara efektif peristiwa dan situasi yang mereka hadapi, tekun dalam menyelesaikan tugas-tugas, percaya pada kemampuan diri yang mereka miliki, memandang kesulitan sebagai tantangan bukan ancaman dan suka mencari situasi baru, menetapkan sendiri tujuan yang menantang dan meningkatkan komitmen yang kuat terhadap dirinya, menanamkan usaha yang kuat dalam apa yang dilakuakanya dan meningkatkan usaha saat menghadapi kegagalan, berfokus pada tugas dan memikirkan strategi dalam menghadapi kesulitan, cepat memulihkan rasa mampu setelah mengalami kegagalan, dan menghadapi stressor atau ancaman dengan keyakinan bahwa mereka mampu mengontrolnya (Bandura, 1997).


(27)

Karakteristik individu yang memiliki Self-efficacy yang rendah adalah individu yang merasa tidak berdaya, cepat sedih, apatis, cemas, menjauhkan diri dari tugas-tugas yang sulit, cepat menyerah saat menghadapi rintangan, aspirasi yang rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan yang ingin di capai, dalam situasi sulit cenderung akan memikirkan kekurangan mereka, beratnya tugas tersebut, dan konsekuensi dari kegagalanya, serta lambat untuk memulihkan kembali perasaan mampu setelah mengalami kegagalan (Bandura, 1997)

Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melihat gambaran self-efficacy konselor sekolah di kota Medan, selain itu berdasarkan fenomena yang terjadi di kota Medan peneliti juga melihat bahwa sangat perlu dilakukan penelitian tentang gambaran self-efficacy konselor sekolah di kota Medan.

B. Pertanyaan Penelitian

Masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian yaitu: 1. Bagaimanakah gambaran umum self-efficacy konselor sekolah di Kota

Medan?

2. Bagaimanakah gambaran self-efficacy konselor sekolah di Kota Medan ditinjau dari dimensi-dimensinya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran self-efficacy konselor sekolah di kota Medan.


(28)

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis

1. Manfaat teoritis

a. Dapat memberi sumbangan informasi dan pemikiran untuk mengembangkan ilmu pikologi pendidikan khususnya bagi psikologi sekolah, yang berkaitan dengan bimbingan dan konseling.

b. Dapat memberikan sumbangan informasi dan pemikiran untuk mengembangkan sistem pendidikan indonesia khususnya berkaitan dengan bimbingan dan konseling di sekolah.

2. Manfaat praktis

a. Kepada para konselor sekolah, hasil penelitian ini dapat memberikan suatu gambaran kepada para konselor sekolah tentang bagaimana gambaran keyakinan akan kemampuan yang mereka miliki dalam menghadapi tantangan-tantangan dalam pekerjaan mereka sebagai konselor sekolah, sehingga nantinya mereka dapat mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menghadapi tantangan tersebut.

b. Kepada pihak sekolah, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan suatu gambaran tentang kemampuan konselor sekolah dalam melaksanakan tugas-tugasnya dan dengan demikian pihak sekolah dapat membuat perencanaan yang tepat terhadap tantangan yang dihadapi oleh unit bimbingan dan konseling di sekolah.


(29)

c. Kepada pihak dinas pendidikan, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang kemampuan konseslor sekolah dalam melaksanakan tugasnya, sehingga pemerintah dapat melakukan intervensi yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh konselor sekolah.

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dinyatakan adalah teori-teori yang berhubungan dengan self-efficacy dan konselor sekolah.

Bab III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional variabel penelitian, subjek penelitian, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji coba alat ukur dan reliabilitas, prosedur pelaksanaan, serta metode analisis data.


(30)

Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian, dan juga membahas data-data penelitian ditinjau dari teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, diskusi hasil penelitian, serta saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan penelitian atau untuk penelitian selanjutnya.


(31)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Self- Efficacy 1. Definisi self-efficacy

Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, dan berusaha untuk menilai tingkatan dan kekuatan di seluruh kegiatan dan konteks. Myers (1996) juga mengatakan bahwa self-efficacy adalah bagaimana seseorang merasa mampu untuk melakukan suatu hal.

Selain itu Schunk (dalam Komandyahrini & Hawadi, 2008) juga mengatakan bahwa self-efficacy sangat penting perannya dalam mempengaruhi usaha yang dilakukan, seberapa kuat usahanya dan memprediksi keberhasilan yang akan di capai. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Woolfolk (1993) bahwa self-efficacy merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri atau tingkat keyakinan mengenai seberapa besar kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas tertentu untuk mencapai hasil tertentu.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah keyakinan seorang individu terhadap kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan tindakan untuk mencapai suatu tujuan dimana individu yakin mampu untuk menghadapi segala tantangan dan mampu memprediksi seberapa besar usaha yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut.


(32)

2 Faktor-faktor yang memperngaruhi self-efficacy

Menurut Bandura (1997) tinggi rendahnya self-efficacy seseorang dalam tiap tugas sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa faktor yang berpengaruh dalam mempersepsikan kemampuan diri individu. Menurut Bandura (1997) ada beberapa yg mempengaruhi self-efficacy, antara lain:

a Jenis kelamin

Orang tua sering kali memiliki pandangan yang berbeda terhadap kemampuan laki-laki dan perempuan. Zimmerman (Bandura, 1997) mengatakan bahwa terdapat perbedaan pada perkembangan kemapuan dan kompetesi laki-laki dan perempuan. Ketika laki-laki berusaha untuk sangat membanggakan dirinya, perempuan sering kali meremehkan kemampuan mereka. Hal ini berasal dari pandangan orang tua terhadap anaknya. Orang tua menganggap bahwa wanita lebih sulit untuk mengikuti pelajaran dibanding laki-laki, walapun prestasi akademik mereka tidak terlalu berbeda. Semakin seorang wanita menerima perlakuan streotipe gender ini, maka semakin rendah penilaian mereka terhadap kemampuan dirinya. Pada beberapa bidang pekerjaan tertentu para pria memiliki self-efficacy yang lebih tinggi dibanding dengan wanita, begitu juga sebaliknya wanita unggul dalam beberapa pekerjaan dibandingkan dengan pria.

b. Usia

Self-efficacy terbentuk melalui proses belajar sosial yang dapat berlangsung selama masa kehidupan. Individu yang lebih tua cenderung memiliki rentang waktu dan pengalaman yang lebih banyak dalam


(33)

mengatasi suatu hal yang terjadi jika dibandingkan dengan individu yang lebih muda, yang mungkin masih memiliki sedikit pengalaman dan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya. Individu yang lebih tua akan lebih mampu dalam mengatasi rintangan dalam hidupnya dibandingkan dengan individu yang lebih muda, hal ini juga berkaitan dengan pengalaman yang individu miliki sepanjang rentang kehidupannya.

c. Tingkat pendidikan

Self-efficacy terbentuk melalui proses belajar yang dapat diterima individu pada tingkat pendidikan formal. Individu yang memiliki jenjang yang lebih tinggi biasanya memiliki self-efficacy yang lebih tinggi, karena pada dasarnya mereka lebih banyak belajar dan lebih banyak menerima pendidikan formal, selain itu individu yang memiliki jenjang pendidikan yang lebih tinggi akan lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk belajar dalam mengatasi persoalan-persoalan dalam hidupnya.

d. Pengalaman

Self-efficacy terbentuk melalui proses belajar yang dapat terjadi pada suatu organisasi ataupun perusahaan dimana individu bekerja. Self-efficacy terbentuk sebagai suatu proses adaptasi dan pembelajaran yang ada dalam situasi kerjanya tersebut. Semakin lama seseorang bekerja maka semakin tinggi self efficacy yang dimiliki individu tersebut dalam pekerjaan tertentu, akan tetapi tidak menutup kemungkinann bahwa self efficacy yang dimiliki oleh individu tersebut justru cenderung menurun atau tetap. Hal ini juga


(34)

sangat tergantung kepada bagaimana individu menghadapai keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya selama melalukan pekerjaan.

3. Dimensi self-efficacy

Menurut Bandura (1997) mengungkapkan ada tiga dimensi self-efficacy, yakni:

a Level

Level berkaitan dengan derajat kesulitan tugas yang dihadapi. Penerimaan dan keyakinan seeorang terhadap suatu tugas berbeda-beda, mungkin orang hanya terbatas pada tugas yang sederhana, menengah atau sulit. Persepsi setiap individu akan berbeda dalam memandang tingkat kesulitan dari suatu tugas. Ada yang menganggap suatu tugas itu sulit sedangkan orang lain mungkin merasa tidak demikian. Apabila sedikit rintangan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas, maka tugas tersebut akan mudah dilakukan. Dalam Zimerman (2003) Level terbagi atas 3 bagian yaitu:

1) Analisis pilihan perilaku yang akan dicoba, yaitu seberapa besar individu merasa mampu atau yakin untuk berhasil menyelesaikan tugas dengan pilihan perilaku yang akan diambil.

2) Menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampaui batas kemampuannya.


(35)

b Generality

Generality sejauh mana individu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari dalam melakukan suatu aktivitas yang biasa dilakukan atau situasi tertentu yang tidak pernah dilakukan hingga dalam serangkaian tugas atau situasi sulit dan bervariasi. Generality merupakan perasaan kemampuan yang ditunjukkan individu pada konterks tugas yang berbeda-beda, baik itu melalui tingkah laku, kognitif dan afektifnya.

c Strength

Strength merupakan kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki. Hal ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu dalam pemenuhan tugasnya. Individu yang memiliki keyakinan dan kemantapan yang kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas akan terus bertahan dalam usahannya meskipun banyak mengalami kesulitan dan tantangan. Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self-efficacy yang diyakini sesesorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinan individu itu pula. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan mereka akan teguh dalam usaha untuk menyampaikan kesulitan yang dihadapi.

4. Sumber-sumber self-efficacy

Menurut Bandura (1994) ada sumber yang dapat mempengaruhi self-efficacy, yaitu:


(36)

a Enactive mastery experience

Merupakan sumber informasi self-efficacy yang paling berpengaruh. Dari pengalaman masa lalu terlihat bukti apakah seseorang mengarahkan seluruh kemampuannya untuk meraih keberhasilan (Bandura, 1997). Umpan balik terhadap hasil kerja seseorang yang positif akan meningkatkan kepercayaan diri seseorang. Kegagalan di berbagai pengalaman hidup dapat diatasi dengan upaya tertentu dan dapat memicu persepsi self-efficacy menjadi lebih baik karena membuat individu tersebut mampu utuk mengatasi rintangan-rintangan yang lebih sulit nantinya.

b Vicarious experience

Merupakan cara meningkatkan self-efficacy dari pengalaman keberhasilan yang telah ditunjukkan oleh orang lain. Ketika melihat orang lain dengan kemampuan yang sama berhasil dalam suatu bidang/tugas melalui usaha yang tekun, individu juga akan merasa yakin bahwa dirinya juga dapat berhasil dalam bidang tersebut dengan usaha yang sama. Sebaliknya self-efficacy dapat turun ketika orang yang diamati gagal walapun telah berusaha dengan keras. Individu juga akan ragu untuk berhasil dalam bidang tersebut (Bandura, 1997).

Peran vicarious experience terhadap self-efficacy seseorang sangat dipengaruhi oleh persepsi diri individu tersebut tentang dirinya memiliki kesamaan dengan model. Semakin seseorang merasa dirinya mirip dengan model, maka kesuksesan dan kegagalan model akan semakin


(37)

mempengaruhi self-efficacy. Sebaliknya apabila individu merasa dirinya semakin berbeda dengan model, maka self-efficacy menjadi semakin tidak dipengaruhi oleh prilaku model (Bandura, 1997). Seseorang akan berusaha mencari model yang memiliki kompetensi atau kemampuan yang sesuai dengan keinginannya. Dengan mengamati perilaku dan cara berfikir model tersebut akan dapat memberi pengetahuan dan pelajaran tentang strategi dalam menghadapi berbagai tuntutan lingkungan (Bandura, 1997).

c Verbal persuasion

Verbal digunakan secara luas untuk membujuk seseorang bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk mencapai tujuan yang mereka cari. Orang yang mendapat persuasi secara verbal maka mereka memiliki kemamuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan akan mengerahkan usaha yang lebih besar daripada orang yang tidak dipersuasi bahwa dirinya mampu pada bidang tersebut (Bandura, 1997). d Physiological state

Seseorang percaya bahwa sebagian tanda-tanda psikologis menghasilkan informasi dalam menilai kemampuannya. Kondisi stress dan kecemasan dilihat individu sebagai tanda yang mengancam ketidakmampuan diri. Level of arousal dapat memberikan informasi mengenai tingkat self-efficacy tergantung bagaimana arousal itu diinterpretasikan. Bagaimana seseorang menghadapi suatu tugas, apakah cemas atau khawatir (self-efficacy rendah) atau tertarik


(38)

(self-efficacy tinggi) dapat memberikan informasi mengenai self-efficacy orang tersebut. Dalam menilai kemampuannya seseorang dipengaruhi oleh informasi tentang keadaan fisiknya untuk menghadapi situsasi tertentu dengan memperhatikan keadaan fisiologisnya.

5. Proses-proses yang mempengaruhi self-efficacy

Menurut Bandura (1997), proses psikologis dalam self-efficacy yang turut berperan dalam diri manusia ada 4 yakni proses kognitif, motivasional, afeksi dan proses pemilihan/seleksi.

a Proses kognitif

Proses kognitif merupaka proses berfikir, didalamya termasuk pemerolehan, pengorganisasian, dan penggunaan informasi. Kebanyakan tindakan manusia bermula dari sesuau yang difikirkan terlebih dahulu. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi lebih senang membayangkan tentang kesuksesan. Sebaliknya individu yang self-efficacy-nya rendah lebih banyak membayangkan kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambat tercapainya kesuksesan (Bandura, 1997).

Bentuk tujuan personal juga dipengaruhi oleh penilaian akan kemampuandiri. Semakin seseorang mempersepsikan dirinya mampu maka individu akan semakin membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannnya dan semakin kuat komitmen individu terhadap tujuannya (Bandura, 1997).


(39)

b Proses motivasi

Kebanyakan motivasi manusia dibangkitkan melalui kognitif. Individu memberi motivasi/dorongan bagi diri mereka sendiri dan mengarahkan tindakan melalui tahap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Kepercayaan akan kemampuan diri dapat mempengaruhi motivasi dalam beberapa hal, yakni menentukan tujuan yang telah ditentukan individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa tahan mereka dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan ketahanan mereka dalam menghadapi kegagalan (Bandura, 1997)

Menurut Bandura (1997), ada tiga teori motivator, teori pertama yaitu causal attributions (atribusi penyebab), teori ini mempengaruhi motivasi, usaha dan reaksi-reaksi individu. Individu yang memiliki self-efficacy tinggi bila mengahadapi kegagalan cenderung menganggap kegagalan tersebut diakibatkan usaha-usaha yang tidak cukup memadai. Sebaliknya individu yang self-efficacy-nya rendah, cenderung menganggap kegagalanya diakibatkan kemampuan mereka yang terbatas. Teori kedua outcomes experience (harapan akan hasil), motivasi dibentuk melalui harapan-harapan. Biasanya individu akan berperilaku sesuai dengan keyakinan mereka tentang apa yang dapat mereka lakukan. Teori ketiga goal theory (teori tujuan), dimana dengan membentuk tujuan terlebih dahulu dapat meningkatkan motivasi.


(40)

Proses afeksi merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan reaksi emosional. Menurut Bandura (1997) keyakinan individu akan coping mereka turut mempengaruhi level stres dan depresi seseorang saat mereka menghadapi situasi yang sulit. Persepsi self-efficacy tentang kemampuannya mengontrol sumber stres memiliki peranan penting dalam timbulnya kecemasaan.

Individu yang percaya akan kemampuannya untuk mengontrol situasi cenderung tidak memikirkan hal-hal yang negatif. Individu yang merasa tidak mampu mengontrol situasi cenderung mengalami level kecemasan yang tinggi, selalu memikirkan kekurangan mereka, memandang lingkungan sekitar penuh dengan ancaman, membesar-besarkan masalah kecil, dan terlalu cemas pada hal-hal kecil yang sebenarnya jarang terjadi (Bandura, 1997).

d Proses seleksi

Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi tertentu turut mempengaruhi efek dari suatu kejadian. Individu cenderung menghindari aktivitas dan situasi yang diluar batas kemampuan mereka. Bila individu merasa yakin bahwa mereka mampu menangani suatu situasi, maka mereka cenderung tidak menghindari situasi tersebut. Dengan adanya pilihan yang dibuat, individu kemudian dapat meningkatkan kemampuan, minat, dan hubungan sosial mereka (Bandura, 1997)


(41)

6. Karakteristik individu yang memiliki self-efficacy tinggi dan self-efficacy rendah

Karakteristik individu yang memiliki Self-efficacy yang tinggi adalah ketika individu tersebut merasa yakin bahwa mereka mampu menangani sesecara efektif peristiwa dan situasi yang mereka hadapi, tekun dalam menyelesaikan tugas-tugas, percaya pada kemampuan diri yang mereka miliki, memandang kesulitan sebagai tantangan bukan ancaman dan suka mencari situasi baru, menetapkan sendiri tujuan yang menantang dan meningkatkan komitmen yang kuat terhadap dirinya, menanamkan usaha yang kuat dalam apa yang dilakuakanya dan meningkatkan usaha saat menghadapi kegagalan, berfokus pada tugas dan memikirkan strategi dalam menghadapi kesulitan, cepat memulihkan rasa mampu setelah mengalami kegagalan, dan menghadapi stressor atau ancaman dengan keyakinan bahwa mereka mampu mengontrolnya (Bandura, 1997).

Karakteristik individu yang memiliki Self-efficacy yang rendah adalah individu yang merasa tidak berdaya, cepat sedih, apatis, cemas, menjauhkan diri dari tugas-tugas yang sulit, cepat menyerah saat menghadapi rintangan, aspirasi yang rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan yang ingin di capai, dalam situasi sulit cenderung akan memikirkan kekurangan mereka, beratnya tugas tersebut, dan konsekuensi dari kegagalanya, serta lambat untuk memulihkan kembali perasaan mampu setelah mengalami kegagalan (Bandura, 1997).


(42)

B. Konselor Sekolah

1. Definisi konselor sekolah

Konselor sekolah adalah penyelenggara kegiatan BK di sekolah Istilah konselor secara resmi digunakan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 dengan menyatakan “konselor adalah pendidik” dan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2005 menyatakan “konselor adalah pelaksana pelayanan konseling di sekolah” yang sebelumnya menggunakan istilah petugas BP, guru BP/BK dan guru pembimbing (Prayitno, 2001).

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2005 (Dahlani, 2008) mengemukakan “konselor adalah pelaksana pelayanan konseling di sekolah”. Konselor sekolah adalah konselor yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam kegiatan BK terhadap sejumlah peserta didik (Anonimous, 2009).

Jadi dapat disimpulkan bahwa konselor sekolah adalah penyelenggara kegiatan Bimbingan dan Konseling di sekolah.

2. Tugas konselor sekolah

Menurut Depdiknas (dalam Dahlani, 2009) Tugas guru bimbingan dan konseling/konselor yaitu membantu peserta didik dalam:

a Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai bakat dan minat. b Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu


(43)

kemampuan hubungan sosial dan industrial yang harmonis, dinamis, berkeadilan dan bermartabat.

c Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan belajar untuk mengikuti pendidikan sekolah/madrasah secara mandiri.

d Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir.

Prayitno, dkk (Dahlani, 2008) mengemukakan tugas konselor sekolah, sebagai berikut:

a Memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling.

b Merencanakan program bimbingan dan konseling terutama program-program satuan layanan dan satuan kegiatan pendukung untuk satuan-satuan waktu tertentu, program-program tesebut dikemas dalam program harian, mingguan, bulanan, semesteran dan tahunan.

c Melaksanakan segenap satuan layanan bimbingan dan konseling.

d Melaksanakan segenap progam satuan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling

e Menilai proses dan hasil pelaksanaan satuan layanan dan kegiatan pendukung

f Menganalisis hasil penilaian layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling


(44)

g Melaksanakan tindak lanjut berdasarkan hasil penilaian layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling

h Mengadministrasikan kegiatan satuan layanan dan kegiatan pendukung bimbingan yang dilaksanakan

3 . Tanggung jawab konselor sekolah

Konselor sebagai tenaga inti dalam bidang pelayanan bimbingan dan konseling mengendalikan sekaligus melaksanakan berbagai layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling yang menjadi tanggung jawabnya. Adapun tanggung jawab konselor sekolah tidak hanya pada peserta didik atau siswa saja, melainkan juga dengan berbagai pihak yang dapat secara bersama-sama menunjang pencapaian tujuan pendidikan (Prayitno, 2001), yaitu:

a Tanggung jawab konselor kepada siswa, yaitu bahwa konselor:

1) Memiliki kewajiban dan kesetiaan utama dan terutama kepada siswa yang hasur diperlakukan sebagai individu yang unik.

2) Memperhatikan sepenuhnya segenap kebutuhan siswa dan mendorong pertumbuhan dan perkembangan yang optimal bagi setiap siswa.

3) Memberitahukan siswa tentang tujuan, aturan, prosedur serta teknik layanan bimbingan dan konseling.

4) Tidak mendesakkan nilai-nilai tertentu kepada siswa yang sebenarnya hanya sekedar apa yang dianggap baik oleh konselor. 5) Menjaga kerahasiaan data tentang siswa.


(45)

6) Memberitahukan pihak yang berwenang apabila ada petunjuk yang berbahaya.

7) Melakukan layanan secara tepat dan professional. 8) Melakukan referal kasus secara tepat.

b Tanggung jawab konselor kepada orang tua, yaitu bahwa konselor:

1) Menghormati hak dan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya dan berusaha sekuat tenaga membangun hubungan yang erat dengan orang tua demi perkembangan siswa.

2) Memberitahukan orang tua tentang peranan konselor dengan asas kerahasiaan yang dijaga secara teguh.

3) Menyediakan orang tua berbagai informasi yang berguna dan menyampaikannnya dengan cara sebaik-baiknya untuk kepentingan perkembangan siswa.

4) Memperlakukan informasi yang diterima dari orang tua dengan menerapkan asas kerahasiaan dan dengan cara yang sebaik-baiknya.

5) Menyampaikan informasi hanya kepada pihak-pihak yang berhak mengenai informasi tersebut tanpa merugikan siswa dan orang tuanya.

c Tanggung jawab kepada sejawat, yaitu bahwa konselor:

1) Memperlakukan sejawat dengan penuh kehormatan, keadilan, keobjektifan, dan kesetiakawanan.


(46)

2) Mengembangkan hubungan kerjasama dengan sejawat demi terbinanya pelayanan bimbingan dan konseling yang maksimum. 3) Membangun kesadaran tentang perlunya asas kerahasiaan,

perbedaan antara data umum dan data pribadi, serta pentingnya konsultasi sejawat.

4) Menyediakan informasi yang tepat, objektif, luas dan berguna bagi sejawat untuk membantu menangani masalah siswa.

5) Membantu proses alih tangan kasus.

d Tanggung jawab kepada sekolah dan masyarakat, yaitu bahwa konselor: 1) Mendukung dan melindungi program sekolah terhadap

penyimbangan-penyimpangan yang merugikan siswa.

2) Memberitahu pihak-pihak yang bertanggung jawab apabila ada sesuatu yang menghambat atau merusak misi sekolah, personal sekolah, ataupun kekayaan sekolah.

3) Mengembangkan dan meningkatkan peranan dan fungsi bimbingan dan konseling untuk memenuhi kebutukan segenap unsure-unsur sekolah dan masyarakat.

4) Bekerjasama dengan lembaga, organisasi, dan perorangan baik di sekolah maupun dimasyarakat demi pemenuhan kebutuhan siswa, sekolah dan masyarakat tanpa pamrih.


(47)

4 Jenis layanan konselor sekolah

Menurut PP No. 74 Tahun 2008 (Dahlani, 2009), jenis layanan konselor sekolah adalah:

1) Layanan orientasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah/madrasah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk menyesuaikan diri serta mempermudah dan memperlancar peran peserta didik di lingkungan yang baru.

2) Layanan informasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi diri, sosial, belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjutan.

3) Layanan penempatan dan penyaluran, yaitu layanan yang membantu peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, dan kegiatan ekstra kurikuler.

4) Layanan penguasaan konten, yaitu layanan yang membantu peserta didik menguasai konten tertentu, terutama kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di sekolah/madrasah, keluarga, industri dan masyarakat.

5) Layanan konseling perorangan, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam mengentaskan masalah pribadinya.

6) Layanan bimbingan kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial,


(48)

kegiatan belajar, karir/jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok.

7) Layanan konseling kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok.

8) Layanan konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik.

9) Layanan mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antar mereka.

D. Gambaran Self-Efficacy Konselor Sekolah di Kota Medan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengemukakan bahwa: “Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Guru profesional tidak hanya dituntut untuk menguasai bidang ilmu, bahan ajar, metode pembelajaran, memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan, tetapi juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakikat manusia dan masyarakat (Mulyasa, 2007).


(49)

Kelangsungan proses pembelajaran di sekolah diperkuat oleh tiga komponen guru yang memiliki fungsi berbeda, yakni guru mata pelajaran, guru praktek dan konselor sekolah (Laeis, 2009). Prayitno (1991) juga menyatakan bahwa untuk mencapai kesuksesan sistem pendidikan di sekolah maka perlu dibutuhkan tiga bidang pemimpin di sekolah. Ketiga pemimpin tersebut adalah pimpinan sekolah, pendidik, dan bimbingan dan konseling. Dari pendapat kedua tokoh diatas terlihat bahwa keberadaan bidang bimbingan dan konseling di sekolah mendapatkan peranan yang sangat penting guna mencapai kesuksesan pendidikan.

Melihat peran guru BK yang sangat penting maka sudah seharusnya unit Bimbingan dan konseling (BK) ada di setiap lembaga pendidikan. Istilah konselor secara resmi digunakan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 dengan menyatakan “konselor adalah pendidik” (Himpunan UU RI No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional) dimana dijelaskan bahwa fokus kegiatan pendidikan tidak lagi terletak sebatas kegiatan mengajar dengan mengutamakan peranan guru, melainkan dengan sengaja dan terencana melibatkan berbagai profesi pendidik (Winkel & Hastuti, 2006). konselor sekolah memiliki tugas untuk melakukan pemantauan dan pembimbingan terhadap siswa berkaitan dengan perkembangan bakat, minat, dan potensi yang dimilikinya (Laeis, 2009).

Menurut Hafid (dalam Anonimous, 2009) peran guru Bimbingan Konseling (BK) saat ini belum optimal. Hal tersebut disinyalir akibat masih ada pihak yang belum memahami arti penting konselor sekolah dalam proses pembelajaran dan masih ada kepala sekolah yang menganggap peran konselor


(50)

sekolah itu tidak penting. Menurut Sukadji (2000) beberapa kepala sekolah mengaggap tidak perlu ada petugas khusus untuk bimbingan. Selain itu masih banyak guru yang sebenarnya kurang memahami asas-asas BK (Winkel, 1991).

Kurangnya pemahaman kepala sekolah dan guru akan arti pentingnya layanan bimbingan dan konseling di sekolah mengakibatkan tugas konselor semakin tidak jelas (Winkel, 1991). Hafid (dalam Anonimous, 2009) menyatakan bahwa hanya demi formalitas banyak sekolah yang memposisikan guru BK dipegang oleh guru kesenian, guru PKK, atau guru-guru yang jam mengajarnya tidak terlalu padat. Menurut Hafid (dalam Anonimous, 2009), latar belakang

pendidikan yang tidak sesuai mengakibatkan banyak peran konselor sekolah yang disalahfungsikan untuk menghukum anak semata.

Menurut Wibowo (Laeis, 2009) pelaksanaan fungsi yang kurang tepat akan mempengaruhi jalannya proses pendidikan, sebab tugas dan fungsi tidak dilakukan oleh mereka yang memiliki kompetensi dan wewenang terhadap bidang tersebut. Kenyataan seperti ini banyak terjadi di kota Medan, hal ini terlihat dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan di beberapa sekolah di kota Medan. Untuk menghadapi kenyataan tersebut maka konselor sekolah seharusnya memiliki self-efficacy, seorang konselor sekolah harus memiliki keyakinan yang kuat akan kemapuan dan keterampilan dia miliki untuk menghadapi segala situasi yang ada terutama ketika berhadapan dengan klien (siswa), keyakinan seperti inilah yang sering disebut self-efficacy oleh Bandura (Maldonado, 2008). Ketika seorang konselor memiliki self-efficacy maka konselor akan mampu


(51)

melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik terutama ketika berhadapan dengan klien (Bandura, 1994)

Self-efficacy konselor sekolah merupakan kepercayaan yang dimiliki oleh seorang konselor terhadap kapasitasnya untuk mempengaruhi performa siswa (Maldonado, 2008). Larson dan Daniel (dalam Maldonado, 2008) juga menyatakan bahwa self-efficacy konselor dapat didefinisikan sebagai suatu kepercayaan tentang kemampuan dan keterampilan mereka untuk menghadapi klien secara efektif. Bandura (1997) juga menyatakan bahwa Self-efficacy dapat menjembatani antara pengetahuan yang dimiliki dengan perilaku-perilaku tertentu.

Self-efficacy yang dimiliki oleh konselor sekolah dapat mempengaruhi banyak hal. Dengan tingginya Self-efficacy yang dimiliki, seorang konselor sekolah dapat menampilkan kinerja yang baik, ia akan bertahan dalam membimbing terutama dalam menghadapi siswa yang bermasalah di sekolah (Bandura, 1997). Selain itu Self-efficacy yang dimiliki oleh konselor juga dapat mempengaruhi motivasi (Eggen & Kauchak, 2004) dan prestasi siswa dalam belajar (Ashton & Webb, 1986). Oleh karena itu, self-efficacy yang dimiliki oleh konselor sekolah sangatlah penting.

Menurut Bandura (dalam Zulkaida, dkk., 2007) self-efficacy adalah keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk mengorganisasikan dan melakukan tindakan-tindakan yang perlu dalam mencapai tingkat kinerja tertentu. Bandura (1997) menyebutkan ada tiga dimensi self-efficacy, yaitu level, generality, and strength. Level berhungan dengan level kesulitan tugas yang


(52)

diterima oleh seseorang untuk diselesaikan, generality berhubungan dengan sejauh mana individu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas dan bagaimana individu menginterpretasikan dirinya gagal atau sukses, strength berhubungan dengan kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki (Hall, 2009).

Self efficacy sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana individu tersebut berada (Bandura dalam Hall, 2009). Self-efficacy konselor sekolah akan dipengaruhi oleh lingkungan sekolah dimana dia bekerja, misalnya sistem pendidikan, pekerjaan yang dihadapi, dan bagaimana hubungannya dengan orang-orang yang terkait didalam sekolah tersebut. self-efficacy seseorang-orang akan cenderung meningkat ketika lingkungan juga memberikan dukungan terhadap tugas yang dia lakukan dan ketika individu memiliki self-efficacy yang tinggi maka dia akan bisa menghadapi tantangan dengan lebih baik (Bandura, 1997).


(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan salah satu elemen penting dalam suatu penelitian karena metode penelitian menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data, analisa data, dan pengambilan kesimpulan hasil penelitian (Hadi, 2000). Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang bersifat dekriptif yang dimaksud untuk melihat bagaimana gambaran self-efficacy konselor sekolah di kota Medan.

Menurut Azwar (2000) metode deskriptif merupakan metode yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif, tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari implikasi.

Jenis penelitian ini tidak mempersoalkan hubungan antar variabel dan tidak melakukan pengujian hipotesis. Hasil penelitiannya berupa deskripsi mengenai variabel-variabel tertentu dengan menyajikan frekuensi, angka rata-rata atau kualifikasi lainya untuk setiap kategori di suatu variabel. Dalam pengolahan dan analisa data menggunakan pengolahan statistik yang bersifat deskriptif (Faisal, 1999).

Punch (1998) menyatakan bahwa ada 2 (dua) kegunaan dilakukannya penelitian deskriptif. Pertama, untuk mengembangkan teori dan area penelitian


(54)

yang baru, dimana sebelum merencanakan/melakukan penelitian yang lebih mendalam (exploratory studies) adalah lebih baik untuk terlebih dahulu memusatkan perhatian pada deskripsi yang sitematis terhadap objek penelitian. Kedua, deskripsi yang tepat mengenai proses-proses sosial yang kompleks dapat membantu kita untuk memahami faktor apa yang perlu diteliti lebih lanjut dalam penelitian berikutnya secara lebih mendalam.

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah self-efficacy.

B. Definisi Operasional

Self-efficacy adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan tindakan-tindakan untuk mencapai suatu tujuan. Hal ini tercapai ketika seseorang memiliki keyakinan bahwa dia mampu untuk menghadapi berbagai tingkat kesulitan tugas, mampu melaksanakan tugas dalam berbagai situasi, baik itu tugas yang biasa dihadapi maupun yang belum pernah dihadapi dan memiliki keyakinan yang kuat akan kemampuan yang dia miliki sehingga tetap ulet serta bertahan dalam mengerjakan tugas untuk mencapai hasil yang ingin dicapainya.

Pada penelitian ini, Self-efficacy ini diungkapkan melalui skala Self-efficacy yang disusun oleh peneliti berdasarkan tiga dimensi self-efficacy oleh Bandura (1997), yaitu:


(55)

1) Level, berkaitan dengan penerimaan dan keyakinan seeorang terhadap derajat tugas yang berbeda-beda, baik tugas yang sederhana, menengah ataupun yang sulit

2) Generality, sejauh mana individu yakin akan kemampuannya dalam menghadapi berbagai situasi tugas, baik itu tugas yang biasa dilakukan maupun tugas yang tidak pernah dilakukan.

3) Strength, kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki, hal ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu dalam pemenuhan tugasnya.

Semakin tinggi skor yang diperoleh seseorang dalam skala self-efficacy yang diberikan, artinya semakin tinggi self-efficacy yang dimiliki seseorang, yang menunjukkan semakin tinggi keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan tindakan-tindakan untuk mencapai suatu tujuan dimana dia merasa mampu untuk mencapai hal tersebut, hal ini juga dapat memprediksi keberhasilan yang akan dicapai. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh seseorang dalam skala self-efficacy yang diberikan, artinya semakin rendah self-efficacy yang dimiliki seseorang, yang menunjukkan bahwa individu semakin tidak memiliki keyakinan terhadap kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan tindakan-tindakan untuk mencapai suatu tujuan dimana dia merasa kurang mampu untuk mencapai hal tersebut, hal ini juga dapat memprediksi kegagalan yang akan dicapainya.


(56)

C. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi dan sampel

Populasi adalah keseluruhan penduduk atau individu yang dimaksudkan untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai jumlah penduduk atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh konselor sekolah yang ada di kota Medan.

Menyadari luasnya keseluruhan populasi dan keterbatasan yang dimiliki penulis, maka subjek yang dipilih adalah sebagian dari keseluruhan populasi yang dinamakan sampel. Sampel adalah sebagian dari populasi yang merupakan penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi. Sampel harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000)

Subjek penelitian menurut Azwar (2001) adalah sumber utama data penelitian, yaitu mereka yang memiliki data mengenai variable yang akan diteliti. Karakteristik subjek penelitian diperlukan untuk menjamin homogenitas. Karekteristik subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Konselor sekolah yang bekerja sebagai konselor di sekolah SMP dan SMA baik itu negeri maupun swasta

Program Bimbingan dan Konseling dianggap sesuatu yang mutlak perlu di pendidikan SMA dan SMP dibandingkan dengan SD dan perguruan tinggi walaupun belum semua sekolah memilikinya.

b. Memiliki latar belakang pendidikan dari jurusan Bimbingan dan Konseling (BK), psikologi, dan guru mata pelajaran


(57)

Menurut Prayitno (2001) selain dari latar belakang pendidikan Bimbingan dan Konseling (BK), konselor sekolah juga sering diangkat dari mereka yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi dan guru-guru mata pelajaran.

c. Usia minimal 21 tahun

Usia dimana seseorang mulai mengambil tanggung jawab terhadap tugas-tugas yang dilakukannya yang disebut juga periode usia dewasa dini (Hurlock, 1999)

2. Metode pengambilan sampel

Teknik sampling adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili populasi (Poerwandari, 2007). Menurut Hadi (2002) sampel adalah bagian dari populasi. Pada penelitian ini, pengambilan sampel dilakukan dengan secara non probabilitas sampling.

Teknik non probabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara quota sampling, dimana jumlah subjek yang akan diselidiki harus ditetapkan terlebih dahulu. Quota sampling dilakukan dengan cara mencari tahu siapa-siapa saja sampel yang akan diberikan skala, kemudian data sampel diserahkan sepenuhnya kepada tim yang akan mengumpulkan data. Setiap sampel yang akan diberikan skala harus memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu. Sampel yang sulit dihubungi atau tidak bersedia untuk mengisi skala tidak


(58)

akan diperhatikan (Hadi, 2000). Dalam quota sampling, apakah subjek-subjek penelitian mewakili populasi atau sub-populasi tidaklah menjadi faktor penentu. Pemilihan sampel dari populasi ini didasarkan pada faktor kesediaan atau kemudahan dijumpainya sampel yang sesuai dengan karakteristik-karakteristik yang telah ditentukan (Hadi, 2000)

3. Jumlah sampel penelitian

Tidak ada batasan mengenai berapa jumlah sampel ideal yang harus digunakan dalam suatu penelitian. Menurut Azwar (2000), secara tradisional statistik menganggap bahwa jumlah sampel di atas 60 sudah cukup banyak, maka mengacu pada pernyataan tersebut dalam penelitian ini jumlah sampel yang direncanakan adalah sebanyak 80 yang diambil dari SMP/SMA Negeri dan Swasta yang tersebar di seluruh kota Medan.

D. Alat Ukur yang Digunakan

Metode pengumpulan data yang dijadikan alat ukur dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala. Metode skala digunakan karena data yang ingin diukur berupa konstruk atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2000).

Metode skala yang digunakan adalah skala Self-efficacy yang disusun berdasarkan tiga dimensi self-efficacy yang dikemukakan oleh Bandura (1997) yang meliputi: 1) Level; 2) Generality; 3) Strength. Pernyataan dalam skala ini


(59)

efficacy diukur dengan model skala yang dirancang sendiri oleh peneliti dengan menggunakan model skala likert dengan memberi empat alternatif jawaban, yaitu: STS (Sangat Tidak Sesuai), TS (Tidak Sesuai), S (Sesuai), SS (Sangat Sesuai).


(60)

Tabel 1:

Blue print skala self-efficacy konselor sekolah sebelum uji coba Aitem

No Dimensi Indikator Perilaku

F UF To tal Bobot (%) Penerimaan terhadap

tingkat kesulitan tugas yang berbeda-beda

1, 17, 20, 35, 40, 51, 60

2, 22,31, 44, 55, 66, 70 1 Magnitude

Keyakinan untuk menyelesaikan tugas dengan tingkat

kesulitan yang berbeda-beda

3, 14, 23, 28, 37, 45, 56 8, 25,33, 47, 53, 57, 69 28 40%

2 Generality Keyakinan dalam menghadapi situasi tugas yang biasa dilakukan maupun yang belum pernah dilakukan

7, 18, 26, 30, 48, 58, 64 4,13, 34, 41, 50, 63, 67 14 20% Ketahanan individu dalam pemenuhan tugas.

9, 15, 21, 36, 46, 52, 68

5, 24,32, 43, 54, 61, 38 3 Strength

Keuletan individu dalam

pemenuhan tugas. 6, 11, 42 49, 59, 62, 65 10,12,16 19, 27, 29, 39 28 40%

JUMLAH 35 35 70 100%

Penilaian bergerak dari 4 sampai 1 untuk aitem-aitem favorable dan 1 sampai 4 untuk aitem-aitem unfavorable. Pengklasifikasian tinggi rendahnya Self-efficacy konselor sekolah yaitu dengan mencari mean dan standard deviasi


(61)

dan kemudian membuat rentang sebanyak tiga klasifikasi, yaitu tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan rumus:

Tabel 2 :

Kategorisasi norma nilai self-efficacy

Rentang Nilai Kategorisasi X < (µ – 1, 0 σ)

(µ – 1,0 σ) ≤ X< (µ + 1,0 σ) (µ + 1,0 σ) ≤ X

Rendah Sedang Tinggi

E. Uji Coba Alat Ukur 1. Validitas alat ukur

Untuk mengetahui apakah skala psikologi mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukan suatu pengujian validitas (Azwar, 2007). Didalam penelitian ini akan diuji validitasnya berdasarkan validitas isi. Validitas isi merupakan validitas yang ditentukan melalui pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgement dalam proses telaah soal dalam hal ini adalah dosen pembimbing.

Validitas isi terbagi menjadi dua tipe yaitu validitas muka (face validity) yaitu tipe validitas yang hanya didasarkan pada penilaian format penampilan tes dan validitas logikal (logical validity) yaitu menunjukkan sejauhmana isi tes merupakan wakil dari ciri-ciri atribut yang hendak diukur sebagaimana telah ditetapkan dalam kawasan ukurnya (Azwar, 2004). Validitas isi dalam penelitian ini adalah menyajikan aitem-aitem dengan menggunakan kertas putih bersih


(62)

dengan ukuran dan bentuk yang mudah untuk dilihat serta menggunakan warna yang menarik. Validitas logik dapat dinilai berdasarkan blue print yang telah dibuat dan telah sesuai dengan kawasan ukur yaitu dimensi-dimensi dari self-efficacy.

2. Daya beda aitem dan reliabilitas alat ukur

Dalam pengukuran, ada 2 syarat ilmiah yang harus dimiliki suatu alat ukur agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

a. Daya beda aitem

Uji daya beda aitem digunakan untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki atau tidak memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang dilakukan dalam analisis aitem ini adalah dengan memilih aitem yang fungsi ukurnya sesuai dengan fungsi ukur tes. Atau dengan kata lain, memilih aitem yang mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh tes sebagai keseluruhan (Azwar, 2001).

Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan komputasi kolerasi antara distribusi skor pada setiap aitem dengan suatu kriteria yang relevan, yaitu skor total tes itu sendiri dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment. Prosedur pengukuran konsistensi aitem total ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total yang dikenal dengan indeks daya beda aitem (Azwar, 2001). Setiap butir aitem pada skala dikorelasikan dengan skor total skala. Prosedur pengujian ini menggunakan taraf signifikansi 5% (p<0,05). Pengolahan akan dilakukan dengan menggunakan bantuan SPSS versi 15 for Windows. Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem menggunakan


(63)

batasan rix ≥ 0,30. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30, daya pembedanya dianggap memuaskan. Aitem yang memiliki harga rix < 0,30 dapat diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya diskriminasi rendah (Azwar, 2000).

b. Reliabilitas

Azwar (2007) menyatakan bahwa reliabilitas mengacu kepada konsistensi atau keterpercayaan hasil ukur yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Reliabilitas adalah merupakan alat ukur yang menunjukkan derajat keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan bila diterapkan beberapa kali pada kesempatan yang berbeda (Hadi, 2000).

Teknik yang digunakan adalah teknik koefisien alpha Cronbach yang menggunakan SPSS versi 15 for Windows

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Sebelum melakukan pengambilan data yang sebenarnya, terlebih dahulu dilakukan uji coba alat ukur penelitian untuk mengetahui kualitas masing-masing aitem. Uji coba alat ukur penelitian ini dilakukan pada tanggal 12 Juli sampai 24 Juli 2010. Uji coba dilakukan terhadap guru biasa yang mengajar di sekolah-sekolah SMP/SMA Negeri dan Swasta di kota Medan. Dari 150 eksemplar skala yang disebarkan, terdapat 125 eksemplar skala yang kembali, dan dari 125 eksemplar skala yang kembali 8 diantaranya dinyatakan gugur. Dari hasil uji coba tersebut hanya 117 eksemplar skala yang dinyatakan baik dan dapat diolah. Data


(64)

yang diperoleh dari seluruh skala yang dinyatakan baik diolah dengan bantuan aplikasi komputer SPSS versi 15 for Windows

Berdasarkan hasil estimasi daya beda aitem dan reabilitas terhadap data uji coba yang telah diperoleh, maka koefisien alpha keseluruhan butir pernyataan sebesar 0,923, sedangkan berdasarkan daya beda aitem yang telah ditentukan (rix < 0,30) ditemukan 15 aitem yang gugur. Dari hasil tersebut kemudian dilakukan tahap estimasi yang kedua, maka diperoleh koefisien alpha keseluruhan butir pernyataan sebesar 0,937, sedangkan berdasarkan daya beda aitem yang telah ditentukan (rix < 0,30) masih ditemukan 1 aitem yang gugur. Distribusi aitem setelah uji coba dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini:


(65)

Tabel 3:

Blue print skala self-efficacy konselor sekolah sebelum uji coba Aitem

No Dimensi Indikator Perilaku

F UF To tal Bobot (%) Penerimaan terhadap

tingkat kesulitan tugas yang berbeda-beda

1, 17, 20, 35, 40, 51, 60

2, 22,31, 44, 55, 66, 70 1 Magnitude

Keyakinan untuk menyelesaikan tugas dengan tingkat

kesulitan yang berbeda-beda

3, 14, 23, 28, 37, 45, 56 8, 25,33, 47, 53, 57, 69 28 40%

2 Generality Keyakinan dalam menghadapi situasi tugas yang biasa dilakukan maupun yang belum pernah dilakukan

7, 18, 26, 30, 48, 58, 64

4,13, 34, 41, 50, 63, 67

14

20%

Ketahanan individu dalam pemenuhan tugas.

9, 15, 21, 36, 46, 52, 68

5, 24,32, 43, 54, 61, 38 3 Strength

Keuletan individu dalam

pemenuhan tugas. 6, 11, 42 49, 59, 62, 65

10,12,16 19, 27, 29, 39

28 40%

JUMLAH 35 35 70 100%

Keterangan : Penebalan artinya aaaitem yang gugur

Setelah aitem-aitem yang gugur dibuang, maka diperoleh koefisien alpha keseluruhan aitem sebesar 0,937 dengan indeks daya beda aitem bergerak dari batas rix = 0,301 hingga rix = 0,654 sehingga jumlah aitem yang dapat digunakan


(1)

NO PERNYATAAN STS TS S SS

16 Saya merasa cemas jika dihadapkan dengan tugas-tugas yang sulit

17 Saya tidak menganggap sepele

terhadap tugas yang sudah sering saya hadapi.

18 Pada saat gagal hal yang bisa saya lakukan hanyalah pasrah.

19 Saya punya bekal yang cukup untuk menyelesaikan semua tugas dalam pekerjaan saya.

20 Saya mudah menyerah jika

dihadapkan dengan tugas yang sulit

21 Saya tertantang untuk menyelesaikan tugas yang belum pernah saya hadapi sebelumnya.

22 Ketika ditawarkan mengerjakan tugas yang sulit, saya cenderung menolaknya 23 Jika saya mengalami hambatan dalam

mengerjakan tugas, maka saya akan menghentikannya.


(2)

24 Saya merasa tidak mampu menyelesaikan masalah sulit yang dihadapi oleh siswa saya

25 Saya tidak pernah menyepelekan tugas-tugas sederhana yang diberikan kepada saya

26 Pada saat melaksanakan tugas dan kewajiban, tidak ada kata bosan dalam kamus saya

27 Saya bisa memberikan solusi yang tepat terhadap masalah-masalah yang dihadapi siswa saya

28 Saya memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengerjakan tugas-tugas saya.

29 Saya merasa bahwa tugas yang sulit adalah tantangan yang harus saya hadapi

30 Saya memikirkan banyak strategi dalam menghadapi masalah-masalah yang saya hadapi.


(3)

NO PERNYATAAN STS TS S SS

31 Saya akan menghentikan tugas saya, ketika saya tidak menemukan jalan keluar penyelesaiannya.

32 Kemampuan yang saya miliki

bermanfaat juga bagi orang lain

33 Meskipun memakan waktu yang cukup lama, saya akan tetap memberikan bimbingan terhadap siswa saya.

34 Saya hanya bersemangat ketika mengerjakan tugas-tugas yang mudah

35 Walaupun tugas itu sudah rutin saya lakukan tapi saya akan tetap bersemangat dalam mengerjakannya.

36 Walaupun sering gagal dalam

mengerjakan suatu tugas, saya tetap tertantang untuk menyelesaikannya. 37 Saya pasrah saja ketika tugas yang

diberikan kepada saya tidak dapat saya selesaikan.

38 Baik tugas yang sedehana maupun tugas yang sulit akan tetap saya


(4)

39 Tidak ada orang lain yang memiliki masalah seberat masalah yang saya hadapi.

40 Saya akan menghindari tugas yang pernah membuat saya gagal.

41 Daripada menambah masalah, lebih baik saya menolak tugas yang diberikan pada saya.

42 Saya yakin dapat menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepada saya

43 Saya meragukan kemampuan saya ketika diberikan tanggung jawab yang besar.

44 Seberat apapun masalah dalam tugas saya, saya akan tetap berusaha untuk menyelesaikannya dengan baik.

45 Saya tetap menjalankan tugas saya sebagaimana mestinya walaupun banyak menghadapi hambatan

46 Saya mengerjakan semua tugas yang diberikan kepada saya.


(5)

NO PERNYATAAN STS TS S SS

47 Saya merasa tidak tahu apa yang harus saya lakukan ketika saya mengalami kegagalan.

48 Jika saya sabar, saya yakin sedikit demi sedikit tugas yang saya hadapi akan selesai.

49 Saya merasa bahwa tugas yang baru merupakan beban dalam pekerjaan saya

50 Saya yakin semua masalah pasti ada jalan keluarnya walapun masalah itu baru pertama kali saya hadapi.

51 “Dimana ada kemauan disitu ada jalan” merupakan prinsip hidup saya 52 Pada saat diminta mengerjakan tugas,

saya mencari alasan bagaimana cara untuk menolaknya karena saya tahu tugas itu sulit.

53 Saya tetap berusaha menyelesaikan tugas saya dengan baik walapun orang lain meragukan kemampuan saya.


(6)

54 Saya akan segera menolak tugas yang sulit yang diberikan kepada saya karena saya tidak yakin dapat menyelesaikannya dengan baik.