LATAR BELAKANG MASALAH Hubungan Self-Efficacy Dengan Komitmen Guru Sekolah Bilingual Di Kota Medan

1 BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan merupakan jembatan menuju kesuksesan. Siapapun yang hidup di dunia ini, berhak untuk mendapatkan pendidikan terbaik. Oleh sebab itu tidak salah rasanya jika setiap orangtua menjadi sangat hati-hati dalam menentukan sekolah untuk buah hatinya Republika, 2007. Salah satu pilihan orangtua saat ini adalah sekolah bertaraf internasional. Sekolah bertaraf internasional yang tepat dengan era globalisasi saat ini adalah sekolah yang menyelenggarakan pendidikan dengan kurikulum berstandar internasional, namun juga menekankan nilai-nilai akhlak yang mulia kepada anak didiknya. Sehingga dihasilkan insan cendekia dengan akhlak yang terpuji Ronny Preslysia-Public Relations Officer dikutip dari Republika, 2007. Sekolah bertaraf internasional biasanya menggunakan dua bahasa dalam proses belajar dan mengajarnya, hal ini biasa disebut dengan sekolah bilingual. Sekolah bilingual merupakan suatu bentuk pengajaran dimana semua komponen di dalam sekolah itu diterapkan atau dijalankan dalam dua bahasa yang berbeda satu sama lainnya. Biasanya bahasa mayoritas dan bahasa minoritas Wikipedia, 2005. Sekarang ini ada banyak sekolah bilingual di Indonesia, yaitu sekolah yang menggunakan dua bahasa bilingual sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajarnya. Salah satu penyebab banyaknya bermunculan sekolah Universitas Sumatera Utara 2 bilingual tersebut adalah karena pendidikan sudah dijadikan sebagai bisnis yang bisa mendatangkan keuntungan. Bisnis francise sekolah cepat mendatangkan keuntungan, tidak pernah rugi, dan cepat balik modal. Untuk menarik minat masyarakat maka ditambahkanlah kurikulum dari luar negeri dan penggunaan bahasa Inggris di sekolah tersebut. Hal ini akan melambungkan harga yang harus dibayar oleh orangtua yang ingin anaknya sekolah di sekolah bilingual. Sehingga sekolah jenis ini terkenal dengan sekolah yang mahal Netto, 2007. Menjamurnya sekolah bilingual disebabkan banyaknya peminat, sehingga kepentingan bisnis lebih diutamakan. Pihak sekolah berupaya keras mendatangkan tenaga pengajar warga negara asing agar orangtua siswa yakin anaknya telah masuk ke sekolah bilingual Netto, 2007. Harga yang mahal untuk masuk sekolah bilingual ini tidak serta merta diiringi dengan kualitas yang bagus pula. Banyak sekolah bilingual yang ada di Indonesia yang kualitas para pengajarnya masih diragukan. Banyak pihak sekolah yang asal saja dalam memilih guru, asalkan guru tersebut warga negara asing, maka dia bisa menjadi guru, walaupun tidak punya latar belakang bidang pendidikan sekalipun. Tidak jarang guru diambil dari warga negara asing yang kehabisan uang di Jakarta, tidak jarang yang mengajar di kursus-kursus bahasa Inggris, atau turis yang tinggal di Jalan Jaksa Jakarta. Mereka pun banyak yang hanya tamatan SMA saja Netto, 2007. Banyaknya sekolah bilingual yang bermunculan juga terjadi di Kota Medan. Sejak beberapa tahun belakangan ini banyak sekolah yang menawarkan sistem bilingual tumbuh dan berkembang di kota ini. Salah satu dari sekolah tersebut Universitas Sumatera Utara 3 adalah Chandra Kusuma School. Sekolah ini mempekerjakan guru-guru yang bisa berbahasa Inggris. Guru-guru tersebut tidak harus memiliki latar belakang ilmu pendidikan, asalkan sesuai dengan kriteria yang diajukan oleh pihak sekolah. Selain guru-guru yang bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris, Chandra Kusuma School juga mendatangkan beberapa guru asing dari beberapa negara, seperti Belanda. Guru adalah orang yang profesional, artinya secara formal mereka disiapkan oleh lembaga atau institusi pendidikan yang berwenang. Mereka dididik secara khusus untuk memperoleh kompetensi seorang guru yang meliputi pengetahuan, keterampilan, kepribadian, serta pengalaman dalam bidang pendidikan. Keadaan yang ada di Chandra Kusuma School ini sesungguhnya belumlah ideal, karena masih adanya guru-guru yang tidak memiliki latar belakang ilmu pendidikan Wibowo, 2002. Guru-guru sekolah bilingual yang tidak memiliki pengalaman dalam bidang pendidikan akan mengalami hambatan dalam menghadapi siswanya, terutama dalam pemilihan dan penggunaan kata-kata dalam mengajar. Banyak siswa yang lambat dalam belajar dan mengerjakan tugas di kelas disebabkan siswa tersebut tidak mengerti kalimat yang diucapkan oleh gurunya. Siswa seperti mendengar kata-kata asing yang tidak jelas dan hanya beberapa kata yang mereka mengerti. Guru yang melihat siswanya lambat mengerjakan tugas langsung menganggap siswanya tersebut pemalas. Keadaan ini menunjukkan bahwa guru tersebut tidak mampu menghadapi siswanya. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan guru Universitas Sumatera Utara 4 mengenai keadaan dan lingkungan pendidikan, khususnya pendidikan untuk siswanya Netto, 2007. Kemampuan seorang guru untuk bisa menghadapi siswa-siswanya berhubungan dengan self-efficacy yang dimiliki oleh guru tersebut Hoy Woolfolk dalam Pintrich, 2002. Self-efficacy merupakan kepercayaan pada satu kemampuan untuk mengatur dan melaksanakan bagian dari aktivitas yang dibutuhkan untuk menghasilkan tujuan yang diinginkan Bandura, 1997. Self- efficacy merupakan suatu keyakinan dalam diri seseorang bahwa ia mampu melakukan tugas tertentu. Keyakinan akan self-efficacy mempengaruhi pemilihan perilaku, usaha, dan ketekunan seseorang. Self-efficacy dapat menentukan bagaimana perasaan seseorang, cara berfikir, dan berperilaku Bandura, 1997. Self-efficacy guru merupakan pendorong bagi siswa yang akan terlihat dari prestasi yang diterima siswa dan juga akan mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar Pajares, dalam Pintrich, 2002. Self-efficacy guru merupakan prediktor yang signifikan bagi prestasi siswa. Self-efficacy guru akan meningkat ketika siswanya menunjukkan peningkatan dalam pelajaran. Tschannen-Moran, Woolfolk Hoy, Hoy, dalam Pintrich, 2002. Self-efficacy adalah kemampuan seseorang untuk mengatur dan memutuskan tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Self-efficacy merupakan mediator terbesar untuk tingkah laku manusia dan perubahan tingkah laku. Kepercayaan individu memberikan pengaruh pada tingkah laku, motivasi, kesuksesan ataupun kegagalannya Bandura, dalam Henson, 2001. Universitas Sumatera Utara 5 Selanjutnya, Bandura 1997 juga menyatakan bahwa self-efficacy berguna untuk melatih kontrol terhadap stressor. Hal ini berhubungan dengan profesi guru yang seringkali menimbulkan ketegangan. Banyaknya waktu yang dihabiskan untuk menangani masalah-masalah siswa membuat guru frustasi dan depresi Santrock, 2004. Seorang guru yang efektif memiliki kepercayaan diri akan self-efficacy yang dimilikinya dan tidak membiarkan emosi negatif mengurangi motivasinya dalam mengajar. Guru yang efektif menunjukkan sikap yang positif dan antusias dalam kelas. Sikap ini akan menularkan pada siswa dan akan membantu mereka merasakan bahwa kelas adalah tempat yang mereka inginkan Santrock, 2004. Self-efficacy yang dimiliki seorang guru disebut sebagai self-efficacy guru teacher efficacy. Self-efficacy guru merupakan penilaian seorang guru terhadap kemampuannya untuk menghasilkan suatu hasrat bagi siswa untuk mencapai tujuan pelajaran, meskipun diantara siswanya ada yang mengalami kesulitan dalam belajar atau tidak termotivasi untuk belajar Tschannen-Moran Woolfolk Hoy, dalam Henson, 2001. Kemudian Ashton dan Webb dalam Pintrich, 2002 menyatakan bahwa self- efficacy guru merupakan kepercayaan seorang guru mengenai kemampuannya untuk membantu siswanya dalam belajar. Self-efficacy guru akan mempengaruhi self-efficacy tipe yang sama dari aktivitas yang memberikan dampak pada siswa, misalnya pemilihan aktivitas, usaha, ketahanan, dan prestasi. Hoy dan Woolfolk dalam Pintrich, 2002 menyatakan bahwa self-efficacy guru merupakan kepercayaan guru bahwa ia mampu menghadapi siswa yang mengalami kesulitan Universitas Sumatera Utara 6 belajar untuk bisa belajar, hal ini merupakan salah satu karakteristik personal dari guru yang berhubungan dengan prestasi siswa. Guru dengan self-efficacy yang tinggi cenderung untuk mencoba metode- metode instruksi, mencari metode mengajar tambahan, dan melakukan percobaan dengan materi instruksional Allinder, dalam Henson, 2001. Guru yang memiliki self-efficacy yang tinggi juga akan lebih mengembangkan aktivitas yang menantang, membantu siswa untuk sukses, dan bertahan dengan siswa yang mengalami masalah dalam belajar. Guru dengan self-efficacy yang tinggi menyukai lingkungan kelas yang positif, mendukung ide-ide siswa, dan menanyakan hal-hal yang dibutuhkan oleh siswa Ashton Webb, dalam Pintrich, 2002. Teori self-efficacy memprediksikan bahwa guru dengan self- efficacy tinggi bekerja lebih keras dan bertahan lebih lama ketika menghadapi siswa yang mengalami kesulitan belajar. Hal ini karena guru percaya pada dirinya dan siswa-siswanya. Ashton dan Webb dalam Pintrich, 2002 mengungkapkan bahwa guru dengan self-efficacy yang rendah mungkin menghindari untuk merencanakan aktivitas yang mereka yakini melampaui kemampuan mereka, tidak bertahan dengan siswa yang mengalami kesulitan, melakukan sedikit usaha untuk menemukan materi- materi pengajaran, dan tidak mengulang pelajaran dengan cara yang bisa membuat siswa lebih mengerti. Namun demikian hasil yang dicapai siswa di sekolah dipengaruhi juga oleh komitmen guru di sekolah tersebut. Hal ini sesuai dengan dengan pendapat Firestone, dkk dalam Teacher Commitment and Engagemant, 2007 yang Universitas Sumatera Utara 7 menyatakan bahwa komitmen seorang guru berdampak pada penampilan kerjanya, jumlah kehadiran, burnout dan turnover, yang juga berpengaruh terhadap prestasi siswa, serta perilaku siswa di sekolah. Huberman dan Nias dalam Teacher Commitment and Engagemant, 2007 berpendapat bahwa komitmen guru merupakan salah satu faktor penting yang menentukan dalam kesuksesan dan kelangsungan pendidikan di masa depan. Louis dan Coladarci dalam Jeffros Haughey, 2001 menyatakan bahwa self-efficacy guru secara langsung mempengaruhi komitmen guru. Komitmen guru mengalami perubahan dan pengurangan ketika guru merasa tidak sukses, dimana ketika mereka merasa self-efficacy yang dimilikinya rendah. Perasaan tersebut mendukung berkembangnya ketidakmampuan guru untuk memengaruhi proses belajar siswa, untuk menghidupkan perasaan mereka akan misi dan standar internal profesional, untuk melanjutkan belajar dan tumbuh, dan untuk berprestasi mencapai tujuan Joffres Haughey, 2001. Nias 1981, dalam Teacher Commitment and Engagemant, 2007 menyatakan bahwa komitmen merupakan suatu bagian yang digunakan seseorang untuk menjelaskan dirinya dan orang lain. Komitmen menunjukkan siapa yang peduli, berdedikasi, dan siapa yang mengerjakan pekerjaan dengan serius. Beberapa guru melihat komitmen mereka sebagai bagian dari identitas profesionalnya, hal ini menjelaskan mereka dan pekerjaannya dimana mereka menikmati pekerjaannya itu Elliot Crosswell, 2001. Sebagian guru lainnya menganggap bahwa kegiatan mengajar akan menghabiskan waktu hidupnya Nias, 1981, dalam Teacher Commitment and Engagemant, 2007. Mereka biasanya membatasi Universitas Sumatera Utara 8 komitmen mereka dengan sekolah, seperti hanya untuk bertahan di sekolah tersebut. Hal ini tidak menutup kemungkinan bagi guru untuk meninggalkan profesinya tersebut Teacher Commitment and Engagemant, 2007. Pergerakan naik dan turunnya komitmen guru terlihat dari pengertian guru akan pengalaman negatif mereka. Komitmen menurun dalam fungsi atribusi kausal guru dari penerimaan akan kegagalan ketika guru mengatribusikan ketidakmampuan mereka untuk mempengaruhi proses belajar siswa Joffres Haughey, 2001. Komitmen guru bisa dipertinggi atau dikurangi dari beberapa faktor seperti tingkah laku siswa, kolega dan dukungan administratif, dukungan orang tua siswa, dan undang-undang pendidikan nasional Day, 2000; Louis, 1998; Riehl Sipple, 1996; Tsui Cheng, 1999. Tingkat komitmen guru ini merupakan faktor penentu dari kesuksesan pendidikan. Fresko, dkk dalam Joffres Haughey, 2001 menyatakan bahwa komitmen guru merupakan hal yang penting dalam menentukan keefektifan sekolah dan kepuasan guru. Penelitian menemukan bahwa tingkat komitmen yang rendah akan mengakibatkan penurunan prestasi siswa, tingkat absensi yang tinggi, dan meningkatnya turnover guru Kushman, Reyes Fuller, Rosenholtz, dalam Joffres Haughey, 2001. Menurut Wibowo 2002 seorang guru harus mempunyai komitmen tinggi untuk dapat meningkatkan keterampilan yang memungkinkan, yaitu keterampilan dalam mengidentifikasi dan mengatasi masalah, berpikir kreatif, kritis, produktif, dan kecermatan mengolah informasi yang semakin canggih. Knobloch dan Universitas Sumatera Utara 9 Whittington 2003 dalam penelitiannya menemukan bahwa komitmen seorang guru merupakan sumber dari self-efficacy dirinya dalam mengajar, dimana hal ini berhubungan dengan harapan dari efikasinya akan keberhasilannya dalam mengajar. Pajares dalam Henson, 2001 menyatakan bahwa self-efficacy mempengaruhi pilihan, usaha, dan ketahanan individu ketika berhadapan dengan masalah, serta mempengaruhi emosi individu juga. Keadaan di sekolah bilingual memerlukan usaha yang lebih dari sekolah biasa. Di sekolah bilingual guru diwajibkan menguasai bahasa Inggris karena proses belajar mengajar disampaikan dalam bahasa Inggris. Siswa yang dihadapi juga terkadang berasal dari negara lain, sehingga hal tersebut menjadi tantangan bagi guru dan mungkin akan mempengaruhi emosi dan ketahanan guru dalam menghadapi siswanya. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melihat apakah ada hubungan antara self-efficacy guru dengan komitmen guru sekolah bilingual di Kota Medan.

B. TUJUAN PENELITIAN