Giri terhadap nama juga terdapat dalam kisah 47 ronin. Cerita ini menggambarkan bahwa untuk membersihkan nama baik tuannya, mereka rela
berkorban melakukan adauchi yang berarti melakukan balas dendam atas tuan. Kisah ini dirasakan cukup tragis karena setelah melakukan adauchi ke 47 ronin tersebut
melakukan bunuh diri mengikuti kematian tuan atau lebih dikenal dengan istilah junshi.
2.2 Pengabdian Diri dalam Bushido
Jika dilihat dari huruf kanjinya bushido yang terdiri dari 武士 ‘bushi’yang
berarti ksatria dan 道‘dou’yang berarti jalan. Maka bushido secara harfiah memiliki
arti jalan ksatria. Bushido adalah jalan atau pedoman bagi kaum ksatria yang memiliki makna sebagai jalan yang harus dipatuhi oleh para ksatria atau samurai dalam
akitifitas kesehariannya. Bushido juga merupakan kode etik kaum samurai yang tumbuh sejak
terbentuknya samurai. Sumbernya adalah pelajaran agama Buddha yaitu Zen dan Shinto, karena ajaran ini menimbulkan harmoni yang dikatakan orang Jepang
“kekuasaan yang absolute” kesemua ini dicapai melalui meditasi Suryohadiprojo, 1982 : 48.
Clearly dalam Wulandari 2006 : 22 mengatakan pada dasarnya ajaran Zen mengajarkan untuk memperoleh keselamatan melalui meditasi dan penghayatan
kekosongan. Dalam meditasi ini, seorang samurai diharapkan untuk dapat berkonsentrasi dan mengenali diri sendiri serta tidak membatasi diri sendiri. Tujuan
dari meditasi ini agar para samurai nantinya dapat mengendalikan rasa takut, rasa
Universitas Sumatera Utara
tidak tenang dan kesalahan-kesalahan yang dapat mengakibatkan para samurai tersebut terbunuh dalam pertempuran.
Watsuji dalam Situmorang 1995 : 21 mengatakan bahwa ada perbedaan etos pengabdian bushi sebelum zaman Edo dengan etos pengabdian diri pada zaman Edo.
Etos pengabdian diri bushi sebelum zaman Edo adalah pengabdian kepada tuan yang didasarkan pada ajaran Buddha Zen. Sedangkan pemerintah Tokugawa pada zaman
Edo berusaha mengubahnya dengan dasar ajaran konfusius yang disebut dengan shido.
2.2.1 Kesetiaan terhadap Tuan Terdapat perbedaan etos pengabdian diri bushi sebelum zaman Edo dengan
etos pengabdian diri bushi pada zaman Edo. Hal tersebut karena adanya pengaruh ajaran Buddha Zen dan konfusionis. Pada era sebelum zaman Edo, pengaruh ajaran
Buddha Zen terasa begitu kuat dalam jiwa para bushi. Pandangan dalam ajaran Buddha Zen pada waktu itu, bahwa perjalanan di
dunia kematian adalah gelap, oleh karena itu para anak buah harus rela mati untuk menemani perjalanan kematian menuju raise dunia setelah mati. Ini diperkuat lagi
oleh pandangan reinkarnasi yang dipercaya oleh bushi Situmorang, 1995 : 22. Oleh karena itu, pengabdian diri bushi terhadap tuan adalah sesuatu yang
mutlak bagi hidup seorang bushi. Sebagai tanda pengabdian diri bushi terhadap tuannya, sering kali terlihat anak buah melakukan adauchi mewujudkan balas
dendam tuan dan junshi bunuh diri mengikuti kematian tuan. Menurut Tsunetomo dalam Situmorang 1995 : 25, bushido adalah janji
untuk mengabdikan diri bagi tuan. Dia berkata bahwa para anak buah hanya
Universitas Sumatera Utara
mempunyai satu tujuan hidup yaitu untuk mengabdi kepada tuan. Menurutnya hal ini mempunyai dua pengertian, yaitu :
1. Secara absolute mengutamakan tuan, yaitu kesetiaan mengabdi satu arah
dengan mengabdikan jiwa raga bagi tuan. 2.
Menjadi anak buah yang betul-betul dapat diandalkan, yaitu betul-betul melaksanakan sumpah setia kepada tuan.
Hal tersebut juga didukung oleh adanya konsep Ie dalam masyarakat Jepang. Karena di dalam Ie tuan dan pengikut mempunyai ikatan hubungan yang sangat erat
dari generasi ke generasi. Segala sesuatu yang diberikan tuan selama hidupnya merupakan on budi baik dan seorang bushi anak buah wajib membalas on tersebut
berupa giri balas budi. Mengalami kematian ketika sedang mengabdi kepada pangeran dianggap
sebagai akhir yang paling layak bagi seorang samurai Bellah, 1985 : 125. Pengabdian diri seorang bushi anak buah tidak memperdulikan sesuatu apapun, tidak
memperdulikan apakah itu benar atau salah, tetapi yang terpenting adalah setia terhadap tuan.
Konsep kesetiaan bushi menurut Tsunetomo dalam Situmorang 1995 : 25-33 tercantum dalam berbagai pasal dalam bab pertama dan bab kedua dari sebelas bab
Hagakure. Hagakure adalah sebuah tulisan yang berisikan pelajaran bushi yang lahir pada zaman Edo dari daerah Nabeshima. Tulisan tersebut berisikan pembicaraan
Tsunetomo kepada Tashiro Tsuramoto tentang bagaimana seharusnya kehidupan bushi pada waktu itu. Berikut adalah kutipan dalam bab I pasal 31 hagakure :
Pekerjaan sembah sujud setiap pagi, pertama-tama adalah sujud kepada tuan, kemudian sujud kepada ayah, sujud kepada dewa keluarga, baru sujud kepada
Buddha. Jikalau mengutamakan tuan, ayah akan gembira, dewa keluarga dan Buddha pun menyetujuinya. Jangan memikirkan yang lain lebih penting dari
Universitas Sumatera Utara
pada tuan. Kalau ada sesuatu kesusahan, tidak boleh lupa kepada tuan. Wanita mengutamakan suami, suami mengutamakan tuan.
Bushido mengajarkan para bushi untuk mengabdi pada tuan, bahkan tuan lebih diutamakan dari pada pengabdian kepada ayah sendiri, dewa dan Buddha. Hal
tersebut dilatarbelakangi oleh rasa terima kasih yang besar dalam diri bushi kepada tuannya. Sehingga pengabdian kepada tuan bersifat mutlak.
2.2.2 Kesetiaan terhadap Shogun Pada zaman feodal Jepang, chu adalah kewjiban kepada pemimpin sekuler,
yaitu shogun. Pada abad-abad itu, shogun adalah jenderalisimo dan pengelola utama. Meskipun chu harus ditujukan kepadanya, tetapi sering berbenturan dengan kesetiaan
yang ditujukan kepada penguasa feodal setempat Benedict, 1982 : 133. Hal tersebut dikarenakan adanya hubungan ikatan yang kuat secara langsung antara bushi anak
buah dengan tuannya, sehingga kesetiaan bushi kepada shogun tidak seperti kesetiaan bushi terhadap tuan.
Pada masa pemerintahan militer sebelum berkuasanya keshogunan Tokugawa, banyak sekali terjadi perlawanan penguasa-penguasa feodal di daerah untuk
menjatuhkan shogun yang berkuasa pada waktu itu dan juga peperangan antar daimyo. Varley 2008 : 19 menyatakan bahwa dalam masyarakat agraris pra modern,
bentuk kekayaan utama adalah tanah, maka ganjaran yang paling penting adalah tanah atau klaim untuk mendapat penghasilan atasnya. Oleh karena itu pertempuran-
pertempuran yang terjadi pada abad-abad militer dalam sejarah Jepang dilakukan demi tanah. Tujuan utamanya dalam setiap konflik adalah hak untuk menyita
kepemilikan musuh.
Universitas Sumatera Utara
Berbeda dengan zaman feodal sebelumnya yang ditandai dengan perang yang berkepanjangan di Jepang yang disebut dengan Sengoku Jidai masa perang seluruh
negeri. Tokugawa yang menjadi shogun pada zaman Edo melihat pengalaman para shogun pada masa sengoku. Hal yang paling fundamental yang dilakukan keshogunan
Tokugawa adalah mengubah etos pengabdian bushi dari tuan kepada keshogunan. De bary dalam Situmorang 1995 : 70 menyatakan bahwa pada zaman Edo,
konfusionis telah berperan membentuk sifat nasionalisme Jepang. Pada zaman Edo Ieyashu memerintahkan supaya para daimyo membuka sekolah-sekolah untuk
mengajarkan konfusionis di daerah. Karena itu dikatakan bahwa pelajaran konfusionis mendominasi sistem pendidikan Jepang pada zaman Edo. Konfusionis
yang ditanamkan dalam shido telah berfungsi sebagai sarana legitimasi regim Tokugawa. Sehingga seluruh kekuasaan di Jepang pada waktu itu tertumpu pada
Tokugawa. Untuk memperkuat pemerintahan keshogunan, Tokugawa menunjuk Hayashi
Razan sebagai seorang kangakusha untuk mengajarkan konfusionis di kalangan daimyo dan juga para bushi di keshogunan. Hayashi razan memunculkan lima
pemikiran yang disebut dengan gorin. Gorin adalah lima macam etika kesadaran yaitu pengabdian pengikut terhadap
tuan, pengabdian anak terhadap ayah, pengabdian adik laki terhadap kakak laki-laki, pengabdian istri terhadap suami, dan hubungan orang sederajat Situmorang, 1982 :
44. Pemikiran kesadaran terhadap gorin tersebut dirumuskan dalam shido. Oleh karena itu, tugas kangakusha adalah membuat rumusan shido yaitu bagaimana
seharusnya jalan hidup bushi dalam zaman Edo.
Universitas Sumatera Utara
Tetapi kemudian para kangakusha ini tidak mampu merumuskan konsep shido. Oleh karena para kangakusha tidak memisahkan ajaran Buddha Zen dan
konfusionisme, Yamaga Soko seorang pemikir dari kalangan swasta mampu merumuskan konsep shido yang berlandaskan ajaran konfusionisme. Di dalam konsep
shido yang diajarkan oleh Soko titik beratnya ialah penjelasan akan gorin dengan perhatian utama adalah penjelasan jalan hidup tuan dan jalan hidup anak buah secara
mendetail. Watsuji dalam Situmorang 1977 : 198 mengatakan dengan demikian jelas
kelihatan bahwa shido muncul dari pemikiran kangakusha yang muncul dari pengalaman dari zaman Sengoku Jidai masa perang seluruh negeri. Hal inilah yang
mendorong Ieyashu untuk mengambil jugaku konfusionis sebagai pendidikan politik, dengan tujuan supaya negara aman.
Soko dalam Situmorang 1995 : 57 mengajarkan juga sebagai pengganti junshi bunuh diri mengikuti kematian tuan adalah jalan yang baik. Yaitu bushi
sebagai anak buah harus melewatkan seumur hidup mengabdi di atas tatami. Maksudnya bushi harus menetapkan dalam hati keharusan mengabdikan jiwa raga
membantu menyelesaikan masalah-masalah Ie jika Ie mati ditinggal tuan. Menurutnya pengabdian jiwa raga seperti ini yang cocok bagi bushi yang hidup
damai pada zaman Edo. Jadi jika ada bushi anak buah yang tampil untuk menyelamatkan Ie dalam keadaan seperti ini maka pengabdian tersebut dapat
dikatakan lebih baik seratus kali lipat dari pada junshi. Untuk memperkuat pemerintahan Tokugawa sebagai penguasa tertinggi di
seluruh Jepang, Tokugawa mengubah makna moralitas yang berlaku di masyarakat dengan tujuan pemusatan rasa terima kasih kepada pemerintahan Tokugawa bagi
Universitas Sumatera Utara
seluruh negara Jepang, yaitu dengan cara menanamkan kesadaran akan peringkat atas dan bawah. Peringkat kekuasaan adalah keshogunan sehingga merupakan pemberi on
tertinggi bagi masyarakat Jepang Situmorang, 1995 : 66. Chu adalah konsep balas budi dari pengikut terhadap tuan, bukan balas budi
dari anak terhadap ayah. Dalam zaman Edo konsep chu adalah balas budi bushi terhadap tuan, balas budi tuan terhadap shogun. Sehingga konsep chu ini bertumpu di
tangan shogun Benedict, 1982 : 133. Konsep giri dalam pelajaran shido, diubah menjadi giri yang berarti mengabdi
memikirkan untung rugi. Pemikiran giri dalam ajaran shido ini membuat rasionalisasi hubungan tuan dengan anak buah, dan hal ini mengubah kesetiaan anak buah terhadap
tuannya. Dalam konsep chu, atasan tertinggi dalam kelompok adalah seseorang kepada
siapa orang paling banyak berhutang. Rasa berhutang seseorang bukanlah merupakan kebajikan. Hal ini dimulai pada saat seseorang ini memutuskan dirinya secara aktif
menembus hutang tersebut Benedict, 1982 : 121. Dalam masyarakat Edo, bushi sering dikatakan sebagai pemelihara moralitas,
karena pekerjaan bushi bukan mengolah, bukan berdagang dan bukan berperang. Di dalam masyarakat yang damai karena tidak ada perang maka bushi menjadi
penganggur. Oleh karena itu dalam ajaran shido dikatakan bahwa bushi harus menyadari eksistensinya sebagai hati di dalam badan. Bushi adalah sebagai guru
masyarakat.
2.3 Militerisme di Jepang dan Kamikaze