BAB III ANALISIS MAKNA PENGABDIAN DIRI PILOT
KAMIKAZE
Bunuh diri sebenarnya bukan budaya yang baru di Jepang. Pada zaman feodalisme di Jepang, cara bunuh diri dinamakan dengan seppuku dan pada era
modern Perang Dunia II, terdapat cara bunuh diri yang disebut dengan Kamikaze yaitu dengan cara menabrakkan pesawat ke arah musuh. Bunuh diri di Jepang
merupakan suatu bentuk tanggung jawab.
3.1 Aspek-Aspek Serangan Kamikaze
Bunuh diri adalah tindakan merusak diri sendiri yang mengakibatkan kematian. Jika dilihat dari metode ataupun sudut pandang perjuangan memiliki
banyak dimensi. Bunuh diri sebagai suatu bentuk perjuangan memiliki aspek positif dan negatif. Orang Jepang memiliki sudut pandang berbeda dengan orang-orang di
negara lain. Dari segi budaya Jepang, bunuh diri memiliki aspek nilai yang dibenarkan dalam masyarakat. Nilai yang terkandung seperti kebanggaan, keksatriaan
dan kepahlawanan. Ini terjadi karena bunuh diri dengan metode perjuangan tersebut dikaitkan dengan religi kepercayaan dan nasionalisme. Alas an-alasan tersebut
menjadi faktor penting pelaku yang membuat pelaku rela melakukan bunuh diri tanpa ada perasaan takut pada dirinya. Bahkan keluarga yang ditinggalkan pun memiliki
kebanggan tersendiri. Salah satu kasus bunuh diri yang terjadi yang dilatarbelakangi nilai budaya
adalah fenomena bunuh diri ribuan pilot Kamikaze Jepang pada Perang Dunia II. Pada masa Perang Dunia II, pilot-pilot Jepang yang usianya relatif muda yaitu dibawah
umur 30-an tanpa rasa takut dalam diri mereka melakukan aksi bunuh diri dengan
Universitas Sumatera Utara
menabrakkan pesawat mereka ke kapal-kapal perang musuh di lautan pasifik. Fenomena bunuh diri ini merupakan hal yang menarik dan tidak pernah dipergunakan
taktik semacam ini pada perang-perang sebelumnya. Kepercayaan Jepang menyebutkan bahwa bunuh diri semacam ini dilakukan
sebagai wujud kesetiaan kepada sang Kaisar yang mereka percaya sebagai keturunan dewa matahari. Disinilah aspek agama menjadi pendorong semangat Kamikaze.
Selain itu perjuangan untuk membela negara juga menjadi alasan karena pahlawan mendapat gelar penghormatan nasional. Aspek nasionalisme juga menjadi faktor
penting dalam semangat Kamikaze. Dengan aspek-aspek yang menjadi alasan seperti yang disebutkan di atas, maka para pelaku serangan bunuh diri Kamikaze dan para
keluarga pelaku memiliki kebanggaan tersendiri. Kamikaze erat kaitannya dengan bunuh diri altruistik karena berhubungan
dengan budaya bangsa Jepang. Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang memiliki budaya malu seperti yang diungkapkan oleh Ruth Benedict. Kebudayaan
yang berdasarkan atas rasa malu tersebut mempunyai sanksi ekstern untuk sebuah tingkah laku yang baik. Jadi rasa malu ini bergantung pada baik buruknya suatu
tindakan itu dalam penilaian masyarakat luas pada umumnya. Pada bab sebelumnya, Emil Durkheim seorang sosiolog Prancis,
mengelompokkan tiga jenis bunuh diri, yang salah satunya disebut dengan altruistic suicide, yaitu bila individu merasa terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia
cenderung untuk bunuh diri karena identifikasi yang terlalu kuat dengan suatu kelompok, sehingga ia merasa bahwa kelompok tersebut sangat mengharapkannya.
Jadi Bunuh diri Kamikaze termasuk ke dalam bunuh diri altruistik karena masyarakat Jepang pada umumnya adalah orang yang terikat dalam kelompoknya dan terlalu
Universitas Sumatera Utara
kecil sifat individualismenya, dapat dengan mudah membawa dirinya kepada hal yang bersifat destruktif diri karena altruisme dan tanggung jawab. Mereka yang bunuh diri
memiliki integritas yang sangat kuat dengan kelompoknya dan bukan berarti mereka merupakan orang-orang yang terganggu jiwanya.
Salah seorang penulis yang mengamati aksi serangan Kamikaze Mr. Kazuo Watanabe yang merupakan asisten professor di Universitas Tokyo menulis artikel
yang berjudul “Generasi Muda yang Bimbang” ditulis dalam Nippon Dokusho Shinbun tanggal 9 September 1946 bahwa dalam Pineau, 2008 : 170 :
Diantara rekan-rekan muda saya, beberapa diantaranya dipanggil ke dalam Korp
Kamikaze. Mereka adalah orang-orang yang terpelajar. Hasil pembicaraan saya dengan mereka tidak menunjukkan bukti bahwa mereka
tidak stabil.
Dari uraian yang disebutkan oleh Kazuo Watanabe jelas bahwa para pemuda yang menjadi pilot Kamikaze adalah orang-orang yang terpelajar. Mereka direkrut dari
universitas di Jepang. Jadi jelas bahwa mereka bukanlah orang-orang yang terganggu jiwanya. Tetapi mereka adalah orang-orang yang memiliki semangat yang tinggi yang
berdasarkan atas budaya yang dimiliki bangsa Jepang. Para pilot Kamikaze melakukan serangan bunuh diri ini karena sikap loyalitas
terhadap Kaisar dan negara Jepang. Bunuh diri pilot Kamikaze sebagai bunuh diri altruistik merupakan suatu tindakan yang dapat diterima bahkan dihargai oleh
masyarakat. Penilaian masyarakat ini dapat dilihat dari tulisan Laksamana Madya Shigeru Fukuoda, yang pada saat perang pecah menjabat sebagai Kepala Biro Operasi
pada Staf Umum Angkatan Laut. Dia menulis tentang Angkatan Laut Jepang :
Setelah agenda disetujui, Laksamana Nagano, yang mewakili komando tertinggi, berkomentar : “Telah disetujui bahwa jika kita tidak bertempur
sekarang, bangsa kita akan musnah. Tetapi kita mungkin akan musnah jika kita bertempur. Harus dipahami bahwa bangsa yang kehilangan semangat
juang adalah sangat memalukan.
Universitas Sumatera Utara
“Dalam situasi tanpa harapan ini, kelangsungan hidup hanya dapat diraih melalui perjuangan sampai titik darah penghabisan. Pada saat itu, bahkan jika
kita kalah, generasi mendatang akan mewarisi semangat loyalitas kita sebagai inspirasi dalam mempertahankan negara kita.” dalam Pineau, 2008 : XXII-
XXIII.
Dari uraian diatas, pengaruh budaya malu sangat terasa di kehidupan masyarakat Jepang. Negara Jepang yang dalam kondisi tanpa harapan karena dihadapi oleh situasi
perang yang sulit dan harus tetap menghadapinya sampai titik darah penghabisan. Kalah atau pun menang, bukanlah suatu hal yang menjadi masalah disini, tetapi
karakteristik sikap bangsa Jepang yang pantang menyerah tetap dijunjung tinggi oleh bangsa Jepang. Karena menyerah adalah tindakan yang sangat memalukan bagi
bangsa Jepang. Hal tersebut juga ditujukan bagi generasi mendatang untuk mempertahankan
semangat loyalitas bagi negara. Aspek nasionalisme juga mendasari semangat Kamikaze terhadap negara Jepang dimana nasionalisme menjadi ideologi yang
meletakkan bangsa dipusat masalahnya dan dituntut untuk menemukan dan memulihkan identitas budaya bangsanya.
Taktik perang Kamikaze yang ekstrem ini bertitik tolak dari budaya malu yang berkembang dalam sejarah bangsa Jepang. Budaya malu ini melahirkan suatu sikap
pantang menyerah dalam diri tentara Jepang. Berbeda dengan bangsa barat yang berkebudayaan rasa takut, dan jika mereka menghadapi musuh yang berkekuatan
lebih besar akan melakukan tindakan menyerah. Para prajurit Jepang yang pantang menyerah memiliki pandangan yang berbeda. Mereka akan merasa terhina jika
mereka menyerah. Kehormatan sangat berhubungan erat dengan bertempur sampai mati. Bahkan dengan cara bunuh diri lebih baik dari pada menjadi tawanan musuh.
Universitas Sumatera Utara
Bunuh diri dengan cara ekstrem seperti Kamikaze ini tidak begitu saja muncul sebagai suatu gagasan taktik penyerangan. Bunuh diri dengan cara ini merupakan
sebuah produk yang memiliki unsur budaya dan aspek historis dalam perkembangan sejarah bangsa Jepang. Jepang memiliki latar belakang sejarah sebagai sebuah negara
yang militeristik. Hal tersebut ditandai dengan munculnya sistem feodalisme yang beriringan dengan lahirnya golongan elit ksatria Jepang yang disebut dengan bushi.
Kaum bushi ini memiliki falsafah hidup yang dikenal dengan bushido. Sesuai dengan pernyataan dalam Hagakure bab 1 pasal 2
「武士道というは死ぬことを見つけたり」 yang berarti
bushido adalah jalan menemukan kematian. Tetapi bukan hanya kematian yang dicari dalam bushido melainkan
prinsip-prinsip bushido lainnya seperti kejujuran, kesetiaan dan harga diri adalah hal- hal yang dijunjung tinggi oleh bangsa Jepang yang patut ditiru sebagai suatu
perwujudan dan penjaga moralitas. Golongan samurai yang rela mati mendapatkan kehormatan tertinggi yang
ditujukan untuk tuannya ini menunjukkan sebuah kesetiaan yang absolut kepada tuan majikannya. Prinsip bushido inilah yang mendasari penggunaan taktik serangan
bunuh diri pilot Kamikaze Jepang. Sehingga pengenalan terhadap prinsip Kamikaze tidak terlalu mengejutkan bagi bangsa Jepang jika dibandingkan dengan bangsa-
bangsa barat. Selain itu bangsa Jepang mengenal konsep kehidupan setelah mati reinkarnasi. Hal ini dipengaruhi oleh ajaran Buddhisme Zen yang erat kaitannya
dengan kehidupan samurai pada masa dulu. Jadi konsep kepercayaan ini bagi bangsa Jepang membuat kematian itu bukanlah sesuatu yang tidak menyenangkan.
Semangat bushido yang melatarbelakangi penggunaan taktik serangan bunuh diri ini terlihat dalam aksi serangan-serangan yang dilancarkan sejak pembentukan
Universitas Sumatera Utara
unit serangan khusus Kamikaze sampai Jepang akhirnya menyerah pada Amerika. Pada akhir tahun 1944, Amerika melancarkan kekuatan militernya untuk merebut
kembali Filipina dari tangan Jepang setelah sebelumnya Jepang menyerbu pangkalan militer Amerika di Pearl Harbor. Armada Amerika dengan kekuatan tempur yang
besar berlabuh di lepas pantai pulau Suluan di Teluk Leyte Filipina pada tanggal 17 Oktober 1944. Hal ini menandakan akan segera dilaksanakan invasi besar oleh
Amerika terhadap Jepang. Jika Filipina lepas dari tangan Jepang, maka kepulauan Jepang dalam ancaman bahaya besar. Oleh sebab itu para pemimpin militer Jepang
memerintahkan untuk mengambil tindakan membendung upaya Amerika. Yang pada akhirnya timbul suatu ide membentuk Unit Serangan Khusus Kamikaze.
Unit Serangan Khusus Kamikaze ini dibentuk di Mabalacat Filipina oleh Laksamana Madya Takijiro Onishi yang menjabat sebagai panglima pasukan udara
Angkatan Laut Jepang di Filipina. Sebelum membentuk Unit Kamikaze, Laksamana Onishi berdiskusi dengan beberapa perwira staf militer di markas komando grup 201
di Mabalacat Filipina. Berikut pembicaraannya : “Seperti kalian ketahui, situasi perang sangat membahayakan. Kabar
kehadiran pasukan Amerika di teluk Leyte sudah tersebar. Nasib Kekaisaran tergantung pada operasi sho, yang telah diaktifkan oleh Markas Besar Umum
KeKaisaran untuk mengalahkan serangan musuh ke Filipina. Armada permukaan kita sudah bergerak. Armada kedua dibawah pimpinan Laksamana
Madya Kurita, yang merupakan kekuatan tempur utama kita akan bergerak ke wilayah Leyte untuk memusnahkan musuh. Misi armada udara pertama adalah
memberikan perlindungan udara berbasis darat bagi penyerangan yang dipimpin Laksamana Madya Kurita, selain memastikan bahwa serangan udara
Universitas Sumatera Utara
musuh tidak menghambatnya menuju Teluk Leyte. Untuk melakukannya kita harus menyerang kapal-kapal induk musuh dan menetralkan mereka minimal
selama satu minggu.” “Menurut pendapat saya, hanya ada satu cara untuk memastikan agar kekuatan
kita yang sangat sedikit ini mampu mencapai hasil maksimal. Caranya adalah mengorganisir unit serangan bunuh diri yang terdiri dari pesawat tempur Zero
yang dipersenjatai bom seberat 250 kg. setiap pesawat tersebut akan ditabrakkan ke kapal induk musuh… Bagaimana pendapat kalian?” dalam
Pineau, 2008 : 6-8. dari percakapan Laksamana Onishi dengan para staf militernya, dapat dipahami
bahwa keadaan perang akan sangat membahayakan Jepang apabila Amerika berhasil merebut Filipina. Pasukan Amerika telah mendarat di Teluk Leyte. Oleh karena itu,
KeKaisaran Jepang memutuskan agar segera operasi Sho dijalankan. Sho berarti “kemenangan”. Ini merupakan sebuah operasi yang ditujukan untuk pertahanan –
penyerangan terhadap serbuan musuh yang mulai mendekati Jepang. Jepang berencana menyerang musuh di Filipina yang dilakukan oleh kapal-kapal tempur
Laksamana Madya Kurita. Untuk keberhasilan operasi ini, Armada Udara Pertama bertugas memberi perlindungan udara kepada Armada Laksamana Madya Kurita.
Perlindungan udara ini tidak menggunakan sebuah taktik yang konvensional. Laksamana Onishi menyarankan untuk dibentuk pasukan bunuh diri dengan
menabrakkan pesawat ke geladak kapal musuh. Hal ini dilakukan karena Amerika memiliki pesawat-pesawat tempur yang melebihi Jepang baik dalam segi kuantitas
maupun kualitas yang berbasis di kapal induk. Jadi pada awalnya penggunaan taktik Kamikaze oleh militer Jepang adalah memiliki tujuan untuk mendukung keberhasilan
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan operasi sho terhadap musuh. Taktik penyerangan konvensional tidak dapat dilakukan karena mengingat pesawat-pesawat dan kapal-kapal Jepang kalah
jumlah. Sehingga melahirkan ide taktik serangan bunuh diri Kamikaze, suatu taktik yang dianggap unik dalam sejarah peperangan sekaligus dianggap ekstrem sebagai
satu-satunya cara untuk menghadapi superioritas militer Amerika. Serangan Kamikaze bukan merupakan taktik penyerangan biasa. Serangan ini
memiliki aspek kematian yang pasti. Pilot dihadapi dengan kematian, tidak ada harapan untuk selamat bagi pilot Kamikaze. Lalu bagaimana perekrutan pilot-pilot
yang akan melakukan serangan bunuh diri ini? Apakah ada orang yang ingin menjemput kematian? Untuk mengetahui hal tersebut akan dibahas melalui studi
kasus dari fenomena bunuh diri pilot Kamikaze.
3.2 Kasus-Kasus Bunuh Diri Pilot Kamikaze