BAB II PENGABDIAN DIRI MASYARAKAT JEPANG DAN
KAMIKAZE
2.1 Masyarakat Berkebudayaan Rasa Malu
Ruth Benedict dalam Situmorang mengatakan 1995 : 64 bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang berkebudayaan rasa malu. Ruth Benedict
membedakan dengan masyarakat Amerika yang menurutnya adalah berkebudayaan rasa takut. Dalam kebudayaan rasa takut nilai yang paling tinggi adalah rasa takut
kepada Tuhan. Berbeda dengan masyarakt Jepang yang memiliki kebudayaan rasa malu haji. Kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa malu ini mengandalkan
sanksi ekstern untuk tingkah laku yang baik, dan tidak seperti pada kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa bersalah yang mengandalkan keyakinan intern tentang
dosa. Rasa malu adalah reaksi terhadap kritik yang dilancarkan orang lain. Orang
dibuat malu kalau secara terbuka diperolokkan dan ditolak, atau kalau ia membayangkan dirinya seakan diperolokkan. Dalam kedua hal itu rasa malu
merupakan sanksi yang kuat. Tetapi hal itu memerlukan suatu hadirin, atau setidaknya hadirin dalam khayalan orang. Rasa bersalah tidak memerlukan hal
tersebut Benedict, 1982 : 233. Jika seseorang mendapat kritik dari orang lain maka akan timbul reaksi malu
dari dalam dirinya. Reaksi ini bukan merupakan reaksi fisik tapi lebih kepada reaksi psikologi seseorang yang mendapat kritik tersebut. Oleh karena itu nilai yang paling
tinggi adalah bukan rasa takut kepada dewa atau Tuhan, tetapi rasa malu akan penilaian masyarakat luas pada umumnya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kehidupan masyarakat Jepang rasa malu yang paling tinggi adalah ketidakmampuan membalaskan budi baik orang lain atau prinsip keterutangan
terutama pada utang budi. Oleh karena itu seluruh aktifitas mereka difokuskan pada penghindaran rasa malu Situmorang, 2008 : 8.
Dalam berinteraksi dengan orang lain, seseorang akan menerima dan memberi budi baik. Bagi orang Jepang yang dibesarkan dengan ajaran-ajaran moral seperti
tahu malu dan menghargai diri sendiri akan merasakan bahwa budi baik yang mereka terima dari orang lain merupakan beban terberat dalam hidupnya. Oleh karena itu,
masyarakat menuntut kepada setiap orang warganya untuk membalas kembali segala kebaikan yang diterimanya.
Kesaling berhutangan yang lebih dikenal dengan sebutan on merupakan pencurahan murni dari rasa pengabdian yang timbal balik antara si pemberi dan si
penerima on Benedict, 1982 : 5. On merupakan salah satu penggambaran moral bangsa Jepang yang begitu dalam. Yaitu rasa berhutang adalah suatu beban yang
harus dipikul seseorang sebaik mungkin, sehingga dapat dikatakan orang yang menerima on akan terbebani oleh on yang diterimanya.
Seseorang dikatakan menerima on berarti telah menerima anugerah, pemberian atau kemurahan hati dari si pemberi on. Contoh kasus yang paling umum
untuk menggambarkan adanya on adalah hubungan antara orang tua dengan anak. Di satu pihak orang tua memberikan seluruh kebutuhan si anak baik yang bersifat materi
maupun non materi. Di lain pihak si anak menerima seluruh pemberian orang tua yang merupakan budi atau on. Oleh karena itu si anak mempunyai kewajiban
membalas budi atas on yang telah diterimanya selama hidupnya.
Universitas Sumatera Utara
Dengan adanya pemikiran rasa malu tersebut, mengakibatkan orang Jepang lebih susah menerima dari pada memberi. Orang yang menerima akan mengatakan
‘arigatai’ yang kemudian disebut dengan ‘arigato’ yang secara harfiahnya adalah sesuatu yang sulit. Artinya seseorang yang telah menerima sesuatu dari orang lain
harus memikirkan balasnya dan inilah yang sulit tersebut Situmorang, 2008 : 9. Dalam pemikiran orang Jepang, konsep on diartikan sebagai beban atau suatu
hutang yang harus dipikul oleh seseorang sebaik mungkin. Oleh karena itu diantara nilai-nilai yang mengatur tatanan sosial orang Jepang, on menduduki tempat yang
utama dan secara moral hal itu merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Guna memahami konsep budaya malu dalam masyarakat Jepang, maka
selanjutnya akan dibahas pemenuhan balas budi atau on, meliput i gimu sebagai hutang yang tidak mempunyai tenggang waktu dan giri sebagai hutang yang
mempunyai limit waktu pembayaran serta kecenderungan penilaian untung rugi.
2.1.1 Gimu Menurut Benedict 1982 : 125 gimu adalah pembayaran kembali yang
maksimal pun dari kewajiban ini dianggap masih belum cukup dan tidak ada batas waktu pembayarannya. Dengan kata lain pelunasan kewajiban ini tidak akan pernah
dapat dilakukan sepenuhnya dan tidak pernah berakhir selama masa hidupnya. Gimu ini harus dibayar seseorang karena adanya ikatan-ikatan yang kuat dan ketat pada saat
ia dilahirkan. Sehingga pembayaran gimu ini sering disebut “orang tidak pernah dapat membayar kembali sepersepuluh ribu dari on ini”
Mattulada dalam Afni 2005 : 28 mengatakan gimu merupakan suatu bentuk kewajiban atau tugas kepada lingkungan keluarga dekat, kepada penguasa yang
Universitas Sumatera Utara
menjadi simbol negerinya yang telah mengikat kesetiaannya semenjak seseorang itu lahir di dalam lingkungan keluarga dan bangsanya. On yang diterima dengan
pembayaran secara gimu ini tidak dapat dihindari oleh setiap orang Jepang.
2.1.1.1 Chu Sebagai Pemenuhan On Terhadap Kaisar Dalam zaman Edo konsep chu adalah balas budi bushi terhadap tuan, balas
budi tuan terhadap shogun, sehingga konsep chu bertumpu di tangan shogun Situmorang, 1995 : 67. Konsep chu adalah kewajiban kepada pemimpin sekuler
yaitu shogun. Kesetiaan kepada shogun sering bertentangan dengan kesetiaan bushi kepada tuan. Kesetiaan kepada shogun dirasakan sesuatu yang terpaksa sehingga
dikatakan terasa dingin, tidak sehangat kesetiaan terhadap tuan Benedict, 1982 : 133.
Pemenuhan on adalah fakta konkrit dari budaya malu masyarakat Jepang dan pembayaran on yang paling utama adalah on kepada Kaisar. Kesetiaan seorang
hamba kepadanya, yaitu chu merupakan kebajikan tertinggi. Kaisar dijadikan sebuah lambang yang berada di luar jangkauan segala macam pertentangan dalam negeri dan
tidak dapat diganggu gugat. Dengan demikian mereka beranggapan bahwa Kaisar tidak ternilai maknanya,
menyebabkan setiap orang berhutang budi padanya. Chu kepada Kaisar adalah yang utama. Seperti yang dinyatakan oleh Benedcit 1982 : 135-136 :
Tetapi rakyat Jepang sepenuhnya menekankan kemanusiawian lambang tertinggi mereka. Mereka bisa mencintainya dan ia dapat membalas cinta itu.
Kegembiraan mereka meluap-luap karena ia mengarahkan pikira-pikirannya kepada mereka. Mereka memusatkan hidup mereka untuk menentramkan
hatinya.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, untuk menentramkan hatinya, setiap jiwa patuh dan tunduk kepada Kaisar. Pernyataan yang berbicara atas nama Kaisar adalah pernyataan yang
menuntut chu dan merupakan sanksi yang lebih berat dari sanksi manapun yang dikeluarkan oleh sebuah negara modern.
Contoh yang konkrit sebagai bakti terhadap Kaisar adalah pada saat penyerahan prajurit Jepang pada Perang Dunia II di tahun 1945. Berupa keputusan
Kaisar atas pemberhentian perang yang dianggap sebagai pembayaran termahal dan bernilai tinggi. Dengan hak berkata bahwa Kaisar telah memberi perintah, meskipun
perintah itu adalah perintah untuk menyerah.
2.1.1.2 Ko Sebagai Pemenuhan On Terhadap Orang Tua Selain pembayaran on kepada Kaisar atau disebut dengan chu, jenis
pembayaran kembali on yang termasuk ke dalam gimu adalah ko. Ko adalah kewajiban membayar on terhadap orang tua dan nenek moyang. Setiap orang Jepang
menyadari bahwa semenjak lahir mereka menerima on dari orang tua masing-masing. On tersebut adalah hutang terhadap segala sesuatu yang telah dilakukan orang tuanya
yang diterima mereka selama hidupnya. Pernyataan bahwa ko adalah sebagai bagian dari gimu terhadap orang tua tidak
bertentangan dengan pernyataan Tachibana dalam Bellah 1992 : 96 mengenai pemenuhan bakti anak kepada orang tua, sebagai bagian dari budaya malu. ;
Kita mungkin bisa menggendong ibu kita di satu pundak, dan ayah kita di pundak yang lain, dan mengurus mereka selama seratus tahun, melayani
mereka secara fisik dengan segala cara, dan menempatkan mereka di posisi yang mulia, tetap saja kasih sayang yang telah kita terima dari orang tua kita
masih jauh dari terbalas.
Universitas Sumatera Utara
Hal tersebut dapat diartikan bahwa dalam masyarakat Jepang, pemenuhan ko kepada orang tua dapat diwujudkan dengan berbagai cara. Pemenuhan ko tidak akan
pernah dapat terbalas sepenuhnya sepanjang masa hidup si anak. Oleh karena itu perwujudan balas budi ko ini tidak hanya dilakukan sewaktu orang tua masih hidup,
akan tetapi masih berlanjut sampai penyembahan kepada leluhur nenek moyang. Contoh balas budi ko juga dapat dilakukan dengan cara menerima pilihan
orang tua dalam memilih pasangan hidup. Seperti yang diungkapkan oleh Benedict 1982 : 128 bahwa untuk membayar kembali on kepada orang tua, seorang putra
yang baik tidak dapat mempermasalahkan pilihan orang tua dalam memilih istri.
2.1.2 Giri Mattulada dalam Afni 2005 : 30 mengatakan giri merupakan hutang yang
harus dilunasi dengan perhitungan yang pasti atas suatu kebajikan yang telah diterima yang mempunyai batas waktu. “Giri,” begitu kata pepatah Jepang, “adalah paling
berat untuk ditanggung”. Seseorang harus membayar kembali giri sebagaimana dia harus membayar kembali gimu, tetapi giri itu adalah serentetan kewajiban yang
berlainan warnanya Benedict, 1982 : 140. Berbeda dengan gimu, giri merupakan suatu kewajiban yang harus dibayar
oleh seseorang yang atas segala kebaikan yang diterimanya dari orang lain dengan jumlah yang tepat sama dan memiliki limit waktu pembayaran. Sehingga pemenuhan
kewajiban giri yang kurang dari nilai yang diterima menyebabkan seseorang dicap sebagai orang yang tidak tahu giri, sedangkan pengembalian yang melebihi dari apa
yang diterima sama dengan memaksa orang lain memikul on. Dengan adanya ketentuan-ketentuan pembayaran tersebut, berarti giri mengikat orang Jepang. Oleh
Universitas Sumatera Utara
karena itu orang Jepang sedapat mungkin berusaha menghindar dari resiko giri ini dan sebaliknya, mereka pun berhati-hati agar orang lain jangan sampai terlibat dalam
kewajiban pembayaran on ini. Ruth Benedict 1982 : 141 membagi giri ke dalam dua bagian yang jelas,
yaitu : 1.
Giri kepada dunia, arti harfiahnya “membayar kembai giri”- adalah kewajiban seseorang untuk membayar on kepada sesamanya.
2. Giri kepada nama, adalah kewajiban untuk tetap menjaga kebersihan nama
serta reputasi seseorang dari noda fitnah.
2.1.2.1 Giri Terhadap Dunia Giri terhadap dunia adalah kewajiban membayar kembali on kepada
sesamanya. Menurut Mattulada dalam Afni 2005 : 31 giri kepada dunia adalah kewajiban-kewajiban kepada pertuanan-kaum, kepada hubungan-hubungan keluarga,
kepada orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan penerima, seperti pembagian uang guna kebajikan, pemberian bantuan pekerjaan dan pada teman
sekerja. Giri kepada dunia adalah suatu penggambaran pemenuhan kewajiban
berdasarkan hubungan yang bersifat kontrak, berbeda dengan gimu yang merupakan pemenuhan kewajiban atas dasar hubungan akrab sejak lahir. Dalam kasus hubungan
suami istri di Jepang, Giri mencakup semua kewajiban seseorang atas keluarga mertuanya. Sehingga ada istilah “bapak giri” untuk bapak mertua dan “ibu giri” untuk
ibu mertua.
Universitas Sumatera Utara
Selain giri terhadap mertua, terdapat giri yang lebih penting. Dalam sejarah Jepang, giri seseorang terhadap tuannya dan giri terhadap sesama rekan prajurit
melebihi giri terhadap mertua. Hal tersebut terjadi dalam golongan samurai dan dijadikan sebagai nilai kebajikan samurai. Bahkan giri terhadap tuan ini merupakan
kewajiban yang paling tinggi melebihi chu terhadap shogun.
2.1.2.2 Giri Terhadap Nama Giri terhadap nama adalah kewajiban untuk menjaga agar reputasinya tidak
buruk dan terhindar dari noda atau celaan. Noda tersebut dapat memaksa seseorang untuk membalas dendam kepada orang yang merugikan namanya atau memaksa
seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Kewajiban-kewajiban itu adalah tindakan yang tetap menjaga nama baik seseorang tanpa mendasarkan pada suatu utang
tertentu yang sebelumnya dipunyai orang itu terhadap orang lain. Pembalasan dendam hanyalah salah satu kebajikan yang mungkin diwajibkan
pada suatu kesempatan. Giri ini juga mencakup tingkah laku yang tenang dan terkendali. Tidak memperlihatkan perasaan, pengendalian diri yang diharuskan dari
orang yang mempunyai harga diri adalah bagian dari giri terhadap nama. Giri terhadap nama juga berarti memenuhi banyak macam ikatan selain ikatan
yang ada hubungannya dengan tempat yang sesuai. Seorang yang berhutang bisa mempertaruhkan giri terhadap namanya ketika meminta pinjaman dan jika sampai
pada jatuh tempo pelunasan hutang ia tidak mampu membayarnya maka orang tersebut mungkin akan melakukan bunuh diri untuk membersihkan namanya
Benedict, 1982 : 158.
Universitas Sumatera Utara
Giri terhadap nama juga terdapat dalam kisah 47 ronin. Cerita ini menggambarkan bahwa untuk membersihkan nama baik tuannya, mereka rela
berkorban melakukan adauchi yang berarti melakukan balas dendam atas tuan. Kisah ini dirasakan cukup tragis karena setelah melakukan adauchi ke 47 ronin tersebut
melakukan bunuh diri mengikuti kematian tuan atau lebih dikenal dengan istilah junshi.
2.2 Pengabdian Diri dalam Bushido