Analisis Kasus Penerapan Doktrin Piercing The Corporate Veil pada Perseroan Terbatas (Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia)

103 perusahaannya sendiri tanpa credit analysis dan benda jaminannya tanah HGB No.39 dan 40 yang diketahui sudah habis masa waktunya. Kerugian yang diderita oleh Bank Penggugat, tidak hanya dibebankan kepada PT. Djaya Tunggal Tergugat I saja, akan tetapi meliputi para pengurusnya, Tergugat I sd V secara tanggung renteng. Tanah HGB No. 39 dan HGB No. 40 yang sudah berakhir masa berlakunya itu sudah menjadi tanah negara, jauh sebelum perjanjian kredit ditandatangani sehingga tanah ini tidak sah sebagai barang jaminan. Tindakan pemberian hak baru oleh Tergugat VIII Kantor Agraria kepada tergugta VI Jahya atas tanah ex HB No. 39 adalah sah, karena Kantor Agraria yang memberikan hak atas tanah tersebut. Tanah tersebut telah menjadi tanah negara Keppres No. 32 tahun 1979 dan sesuai dengan fungsi dan kewenangan pejabat agraria setempat. Tentang gugatan Rekonpensi yang ternyata tidak memenuhi syarat formil gugatan, yaitu karena petitumnya tidak diperinci dan hanya berbentuk ”ex aquo et bono”, sehingga gugatan ini harus dinyatakan tidak dapat diterima.

B. Analisis Kasus

Kasus ini berawal dari adanya perjanjian kredit antara pihak kreditor PT. Bank Perkembangan Asia dengan debitornya PT. Djaya Tunggal. Dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian didefenisikan sebagai: “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Dari ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut dapat dilihat RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008. 104 bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Hal ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang pihak kepada satu atau lebih orang pihak lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata dinyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian berarti “perikatan adalah hubungan hukum antara dua atau lebih orang pihak dalam bidanglapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut”. 125 Menurut Yahya Harahap, perjanjian atau Oveerenskomt mengandung pengertian “suatu hubungan hukum kekayaanharta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”. 126 Sedangkan menurut R. Subekti, perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan 125 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan Pada Umumnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 17 126 M. Yahya Harahap, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 6 RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008. 105 suatu hal”. 127 Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perjanjian menerbitkan perikatan. Adapun yang dimaksud dengan “perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu”. 128 R. Subekti mengartikan perikatan sebagai “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu”. 129 Sedangkan menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja “perikatan adalah kewajiban pada salah satu pihak dalam huungan hukum perikatan tersebut”. 130 Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah perjanjian itu menerbitkan perikatan, perjanjian adalah sumber perikatan di samping sumber- sumber lain undang-undang. Untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; dan suatu sebab yang halal. 127 R. Subekti, 1976, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 1 128 Ibid 129 Ibid 130 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Loc cit RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008. 106 Dua syarat yag pertama adalah syarat yang menyangkut subjeknya yang disebut syarat subjektif dan dua syarat terakhir adalah syarat objektif. Suatu perjanjian yang mengandung cacat dari segi subjeknya, maka tidak selalu menjadikan perjanjian tersebut batal dengan sendirinya nietig, tetapi memberi kemungkinan untuk dimintakan kebatalannya vernietigbaar. Sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum. 131 Jika diperhatikan dari perjanjian antara pihak PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, maka perjanjian tersebut adalah sah dan mengikat kedua belah pihak, oleh karena syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah dipenuhi. Hanya saja objek perjanjian tersebut menjadi hapus, karena berakhirnya masa HGB kedua tanah yang digunakan sebagai jaminan tersebut. Oleh karenanya adalah keliru putusan Hakim Banding yang menyatakan bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum, oleh karena objek dari perjanjian itu adalah nyata adanya, dan adalah benar apa yang diputuskan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung bahwa perjanjian itu adalah sah dan mengikat kedua belah pihak. Walaupun akta tersebut tidak berupa akta otentik, namun berupa akta di bawah tangan, namun berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain, 131 J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Buku 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 163-164 RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008. 107 sehingga perjanjian tersebut adalah sah dan merupakan bukti bahwa PT. Djaya Tunggal berhutang kepada PT. Bank Perkembangan Asia. Perjanjian antara para pihak dalam kasus ini merupakan perjanjian kredit perbankan. Dalam mengucurkan kreditnya, suatu bank harus berpegang pada beberapa prinsip, khususnya prinsip kehati-hatian. Pihak Bank PT. Bank Perkembangan Asia memberikan pinjaman kredit dalam jumlah besar kepada PT. Djaya Tunggal yang termasuk dalam group Bank tersebut, dimana proses pemberian kredit ini ternyata tanpa analisa kredit. Dalam mengucurkan kredit oleh suatu bank maka harus dilakukan dengan berpegang pada beberapa prinsip sebagai berikut: 132 a Prinsip Kepercayaan Sesuai dengan asal kata kredit yang berarti kepercayaan, maka dalam pemberian kredit hendaknya selalu dibarengi oleh kepercayaan, yakni kepercayaan dari kreditor akan bermanfaatnya kredit bagi debitor sekaligus kepercayaan oleh kreditor bahwa debitor dapat membayar kembali kreditnya. Tentunya untuk dapat memenuhi unsur kepercayaan ini, oleh kreditor mestilah dilihat apakah calon debitor diberikan berbagai kriteria yang biasanya diberlakukan terhadap pemberian suatu kredit. Karena itu timbul prinsip lain yang disebut prinsip kehati- hatian. b Prinsip Kehati-hatian Prinsip kehati-hatian prudent ini adalah salah satu konkretisasi dari prinsip kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Untuk mewujudkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit ini maka berbagai fungsi usaha pengawasan dilakukan, baik oleh bank itu sendiri, Bank Indonesia maupun oleh pihak luar. 132 Munir Fuady, V, 1996, Hukum Perkreditan Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 21-26 RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008. 108 c Prinsip 5 C Prinsip 5 C adalah singkatan dari unsur-unsur Character, Capacity, Capital, Condition dan Collateral. 1 Character kepribadian Salah satu unsur yang harus diperhatikan oleh bank sebelum memberikan kreditnya adalah penilaian atas karakter kepribadianwatak dari calon debitornya. “Kepribadian, moral dan kejujuran dari calon nasabah perlu diperhatikan sehubungan untuk mengetahui apakah ia dapat memenuhi kewajibannya dengan baik, yang timbul dari perjanjian yang akan diadakan”. 133 Karena itu, sebelum kredit dikucurkan, harus terlebih dahulu ditinjau apakah misalnya calon debitor yang bersangkutan berkelakuan baik, dan tidak terlibat tindakan-tindakan tidak terpuji lainnya. 2 Capacity kemampuan Seorang calon debitor harus pula diketahui kemampuan bisnisnya, sehingga dapat diprediksikan kemampuan untuk melunasi hutangnya. Kalau kemampuan bisnisnya kecil, tentu tidak layak diberikan kredit dalam skala besar. Demikian juga jika trend bisnisnya ataupun kinerja bisnisnya lagi menurun, maka kredit juga semestinya tidak diberikan. Kecuali jika menurunnya itu karena kekurangan biaya sehingga dapat diantisipasi dengan tambahan biaya peluncuran kredit, maka kinerja bisnisnya dipastikan akan semakin membaik. 3 Capital modal Capital adalah “modal usaha dari calon nasabah yang telah tersediatelah ada sebelum mendapatkan fasilitas kredit”. 134 Permodalan dari suatu debitor juga merupakan hal yang harus diketahui oleh calon kreditornya. Karena permodalan dan kemampuan keuangan dari seorang debitor akan mempunyai korelasi langsung dengan tingkat kemampuan bayar kredit. Jadi, masalah likuidasi dan solvabilitas dari suatu badan usaha menjadi penting artinya. 4 Condition kondisi Kondisi perekonomian secara mikro maupun makro merupakan faktor penting pula untuk dianalisa sebelum suatu kredit diberikan, terutama yang berhubungan langsung dengan bisnis pihak debitor. 133 Edi Putra The’Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Yogyakarta : Liberty, 1989, hal. 12 134 Ibid, hal. 13 RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008. 109 5 Collateral agunan Dalam pemberian kredit, fungsi agunan sangat penting. Jaminan ini bersifat sebagai jaminan tambahan karena jaminan utama kredit adalah kepribadian calon nasabah dan kemampuan usahanya. d Prinsip 5 P Dalam pemberian kredit, selain prinsip 5 C juga terdapat prinsip 5 P yang merupakan singkatan dari Party, Purpose, Payment, Profitability dan Protection. 1 Party para pihak Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap pemberian kredit. Untuk itu pihak pemberi kredit harus memperoleh suatu kepercayaan terhadap para pihak, dalam hal ini debitor. Bagaimana karakternya, kemampuannya dan lain sebagainya. 2 Purpose tujuan Tujuan dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui oleh pihak kreditor. Harus dilihat apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal yang positif yang benar-benar dapat menaikkan income perusahaan. Dan harus pula diawasi agar kredit tersebut benar- benar diperuntukkan untuk tujuan seperti yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian kredit. 3 Payment pembayaran Sumber pembayaran kredit dari calon debitor juga harus diperhatikan, apakah cukup tersedia atau cukup aman sehingga dengan demikian diharapkan bahwa kredit yang akan diluncurkan tersebut dapat dibayar kembali oleh debitor yang bersangkutan. Jadi harus dilihat dan dianalisis apakah setelah pemberian kredit nanti, debitor punya sumber pendapatan, dan apakah pendapatan tersebut mencukupi untuk membayar kembali kreditnya. 4 Profitability perolehan laba Unsur perolehan laba oleh debitor tidak kurang pula pentingnya dalam suatu pembayaran kredit. Untuk itu, kreditor harus dapat berantisipasi, apakah laba yang akan diperoleh oleh perusahaan mampu menutupi pembayaran kembali kredit, cash,flow dan sebagainya. 5 Protection perlindungan Diperlukan suatu perlindungan terhadap kredit oleh perusahaan debitor. Untuk itu, perlindungan dari kelompok perusahaan, atau jaminan perusahaan corporate guarantee atau jaminan pribadi personal guarantee pemilik perusahaan adalah penting dan harus diperhatikan. Terutama untuk berjaga jaga sekiranya terjadi hal-hal di luar prediksi semula. RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008. 110 e Prinsip 3 R Yang dimaksud dengan prinsip 3R adalah singkatan dari Returns, Repayment, dan Risk Bearing Ability. 1 Returns hasil yang diperoleh Returns merupakan hasil yang akan diperoleh oleh debitor, dalam hal ini ketika telah dimanfaatkan nanti mestilah dapat diantisipasi oleh kreditor. Artinya perolehan tersebut mencukupi untuk membayar kembali kredit beserta bunga, ongkos-ongkos, di samping membayar keperluan perusahaan yang lain misalnya untuk membayar cash flow, kredit lain jika ada dan lain-lain. 2 Repayment pembayaran kembali Kemampuan membayar dari pihak debitor tentu saja harus dipertimbangkan. Apakah kemampuan membayar tersebut sesuai dengan jadwal pembayaran kembali dari kredit yang akan diberikan itu. 3 Risk Bearing Ability kemampuan menanggung resiko Selain itu juga perlu diperhatikan sejauh mana terdapatnya kemampuan debitor untuk menanggung resiko. Misalnya dalam hal terjadi hal-hal di luar antisipasi kedua belah pihak. Terutama jika dapat menyebabkan timbulnya kredit macet. Untuk itu harus diperhatikan apakah jaminan danatau asuransi barang atas kredit sudah cukup aman untuk menutupi resiko tersebut. Dari kelima prinsip tersebut, prinsip kehatian-hatian sangat penting yang dikenal dengan prudential banking. Prinsip kehati-hatian atau prudential banking didasarkan pada Pasal 29 ayat 2 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyatakan, bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas manajemen, likuidasi, rentabilitas solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank serta wajib melakukan kegiatan usaha dengan prinsip kehati-hatian. 135 135 Try Widiono, Op cit, hal. 106 RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008. 111 Undang-undang Perbankan tidak mengatur mengenai pengertian prinsip kehati-hatian itu, tetapi apabila dilihat sebagian produk peraturan yang berkaitan dengan perbankan, terdapat kata-kata yang intinya pelaksanaan dan atau kebijakan bank harus berpedoman kepada prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati- hatian ini erat hubungannya dengan doktrin fiduciary duty. Namun demikian, tidak berarti UUPT tidak menganut prinsip kehati-hatian ini. Prinsip kehati-hatian adalah prinsip universal dalam tindakan apa pun, baik disebut atau tidak. Sekalipun UUPT tidak menyebut secara tekstual, tetapi dengan mengadopsi prinsip fiduciary duty, hakikatnya prinsip kehati- hatian ini juga dijadikan landasan dalam UUPT. Prinsip kehati-hatian yang di dalamnya terdapat duty of care and skill memiliki standard of care, yaitu: a. itikad baik good of faith; b. loyalitas yang tinggi hight degree of loyality; c. kejujuran honesty; d. peduli care; e. kemampuankecakapan skill; f. peduli terhadap pelaksanaan hukum care of law enforcement. 136 Seseorang dikatakan memiliki fiduciary capacity jika bisnis yang ditransaksikannya atau uangproperti yang ditangani bukan miliknya atau bukan untuk kepentingannya, melainkan milik orang lain dan untuk kepentingan orang lain tersebut, dimana orang lain tersebut mempunyai kepercayaan yang besar great trust kepadanya. Sementara itu, pihak yang diberi kepercayaan wajib 136 Ibid, hal. 107 RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008. 112 mempunyai itikad yang tinggi high degree of good faith dalam menjalankan tugasnya. 137 Antara pihak yang mempunyai kapasitas fiduciary fiduciary capasity dengan pihak yang diasuhnya atau yang harta bendanya diurus, terdapat suatu hubungan khusus yang disebut dengan fiduciary relation yaitu suatu hubungan yang timbul dari hubungan fiduciary secara teknikal maupun hubungan informal yang timbul pada saat seorang percaya trust atau bergantung rely kepada orang lain. Dalam hal ini seorang percaya trust kepada orang lain, dimana orang lain tersebut bertindak dengan itikad baik good faith dan dengan penghormatan yang baik due regard dan fair kepada kepentingan orang lain tersebut. Dilihat dari prinsip fiduciary duty di atas, maka dalam kasus ini direksi telah melakukan pelanggaran atas prinsip-prinsip fiduciary duty, dimana direksi telah dengan itikad buruk mengalihkan hak kepemilikan 2 dua bidang tanah sebagai jaminan kredit. Sedangkan bank merupakan badan hukum yang menghimpun dana masyarakat, dimana masyarakat mempercayakan dananya pada pihak bank, sehingga dalam hal ini direksikomisaris dituntut untuk bertindak sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 92 UUPT, dan dalam kasus ini dapat diketahui bahwa direksi melanggar asas fiduciary duty secara disengaja, bukan karena kesalahannya. Oleh karenanya 137 Munir Fuady, II, hal. 78 RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008. 113 berdasarkan prinsip piercing the corporate veil, direksi dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Menurut hukum di Amerika, tanggung jawab direktur secara pribadi tidaklah terjadi hanya karena kedudukannya sebagai direktur, tetapi untuk dibebankan tanggung jawab, direktur tersebut harus telah melakukan hal-hal berikut ini terhadap tindakan perusahaan: a. direktur mengizinkan perbuatan tersebut, atau b. direktur meratifikasi perbuatan tersebut, atau c. ikut berpartisipasi dengan cara apapun dalam perbuatan tersebut. 138 Pengurus PT. Djaya Tunggal adalah sama dengan pengurus PT. Bank Perkembangan Asia, yaitu : a. Presidan Direktur : Tan Sri Junaida b. Direktur : Koesnaen c. Presiden Komisaris : Lee Darmawan d. Komisaris : Herry Kianto Dari kasus ini, terjadi rangkap jabatan antara pengurus PT. Bank Perkembangan Asia dengan PT. Djaya Tunggal. Dengan demikian pada saat perjanjian kredit ditandatangani dan direalisasikan oleh Dewan Direksi dan Dewan Komisaris kedua badan hukum tersebut, maka telah menyatu pada masing- masing pengurus tersebut. 138 Munir Fuady, IV, Op cit, hal. 58 RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008. 114 Perbuatan direktur PT. Bank Perkembangan Asia merupakan suatu perbuatan yang beritikad buruk yang menyebabkan pailitnya perusahaan. Dalam pengadaan kreditpinjaman kepada PT. Djaya Tunggal oleh PT. Bank Perkembangan Asia, maka sesungguhnya hal ini sudah menyalahi hukum, karena direktur PT. Bank Perkembangan Asia adalah sama dengan direksi PT. Djaya Tunggal, sehingga terjadi apa yang disebut dengan conflict of interest konflik kepentingan. Akan tetapi pihak direksi PT. Bank Perkembangan Asia mengizinkan dan memberikan kreditpinjaman kepada PT. Djaya Tunggal yang merupakan perusahaan yang mereka kuasai pula. Keputusan Hakim Agung yang menyatakan bahwa pihak direksi komisaris berdasarkan prinsip piercing the corporate veil dapat dimintakan pertanggungjawabannya, sehingga ia tidak dapat berlindung dibalik asas pertanggungjawan terbatas direksi, adalah benar. Dalam putusan majelis hakim, baik di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi bahkan di Mahkamah Agung, dapat dilihat bahwa sanksihukuman hanya dibebankan kepada direksi, sedangkan komisaris tidak dikenakan hukuman. Hal ini tentu saja tidak adil, karena walau bagaimanapun komisaris juga mempunyai kewenangan di perseroan tersebut. Selain itu juga patut diduga bahwa komisaris juga mengetahui adanya perjanjian kredit tersebut dan pihak penerima kredit merupakan anak perusahaan PT. Bank Perkembangan Asia. Oleh karenanya patutlah apabila pihak komisaris juga harus ikut bertanggungjawab atas kerugian atau kepailitan bank. RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008. 115 Seharusnya dewan komisaris juga harus bertanggungjawab karena komisaris bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasihat kepada direksi dalam menjalankan perseroan adalah komisaris sebagaimana diatur dalam Pasal 108 ayat 1 UUPT. Walaupun dalam UUPT tidak terdapat suatu pasal khusus yang mengatur tentang tanggung jawab Komisaris dalam hal terjadinya kerugian atau pailit atas perseroan terbatas tersebut, akan tetapi Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. 139 Dalam Pasal 114 ayat 1 UUPT disebutkan bahwa ”Dewan Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan perseroan sebagaimana dimaksud dalam pasal 108 ayat 1”. Dalam ketentuan Pasal 108 ayat 1 disebutkan bahwa Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan, dan memberikan nasihat kepada direksi”. Pengawasan dan pemberian nasehat dalam Pasal 108 ayat 1 UUPT dilakukan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Dalam penjelasan Pasal 108 ayat 2 UUPT dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ”untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan” adalah bahwa pengawasan dan pemberian nasehat yang dilakukan oleh Dewan Komisaris tidak untuk kepentingan pihak atau golongan tertentu, tetapi untuk 139 Sutan Remy Sjahdeini, Op cit, hal. 443 RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008. 116 kepentingan perseroan secara menyeluruh dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Selanjutnya ketentuan Pasal 114 ayat 2 UUPT menentukan bahwa ”Setiap anggota Dewan Komsiaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nesehat kepada direksi untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan”. Ketentuan Pasal 114 ayat 2 UUPT ini merupakan prinsip duty of care, yang harus dipatuhi oleh dewan komisaris. Sebagaimana prinsip duty of care dari seorang direksi maka, apabila Dewan Komisaris telah melanggar prinsip tersebut dengan demikian juga dapat dikenakan hukuman. Dewan Komisaris juga ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya. Walaupun Dewan Komisaris bertugas melakukan pengawasan namun tidak berarti komisaris tidak mempunyai tanggung jawab dan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hal terjadi kerugian atas perseroan. Dalam ketentuan Pasal 114 ayat 3 UUPT dibebankan kewajiban kepada anggota komisaris, maka secara implisit hukum juga memberikan sanksi apabila kewajiban itu dilanggar. Jika dalam anggaran dasar diberikan kewenangan kepada Komisaris untuk memberikan persetujuan kepada Direksianggota Direksi dalam melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, maka dalam hal terjadi suatu kerugian perseroan atas persetujuan Komisaris RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008. 117 tersebut, Komisaris dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan hukum yang dilakukan oleh Direksianggota Direksi atas persetujuan Komisaris. Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalain dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan yang dilaksanakan oleh direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota Direksi atau kewajiban yang belum dilunasi. Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya apabila dapat membuktikan : a. Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. Telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; c. Tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan oleh direksi yang mengakibatkan kepailitan, dan d. Telah memberikan nasehat kepada direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan. 140 Dewan Komisaris dalam kasus ini tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 115 ayat 3 UUPT. Kepailitan yang terjadi atas PT. Bank Perkembangan Asia juga disebabkan kurang atau tidak adanya pengawasan dari Dewan Komisaris terhadap direksi, khususnya dalam pemberian kredit. Selain itu juga adanya rangkap jabatan pengurus PT. Bank Perkembangan Asia dan PT. Djaya Tunggal menjadi suatu indikasi tidak dijalankannya tugas dan fungsi Dewan Komisaris dengan baik yang 140 Pasal 115 ayat 3 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008. 118 dikarenakan adanya benturan kepentingan di dalamnya dimana Dewan Komisaris PT. Djaya Tunggal juga merupakan Dewan Komisaris PT. Bank Perkembangan Asia, yang pada pada akhirnya menimbulkan kepailitan. Oleh karenanya dalam suatu perseroan sehausnya ada 1 satu orang atau lebih komisaris independen dan 1 satu orang komisasir utusan, yang dapat diatur dalam Anggaran Dasar Perseroan sebagaimana diatur dalam Pasal 120 UUPT. Komisaris independen ini diangkat berdasarkan keputusan RUPS dari pihak yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham utama, anggota direksi danatau anggota Dewan Komisaris lainnya. Dalam Pedoman Tata Kelola Perseroan yang Baik Code of Good Corporate Governance, Komisaris Independen adalah Komisaris dari pihak luar. Dengan demikian Komisais independen ini dapat melakukan tugas, fungsi dan wewenangnya dalam melakukan pengawasan dan memberikan nesehat kepada Direksi dalam menjalankan pengurusan perusahaan. Menurut Bismar Nasution bahwa : Istilah good corporate governance dapat juga mencakup segala aturan hukum yang ditujukan untuk memungkinkan suatu perusahaan dapat mempertanggungjawabkan kegiatanya di hadapan pemegang saham dan publik. Selain itu, istilah good corporate governance juga dapat mengacu pada praktik audit dan prinsip-prinsip pembukuan, atau mengacu pada keaktifan pemegang saham. Secara lebih sempit istilah good corporate governance dapat digunakan untuk menggambarkan peran dan praktik dewan direksi, termasuk pengelolaan perusahaan berkaitan dengan hubungan antara dewan direksi pengelola perusahaan dan pemegang saham, yang didasarkan pada pendangan bahwa dewan direksi merupakan RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008. 119 perantara para pemegang saham untuk memastikan suatu perusahaan dikelola demi kepentingan pemegang saham. 141 Sesuai dengan prinsip good corporate governance ini maka dalam pemberian kredit harus didasarkan pada keadilan, keterbukaan, pertanggungjawaban dan tanggung jawab, sehingga sumber kredit dapat menjadi stabil dan dipercaya sekaligus mencegah timbulnya resiko yang berlebihan. Jika dilihat dari pertimbangan hukum majelis hakim agung yang menggunakan prinsip piercing the corproate veil dalam penerapan kasus ini, merupakan suatu hal yang tidak lazim. Hal ini dikarenakan pada saat diputuskannya kasus ini yakni tahun 1989, undang-undang perseroan belum ada di Indonesia, hanya ada KUH Dagang yang mengatur tentang perusahaan yang tidak mengenal adanya prinsip piercing corporate veil ini. Hal ini merupakan suatu kemajuan dalam peradilan di Indonesia, karena Bismar Nasution mengatakan bahwa: Kepercayaan terhadap pengadilan akan sangat tergantung pada pelayanan hukum yang diberikan oleh pengadilan itu sendiri, dimana pengadilan harus dapat memenuhi harapan sebagai “benteng terakhir pemberi keadilan” the last bastion of justice. Untuk itu hakim harus aktif dalam melakukan penemuan hukum sekaligus menciptakan kewibawaan hukum melalui kepastian hukum. 142 Prinsip piercing corporate veil hanya dikenal dalam Common Law System, tidak dalam Civil Law System. Dalam sistem civil law, sumber hukumnya terdiri 141 Bismar Nasution, I, 2007, Hukum Kegiatan Ekonomi I, Books Terrance Library, Bandung, hal. 158 142 Bismar Nasution, II, 2004, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum USU, 17 April 2004, hal. 19 RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008. 120 dari Statues, Regulation dan Customs. Statues adalah merupakan undang-undang, sedangkan regulation merupakan peraturan-peraturan yang pembuatannya telah melalui power delegation dari legislatif kepada eksekutif. Sumber ketiga yaitu customs adalah kebiasaan yang dipraktikkan dalama masyarakat yang tidak dituangkan dalam bentuk tertulis non statory law. Adapun alasan pengkualifikasian kebiasaan ke dalam sumber hukum dengan syarat kebiasaan itu merupakan representasi hukum dengan catatan tidak ada statue dan regulasi yang bertentangan dengannya custom. 143 Apabila sumber hukum hanya terbatas pada konstitusi, undang-undang regulasi, dan kebiasaan sebagai konsekuensi terhadap posisi dan kewenangan hakim hanya sebatas “menerapkan hukum” maka tidak dimungkinkan hakim merujuk pada referensi atau sumber lain, seperti pendapat, tulisan para pakar hukum terkemuka dan keputusan pengadilan sebelumnya stare desicis. Oleh karena itu, mejelis hakim agung dalam memutuskan kasus ini menerapkan prinsip stare decisis yang dianut dalam common law system dimana hakim dalam memberikan pertimbangan hukumnya dapat menggunakan referensi dari pakar hukum terkemuka mengenai perseroan terbatas dan dengan menggunakan prinsip piercing the corporate veil ini, pertanggungjawaban hukum dapat dibebankan kepada direksi yang telah mengakibatkan kepailitan pada PT. Bank Perkembangan Asia. 143 Ade Maman Suherman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 68 RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan