Penerapan Doktrin Piercing The Corporate Veil pada Perseroan Terbatas (Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia)

(1)

dan PT. Bank Perkembangan Asia)

T E S I S

Oleh

RUSTAMAJI PURNOMO

067011006/M.Kn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2 0 0 8


(2)

dan PT. Bank Perkembangan Asia)

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi

Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RUSTAMAJI PURNOMO

067011006/M.Kn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2 0 0 8


(3)

TERBATAS

(

Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia)

NAMA MAHASISWA : RUSTAMAJI PURNOMO

NOMOR POKOK : 067011006

PROGRAM STUDI : KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Sanwani Nasution, S.H.) Ketua

(Dr. T.Keizerina Devi A.,S.H,CN,M.Hum) (Chairani Bustami,S.H,SpN,M.Kn.) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B., M.Sc)


(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS (Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia)

Nama : RUSTAMAJI PURNOMO

Nomor Pokok : 067011006

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Sanwani Nasution, S.H. Ketua

Dr. T.Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum Chairani Bustami, S.H., M.Kn Anggota Anggota


(5)

Tanggal : 5 Februari 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Sanwani Nasution, S.H.

Anggota : 1. Dr. T.Keizerina Devi Azwar, S.H., CN, M.Hum

2.

Chairani Bustami, S.H.,SpN, M.Kn

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,MS,CN 4. Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn


(6)

(7)

Ciri utama suatu badan hukum adalah adanya pemisahan antara harta kekayaan badan hukum dan pribadi para pemegang saham, sehingga para pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama badan hukum dan juga tidak bertanggung jawab atas kerugian badan hukum melebihi nilai saham yang telah dimasukkannya sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007. Namun tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab perseroan terbatas apabila terbukti perseroan terbatas didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya, melalui prinsip piercing the corporate veil. Dalam penelitian ini yang menjadi permasalahan adalah dalam hal yang bagaimanakah doktrin piercing the corporate veil dapat diterapkan pada suatu perseroan terbatas, bagaimana penerapan doktrin piercing the corporate veil dalam UUPT, dan bagaimana analisis atas penerapan doktrin piercing the corporate veil pada kasus antara PT. Bank Perkembangan Asia dan PT. Djaya Tunggal.

Dalam metode penelitian ini, jenis penelitiannya adalah penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Sumber data berasal dari data sekunder yaitu dengan mempelajari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (Library

Research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan

atau data sekunder. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa Doktrin Piercing the Corporate Veil dapat diterapkan dalam Perseroan Terbatas dalam hal adanya fakta-fakta yang menyesatkan, terjadinya penipuan dan ketidakadilan dan untuk melindungi pemegang saham minoritas, pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad baik (Tekwaadetrouw atau bad faith) yang memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi. Penerapan teori piercing the

corporate veil ke dalam tindakan suatu perseroan, menyebabkan tanggung jawab

hukum tidak hanya dimintakan dari perseroan saja, tetapi dapat juga dimintakan terhadap pemegang saham. Dalam kasus kredit antara Bank Perkembangan Asia dengan PT. Djaya Tunggal, Majelis Hakim telah tepat menggunakan doktrin piercing

the corporate veil sehingga direksi dan komisaris sebagai pengawas perusahaan, tetap

dapat dimintakan pertanggungjawabannya.

Disarankan agar prinsip Piercing The Corporate Veil ini lebih dipertegas pengaturannya dalam salah satu pasal dalam UU No. 40 Tahun 2007. Selain itu juga agar setiap PT di Indonesia diwajibkan menetapkan sekurang-kurangnya satu orang Komisaris independen dan pengelolaan bank harus diformulasikan sesuai dengan prinsip-prinsip good corporate governance. Perjanjian kredit antara debitor dengan pihak Bank sebaiknya jangan dibuat dalam perjanjian di bawah tangan, akan tetapi


(8)

Kata Kunci : Doktrin piercing the corporate veil Perseroan Terbatas


(9)

A company is a legal entity which is different and separated from the stockholders of a limited liability company. The main characteristic of a corporation is that there is a separation between the assets of the corporation and the personal assets of the stockholders, so that the stockholders are not liable individually to the agreement made in the name of the corporation and also not liable to the loss of the corporation that exceeds the value of the shares they have submitted in accordance with the stipulation of Article 3 paragraph (1) Act No 4 of the year 2007 concerning Limited Liability Company. However, there is a possibility of nullifying the liability of the Limited Liability Company, that is when there is an evidence that there has been a confusion between personal property of the stockholders and the assets of the limited liability company so that the limited liability company is established only as a means for the stockholders to fulfil their personal aim. By following the principle of piercing the corporate veil in the Corporation Act, the stockholders’ liability which was originally limited may become unlimited in certain cases. In this study, the problems are in which case the doctrine of piercing corporate veil can be applied at a limited liability company, how is the application of the doctrine of piercing the corporate veil in the Act of Limited Liability Company, and how is the analysis of the application of the doctrine of piercing the corporate veil in the case between Bank Perkembangan Asia (PT. Asia Development Bank) and P.T. Djaya Tunggal.

In the method of this study, the kind of study is the study of normative law, by using normative juridical approach. The data source comes from secondary data, that is by studying the primary and secondary corporations. Data collection is carried out by library research, that is gathering the data by studying the literary material or secondary data. Furthermore, the data is analyzed qualitatively.

From this study, it is concluded that the Doctrine of Piercing the Corporate Viel is applicable in the Limited Liability Company in case there are misleading facts, there has been deceipt and injustice and to protect a minority of stockholders, the stockholders concerned, either directly or indirectly with bad faith (tekwaadetrouw) makes use of the company only for personal interest. The application of the theory of piercing the corporate veil into the performance of a company causes the legal responsibility not only to be demanded from the company but can also be charged to the stockholders. In the credit case between PT. Bank Perkembangan Asia and PT. Djaya Tunggal, the Court of Justice had correctly used the doctrine of piercing the corporate veil so that in this case the management and Board of directors as supervisors of the company, are still accountable, as their action has been in contradiction with the principle of fiduciary duty and also in contradiction with the articles of association of the company, which not only causes a loss to the company but also as loss to the other stockholder. It is suggested that the principles of piercing the corporate veil be regulated more emphatically in one of acts of Act Number 40 of


(10)

using the good corporate governance principles. The credit agreement should be made in notarial agreement so that it can be controlled by Bank Indonesia.

Keywords : The Doctrine of piercing the corporate veil


(11)

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan karena izin-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

Adapun judul tesis ini adalah “PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS (Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia)”.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan moril, masukan dan saran, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini tepat pada waktunya. Ucapkan terima kasih khususnya penulis sampaikan kepada yang terhormat Bapak Pembimbing: Bapak Prof. Sanwani Nasution, S.H., Ibu Dr. T.Keizerina Devi Azwar, S.H., CN, M.Hum., dan Ibu Chairani Bustami, S.H., SpN, M.Kn, atas kesediaannya membantu dalam memberikan bimbingan dan petunjuk serta arahan kepada penulis untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Berkat bimbingan, petunjuk dan arahan yang diberikan sehingga telah diperoleh hasil yang maksimal.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., CN serta Bapak Notaris Syahril Sofyan,


(12)

tesis ini.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B. M.Sc., selaku Direktris Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktris beserta seluruh Staf atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan ini.

2. Para Ibu dan Bapak Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana khususnya para Ibu dan Bapak Dosen di Magister Kenotariatan.

3. Teman-teman di Sekolah Pascasarjana Program Kenotariatan USU yang telah memberikan dorongan bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. Secara tulus ucapan terima kasih yang tak terhingga, penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta dan kakak-kakakku yang tersayang yang dengan penuh kesabaran dan kasih sayangnya kepada Penulis untuk mencurahkan perhatian dalam penulisan tesis ini.

Medan, 5 Februari 2008 Penulis


(13)

Nama : Rustamaji Purnomo Tempat/Tanggal lahir : Medan / 20 Agustus 1982

Status : Belum Nikah

Pekerjaan : Pegawai

Alamat rumah : Jl. Pemuda Baru II No.19 Medan

Telepon : 061-4158328

Pendidikan :

1. SD Sutomo di Medan, lulus tahun 1994. 2. SMP Sutomo di Medan, lulus tahun 1997. 3. SMA Sutomo di Medan, lulus tahun 2000.

4. Sarjana Hukum Universitas Dharma Agung di Medan, lulus tahun 2006. Motto : Bekerja Sambil Belajar, Belajar Sambil Bekerja.


(14)

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ………... viii

BAB I : PENDAHULUAN ………... 1

A. Latar Belakang ……….. 1

B. Perumusan Masalah ..……….... 6

C. Tujuan Penelitian ……….. 7

D. Manfaat Penelitian ………. 7

E. Keaslian Penelitian ………... 7

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ………... 10

G. Metode Penelitian ………. 40

H. Sistematika Penulisan ... 42

BAB II : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA SUATU PERSEROAN TERBATAS ... 45 A. Pertanggungjawaban Terbatas Pengurus Perseroan ... 45

B. Tanggung Jawab dan Kewenangan Direksi ... 51

C. Penerapan Doktrin Piercing The Corporate Veil pada Perusahaan Terbatas ... 61


(15)

BAB IV : ANALISIS ATAS PENERAPAN DOKTRIN PIERCING

THE CORPORATE VEIL PADA KASUS ANTARA BANK

PERKEMBANGAN ASIA DAN PT. DJAYA TUNGGAL ... 94

A. Posisi Kasus ... 94

B. Analisis Kasus ... 103

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 121

A. Kesimpulan ... 121

B. Saran ... 122

DAFTAR PUSTAKA …………..………... 124

LAMPIRAN ………..….. 127


(16)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perseroan adalah kesatuan hukum (legal entity) yang berbeda dan terpisah dari pemegang saham perseroan terbatas itu. Sebagai suatu kesatuan hukum (legal entity) yang terpisah dari pemegang sahamnya, perseroan dalam melakukan fungsi hukumnya bukan bertindak sebagai kuasa dari para pemegang sahamnya, tetapi bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri. Ciri utama suatu badan hukum adalah adanya pemisahan antara harta kekayaan badan hukum dan pribadi para pemegang saham. Dengan demikian, para pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama badan hukum dan juga tidak bertanggung jawab atas kerugian badan hukum melebihi nilai saham yang telah dimasukkannya.

Perseroan Terbatas mempunyai ciri utama yaitu Perseroan Terbatas merupakan subjek hukum yang berstatus badan hukum, yang pada gilirannya membawa tanggung jawab terbatas (limited liability) bagi para pemegang saham, anggota Direksi dan Komisaris, yaitu sebesar saham yang dimasukkanya ke dalam Perseroan tersebut.

Pasal 40 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Dagang menyatakan bahwa para pemegang saham tidak bertanggung jawab untuk lebih daripada jumlah penuh saham-saham itu. Kemudian hal yang sama juga ditegaskan dalam


(17)

Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat dengan UUPT) bahwa pemegang saham perseroan terbatas tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan terbatas dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan terbatas melebihi saham yang dimilikinya. Dalam penjelasannya dinyatakan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUPT yang mempertegas ciri perseroan bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran atau seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT ini, seandainya suatu perseroan terbatas dinyatakan pailit oleh pengadilan dan hasil penjualan dari harta kekayaan perseroan terbatas ternyata tidak cukup untuk melunasi hutang-hutang perseroan terbatas, para pemegang saham tidak ikut bertanggung jawab untuk menutupi kekurangan pelunasan hutang-hutang perseroan terbatas tersebut. Akan tetapi, hukum perseroan terbatas pada umumnya, termasuk UUPT Indonesia, menentukan pengecualian berlakunya doktrin keterbatasan tanggung jawab tersebut, yang dalam hukum perseroan prinsip ini dinamakan dengan doctrine

piercing the corporate veil atau lifting the corporate veil.

Akan tetapi dalam hal-hal tertentu tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab terbatas tersebut apabila terbukti terjadi hal-hal sebagai berikut:

a. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;

b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi;


(18)

c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau

d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.1

Dalam ilmu hukum dikenal "doktrin keterbatasan tanggung jawab" dari suatu badan hukum. Maksudnya, “secara prinsipil, setiap perbuatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum hanya badan hukum sendiri yang bertanggung jawab. Para pemegang saham tidak bertanggung jawab, kecuali sebatas nilai saham yang dimasukkannya”.2 Hal ini berarti bahwa harta kekayaan pribadi para pemegang saham tidak ikut dipertanggungjawabkan sebagai tanggungan perikatan yang dilakukan oleh badan hukum yang bersangkutan.

Penyingkapan tirai perusahaan atau dalam bahasa Inggris disebut piercing

the corporate veil, hampir dalam semua sistem hukum modern dikenal teori ini.

Hanya saja yang berbeda adalah derajat pengakuan dan variasi dari aplikasinya. Perbedaan tersebut disebabkan baik oleh ”tradisi hukum dari negara yang bersangkutan, yakni apakah dari tradisi hukum Anglo Saxon, tradisi Hukum Eropa Kontinental Pranas, atau tradisi hukum Eropa Kontinental Jerman. Ataupun karena perbedaan penafsiran dan pengalaman hukum di negara yang

1

Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 2

Munir Fuady, I, 2002, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 125


(19)

bersangkutan”.3 Dengan berlakunya Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, mulailah hukum Indonesia mengakui doktrin piercing the

corporate veil (penyingkapan tirai perusahaan) ini sampai batas-batas tertentu,

yang diarahkan kepada pihak pemegang saham, direksi, bahkan dalam hal yang sangat khusus juga terhadap dewan komisaris dari suatu perseroan terbatas.

Menurut UUPT, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) bahwa

dalam hal-hal tertentu, tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab perseroan terbatas tersebut. Hal-hal tertentu dimaksud antara lain apabila terbukti bahwa terjadi pembauran antara kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan terbatas, sehingga perseroan terbatas didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya. Dengan dianutnya prinsip atau asas piercing the corporate veil (penyingkapan tirai perusahaan) dalam hukum perseroan, pertanggungjawaban hukum para pemegang saham yang semula terbatas dapat menjadi tidak terbatas dalam hal-hal tertentu.

Dalam perkembangan hukum bisnis di Indonesia, terdapat sejumlah kasus yang menyangkut doktrin piercing the corporate veil ini. Sejumlah kasus telah diajukan ke pengadilan dan pengadilan telah menyingkap tabir perseroan. Walaupun demikian, prinsip pertanggungjawaban terbatas para pemegang saham tetap kuat tidak tergoyahkan. “Pada umumnya gugatan ditujukan pada direksi atau

3

Munir Fuady, II, 2002, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 1


(20)

pemegang saham pengendali, dan pengadilan merobek cadar perseroan, atas dasar bahwa perseroan tersebut hanya digunakan sebagai topeng atau agen dari pemegang saham”.4

Dalam menyingkap atau merobek cadar perseroan ini (piercing the

corporate veil) pengadilan memperhatikan substansi atau kenyataan praktis pada

bentuk formal dari perseroan terbatas tersebut. Dalam banyak kasus, pengadilan menyingkap tabir perseroan bilamana pemegang saham dengan sengaja atau sebaliknya mempergunakan perseroan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan tertentu atau untuk menghindari kewajiban-kewajiban. “Dalam hal terdapat kemungkinan penyalahgunaan bentuk perseroan, pengadilan dapat menganggap perseroan hanya atau semata-mata selubung (cloak) atau kepura-puraan (sham) dan pengadilan akan menyingkap tabir perseroan”.5

Salah satu contoh kasus yang menggunakan doktrin penyingkapan tirai perusahaan (piercing the corporate veil) ini adalah kasus perjanjian kredit antara PT Djaya Tunggal dengan Bank Perkembangan Asia. Dalam kasus ini, ternyata pengurus PT. Bank Perkembangan Asia, pemberi kredit (kreditor) adalah sama dengan pengurus PT. Djaya Tunggal sebagai penerima kredit (debitor). Pada saat pemberian kredit direksi PT. Bank Perkembangan Asia dijabat oleh personalia yang sama dengan PT. Djaya Tunggal. Dengan demikian kredit yang disalurkan oleh

4

Chatamarrasjid Ais, I, 2004, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 1

5


(21)

PT. Bank Perkembangan Asia adalah merupakan kredit yang diberikan kepada perusahaan yang termasuk dalam grup PT. Bank Perkembangan Asia itu sendiri.

Dalam pemberian kredit tersebut terdapat penyalahgunaan kekuasaan dari pihak pengurus PT. Bank Perkembangan Asia dan PT. Djaya Tunggal dimana kreditor dan debitornya adalah sama sehingga mengakibatkan timbulnya kerugian bagi pihak lain/pihak ketiga. Oleh karena berdasarkan Pasal 45 ayat (1) KUH Dagang pengurus PT tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi atas perikatan yang dibuat oleh PT, maka dengan berdasarkan doktrin penyingkapan tirai perusahaan (piercing the corporate veil), pertanggungjawaban terbatas (limited

liability) dari suatu perseroan terbatas dapat dibebankan kepada para pengurusnya.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut :

1. Dalam hal yang bagaimanakah doktrin piercing the corporate veil dapat diterapkan pada suatu perseroan terbatas?

2. Bagaimana penerapan doktrin piercing the corporate veil dalam UUPT ?

3. Bagaimana analisis atas penerapan doktrin piercing the corporate veil pada kasus antara PT. Bank Perkembangan Asia dan PT. Djaya Tunggal ?


(22)

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dalam hal yang bagaimana doktrin piercing the corporate veil

dapat diterapkan pada suatu perseroan terbatas.

2. Untuk mengetahui penerapan doktrin piercing the corporate veil dalam UUPT. 3. Untuk mengetahui analisis atas penerapan doktrin piercing the corporate veil

pada kasus antara PT. Bank Perkembangan Asia dengan PT. Djaya Tunggal.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoretis hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum bidang keperdataan khususnya bidang hukum perusahaan serta menambah khasanah perpustakaan.

2. Secara praktis bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum mengenai doktrin piercing the corporate veil bagi para praktisi hukum maupun akademisi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya pada Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara belum ada


(23)

penelitian yang menyangkut masalah “Penerapan Doktrin Piercing The Corporate

Veil Pada Perseroan Terbatas (Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank

Perkembangan Asia)”.

Akan tetapi ada beberapa penelitian tesis yang dilakukan oleh:

1. Erlina, mahasiswa progam Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada tahun 2004 dengan judul penelitian “Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas Dalam Tindakan Ultra Vires”. Dalam penelitian tersebut permasalahan yang diajukan adalah:

a. Bagaimanakah pengaturan tanggung jawab direksi perseroan.

b. Bagaimanakah pengaturan ultra vires dalam melindungi perusahaan dan pihak ketiga.

c. Bagaimanakah gerak pelaksanaan tanggung jawab direksi dalam tindakan

ultra vires.

2. Halida Rahardini, mahasiswa progam Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada tahun 2004 dengan judul penelitian “Tanggung Jawab Direktur Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Perseroan Terbatas”. Dalam penelitian tersebut penelitian tersebut permasalahan yang diajukan adalah:

a. Bagaimanakah kriteria untuk menentukan bahwa direktur telah melanggar prinsip fiduciary duty ?

b. Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya kepailitan suatu perseroan terbatas ?


(24)

c. Bagaimanakah tanggung jawab seorang direktur dalam hal terjadinya kepailitan terhadap perseroan yang dipimpinnya ?

3. Yindika Lawrance, mahasiswa progam Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada tahun 2007 dengan judul penelitian “Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas Terhadap Perjanjian-Perjanjian yang Dibuat Sebelum Perseroan Terbatas Berbadan Hukum”, dengan topik permasalahannya adalah:

a. Bagaimana kedudukan dan tanggungjawab yuridis dari pendiri PT sebelum PT memperoleh status badan hukum ?

b. Bagaimana kekuatan perjanjian-perjanjian yang telah dibuat oleh pendiri PT sebelum PT memperoleh status badan hukum ?

c. Bagaimana tata cara pengalihan tanggung jawab pendiri PT terhadap perjanjian-perjanjian yang dibuat pada tahap sebelum PT memperoleh status badan hukum menjadi tanggung jawab persero ?

Dilihat dari titik permasalahan dari masing-masing penelitian di atas, terdapat perbedaan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini betul asli baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


(25)

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

1.1 Organ-organ Perseroan Terbatas

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat dengan UUPT), dibentuk dalam era globalisasi. Oleh karena itu, terdapat berbagai doktrin hukum yang mempengaruhi isi dari UUPT tersebut, termasuk doktrin hukum dari negara Common Law System.

Try Widiyono mengatakan bahwa :

Badan hukum sebagai subyek hukum berhubungan dengan subyek hukum lainnya, maka apabila terjadi dispute, tuntutan hukum dapat dialamatkan kepada badan hukum lainnya. Sekalipun dalam bertindak badan hukum tersebut diwakili oleh direksinya, tetapi hubungan hukum tersebut tetap merupakan hubungan hukum antara subyek hukum. Namun demikian, direksi merupakan salah satu organ perseroan dari badan hukum itu mempunyai hubungan dan tanggung jawab intern perseroan.6

Hubungan hukum intern perseroan disini maksudnya adalah “hubungan hukum antara pemegang saham, RUPS, Komisaris dan Direksi”.7 Secara intern, perseroan terbatas sebagai badan hukum mempunyai hubungan hukum yang tercipta berdasarkan hal-hal sebagai berikut :

1. peraturan perundang-undangan yang berlaku 2. anggaran dasar perseroan

6

Try Widiyono, 2005, Direksi Perseroan Terbatas (Bank dan Perseroan) Keberadaan, Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab, Berdasarkan Doktrin Hukum dan UUPT, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 29

7 Ibid


(26)

3. doktrin hukum yang berlaku umum dan universal.8

Hubungan hukum intern tersebut membatasi kesewenang-wenangan pemegang saham, direksi, dan komisaris yang sekaligus meletakkan tanggung jawab masing-masing. “Hal-hal tersebut di atas memberikan arah apa yang diperintahkan (imperare), apa yang dilarang (prohibere), serta apa yang diperbolehkan (permittere) kepada pemegang saham, komisaris, dan direksi”.9

Sebagai “artificial person”, perseroan tidak mungkin dapat bertindak sendiri. Perseroan tidak memiliki kehendak untuk menjalankan dirinya sendiri. Oleh karena itu diperlukan orang-orang yang memiliki kehendak yang akan menjalankan perseroan tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian perseroan. “Orang-orang yang akan menjalankan, mengelola, dan mengurus perseroan ini, dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas disebut dengan istilah ”organ perseroan”.10 Masing-masing organ dalam perseroan memiliki tugas dan wewenang yang berbeda-beda dalam melakukan pengelolaan dan pengurusan perseroan.

Seperti disebutkan di atas, dalam perseroan terbatas terdapat 3 (tiga) organ, yakni Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Komisaris. RUPS

(algemene vergardering van aandeelhourders) adalah ”lembaga yang mewadahi para

pemegang saham (stockholder, aandeelhourder) dan merupakan organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dan memegang kewenangan yang tidak

8

Ibid, hal. 30 9

Ibid 10

Gunawan Widjaja, 2004, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 20


(27)

diserahkan kepada Direksi dan Komisaris”.11 Kemudian Direksi (Board of Direktor, BoD) merupakan ”organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan (fiduciary duty), mewakili perseroan baik di dalam, maupun di luar pengadilan berdasarkan Anggaran Dasar (intra vires)”.12 Sedangkan Komisaris (Board of Commisioner, BoC atau Board of Trustee) adalah ”organ perseroan yang bertanggung jawab melakukan pengawasan baik secara umum maupun khusus serta memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan perseroan”.13

1) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan organ perseroan yang paling tinggi dan berkuasa untuk menentukan arah dan tujuan perseroan. RUPS memiliki segala kewenangan yang tidak diberikan kepada direksi dan komisaris perseroan. RUPS mempunyai hak untuk memperoleh segala macam keterangan yang diperlukan yang berkaitan dengan kepentingan dan jalannya perseroan.

Kewenangan tersebut merupakan kewenangan eksklusif (exclusive

authority) yang tidak dapat diserahkan kepada organ lain yang telah

ditetapkan dalam UUPT dan Anggaran Dasar”. Wewenang eksklusif yang ditetapkan dalam UUPT akan ada selama UUPT belum diubah. Sedangkan wewenang eksklusif dalam Anggaran Dasar yang disahkan atau disetujui Menteri Kehakiman dapat diubah melalui perubahan Anggaran Dasar sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan UUPT. 14

11

Umar Kasim, 2005, Tanggung Jawab Korporasi Dalam Hal Mengalami Kerugian, Kepailitan atau Likuidasi, Informasi Hukum Vol. 2 Tahun VII, http://www.nakertrans.go.id /majalah_buletin/info_hukum/vol2_v_ii_2005/Tanggung_jawab_Korporasi.php

12 Ibid 13

Ibid 14

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2003, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 78. Lihat juga Rachmadi Usman, 2004, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, PT. Alumni, Bandung, hal. 129


(28)

Wewenang RUPS tersebut terwujud dalam bentuk jumlah suara yang dikeluarkan dalam setiap rapat. Hak suara dalam RUPS dapat digunakan untuk berbagai maksud dan tujuan diantaranya ialah menyetujui atau menolak:

a. Rencana perubahan Anggaran Dasar;

b. Rencana penjualan asset dan pemberian jaminan hutang;

c. Pengangkatan dan pemberhentian anggota direksi dan/atau komisaris; d. Laporan keuangan yang disampaikan oleh direksi;

e. Pertanggungjawaban direksi;

f. Rencana penggabungan, peleburan dan pengambilalihan; g. Rencana pembubaran perseroan.15

2) Direksi

Keberadaan direksi dalam perseroan terbatas ibarat nyawa bagi perseroan. Tidak mungkin suatu perseroan tanpa adanya direksi. Sebaliknya tidak mungkin ada direksi tanpa adanya perseroan. Oleh karena itu, keberadaan direksi bagi perseroan terbatas sangat penting.16

Walau tidak ada suatu rumusan yang jelas dan pasti mengenai kedudukan direksi dalam suatu perseroan terbatas, yang jelas, direksi merupakan badan pengurus perseroan yang paling tinggi, karena direksi berhak dan berwenang untuk menjalankan perusahaan, bertindak untuk dan atas nama perseroan (baik di dalam maupun di luar pengadilan) dan bertanggung jawab atas pengurusan dan jalannya perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan.17

15

Rachmadi Usman, 2004, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. PT. Alumni. Bandung, hal. 131

16

Try Widiyono, Op Cit, hal. 7 17

Lihat Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 92 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas


(29)

Kemudian dari rumusan Pasal 92 Ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas dapat diketahui bahwa organ perseroan yang bertugas melakukan pengurusan perseroan adalah direksi. Setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. “Hal ini membawa konsekuensi hukum bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha perseroan”.18

Undang-Undang Perseroan Terbatas tidak memberikan suatu ketentuan lebih lanjut mengenai makna pengurusan perseroan oleh direksi. Fred B.G. Tumbuan dalam “Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris serta Kedudukan RUPS Perseroan Terbatas” yang dikutip Gunawan Widjaja, mengatakan bahwa:

Kewenangan pengurusan tersebut dipercayakan oleh undang-undang kepada direksi untuk kepentingan perseroan sebagai badan hukum yang mempunyai eksistensi sendiri selaku subjek hukum mandiri (Persona

standi in judicio). Dalam menjalankan fungsinya tersebut, direksi

perseroan terikat pada kepentingan perseroan sebagai badan hukum.19

“Direksi merupakan satu-satunya organ dalam perseroan yang melaksanakan fungsi pengurusan perseroan”.20 Pada prinsipnya ada 2 (dua) fungsi utama dari direksi suatu perseroan, yaitu sebagai berikut:

1. Fungsi manajemen, dalam arti direksi melakukan tugas memimpin perusahaan. Fungsi manajemen ini dalam hukum Jerman disebut dengan Geschaftsfuhrungs-befugnis, dan

18

Gunawan Widjaja, Op Cit, hal. 21 19

Ibid, hal. 21 20

Teori ini disebut dengan organ theory. Teori ini merupakan salah satua teori mengenai kewenangan bertindak badan hukum yang paling banyak dianut dewasa ini. Ibid, hal.2


(30)

2. Fungsi representasi, dalam arti direksi mewakili perusahaan di dalam dan di luar pengadilan. Prinsip mewakili perusahaan di luar pengadilan menyebabkan perseroan sebagai badan hukum akan terikat dengan transaksi atau kontrak-kontrak yang dibuat oleh direksi atas nama dan untuk kepentingan perseroan. Fungsi representasi ini dalam hukum Jerman disebut dengan Vertretungsmacht.21

Keberadaan dan fungsi direksi perseroan terbatas berdasarkan UUPT dapat dilihat dari beberapa ketentuan sebagai berikut:

1) Pasal 1 ayat (2) UUPT yang menyatakan organ perseroan adalah rapat umum pemegang saham, direksi dan komisaris.

2) Pasal 1 ayat (5) UUPT yang menyatakan direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

3) Pasal 97 ayat (2) UUPT yang menyatakan, kepengurusan perseroan dilakukan oleh direksi.

4) Pasal 97 jo Pasal 98 UUPT yang menyatakan, direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

5) Pasal 97 ayat (2) UUPT yang menyatakan, setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.

21


(31)

Dalam menjalankan tugasnya, Direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan konsekuensi setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh Direksi akan dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan Perseroan, sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Anggaran Dasar (intra vires) dan tidak melampui batas kewenangannya.

Selama Direksi melaksanakan tugas sebagaimana seharusnya (intra vires), maka sudah selayaknyalah tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi, walaupun Pasal 1367 ayat (1) dan (3) KUH Perdata merumuskan bahwa :

a. Seorang tidak bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang- barang yang berada dibawah pengawasannya (Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata).

b. Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan, atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya (Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata).

Selama Direksi tidak melakukan pelanggaran atas anggaran dasar perseroan, maka perseroanlah yang akan menanggung semua akibat dari perbuatan Direksi tersebut, termasuk apabila mengalami kerugian atau kepailitan. Hal inilah yang dimaksud dengan doktrin businees judgement rule.

Sedangkan bagi tindakan-tindakan Direksi yang merugikan Perseroan, yang dilakukan di luar batas kewenangan yang diberikan kepadanya oleh Anggaran Dasar (ultra vires), dapat tidak diakui oleh atau sebagai tindakan


(32)

perseroan. Dengan ini, berarti direksi bertanggung jawab secara pribadi atas setiap tindakannya yang di luar batas kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar perseroan.

Tindakan direksi dalam mengurus perseroan tidak hanya berdasarkan ketentuan yang ada pada UUPT dan atau anggaran dasar perseroan yang bersangkutan. Tindakan direksi juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a. Intravires dan Ultravires

Secara sederhana, pengertian intravires adalah dalam kewenangan, sedangkan ultravires diartikan sebagai "bertindak melebihi kewenangannya".22

Berkaitan dengan intravires dan ultravires, Fred B.G. Tumbuan sebagaimana dikutip oleh Try Widiono menyatakan bahwa :

Intravires adalah perbuatan yang secara eksplisit atau secara implisit

tercakup dalam kecakapan bertindak PT (termasuk dalam maksud dan tujuan PT). Sedangkan ultravires adalah perbuatan yang berada di luar kecakapan bertindak (tidak termasuk dalam maksud dan tujuan PT).

Ultra Vires mengandung arti bahwa perbuatan tertentu itu pada

hakikatnya adalah sah (dalam hubungan dengan pihak lain), tetapi ternyata berada di luar kecakapan bertindak PT, sebagaimana diatur dalam anggaran dasar dan atau berada di luar ruang lingkup maksud dan tujuannya.23

Mengenai ultravires ini I.G. Rai Widjaya menyatakan:

Disebut ultravires apabila tindakan yang dilakukan berada di luar kapasitas (capaciy) perusahaan, yang dinyatakan dalam maksud dan

22

Try Widiono, Op Cit, hal. 43 23


(33)

tujuan perusahaan yang tercantum dalam Anggaran Dasar. Di Inggris, suatu tindakan ultra vires adalah hanya bila secara jelas di luar tujuan pokok perusahaan.24

“Perbuatan ultra vires pada prinsipnya adalah perbuatan yang batal demi hukum dan oleh karena itu tidak mengikat perseroan”.25 Dalam hal ini ada 2 (dua) hal yang berhubungan dengan tindakan ultra vires perseroan, yaitu :

1. Tindakan yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta anggaran dasar perseroan adalah tindakan yang berada di luar maksud dan tujuan perseroan.

2. Tindakan dari direksi perseroan di luar kewenangan yang diberikan kepadanya berdasarkan ketentuan yang berlaku, termasuk anggaran dasar perseroan.26

“Prinsip-prinsip ultravires ini sangat penting untuk dapat mengukur suatu perbuatan hukum para pengurus perseroan, apakah perbuatannya sesuai dengan kewenangan bertindak sebagaimana diatur dalam anggaran dasar atau tidak”.27 Jika perbuatan tersebut melampaui kewenangan yang diberikan oleh anggaran dasar, maka pengurus perseroan tersebut harus bertanggung jawab sampai harta pribadinya dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri, baik pidana maupun perdata.

Sampai seberapa jauh suatu perbuatan dapat dikatakan telah menyimpang dari maksud dan tujuan perseroan sehingga dapat

24

I.G. Ray Widjaya, 2000, Hukum Perusahan, Megapoin, Jakarta, hal. 227 25

Gunawan Widjaja, Op Cit, hal. 22 26

Ibid, hal. 22 27


(34)

dikategorikan sebagai perbuatan ultra vires, harus dapat dilihat dari kebiasaan atau kelaziman yang terjadi dalam praktik dunia usaha.

b. Fiduciary duty

Mengurus perseroan bukan merupakan hal yang mudah. Oleh karena itu, agar perseroan tersebut terurus sesuai maksud didirikannya perseroan, maka untuk menjadi direksi perlu persyaratan dan keahlian. “Pendelegasian wewenang dari perseroan kepada direksi untuk mengelola perseroan terbatas lazim disebut sebagai fiduciary duty”. 28

Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah tugas yang terbit dari suatu hubungan fiduciary antara direksi dengan perusahaan yang dipimpinnya, yang menyebabkan direksi berkedudukan sebagai trustee. Oleh karena itu ”seorang direksi haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of

care and skill), itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaannya

dengan ”derajat yang tinggi” (high degree)”.29

Pada dasarnya direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan dalam batas-batas yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan anggaran dasar perseroan. “Setiap tindakan yang dilakukan oleh direksi di luar kewenangan yang diberikan tersebut tidak mengikat perseroan. Ini berarti

28

Ibid, hal. 8 29


(35)

direksi memiliki limitasi dalam bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan”.30

Sehubungan dengan hal tersebut Paul L. Daviesz dalam Gower's

Principles of Modern Company Law yang dikutip oleh Gunawan Widjaja

menyatakan bahwa:

In applying the general equitable principle to company directors, four separate rules have emerged. These are:

(1)That directors must act in good faith in what they believe to be the best interest of the company;

(2)That they must not exercise the powers conferred upon them for

purposes different from those for which they were conferred; (3)That they must not fetter their discretion as to how they shall act;

(4)That, without the informed consent of the company, they must not

place themselves in a position in which their personal interests or duties to other persons are liable to conflict with their duties.31

Keempat prinsip menunjukkan bahwa direksi perseroan dalam menjalankan tugas kepengurusannya harus senantiasa:

a) Bertindak dengan itikad baik;

b) Senantiasa memperhatikan kepentingan perseroan dan bukan kepentingan dari pemegang saham semata-mata;

c) Kepengurusan perseroan harus dilakukan dengan baik sesuai dengan tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya dengan tingkat kecermatan yang wajar, dengan ketentuan bahwa direksi tidak diperkenankan untuk memperluas maupun mempersempit ruang lingkup geraknya sendiri;

d) Tidak diperkenankan melakukan tindakan yang dapat menyebabkan benturan kepentingan antara kepentingan perseroan dengan kepentingan direksi.32

30

Gunawan Widjaja, Op Cit, hal. 23 31

Ibid, hal. 23 32


(36)

Menurut Gunawan Widjaja bahwa “Pada dasarnya direksi merupakan organ "kepercayaan" perseroan yang akan bertindak mewakili perseroan dalam segala macam tindakan hukumnya untuk mencapai tujuan dan kepentingan perseroan”.33 Berkaitan dengan prinsip kepercayaan tersebut, ada 2 (dua) hal yang dapat dikemukakan yaitu:

a) Direksi adalah trustee bagi perseroan (duty of loyalty and good faith); b) Direksi adalah agen bagi perseroan dalam mencapai tujuan dan

kepentingannya (duty of care and skill).34

Selanjutnya Gunawan Widjaja menjelaskan bahwa :

Tugas dan tanggung jawab direksi tersebut di atas merupakan tugas dan tanggung jawab direksi sebagai suatu organ yang merupakan tanggung jawab kolegial sesama anggota direksi terhadap perseroan. Direksi tidak secara sendiri-sendiri bertanggung jawab kepada perseroan. Ini berarti setiap tindakan yang diambil atau dilakukan oleh salah satu atau lebih anggota direksi akan mengikat anggota direksi lainnya. Namun ini tidak berarti tidak diperkenankan terjadinya pembagian tugas di antara anggota direksi perseroan demi pengurusan perseroan yang efisien.35

Dengan demikian, fiduciary duty dari direksi perseroan dimaksudkan adalah :

Jika dalam menjalankan tugasnya untuk kepentingan perusahaan, di mana perusahaan tersebut mempunyai kepercayaan yang besar (great

trust) kepadanya, sementara di lain pihak, dia wajib mempunyai itikad

baik yang tinggi (high degree of good faith), loyalitas yang tinggi (high

degree of loyalty), kejujuran yang tinggi (high degree of honesty), serta

33

Ibid, hal. 24 34

Ibid, hal. 24-25 35


(37)

kepedulian dan kemampuan yang tinggi (high degree of care and skill) dalam menjalankan tugasnya kepada perusahaan tersebut”.36

Jadi, dengan fiduciary duty ini, di pihak direksi dia harus mempunyai itikad baik yang tinggi dan loyalitas yang tinggi dalam menjalankan tugasnya, sementara di pihak perusahaan harus mempunyai kepercayaan yang besar kepada direksinya.

Dengan demikian, apabila misalnya direksi hanya menjalankan tugasnya dengan penuh kehatian-hatian, atau itikad baik, atau loyalitas saja (tidak dalam keadaan lalai atau negligence), belumlah sampai dikatakan bahwa dia telah menjalankan fiduciary duty. ”Untuk sampai dikatakan bahwa dia sudah menjalankan fiduciary duty, maka kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), atau itikad baik, atau loyalitas tersebut haruslah dengan "derajat yang tinggi" (high degree)”.37

Dengan demikian, seorang direksi sungguhpun sudah cukup hati-hati (dalam arti tidak lalai atau negligence) dalam menjalankan tugasnya, masih belum cukup kuat untuk dikatakan bahwa dia terbebas dari tanggung jawab hukum seandainya dengan tindakan-tindakannya tersebut ada pihak yang dirugikan. Sebaliknya, manakala seorang direktur suatu perseroan tidak menjalankan tugasnya secara cukup hati-hati (due care) terhadap perusahaannya, maka dia sudah dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum, meskipun menurut teori fiduciary duty, batas tanggung

36

Munir Fuady II, Op Cit, hal. 51 37


(38)

jawab hukum lebih dari sekadar menjalankan tugas dengan kehati-hatian saja. Dengan kata lain, hati-hati saja secara hukum masih belum cukup. c. Tugas mempedulikan (duty of care)

Tugas mempedulikan (duty of care) yang diharapkan dari direksi adalah

duty of care sebagaimana dimaksud dalam hukum tentang perbuatan melawan

hukum (onrechtmatige daad), dalam arti direksi diharapkan untuk berbuat secara hati-hati sehingga terhindar dari perbuatan kelalaian (negligence) yang merugikan pihak lain.38

Menurut Pasal 97 ayat (1) UUPT, direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1). Dalam ketentuan Pasal 92 ayat (1) UUPT disebutkan bahwa “Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan”. Sejalan dengan ketentuan Pasal 97 UUPT, oleh Pasal 97 ayat (2) UUPT ditentukan bahwa “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”. Dengan kata lain, “tugas dan kewajiban direksi yang ditentukan dalam Pasal 97 ayat (1) UUPT, yaitu melakukan kepengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, dan wajib dijalankan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”.39

38 Ibid 39


(39)

Berdasarkan ketentuan Pasal 97 ayat (1) dan (2) UUPT, terdapat 2 (dua) unsur pokok yang harus diperhatikan oleh direksi perseroan dalam menjalankan tugas kepengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) UUPT yaitu :

a. Kepentingan dan tujuan/usaha perseroan; b. Itikad baik dan penuh tanggung jawab.

“Kedua unsur tersebut harus dipenuhi secara kumulatif dan bukan alternatif, artinya harus dipenuhi kedua-duanya”.40

Apa yang dimaksud dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab tersebut, dalam UUPT baik dari pasal-pasalnya maupun penjelasannya tidak memberikan jabaran lebih jauh mengenai maksud atau kandungan dari konsep itikad baik dan penuh tanggung jawab itu. Namun di Negara-negara yang menganut common law system acuan yang digunakan adalah standard of care atau standar kehati-hatian. “Apabila direksi telah bersikap dan bertindak melanggar standard of care, maka direksi tersebut dianggap telah melanggar

duty of care-nya”.41

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 92 UUPT, direksi tidak boleh melakukan kegiatan yang sekalipun dilakukan demi kepentingan perseraon tetapi tidak sejalan dengan tujuan perseroan sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar perseroan. Misalnya suatu perseroan yang dalam Anggaran

40 Ibid 41


(40)

Dasarnya ditentukan bertujuan untuk melakukan kegiatan real estate tetapi ternyata direksi melakukan kegiatan bisnis ekspor. Sekalipun kegiatan ekspor yang dilakukan direksi sangat meguntungkan perseroan, tetapi tetap direksi melanggar ketentuan Pasal 92 UUPT. Sebaliknya, sekalipun direksi melakukan kegiatan di bidang real estate sesuai tujuan perseroan sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar perseroan, tetapi apabila kegiatan tersebut adalah untuk keuntungan perusahaan lain, misalnya perusahaan dimana direksi memiliki kepentingan sebagai salah satu pemegang saham perseroan tersebut, maka direksi juga dianggap melanggar ketentuan Pasal 92 UUPT. Dengan kata lain, ketentuan Pasal 92 UUPT mewajibkan direksi melakukan kegiatan kepengurusan perseroan bukan saja kegiatan yang sejalan dengan kepentingan perseroan, tetapi juga harus sejalan dengan tujuan perseroan sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Dasarnya. Dari ketentuan Pasal 92 UUPT itu pula dapat diketahui bahwa direksi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan tugasnya itu.

Beberapa prinsip hukum yang terbit dari adanya duty of care dari direksi adalah sebagai berikut:

a. Agar terpenuhinya unsur duty of care, maka terhadap direksi berlaku standar kepedulian (standard of care) sebagai berikut:

a) Selalu beritikad baik.

Contoh dari perbuatan-perbuatan yang tidak dilandasi dengan itikad baik itu adalah :

1. Perseroan membeli barang atau properti dari pihak lain dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang wajar, atau


(41)

2. Perseroan menjual harta kekayaan perseroan kepada pihak lain dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga wajarnya. Sedangkan direksi memperoleh keuntungan pribadi dari transaksi itu, atau

3. Apabila direksi dari suatu lembaga kredit, seperti misalnya bank atau perusahaan pembiayaan (multi finance company), telah memberikan kredit kepada pihak lain dengan tidak melakukan analisis yang baik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dimana sekalipun permohonan kredit itu sebenarnya tidak layak (fesible), tetapi direksi bank atau perusahaan pembiayaan tersebut memutuskan untuk memberikan kredit yang dimohon oleh nasabah dan ternyata kemudian kredit menjadi macet yang sangat merugikan bank atau lembaga pembaiayaan itu.

4. Seorang anggota direksi atau para anggota direksi dapat pula memperoleh manfaat pribadi dari jabatannya apabila mereka memanfaatkan kesempatan transaksi yang seyogianya dilakukan dengan dan untuk kepentingan perseroan yang dipimpinnya, tetapi transaksi itu disalurkan kepada perseroan lain dimana anggota direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan.

b) Tugas-tugas dilakukan dengan kepeduliannya seperti yang dilakukan oleh orang biasa yang berhati-hati (ordinarily prudent

person) dalam posisi dan situasi yang sama, atau seperti yang

dilakukan oleh orang tersebut untuk kepentingan bisnis pribadinya. c) Tugas-tugas dilakukan dengan cara yang dipercayanya secara logis

(reasonably believe) merupakan kepentingan yang terbaik (best interest) dari perseroan.

b. Secara hukum, seorang direktur perseroan tidak akan bertanggung jawab semata-mata atas salah dalam mengambil keputusan (mere errors

of judgement). Bahkan, asalkan dia beritikad baik dan cukup

berhati-hati, keputusan yang salah tidak dapat dibebankan kepada direksi, sungguhpun kesalahan tersebut akibat kurang pengalaman atau kurang komprehensif dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, suatu

honest mistake yang dilakukan oleh direksi masih dapat ditoleransi oleh

hukum. Bahkan, hakim tidak diperkenankan untuk melakukan penilaian bisnis yang berbentuk second guess terhadap keputusan direksi. Hal ini sesuai pula dengan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam "teori keputusan bisnis" (business judgement rule).

c. Secara hukum, seorang direktur tidak diharapkan tingkat keahlian (degree of skill) kecuali hanya setingkat yang dapat diharapkan secara


(42)

wajar dari orang yang sama pengetahuan dan sama pengalaman dengannya, atau yang dalam bahasa hukum populer dengan istilah

degree of skill that may reasonably be expected from a person of his knowledge and experience.

d. Terhadap tugas-tugas direksi yang dapat didelegasikan kepada bawahannya, maka berlaku asumsi hukum bahwa pihak bawahan telah melakukan tugasnya secara jujur (kecuali ada kecurigaan sebaliknya). e. Direksi akan bertanggung jawab secara hukum manakala dia gagal

dalam mengarahkan (failure to direct) bawahannya dan jalannya perusahaan.

f. Direksi akan bertanggungjawab secara hukum manakala dia

mengetahui, membantu atau ikut melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum, sungguhpun hal tersebut semata-mata untuk kepentingan perseroan yang dipimpinnya.42

Dalam teori ilmu hukum perseroan, prinsip kepedulian (due care) dari direksi terhadap perseroan memiliki 2 (dua) persyaratan sebagai berikut:

a) Syarat prosedural

Syarat prosedural yang dipersyaratkan oleh hukum kepada direksi dari suatu perseroan adalah bahwa seorang direksi haruslah selalu menaruh perhatian dengan sungguh-sungguh kepada jalannya perseroan. Di samping itu, direksi juga harus selalu mendapatkan informasi yang lengkap (well informed) terhadap perseroannya.

b) Syarat substantif

Syarat substantif yang terbit dari prinsip kepedulian (due care) terhadap seorang direktur perusahaan adalah bahwa dalam mengambil keputusan perseroan, pihak direktur haruslah dilakukannya berdasarkan pertimbangan yang rasional. Akan tetapi, standar rasional tersebut tidak berarti bahwa direksi harus mengambil keputusan yang benar-benar optimal. Yang dibutuhkan bahwa munculnya (appearance) dari keputusan tersebut terlihat sebagai respon yang wajar terhadap situasi yang ada, yang oleh hukum dilarang adalah manakala pihak direksi bertindak begitu sangat tidak bijaksana, sangat tidak rasional, dan di luar tindakan direksi yang dibenarkan oleh hukum.43

42

Munir Fuady II, Op Cit, hal. 50-51 43


(43)

d. Business Judgment Rule

Selain doktrin duty o f care, terdapat juga doktrin lain yang disebut Business

Judgment Rule. Berlakunya doktrin ini (menurut pendapat beberapa ahli hukum

dianggap) telah memberikan kelegaan karena “duty of care telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para anggota direksi perseroan”.44

Untuk mengukur kepercayaan yang diberikan oleh perseroan kepada direksi, berdasarkan prinsip fiduciary duty, maka sebagai organ perseroan yang menjalankan kegiatan usaha sebagaimana maksud dan tujuan perseroan, direksi tentu dihadapkan kepada risiko bisnis. Risiko itu terkadang berada di luar kemampuan maksimal direksi. Oleh karena itu, “untuk melindungi ketidakmampuan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan manusia, maka direksi dilindungi oleh doctrine business judgements rule”. 45

Menurut Try Widiono :

Doktrin ini mendudukkan manusia pada proporsi yang sebenarnya dengan segala kekurangannya, yang sering mengalami pencapaian atau harapan dari prediksi yang dirancang. Seorang direksi, bagaimanapun tidak mungkin selalu benar dalam menjalankan usahanya, karena error (kekeliruan) adalah kelengkapan manusia. Sudah sepantasnya jika seorang direktur perseroan tidak digeneralisir untuk bertanggungjawab atas kesalahan dalam mengambil keputusan (mere errors of judgement) tanpa mempertimbangkan unsur manusiawinya. Doctrine business judgements rule memberikan perlindungan kepada direksi perseroan atas kemungkinan kesalahan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang wajar dan manusiawi.46

44

Gunawan Widjaja, Op Cit, hal. 37 45

Try Widiono, Op Cit, hal. 46 46


(44)

“Konsep Business Judgment Rule mencegah pengadilan-pengadilan mempertanyakan pengambilan keputusan usaha oleh direksi yang diambil dengan itikad baik tanpa kepentingan pribadi dan keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa mereka telah mengambil suatu keputusan yang menguntungkan perseroan”.47

Sutan Remi dalam makalahnya yang berjudul "Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris" menyatakan bahwa :

Menurut business judgment rule, pertimbangan bisnis (business

judgment) para anggota direksi tidak dapat ditantang (diganggu gugat) atau

ditolak oleh pengadilan atau oleh pemegang saham. Para anggota direksi tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis (business judgment) oleh anggota direksi yang bersangkutan sekalipun pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu. Business judgment rule adalah "a

presumption that in making a business decision, the directors of corporation acted on an informed basis in good faith and in a honest belief that the action was taken in the best interest of the company.

Bentuk perbuatan-perbuatan dan pertimbangan bisnis apa saja yang tidak dilindungi oleh business judgment rule sangat penting diketahui oleh masyarakat dan hakim.48

Beberapa pengadilan berpendapat bahwa pertimbangan (judgment) seorang anggota direksi tidak dapat diganggu gugat kecuali apabila pertimbangan (judgment) tersebut didasarkan atas suatu kecurangan (fraud), menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest), atau merupakan perbuatan yang melanggar hukum (illegality).49 Sementara itu, beberapa

47

Gunawan Widjaja, Op Cit, hal. 37 48

Sutan Remi Sjahdeni, 2001, “Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris”. Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14, Juli, hal. 101

49


(45)

pengadilan yang lain berpendapat bahwa “seorang direktur yang dalam mengambil pertimbangan telah menimbulkan kerugian bagi perseroan tidak dilindungi oleh business judgment rule, jika kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian berat (gross negligence) anggota direksi yang bersangkutan”.50

Perlindungan business judgment rule dikatakan tidak berlaku bagi anggota direksi perseroan jika dalam transaksi bisnis yang dilakukan oleh direksi diketahui bahwa direksi tersebut telah berupaya mengedepankan kepentingan pribadinya atau telah terdorong untuk membuat syarat-syarat transaksi yang dilakukannya demi kepentingan pribadinya. Dengan demikian, “judgment yang telah diambilnya itu tidak dapat dikatakan sebagai

"discretionary exercises of power on behalf of the corporation" yang

merupakan tindakan yang mengandung kecurangan (fraud) dan benturan kepentingan (conflict of interest)”.51

Dengan demikian, dengan diberlakukannya prinsip Business Judgment

Rule, terjadi beban pembuktian terbalik, dimana pihak yang menduga

bahwa direksi (dan atau anggotanya) tidak boleh bertindak secara baik untuk keuntungan perseroan, wajib membuktikan adanya dugaan tersebut.

3) Komisaris

50

Ibid, hal 101-102 51


(46)

“Organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasihat kepada direksi dalam menjalankan perseroan adalah komisaris”.52 Keberadaan komisaris dalam suatu perseroan menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang (selanjutnya disingkat dengan KUHD) bukanlah suatu keharusan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 44 ayat (1) KUHD. Sebaliknya keberadaan komisaris dalam UUPT dinyatakan dengan tegas sebagai salah satu organ perseroan yang bertugas untuk melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus serta memberikan nasihat kepada direksi dalam menjalankan perseroan.53 Dengan demikian ”komisaris berfungsi sebagai pengawas dan penasehat direksi, sehingga keberadaannya merupakan suatu keharusan”. 54

Walaupun tanggung jawab Direksi demikian besar sebagai pemegang prokurasi (procuratie houder) dari RUPS dan harus bekerja secara profesional (selaku duty of skill and care), bukan berarti bahwa Komisaris tidak mempunyai tanggung jawab dan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hal terjadi kerugian atas perseroan, karena selain Komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasehat kepada Direksi, juga apabila dalam anggaran dasar telah ditetapkan pemberian kewenangan kepada Komisaris untuk memberikan persetujuan kepada Direksi/anggota Direksi dalam melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, maka

52

I.G. Rai Widjaya, Op Cit, hal. 253 53

Lihat Pasal 108 ayat (1) UUPT 54


(47)

dalam hal terjadi suatu kerugian perseroan atas persetujuan Komisaris tersebut, Komisaris dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan hukum yang dilakukan oleh Direksi/anggota Direksi atas persetujuan Komisaris.

1.2Doktrin Piercing The Corporate Veil

Pada dasarnya pertanggungjawaban pemegang saham, direksi, dan komisaris dalam perseroan berbadan hukum adalah terbatas. Namun pertanggungjawaban tersebut tidak berlaku mutlak. “Hal ini timbul terutama jika sebuah badan hukum dijadikan sebagai vihicle untuk maksud-maksud yang menyimpang dari norma hukum”.55 Oleh karena itu, timbul suatu prinsip yaitu piercing the corproate veil, yang secara sederhana dapat dikatakan bahwa tanggung jawab terbatas pemegang saham, direksi dan atau komisaris dalam hal-hal tertentu dapat menjadi tidak terbatas.

Doktrin piercing the corporate veil tidak diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut dengan KUHD), tetapi diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Doktrin ini mengajarkan bahwa “sungguhpun suatu badan hukum bertanggung jawab secara hukum hanya terbatas pada harta badan hukum tersebut, tetapi dalam hal-hal tertentu batas tanggung jawab tersebut dapat ditembus (piercing)”.56 “Prinsip piercing the

corporate veil ini hanya dikenal dan berkembang dalam konsep hukum perseroan

55

Try Widiyono, Op Cit, hal. 30 56


(48)

negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law System, yang kemudian diadopsi ke dalam sistem hukum perseroan Indonesia”.57

Prinsip pembatasan penerapan tanggung jawab dari pemegang saham dikenal dengan prinsip piercing the corporate veil. Prinsip ini dalam Bahasa Indonesia selalu diartikan “menyingkap tabir atau cadar perseroan”.58 Tabir atau cadar yang disingkap dimaksud adalah diterobosnya pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham yang telah ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT.

Dalam Black’s Law Dictionary, doktrin piercing the corporate veil dijelaskan sebagai berikut:

Piercing corporate veil. Judicial process whereby court will disregard usual immunity of corporate officers from liability for corporate liabilities; e.g. when incorporation was for sole purpose of perpetrating fraud. The doctrine which holds that the corporate structure with its attended limited liability of stockholders, officers and directors in the case of fraud. The court, however, may look beyond the corporate from only for the defeat of fraud or wrong or the remedying of injustice.

Menyingkap tabir perseroan. Proses hukum yang dilaksanakan pengadilan biasanya dengan mengabaikan kekebalan umum pejabat perusahaan atau pihak tertentu perusahaan dari tanggung jawab aktifitas perusahaan: misalnya ketika dalam perusahaan dengan sengaja melakukan kejahatan. Doktrin yang ada berpendapat bahwa struktur perusahaan dengan adanya tanggung jawab terbatas pemegang saham dapat mengabaikan tanggung jawab pemegang saham, pejabat perusahaan dan direktur perusahaan. Pengadilan dalam masalah tersebut akan memandang perusahaan hanya dari sisi kegagalan pembelaan atas tindak kejahatan atau kesalahan atau pemberian sanksi hukuman.59

57

Rachmadi Usman, Op Cit, hal. 152 58

Ningrum N. Sirait, 2006, Modul Hukum Perusahaan, Program Studi Magister Ilmu Hukum, USU, Medan, hal. 68

59

Henry Campbell Black, 1990, “Black’s Law Dictionary”, Sixth Edition, St Paul, Minn West Publising Co, hal. 1033, dalam Ningrum N. Sirait, Ibid, hal. 68, lihat juga Chatamarrasjid Ais, Op Cit, hal. 8, lihat jugaTri Widiyono, Op Cit, hal. 31


(49)

Secara harfiah istilah piercing the corporate veil diartikan “mengoyak/ menyingkapi tirai/kerudung perusahaan”.60 Sedangkan dalam ilmu hukum perusahaan, istilah piercing the corporate veil merupakan:

Suatu doktrin atau teori yang diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain, atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perseroan pelaku tersebut. 61

Dalam hal seperti ini pengadilan akan mengabaikan status badan hukum dari perusahaan tersebut, dan membebankan tanggung jawab kepada pihak “organizers” dan “managers” dari perseroan tersebut dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas dari perseroan sebagai badan hukum yang biasanya dinikmati oleh mereka. Dalam melakukan hal tersebut biasanya dikatakan bahwa pengadilan telah mengoyak/menyingkapi tirai/kerudung perusahaan (to pierce the corporate veil). “Biasanya teori piercing the corporate veil ini muncul dan diterapkan ketika ada kerugian atau tuntutan hukum dari pihak ketiga terhadap perseroan tersebut”.62

Doktrin piercing the corporate veil ini bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak adil terutama bagi pihak luar perseroan dari tindakan sewenang-wenang atau tidak layak yang dilakukan atas nama perseroan, baik yang terbit dari suatu transaksi dengan pihak ketiga maupun yang timbul dari perbuatan menyesatkan atau perbuatan melawan hukum.

60

Munir Fuady II, Op Cit, hal. 8 61

Ibid 62


(50)

Beberapa contoh fakta yang secara universal teori piercing the corporate veil ini dapat diterapkan antara lain sebagai berikut:

1. Permodalan yang tidak layak (terlalu kecil). 2. Penggunaan dana perusahaan secara pribadi. 3. Ketidakadaan formalitas eksistensi perseroan.

4. Terdapatnya elemen-elemen penipuan dengan cara menyalahgunakan badan hukum perseroan.

5. Terjadi transfer modal/asset kepada pemegang saham.

6. Keputusan diambil tanpa memenuhi formalitas tertentu. Misalnya, tidak dilakukannya RUPS untuk kegiatan yang memerlukan RUPS.

7. Sangat dominannya pemegang saham dalam kegiatan perseroan.

8. Tidak diikutinya ketentuan perundang-undangan mengenai kelayakan permodalan dan asuransi.

9. Tidak dipenuhinya formalitas tentang pembukuan dan record keeping. Misalnya terjadi pencampuradukan antara dana milik perseroan dengan dana milik pribadi pemegang saham.

10.Pemilahan badan hukum. Misalnya, untuk menghindari tanggung jawab yang lebih besar karena kemungkinan gugatan dari pihak korban kebakaran, pengusaha taxi membuat perusahaan sendiri-sendiri yang terpisah-pisah untuk setiap taxi yang dimilikinya.

11.Misrepresentasi. Misalnya, dibuat kesan kepada kreditor bahwa seolah-olah perusahaan memiliki permodalan yang besar dengan asset yang banyak, mengingat pemegang sahamnya memang memiliki asset yang besar.

12.Perusahaan holding dalam kelompok usaha lebih besar, kecenderungannya untuk dimintakan tanggung jawab hukum atas kegiatan anak perusahaannya ketimbang pemegang saham individu dari perusahaan tunggal.

13.Perseroan tersebut hanya sebagai alter ego (kadang-kadang disebut sebagai instrumentally, dummy atau agent) dari pemegang saham yang bersangkutan.

14.Piercing the corporate veil diterapkan untuk alasan ketertiban umum

(openbare orde). Misalnya menggunakan perusahaan untuk melaksanakan hal-hal yang tidak pantas (improper conduct).

15.Piercing the corporate veil diterapkan dalam kasus-kasus kuasi kriminal

(quasi criminal). Misalnya jika perusahaan dipergunakan sebagai sarana untuk menjual minuman keras atau untuk perjudian/lotre.63

63


(51)

Kriteria dasar dan universal agar suatu piercing the corporate veil secara hukum dapat dijatuhkan adalah sebagai berikut:

1. terjadinya penipuan;

2. didapatkan suatu ketidakadilan;

3. terjadinya suatu penindasan (oppression); 4. tidak memenuhi unsur hukum (illegality); 5. dominasi pemegang saham yang berlebihan;

6. perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritasnya.64 1.3 Penerapan Doktrin Piercing The Corporate Veil oleh Pengadilan

Hal yang mendasar dalam hukum perusahaan adalah bahwa pengadilan memperlakukan sebuah korporasi sebagai sebuah lembaga yang sah, terpisah dan pemegang saham yang nyata/jelas. Lebih lanjut lagi, pertanggungjawaban pemegang saham umumnya terbatas kepada sejumlah uang yang diinfestasikan dalam dunia usaha (perusahaan). Penyekatan dari pemegang saham, dikenal sebagai “pertanggungjawaban terbatas”, adalah salah satu dari alasan utama untuk bergabung dalam sebuah perusahaan. Tentu saja, pemegang saham mendapatkan keuntungan dari peraturan pertanggungjawaban terbatas, bahkan jika tujuan satu-satunya dari penggabungan adalah untuk menghindari pertanggungjawaban. Lebih jauh lagi, hal ini adalah” pendirian sebuah korporasi yang pantas untuk mendapatkan satu-satunya asset yang berharga untuk korporasi dan kelanjutan bisnis”.65

64

Ibid, hal. 10 65

Peter A. Antonucci, “Piercing The Corporate Veil”, http://www.proquest.com, diakses 24 September 2007


(52)

Dalam hukum perusahaan, tanggung jawab pemegang saham biasanya hanya sebatas pembayaran saham yang dikeluarkan oleh pemegang saham. Karena alasan itulah maka kewajiban perseroan/perusahaan untuk memegang saham terbatas tersebut, dan modal saham tidak dibayar. Sejak itulah korporasi yang dipimpin oleh orang lain, mengatur hukum bahwa individu-individu (para pemegang saham) tidak akan dikenakan tanggung jawab dalam perseroan/perusahaan, maupun kewajiban dalam pembayaran hutang perusahaan yang diakibatkan oleh perusahaan/perseroan bahkan jika mereka memutuskan bahwa hal itu tidak sah, setidaknya begitulah sistem peradilan yang sah yang telah dipertimbangkan dalam mengatasi masalah ini sampai pada hari ini, dan juga pendapat pengadilan juga membuktikan bahwa terjadi pemisahan keberadaan antara perusahaan dan pemegang saham.66

Umumnya, “kendali berlebihan” tidak dibenarkan pada suatu perusahaan. Dalam banyak kasus, juga sudah digugat bahwa hal itu “pada dasarnya tidak wajar” untuk menembus selubung perseroan/perusahaan tanpa peraturan atau dengan maksud tertentu. Untuk membuat peraturan tersebut, pengadilan sudah menguji beberapa faktor untuk menentukan apakah hal tersebut akan tidak sah pada dasarnya untuk mengijinkan para pemegang saham menikmati keterbatasan tanggung jawab dalam perusahaan/perseroan secara terpisah. Faktor-faktor tersebut adalah:

a. Pada saat apakah, perusahaan/perseroan atau korporasi yang baru menerima keuntungan yang cukup, berdasarkan pada resiko yang dapat diduga, hutang usaha dan tanggung jawab ?

66

Romelio Hernandez, Merigo, Hurtado S.C, Piercing The Corporate Veil in Mexico, http://www.proquest.com, diakses 24 September 2007


(53)

b. Apakah pemegang saham turut campur pada asset-asset usaha yang berharga ?

c. Apakah campur tangan pemegang saham masuk dalam transaksi-transaksi yang dilakukan oleh perusahaan dengan sedikit atau banyak pertimbangan, yaitu dimana jika, perusahaan membayar dalam jumlah yang lebih banyak kepada pemegang saham atau pemegang saham menerima lebih sedikit dari laba yang dihasilkan oleh perusahaan ?

d. Apakah pemegang saham terlibat dalam aktivitas yang melanggar hukum atau undang-undang (penipuan), dan apakah perusahaan/ perseroan terlibat dalam kejahatan yang dilakukan oleh pemegang saham ?

e. Apakah pemegang saham wajib meminta penjelasan hak perwakilan kepada kreditor, seperti apakah masalah dagang telah dijamin oleh lembaga perusahaan dalam jumlah kecil atau besar ?

f. Apakah pemegang saham ikut campur tangan secara jelas dalam kontroversi perusahaan dengan pihak kreditor?

g. Apakah pemegang saham bertanggung jawab melindungi kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan ?

h. Apakah pemegang saham memperoleh hasil dari kegiatan monopoli? i. Apakah pemegang saham dapat terhindar dari hutang perusahaan secara

sah (legal)? 67

Perusahaan harus menyadari faktor-faktor yang menjadi pertimbangan pengadilan dalam hal penentuan apapun untuk menembus penyelubungan korporasi, dan kemudian perusahaan harus melakukan pengamatan melalui pemegang saham mereka supaya dapat terhindar dari perangkap yang akan menunjuk para pemegang kepada penembusan penyelubungan korporasi terutama dalam konteks pertanggungjawaban kasus-kasus produksi.

Di negara-negara Common Law, terutama di Inggris dan Amerika Serikat, banyak pengadilan yang menerapkan teori Piercing the Corporate Veil untuk perusahaan dalam kelompok usaha dengan memberlakukan prinsip hubungan

67 Ibid


(54)

“agency” di antara perusahaan-perusahaan dalam 1 (satu) kelompok usaha. Demikian juga sering kali (tetapi tidak selamanya) suatu perusahaan dianggap sebagai “agen” perusahaan holding-nya.68

Kasus Smith, Stone & Knight v. Birmingham yang diputuskan dalam tahun 1939 di Inggris, memberikan beberapa kriteria yuridis agar secara hukum dapat dianggap bahwa anak perusahaan merupakan agen dari perusahaan holding, sehingga teori piercing the corporate veil dapat diterapkan kepada perusahaan holding. Kriteria-kriteria tersebut adalah :

a. Apakah keuntungan diberlakukan sebagai keuntungan dari perusahaan

holding;

b. Apakah proses pelaksanaan dikendalikan oleh perusahaan holding;

c. Apakah perusahaan holding merupakan ”kepala dan otak” (head and

brain) dari bisnis anak perusahaan;

d. Apakah perusahaan holding mengatur ”the adventure”;

e. Apakah keuntungan dibuat dengan keahlian dan pengarahan dari perusahaan holding;

f. Apakah perusahaan holding selalu mengontrol dan mempengaruhi anak perusahaan.69

2. Kerangka Konsepsional

Penelitian ini mengambil judul “Penerapan Doktrin Piercing The Corporate

Veil pada Perseroan Terbatas (Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank

Perkembangan Asia)”. Pengertian dari judul penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Penerapan yaitu pemasang; pengenaan perihal mempraktekkan.70

68

Munir Fuady, II, Op cit, hal. 16 69

Ibid 70


(55)

b. Doktrin Piercing The Corporate Veil yaitu doktrin menyingkap tabir atau cadar perseroan, yaitu diterobosnya pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham sehingga dapat dimintakan pertanggungjawabannya.

c. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya.71

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu “penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder atau disebut juga penelitian kepustakaan”.72 Dalam melakukan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif atau disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal. “Pendekatan yuridis normatif digunakan dengan maksud untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan berbagai teori”.73

71

Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 72

Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif, PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 10

73

Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 11


(56)

Dalam penelitian ini, penelitian hukum dipergunakan untuk menemukan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan penerapan doktrin piercing the

corporate veil pada suatu perseroan terbatas sehingga hakim dalam menangani kasus

perjanjian kredit tersebut dapat memintakan pertanggungjawaban persero dan menembus/mengoyak pertanggungjawaban terbatas para persero yang biasanya sangat sulit ditembus.

2. Sumber Data

Penelitian ini dilakukan dengan bahan studi kepustakaan (library research), data-data dalam penelitian ini diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, makalah dan dokumen yang ada kaitannya dengan permasalahan. Data-data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan dengan mempelajari:

a. Bahan hukum primer yang merupakan peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dokumen, dan lain-lain yang berhubungan dengan doktrin piercing

the corporate veil.

b. Bahan hukum sekunder yaitu yang memberi penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer, ulasan hukum dan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.


(57)

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan (Library Research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer adalah hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah dari kalangan hukum yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Sedangkan bahan hukum tertier adalah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

4. Analisis Data

Analisis data terhadap data primer dan data sekunder dilakukan setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan dan dievaluasi sehingga diketahui validitasnya, lalu dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban kemudian diolah dengan menggunakan metode deduktif dan terakhir dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

H. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang diadakannya

penelitian ini, kemudian rumusan permasalahan yaitu dalam hal yang bagaimanakah doktrin piercing the corporate veil dapat diterapkan pada suatu perseroan terbatas;


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini :

1. Doktrin Piercing the Corporate Veil dapat diterapkan dalam Perseroan Terbatas (PT. Djaya Tunggal) dalam hal adanya fakta-fakta yang menyesatkan, terjadinya penipuan dan ketidakadilan dan untuk melindungi pemegang saham minoritas, pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk (tekwaadetrouw atau bad faith) memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi, Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan, atau pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan atau PT.

2. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 sampai batas-batas tertentu mengakui berlakunya teori piercing the corporate veil ini. Penerapan teori piercing the corporate veil ke dalam tindakan suatu perseroan, menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya dimintakan dari perseroan tersebut (meskipun dia berbentuk badan hukum), tetapi pertanggungjawaban

121 RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS


(2)

hukum dapat juga dimintakan terhadap pemegang sahamnya. Bahkan, penerapan teori piercing the corporate veil dalam pengembangannya, juga membebankan tanggung jawab hukum kepada organ perusahaan yang lain seperti direksi atau komisaris

3. Dalam kasus kredit antara Bank Perkembangan Asia dengan PT. Djaya Tunggal, Majelis Hakim telah tepat menggunakan doktrin piercing the corporate veil sehingga dalam kasus ini direksi dan komisaris sebagai pengawas perusahaan, tetap dapat dimintakan pertanggungjawabannya, oleh karena perbuatannya telah bertentangan dengan prinsip fiduciary duty dan juga bertentangan dengan anggaran dasar perusahaan, yang tidak saja merugikan perusahaan tetapi ikut merugikan pemegang saham lainnya.

B. Saran

1. Disarankan agar Prinsip Piercing The Corporate Veil ini lebih dipertegas pengaturannya dalam salah satu pasal dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sehingga hakim dalam memutuskan suatu perkara hakim dapat melakukan penerobosan atas tanggung jawab terbatas direksi yang sulit ditembus oleh pengadilan. Para hakim seharusnya lebih menambah pengetahuan dan keahlian dalam menangani kasus-kasus dalam bidang hukum perusahaan, yang lebih banyak memakai asas-asas hukum yang berasal dari anglo saxon system.


(3)

123

2. Agar setiap PT di Indonesia diwajibkan menetapkan sekurang-kurangnya satu orang Komisaris independen oleh karena jabatan Komisaris independen ini dapat mencegah agar tidak terjadi rangkap pimpinan seperti PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia ini. Dalam pengelolaan bank harus diformulasikan sesuai dengan prinsip-prinsip good corporate governance agar kualitas pengelolaan bank dapat mendorong jalannya fungsi bank sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat.

3. Perjanjian kredit antara debitor dengan pihak Bank sebaiknya jangan dibuat dalam perjanjian di bawah tangan, akan tetapi dibuat secara notariel yang berupa akta notaris sehingga dapat dikontrol oleh Bank Indonesia. Hal ini tentunya dapat meminimalisir terjadinya kecurangan ataupun itikad buruk dari para pihak.


(4)

I. Buku-buku

Ais, Chatamarrasjid. I. 2004. Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

. II. 2000. Menyingkap Tabir Perseroan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Black, Henry Campbell. 1990. Black’s Law Dictionary, Sixth Edition. St Paul. Minn West Publising Co.

Clark, Robert Charles. 1986. Corporate Law., Little Brown and Company. Boston. USA.

Fuady, Munir. I. 2002. Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Fuady, Munir. II. 2002. Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Fuady, Munir. III. 1996. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga. PT.

Citra Aditya Bakti. Bandung.

Fuady, Munir. IV. 1994. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kesatu. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Fuady, Munir. V. 1996. Hukum Perkreditan Kontemporer. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

Harahap, M. Yahya. 1986. Segi-segi Hukum Perjanjian. Alumni. Bandung. K, Dani. 2002. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Putra Harsa. Surabaya.

Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung. Muljadi, Kartini., dan Gunawan Widjaja. 2003. Perikatan Pada Umumnya. PT. Raja


(5)

125

Nasution, Bismar. I. 2007. Hukum Kegiatan Ekonomi I. Books Terrance & Library. Bandung.

Nasution, Bismar. II. 2004. Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum USU. 17 April 2004. Satrio, J. 2001. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Buku 1. PT.

Citra Aditya Bakti. Bandung.

Sirait, Ningrum N. 2006. Modul Hukum Perusahaan. Program Studi Magister Ilmu Hukum. USU. Medan.

Sjahdeini, Sutan Remy. 2002. Hukum Kepailitan. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta. Soekanto, Soerjono. 1985. Penelitian Hukum Normatif. PT. Radja Grafindo Persada.

Jakarta.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Subekti, R. 1976. Hukum Perjanjian. PT. Intermasa. Jakarta.

Suherman, Ade Maman. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

The’Aman, Edi Putra. 1989. Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty.Yogyakarta.

Usman, Rachmadi. 2004. Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. PT. Alumni. Bandung.

Widiyono, Try. 2005. Direksi Perseroan Terbatas (Bank dan Perseroan) Keberadaan, Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab, Berdasarkan Doktrin Hukum dan UUPT. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Widjaja, Gunawan. 2004. Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.


(6)

Widjaya, I.G. Ray. 2000. Hukum Perusahan. Megapoin. Jakarta.

Yani, Ahmad dan Widjaja, Gunawan. 2003. Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

II. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Dagang Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

III. Majalah/Jurnal

Majalah Varia Peradilan Tahun XIV Nomor 160, Januari 1999

Sjahdeni, Sutan Remi 2001, “Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris”. Jurnal Hukum Bisnis. Volume 14 Juli.

IV. Internet

Umar Kasim, 2005, “Tanggung Jawab Korporasi Dalam Hal Mengalami Kerugian, Kepailitan atau Likuidasi”, Informasi Hukum Vol. 2 Tahun VII,

http://www.nakertrans.go.id/majalah_buletin/info_hukum/ vol2vii 2005/Tanggung_jawab_Korporasi.php. Diakses tanggal 24 Desember

2006.

Antonucci, Peter A. “Piercing The Corporate Veil,” http://www.proquest.com, diakses 24 September 2007

Hernandez, Romelio., Merigo, Hurtado S.C, “Piercing The Corporate Veil in Mexico”, http://www.proquest.com, diakses 24 September 2007